Share

Bab 3

Author: shimizudani
last update Huling Na-update: 2023-06-19 16:26:36

Gita merasakan sebuah tangan terselip di bawah tubuhnya, lalu tangan lain berlabuh di atas perutnya. Selanjutnya, dia merasakan tubuhnya bergerak seolah-olah ditarik ke arah sang pemilik tangan, membuat tubuh mereka kembali saling bersentuhan erat. Meski matanya masih terpejam, tapi pergerakan itu berhasil membangunkannya dan menyadarkannya akan di mana dirinya. Dia dalam pelukan Rangga, pria yang baru ditemuinya semalam. 

Gita tersenyum tipis kala ingatan semalam memasuki benaknya. Obrolan panjang ditemani wiski dan berakhir dengan tidur bersama. Yeah, bukan akhir yang aneh, sebenarnya. Kenyamanan memunculkan keinginan. Itu hal yang lumrah bagi sesama dewasa. 

Gita menggerakkan tubuhnya ke belakang agar semakin menempel dengan tubuh liat di belakangnya. Namun, baru saja kenyamanan diperolehnya, tiba-tiba pintu kamar mereka terbuka. 

"Apa yang kalian lakukan?" 

Bak gelegar petir, pertanyaan itu mengagetkan dua orang yang masih bergumul di atas kasur dan memaksa mata mereka terbuka lebar. Mereka otomatis bangkit dan itu adalah keputusan yang salah. Selimut yang menutupi tubuh atas mereka melorot. Alhasil, hal itu menampilkan bagian atas tubuh telanjang Gita. Refleks, tangannya menaikkan selimutnya kembali kendati terlambat. 

"Nenek," panggil Rangga parau. Dia hanya bisa diam di tempatnya karena dia pun telanjang. Selimut benar-benar menjadi satu-satunya benda yang menutupi tubuhnya dan Gita. 

Wajah Gita berubah pucat pasi kala Rangga menyebutkan panggilannya pada orang yang seenaknya merusak pagi mereka. Dan napasnya serasa berhenti ketika menemukan bukan cuma seorang wanita tua, melainkan juga wanita lain di belakangnya. 

Ada apa ini? Kenapa rasanya dia seperti tertangkap basah? 

"Nenek, aku bisa jelaskan." Rangga masih berusaha berkata-kata dengan kesadaran seadanya. Sejujurnya, otaknya belum dapat bekerja dengan baik. Tetapi, dia tidak punya pilihan lain selain memaksanya bekerja. 

"Kenakan pakaian kalian. Kita bicara di luar," tegas Nenek sebelum berbalik dan keluar dari kamar. 

"Kalian bodoh sekali. Kami sudah bilang akan datang pagi ini." Wanita yang bersama Nenek berujar dengan ketidakpercayaan di wajahnya. Kemudian, dia mengikuti Nenek keluar dari kamar. 

Dan yang bisa dilakukan Gita hanya menampilkan ekspresi bodohnya. Dia tidak mengerti situasinya, selain mereka tertangkap basah telanjang di ranjang yang sama. Selain itu, dia tidak mengerti kenapa Nenek dan wanita itu terlihat marah dan kesal kepada mereka? Apakah dia melakukan suatu kesalahan? 

Tunggu. Jangan-jangan dia tidur dengan suami seseorang? 

Pemikiran terakhirnya membuat otak Gita macet. 

"Maaf, sudah mengagetkanmu. Aku benar-benar lupa kalau nenekku akan datang." Rangga segera bangkit untuk meraih pakaiannya yang berceceran di lantai. Inilah hasil gairahnya semalam sehingga mereka membuang asal bajunya ke manapun. "Lebih baik kita segera berpakaian," lanjutnya seraya membantu memunguti pakaian Gita. 

Gita masih tidak mengerti. Namun, dia menurut saja dengan menerima pakaiannya dari Rangga dan dengan cepat mengenakannya. Satu menit selanjutnya, mereka habiskan dengan mengganti penampilan mereka dengan sesuatu yang lebih layak untuk menemui Nenek dan sang wanita. 

"Nenekku sedikit kolot. Dia mungkin mengomeli kita soal tidur bersama." Rangga memperingatkan Gita tepat sebelum mereka membuka pintu. Setelah mendapat anggukan mengerti dari Gita, dia menekan gagang pintu dan menariknya. 

Rangga berjalan cepat menuju sofa dengan Gita mengikuti di belakangnya. Gita seolah-olah bersembunyi di balik tubuh besarnya dan berusaha keras menghindari tatapan menuduh dari Nenek dan si wanita. Namun saat mereka sampai di sana, Gita tidak dapat lagi melakukannya sebab kini mereka duduk saling bersisian. Satu-satunya tamengnya adalah diam. 

"Namamu siapa?" 

Tapi, rupanya, diam juga tidak bisa digunakannya karena jelas Gita tahu pertanyaan itu ditujukan kepadanya. "Gita Saputri." Ragu, dia berucap. Dia antara ingin menyembunyikan atau menyebutkan identitasnya. Di akhir, dia memutuskan untuk jujur sebab dia tidak mempunyai kebohongan untuk dikatakan. 

"Apa pekerjaanmu?" Nenek mengujarkan pertanyaan selanjutnya. 

"Aku manajer artis." Gita pasti tampak seperti semut di hadapan gajah. Sudah tertangkap basah, kali ini Nenek menginterogasinya. Sungguh, apa kesalahannya? 

"Bagaimana dengan orang tuamu? Apa pekerjaannya?" 

"Nenek!" Rangga menyerukan protesnya. Kenapa pertanyaan Nenek langsung tertuju kepada orang tua Gita? Itu tidak benar. 

"Diam kamu." Nenek langsung meredam Rangga dengan perintah mutlaknya. Bahkan, wanita di sebelahnya cuma bisa diam melihat keadaan canggung ini. "Apa pekerjaan orang tuamu?" ulangnya dengan pertanyaan serupa dalam nada ramah seperti sebelumnya. Tetapi, siapa pun tahu keramahannya penuh makna. 

Gita tidak langsung menjawab. Dia melihat satu-persatu orang di sekelilingnya, lantas menelan ludahnya dengan susah payah begitu menyadari situasi yang tak menguntungkannya. "Ayahku dosen, dan ibuku dulunya guru tapi berhenti setelah melahirkanku. Dia ingin menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya untuk merawatku dan adikku." 

Nenek mengangguk paham dan terlihat puas akan jawaban Gita. "Apakah kamu sudah menikah?" 

"Nenek!" Rangga kembali mangajukan protesnya. Dia mulai menduga-duga arah pembicaraan Nenek. Perjodohan. Dia sampai bosan mendengar Nenek meminta hal itu kepadanya. 

"Belum." Awalnya ragu, tapi Gita tetap menjawabnya. 

"Sudah bertunangan?" 

"Belum." 

"Memiliki kekasih?" 

Gita menggelengkan kepalanya. "Nggak ada." 

Nenek terdiam. Dia terlihat memikirkan sesuatu yang penting berdasarkan investigasi singkatnya. Beberapa detik kemudian, dia siap mengumumkan hasilnya. "Sudah diputuskan. Kalian berdua akan menikah hari ini." 

Jika insiden di awal bak gelegar petir, sekarang, kalimat Nenek seperti petir yang menyambar kilat tiga orang di sana. Nenek bukan lagi membahas soal perjodohan, melainkan pernikahan! Itu sangat mengejutkan ketiganya. 

"Nenek!" Rangga dan sang wanita menyerukan namanya keras. Protes tidak main-main mereka tunjukkan. Bagaimana tidak? Itu merupakan keputusan sepihak, dan itu tentang pernikahan. Siapa yang mau begitu saja menikah, apalagi setelah hanya bertemu sekali? 

"Apa maksudnya?" Si wanita meminta penjelasan lebih kepada Nenek. Dia tahu neneknya kolot dan tegas perihal masalah ini. Tetapi, menikah? Itu berlebihan. 

"Rangga menidurinya. Jadi dia harus bertanggung jawab dengan menikahinya." Dengan tenang Nenek merangkai kalimatnya. Tampaknya, dia sudah terbiasa menghadapi penolakan. Ya, ya. Dia memang terkesan ikut campur dalam kehidupan Rangga. Namun, itu semua demi kebahagiaan cucunya. Membina keluarga adalah keputusan terbaiknya. Dan dia ingin Rangga, serta cucunya yang lain merasakan kebahagiaan tersebut. 

"Jangan bercanda, Nek! Mana ada orang menikah hanya karena pernah tidur bersama?!" Rangga mulai kesal menghadapi neneknya. Ini zaman modern. Bahkan tidak menikah menjadi hal yang biasa. 

"Ada. Kakek dan nenekmu." Lagi, Nenek membalas dengan ketenangannya. "Kalian akan menikah. Tidak ada bantahan." 

"Nenek juga harus mempertimbangkan perasaan Gita. Jangan mengambil keputusan sepihak." Si wanita berupaya menenangkan Nenek serta mengendalikan situasi. 

Gita yang sejak tadi diam, sedikit terkejut ketika wanita itu menunjuknya. Padahal dia sengaja menarik diri dari perdebatan yang tidak dimengertinya. Oh, dia tahu itu berkaitan dengan nasibnya. Namun, benaknya masih tak dapat mengikuti keadaan membingungkan ini. Atau mungkin, kesadarannya belum pulih sepenuhnya sehingga tubuh dan benaknya tak mampu bereaksi logis. Seharusnya, dia bergabung dengan mereka untuk menolak rencana pernikahan absurd Nenek, bukan? 

Tiba-tiba, Nenek bangkit dan berjalan menghampirinya. Lalu, Nenek duduk di sebelahnya yang membuat Gita nyaris membelalakkan mata akibat perilaku tak terdugannya. Dalam hati, dia berharap-harap cemas menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Terlebih kala Nenek mendadak meraih tangannya. 

"Gita, biarkan cucuku, Rangga, menikahimu," kata Nenek dengan tatapan penuh harap kepada Gita. 

Gita adalah wanita yang tak tegaan. Melihat cara Nenek memintanya, jelas membuat hatinya goyah. "Aku tidak berpikir kita perlu menikah." Kebimbangan terdengar dalam suaranya. Itu gabungan antara kebingungan atas situasi ini dan ucapan Nenek soal pernikahan. 

"Lihat?" Rangga bergabung dengan mereka, membenarkan pemikirannya soal penolakan Gita. 

"Cucuku memang kurang ajar. Tapi, akan kupastikan dia bertanggung jawab." Nenek tidak menanggapinya seolah-olah tak mendengar Rangga dan melanjutkan pembicaraannya dengan Gita. 

Gita menelan ludahnya dengan susah payah. Dia tidak suka jika seseorang memintanya begini. "Aku baik-baik saja. Jadi-" 

"Lihat, aku sudah tua begini," potong Nenek cepat. "Umurku tidak akan panjang. Yang kuinginkan hanya melihat cucuku menikah," imbuhnya. 

"Nenek!" 

"Hah?" 

Panggilan Rangga dan respons Gita keluar secara bersamaan. 

"Dia tidak pernah mau mengikuti perjodohan yang kurencanakan. Jadi, kumohon. Nikahilah Rangga. Demi nenek tua ini." Nenek mengelus-elus tangan Gita, masih dengan tatapan yang sama. 

Gita benar-benar mulai goyah. Melihat seseorang memohon kepadanya seperti ini sudah membuatnya tak tega, apalagi seorang wanita tua yang melakukannya. Entah kenapa dia melihat sosok kakek dan neneknya dalam diri Nenek. Dua figur yang sangat mencintainya, selain kedua orang tuanya. Mereka pasti menginginkan yang terbaik untuk cucunya. 

"B-baik." Akhirnya, keputusan itu diambilnya. Entah itu akan menjadi keputusan yang baik atau justru sebaliknya. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 130 - Epilog 2

    Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 129 - Epilog 1

    Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 128

    "Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 127

    Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 126

    "Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 125

    Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status