“Jadi waktu hujan kau yang menelungkupkan wajah, apa kau saat itu menangis?” tanya Key hati-hati.
Javi mengangguk. “Sebenarnya tidak selalu menangis. Hanya saja mungkin menyisakan wajah merah dan basah, tidak mungkin aku memperlihatkan itu padamu.”Javi masih menatap hujan. “Tapi, entah kenapa berkat ada kau, aku tidak merasa sendiri. Setelahnya, kucing itu kembali ke sana dan kau juga akan ke sana. Meski tanpa suara, aku senang melihat kau bermain-main dengannya. Hingga suatu hari kucing itu berhari-hari tidak ke sana. Tanpa kehadiranmu, aku benar-benar kesepian.”Javi terkekeh. “Rupanya kau menaruh kucing itu di sebuah pohon depan rumah di samping bangunan sekolah.”Mata Key membesar. “Jadi kau yang membawa kembali kucing itu ke belakang gedung sekolah?”Javi mengangguk. “Beberapa hari setelah datang ke sekolahan, aku akan langsung mencari kucing itu, membawa ke belakang gedung dan memberinya makan supaya ia terus mau ke situ.”“Tidak mau. Jika Paman tidak mau ngajak ke Victoria, aku akan bawa dia ke SM”“Papa tidak apa-apa kan?” Kembali terdengar dari luar. Ferren mengerang kesal pada keponakannya itu. Ia mematikan panggilan dan bergegas membuka pintu. “Maaf, aku khawatir Papa kenapa-napa,” ucap Javi saat pintu terbuka. “Tidak apa-apa. Tadi lagi ngobrol di telpon. Masuklah,” sahut Ferren, kemudian menyingkir. Javi masuk. “Apa saya mengganggu? Maaf.”“Tidak apa. Sudah selesai kok. Ada apa?” tanya Ferren sambil duduk ke kursi kerjanya dan mempersilakan Javi duduk ke kursi satunya dengan isyarat. Javi duduk terlebih dahulu. “Mama pasti sudah cerita kalau aku sekarang tidak punya apa-apa dan juga mau menikah dengan Melodi. Di Vic … maksudku di perusahaan yang didirikan almarhum Papa apa ada posisi untukku?” tanya Javi dengan menekan nada di ujung kalimat. Ferren menelan ludahnya. Ia dapat mengerti dibalik Javi menyebut Victoria deng
"Apa yang kalian bisikkan? Kalau berat menampungku, ya sudah. Aku masih punya nenek. Lagi pula, aku tak perlu bertanggung jawab lagi," sela Javi sambil menyeret kopernya. "Tante," desak Melodi. "Baik-baik."Melodi menghampiri Javi dan menggandeng lengannya. "Aku percaya, di tanganmu Victoria akan jaya."***Key keluar kamar dengan langkah gontai. Di dapur sepasang suami istri saling membantu. Pak Isa memotong sayur dan Bibi Nurul tengah mengaduk sesuatu di panci. Sesaat Key terpaku menatap sepasang itu. Ia menghitung berapa hari kebersamaannya dengan Javi. "Sudah bangun?" Bibi Nurul menarik lengan Key dan mendudukkan ke kursi. "Nona mau sesuatu? Biar saya buatkan?"Key menggeleng lesu. "Saya tidak selera makan, Bi." Bibi Nurul duduk di kursi sampingnya. "Pak Isa ada cerita sama Bibi. Tapi … Nona percaya kan sama Aden?"Key mengangguk. "Aku percaya padanya, Bi. Tapi dia yang tak p
"Aku berterima kasih pada orang selingkuh? Nyonya, ini hanya konsekuensi. Semuanya tidak akan berpindah padaku jika dia tidak tidur dengan wanita lain.""Dia tidak bersalah.""Tidak bersalah? Jangan katakan malam itu dia dijebak?!""Dia ….""Tante!" pekik Melodi. Semua tertuju padanya. Zivana menghampiri Melodi. "Mel, kau mau menikahi pria miskin? Sebaiknya kau mengaku," bisik Zivana. "Tante?""Javi sekarang tidak memiliki apa-apa.""Apa yang kalian bicarakan? Jangan katakan kalian hanya mengulur waktu!" Key beralih pada dua pengawalnya. "Pak, tolong bawa mereka keluar segera. Brisik. Panggil polisi jika masih ngeyel."Key meninggalkan mereka. Menuju kamarnya. Sampai di kamar bokongnya terhempas ke tepi ranjang. Seketika ia merasakan segala ototnya melemah. Di ruang tengah Zivana mendekati Javi. "Jav, coba bujuk dia supaya mau balikan lagi.""Lalu Melodi?""Itu nanti. Kau bisa menikahinya diam-diam."Melodi mengangguk cepat. "Kalau gagal?""Harus bisa. Cepat bujuk sana!" Zivana
"Kenapa aku tidak boleh ke sini? Ini rumahku?" Key masuk sambil melepaskan kacamata. "Rumahmu?" Zivana tertawa. Melodi yang duduk di sofa tersenyum ejek. "Memangnya menikah dengan Javi serta merta rumah ini jadi milikmu? Dasar perempuan kampung, tidak tahu diri.""Ma," teriak Javi. "Kau mau membela dia?" sahut Zivana tak kalah sengit. "Pak Arya, jelaskan pada ibu ini," titah Key dengan tangan melipat ke dada. Pak Arya maju dan menyerahkan sebuah fotokopi file kepada Zivana. "Silakan Anda buka!"Zivana membuka saja meski tidak mengerti maksudnya. "Di situ tertulis, jika terjadi perceraian maka seluruh aset yang dimiliki Javi Chandraswari akan jatuh kepada Nyonya Key. Semuanya.""Apa?" pekik Zivana. Melodi bergegas menghampirinya. Zivana syok melihat deretan nama-nama aset milik Javi yang tidak ia ketahui. Selama ini ia hanya tahu PH Bintang Multimedia. Ia tidak tahu Smart Corporation itu juga milik
Melodi tersenyum semringah. "Saya pasti bisa membuat Javi menoleh padaku. Tenang saja, Tante."***Key menggulir template hasil desainnya di tablet, sedang di telinga terpasang earphone. Entah berapa lama ia telah melakukannya. Ia sengaja menyibukkan diri dengan desain demi mengalihkan perhatian. Ia memperhatikan jam di pojok layar. Baru jam sepuluh malam. Malam masih panjang dan harus melakukan apa lagi supaya waktu tidak terisi dengan kesedihan. "Apakah aku harus menulis skenario?" gumamnya. Perhatiannya teralih pada ponsel yang berdering. Nama yang tertera di layar ponsel kembali mengiris hatinya. "Key, bagaimana keadaanmu?" Kalimat pertama ketika ia menjawab panggilan. Pertanyaan yang seharusnya ditanyakan dengan nada nyaring dan penuh kekhawatiran. Ia tahu Javi di sana juga sedang tidak baik-baik saja. "Key, boleh aku melihat wajahmu? Aku kangen." Key melepaskan helaan napas beratnya. Ia sedikit bahagia mendengar kalimat itu, tapi tak dapat mengenyahkan bayangan kalau Javi
"Bagaimana bisa begini? Apa yang terjadi? Bapak mengancamnya?" cecar Key dengan panik. Fazwan menggelengkan kepala. "Lalu ini? Kenapa bisa begini?" tanya Key tanpa menyembunyikan kecurigaannya. Fazwan menghela napas terlebih dahulu sambil mengingat-ingat pertama kali menantunya itu datang ke sana. "Apa ibumu tahu kau menikah dengan Key?" tanya Fazwan saat itu. Javi menggeleng. "Ibu di luar negeri. Saya tidak punya kesempatan memberi tahu Ibu.""Tidak ada waktu atau tidak mau?" tuding Fazwan. Javi terdiam. Ia menyadari, zaman sekarang jarak bukan lagi penghalang komunikasi."Bapak tahu hubunganmu dengan ibumu tidak baik. Kau merasa tidak perlu memberitahu ibumu karena itu hidupmu. Tapi Key anakku, dan kau anak ibumu. Suatu saat mereka akan bertemu, bagaimana Key bisa menerima semua perlakuan ibumu?"Javi kembali terdiam. "Tapi kita tidak tahu bagaimana reaksi Ibu nanti. Saya berharap Ibu juga menyu