Share

Part 7

Gadis itu segera berdiri dan berlalu pergi. Tak ingin berlama-lama lagi. Menyisakan Langit dengan tatapan yang sulit diartikan.

***

Memejamkan mata sejenak,  kemudian mengambil napas panjang. Langit berusaha mengembalikan fokusnya. Namun semua itu ternyata tak mudah. Nyatanya kejadian kemarin sore masih terus berputar diingatkannya.

Langit terus berusaha mengembalikan fokusnya, dan berhasil walaupun butuh beberapa kali percobaan. Untungnya juga guru mata pelajaran Sejarah sudah memasuki kelas dan langsung memulai pelajaran.

***

Kringg!!

Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi juga. Membuat seluruh penghuni SMA Nusa Pertiwi seketika langsung berbinar, tanpa terkecuali kelas X IPS 2. Bahkan sang ketua kelas pun dengan semangatnya merapikan seluruh peralatan sekolah dan memasukannya ke tas.

"Woahh, akhirnya pulang juga," ujar Dafa semangat.

"Ho'o," sahut Zizi tak kalah semangat.

Langit yang duduk di samping Zizi pun hanya melirik sahabatnya itu malas. Enggan untuk berkomentar dan tetap memilih diam seperti seharian ini.

"Markas?" tanya Nathan pada sahabatnya yang lain.

"Eh, lupa gue," ujar Alex tiba-tiba, membuat seluruh sahabatnya menatap ke arah cowok itu.

"Tadi, Lisa bilang ke gue, kalo hari ini ngerjain tugas dari Bu Ifa." Alex menatap Langit, karena cowok itu satu kelompok dengannya.

"Nggak hari minggu?" tanya Zizi penasaran. Alex hanya mengedikkan bahunya tanda bahwa dia tidak tahu.

"Gimana, Lang?" Alex kembali memastikan bahwa Langit akan setuju.

"Oke."

Setelahnya, mereka berlima berjalan keluar kelas diiringi candaan dan sesekali menanggapi panggilan para siswi yang meneriakkan nama mereka, kecuali Langit yang memang sepertinya masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

Sedikit memakan waktu yang lumayan lama, karena harus berjalan dari lantai tiga sampai parkiran yang jaraknya bisa buat orang pingsan seketika jika tak benar-benar sehat. Akhirnya, kelima most wanted boy SMA Nusa Pertiwi tiba di parkiran motor mereka. Selang beberapa menit, terlihat Bara, Aldi, Arvan dan Reno yang juga berjalan ke arah mereka.

"Markas, nih?" tanya Arvan memastikan. Walaupun tanpa bertanya pun, dia sudah tahu jawabannya.

"Yo'i," jawab Zizi.

"Adek Zizi, semangat banget," ejek Arvan. Dia paling suka kalau urusan menjahili adek kelasnya satu itu.

"Jangan gitu, Bang. Ngambek ntar." Nathan membalas ucapan Arvan sambil terkekeh.

Zizi hanya menampilkan wajah kesal. Dia terus saja menjadi bahan ejekan sahabat-sahabatnya. Dia pun malas meladeni ejekan para sahabatnya itu, karena dia sadar diri. Mungkin lebih tepatnya dia sudah kehilangan energi dan ingin segera beristirahat. Walaupun belum tentu nanti saat mereka semua sampai di markas White Wolf akan beristirahat.

"So, kenapa masih disini?" Reno akhirnya buka suara. Dia sedikit bingung, kenapa mereka masih berdiam di parkiran.

"Gue juga nggak tau," jawab Aldi ikutan bingung.

"Sahabat lo, masih diem?" bisik Arvan pada Zizi sambil mengarahkan tatapannya pada Langit yang memang masih diam tanpa membuka suara. Ditambah lagi cowok itu tengah menundukkan kepalanya.

Semuanya terdiam ketika Langit mendongakkan kepalanya. Mereka dapat merasakan aura yang sedikit mencekam dari sosok ketua geng White Wolf itu. Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa yang tengah terjadi pada sosok yang kini menampilkan sorot mata dingin itu. Namun, diantara kedelapan cowok yang masih berdiam di parkiran, Arvan dan Reno saling melempar tatapan yang tak dimengerti lainnya. Kedua siswa dari kelas XI IPA 1 itu, bisa menangkap dengan jelas, bahwa ada sorot bingung dan frustrasi dari mata Langit.

Langit diam tak bergeming, membuat para sahabatnya tanpa sadar menahan napas karena merasakan aura yang berbeda dari dirinya. Memejamkan mata sejenak, cowok itu tanpa sadar mengacak rambutnya frustrasi, hingga pandangannya terpaku pada beberapa siswi yang berjalan ke arah parkiran.

Beberapa siswi itu tak lain adalah; Nanda, Sasa, Erna, Lisa, Irma dan tentu saja Eriska. Mereka terus berjalan dan menghiraukan panggilan-panggilan dari para siswa yang masih berada di sekitar parkiran.

"Kita duluan, ya," ucap Nanda mewakili Sasa dan Erna pada sahabat-sahabatnya itu.

"Hati-hati," jawab Eriska.

"Woahhh! First time! Pertama kali denger Eriska ngomong selain soal pelajaran." Zizi dengan semangatnya berujar membuat seluruh pasang mata menatapnya.

"Ngerjain tugas di mana?" tanya Nathan penasaran.

"Pada mau ngerjain tugas?" tanya Arvan penasaran.

"Alex sama Langit, Bang," jawab Dafa yang ditanggapi gumaman kakak kelasnya itu.

"Rumah gue," jawab Lisa.

Hening beberapa saat, hingga suara Irma memecah keheningan tersebut.

"Er, lo, gimana? Gue sama Lisa," ujar Irma tak enak hati sama Eriska.

"Gu---"

"Sa---"

"Sama gue," potong Langit cepat. Membuat semua orang yang berada bersamanya, menatap cowok itu terkejut.

"Oke," ucap Irma dan Lisa lega.

Eriska masih diam tak bergeming di tempatnya. Dia kembali merasakan perasaan aneh seperti kemarin sore saat bersama dengan cowok yang kini menatapnya intens.

"Ayok."

Setelah satu hari penuh Langit tak membuka suara, akhirnya cowok itu kini berbicara juga. Membuat sahabatnya bisa bernapas lega sekaligus bertanya-tanya.

"Er, oy! Lo, nggak mau cosplay jadi patung selamat datang, 'kan?" ujar Langit menyebalkan. Kini, sifat asli cowok itu kembali lagi, yang justru semakin membuat para sahabatnya bertanya-tanya.

Eriska masih sibuk dengan pikirannya. Tanpa sadar bahwa semua orang menatap ke arahnya.

"Er," panggil Arvan lembut, membuat yang lainnya melongo, dan dia juga mendapat tatapan tajam dari Langit. Namun, dia tak memperdulikan itu semua.

"Mau gue aja yang nganter?" tawar Arvan yang justru semakin menimbulkan tanda tanya besar di benak sahabat-sahabatnya, kecuali Reno. Karena memang diantara orang yang masih berdiam di parkiran itu, hanya dirinya dan Reno yang tahu apa yang membuat Eriska diam termenung.

Menarik napas panjang, Eriska berusaha menghilangkan semua perasaan aneh yang menghinggapi pikirannya.

"Nggak perlu, Bang," jawab Eriska menolak tawaran Arvan.

Arvan menghela napas pasrah, dan semua itu tak luput dari tatapan tajam Langit.

"Santai napa, Lang. Lo, kayak mau makan gue aja," canda Arvan pada Langit yang sedari tadi menatapnya tajam.

Kali ini, giliran Arvan yang memejamkan matanya sebentar sambil menarik napas panjang sebelum kembali membuka matanya. Kini, tatapannya menatap Langit dengan sorot mata serius, dan Langit untuk sejenak tertegun dengan tatapan mata kakak kelasnya itu.

"Turuti permintaan gue." Arvan berucap dengan nada serius yang jarang sekali ditunjukkannya jika tidak dalam kondisi yang memang mengharuskannya untuk serius. " Pake motor gue, mobil lo, biar gue bawa."

Alis Langit terangkat sebelah, menandakan bahwa cowok itu bertanya dan dia tak paham dengan apa maksud dari ucapan yang dilontarkan Arvan. Mengapa dia harus mengendarai motor kakak kelasnya, jika dia tadi berangkat sekolah mengendarai mobil karena motornya masuk bengkel karena jatuh kemarin. Walaupun tak ada yang kurang, tetapi cowok itu kalau sudah menyangkut tentang motor maka harus melakukan yang terbaik. Setelah beberapa detik, akhirnya cowok itu sadar, bahwa ucapan Arvan barusan mendapat anggukan kepala dari Reno, sedang temannya yang lain justru menampilkan raut wajah bertanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status