Share

Bab 4

Hari ini mungkin menjadi hari tersibuk bagi Gita. Bagaimana tidak? Ini hari pernikahannya! 

Siapa yang tak sibuk mempersiapkan hari spesial seperti ini? Tak terkecuali Gita. Apalagi, pernikahannya dilaksanakan secara mendadak. Oh, dia hebat karena masih sanggup menjaga kewarasannya. 

"Selesai." 

Suara itu seolah-olah memerintahkan kedua matanya untuk membuka setelah beberapa saat hanya memandang kegelapan. Dan saat dia perlahan menggerakkan kelopak matanya, sesosok wanita cantik menyapanya. 

Wanita itu berambut hitam sedagu yang ditata sedemikian rupa sehingga tampak ikal dan ber-volume. Bagian kiri rambutnya sengaja disematkan ke belakang telinga untuk kemudian diberikan hairpin cantik di sana. Sedangkan sisi kanan dibiarkan begitu saja sehingga memberikan kesan dewasa dan elegan. 

Hal itu didukung dengan pemilihan makeup yang simple dan natural. Riasannya cuma menonjolkan fitur wajahnya dan menunjukkan versi terbaik darinya tanpa kesan berlebihan. Yang terlihat paling bold, mungkin, adalah warna bibirnya. Bibirnya berwarna merah bata yang berhasil mengaburkan kesederhanaan riasannya. 

Itu adalah dirinya. Gita. 

"Kamu cantik sekali!" Puji sang MUA. Dia berdiri di belakang Gita dan mengamati hasil kerjanya kepada kliennya. 

"Makasih. Pekerjaanmu juga bagus. Aku suka." Gita menanggapi dengan senyum masih di bibirnya. 

"Terima kasih. Kamu pasti menjadi pengantin wanita tercantik hari ini." Sang MUA membalas senyumnya. "Oke, sepertinya ini waktunya untukmu berganti pakaian. Gaun pengantinmu sudah menunggu." Dia mengakhiri kegiatan mengaguminya dan mengingatkan Gita untuk segera bersiap-siap. Dia dituntut bekerja cepat hari ini. 

"Oh, ya. Ya." Gita merespons bak orang linglung. Dia dipaksa mengganti fokusnya ketika dia baru saja mulai menatap sosok asing namun tak asing di hadapannya. Tetapi, dia tidak punya pilihan lain sebab harinya di hari ini sangat hectic. Lebih baik dia duduk santai saat semua persiapan telah selesai. 

Gita beranjak dari duduknya dan bersiap dengan aktivitas selanjutnya. Mengenakan gaun pengantinnya. 

Maka, beberapa menit selanjutnya, dia habiskan dengan waktu memakai gaun selutut itu. Ya, dia sengaja memilih gaun yang panjangnya hanya melewati lutut, bukan menutupinya sampai mata kaki dengan ekor panjang di bagian belakang. Itu terlalu merepotkan untuk pernikahan dadakannya. Lagian, hanya akan ada sedikit orang yang menghadiri upacara pernikahannya. Dan tidak akan ada pesta, tapi sebagai gantinya adalah makan malam keluarga. 

Itu rencananya. 

"Wow, kamu cantik sekali, Git!" Pujian itu datang dari Kirana, sepupu Rangga yang pagi tadi turut menangkap basah dirinya bergumul dengan Rangga. Oh, kejadian itu benar-benar memalukan! Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah ketahuan dalam kondisi tersebut. 

"Makasih. Kamu juga cantik pakai gaun itu," puji Gita ketika mendapati Kirana mengenakan gaun panjang yang terlihat jatuh dan cantik di tubuhnya. Kirana memilih gaun yang berwarna pink lembut dan tampak sempurna di kulit putihnya. 

"Aku selalu cantik," gurau Kirana seraya berjalan menghampiri Gita. Senyumnya terulas hingga dia sampai di sebelah Gita dan kemudian berganti menjadi serius. "Apa kamu yakin dengan keputusanmu? Nggak ada jalan kembali setelah ini." Itu merupakan pertanyaan klasik yang mungkin ditanyakan kepada calon pengantin sebelum hari pernikahan. Bagi Gita, itu ditanyakan di hari H. 

"Menurutmu, bagaimana kalau seandainya aku menjawab tidak?" Gita balik bertanya. Dia membayangkan situasi tersebut, namun ada terlalu banyak jawaban. 

Kirana menggumam pelan memikirkannya. "Yang pasti, pernikahan ini nggak akan terjadi hari ini." 

"Tapi, pernikahan ini mungkin tetap terjadi. Benar, kan?" sanggah Gita cepat. Balasan Kirana tidak memuaskannya. Ada banyak makna di balik kalimatnya. 

Desahan pelan keluar dari bibir Kirana. "Nenekku adalah orang yang teguh. Nenek sulit mengubah keputusannya." 

"Dan artinya, aku nggak akan terlepas dari ini. Aku akan tetap menjadi calon istri Rangga," simpul Gita. Melihat bagaimana Nenek langsung memutuskan soal pernikahan ini, sebenarnya, sudah memberi sedikit gambaran bagaimana masa depannya. Dia tidak mungkin mudah lepas dari nasib tak terduga ini. 

"Sayangnya, iya. Nenek akan mengejarmu sampai kamu setuju atau kasih alasan kuat untuk menolak." 

Dan Gita tertawa kecil mendengarnya. Itu bukan kabar baik tapi dia tidak sanggup menahannya. 

"Apa yang lucu?" tanya Kirana bingung. 

"Nggak. Aku cuma menertawakan diriku sendiri karena nggak tahu gimana harus bereaksi di situasi seperti ini." 

"Mereka biasanya frustasi atau meledak-ledak menghadapi keadaan ini." 

Ya, seharusnya demikian. Mungkin, hal ini menghantam Gita terlalu keras sehingga otaknya tak mampu bekerja dengan benar. Dia tiba-tiba akan menikah! 

"Entahlah. Otakku rasa-rasanya seperti macet." 

Tatapan Kirana melembut. Dia kasihan atas nasib Gita tapi tak sanggup berbuat banyak soal hal ini. "Maafin aku, ya, Git. Aku nggak bisa membujuk nenekku. Aku cuma bisa menawarkan diriku sendiri menjadi temanmu," sesalnya. 

Sebuah senyuman menghiasi bibir Gita. Dia lantas menggenggam tangan Kirana. "Nggak apa-apa. Walaupun situasi ini masih membingungkan untukku, aku yakin sanggup menghadapinya. Hanya saja, janji satu hal sama aku. Kita akan keluar, jalan-jalan, dan bersenang-senang bersama-sama. Aku benar-benar berharap kita bisa menjadi sahabat baik." 

Kirana membalas senyumnya. "Tentu aja. Aku senang punya sahabat sepertimu." 

Dan begitulah pertemanan mereka terbentuk. 

"Kalian berdua kelihatan cocok bersama." Tiba-tiba, suara berat terdengar dan mencuri perhatian mereka. Itu adalah Rangga. Dia tengah berdiri di ambang pintu sembari memperhatikan dua wanita yang saling berhadapan dan menggenggam tangan itu. 

"Apa yang ingin kamu lihat? Kami bertengkar?" sahut Kirana sarkatis. Umur mereka tidak berbeda terlalu jauh dengan Rangga yang hanya tiga tahun lebih tua darinya. Jadi, percakapan seperti ini sudah biasa mereka lakukan. Yah, seperti hubungan saudara pada umumnya. 

Rangga mulai berjalan menghampiri mereka. "Aku dengar wanita sering bertengkar saat ketemu." 

"Haruskah kita bertengkar?" Kirana bertanya kepada Gita. 

Gita tertawa. Dia tahu itu hanya gurauan. "Aku nggak suka bertengkar. Aku lebih suka diam saja." 

"Oh, berarti kamu tipe yang suka perang dingin." 

Rangga sampai di hadapan mereka. Dia menatap Gita lalu berganti ke Kirana. "Kamu bisa kasih kami waktu bicara berdua?" 

Kirana tahu pertanyaan itu ditujukan kepadanya, jadi dia menjawab, "Oke. Aku tunggu kalian berdua di lobi." Kemudian, dia memberikan senyumnya kepada Gita sebelum berlalu meninggalkan ruangan. 

Kemudian, tersisa dua orang yang tampak canggung di sana. 

"Hai." Bahkan kata pertama Rangga dimulai dalam kecanggungan. 

"Hai." Dan dijawab dengan cara yang sama oleh Gita. Canggung. 

Setelahnya, hening. Situasi ini benar-benar berbeda dari pertemuan mereka semalam atau pagi tadi. 

Rangga tampak ragu-ragu untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya. Tetapi, akhirnya, dia melakukannya. "Aku minta maaf sudah buat kamu dalam posisi ini." Dia mulai mengujarkannya. "Aku benar-benar tak menyangka Nenek akan mengajukan ide ini." Tatapannya penuh penyesalan. Gita tidak bersalah dalam hal ini, tidak seperti dirinya yang telah mengetahui karakter neneknya. 

Gita memandang lurus ke dalam mata Rangga. Pria itu memiliki mata cokelat yang tidak terlalu gelap dan tampak cerah di siang hari. "Aku juga pelaku di sini. Aku setuju dengan usulan pernikahan dari nenekmu." 

Rangga segera menggelengkan kepalanya. "Nggak. Situasi ini terjadi karena aku salah memperkirakan satu hal penting. Jadi, ini sepenuhnya kesalahanku." 

Ini sulit. Ketika dua orang saling menyalahkan diri mereka sendiri untuk sesuatu yang terjadi kepada mereka, hal ini tidak akan pernah berakhir. 

Gita memikirkan hal lain untuk mengakhiri topik tak berujung ini. "Lalu, apa kamu bisa janji satu hal kepadaku? Kita akan bekerja sama untuk membuat pernikahan ini berhasil. Kita bisa mulai sebagai teman lalu berbagi semuanya bersama." Dia mengutarakan idenya. "Gimana menurutmu?" Dia menatap Rangga dalam dengan penuh pengharapan. Jika mereka tidak bisa mengatur pernikahan ini, mereka bisa menentukan nasib kehidupan pernikahan mereka. 

Rangga terdiam namun ekspresinya menunjukkan dia sangat terpesona kepada Gita. Atau kata-katanya. "Wonderful." Dia mengucapkan apa pun kata pertama yang terlintas dalam benaknya. Dia lalu memaksa fokusnya kembali kepada lawan bicaranya. "Kelihatannya akan sangat menyenangkan memiliki hubungan seperti itu dalam pernikahan kita." 

"Gimana soal janjimu?" 

"Apa kamu bisa melakukan hal yang sama?" 

"Tentu saja. Ini pernikahan kita. Kita mesti melakukannya bersama-sama atau nggak pernah melakukannya sama sekali." 

"Oke, aku kasih janjiku. Aku berjanji untuk menjadi sahabatmu dalam pernikahan kita." 

Mereka berdua saling mengulas senyum. Kali ini, dalam suasana yang lebih santai. Hanya satu yang tersisa sebagai sumber kegugupan keduanya.

Prosesi pernikahan mereka. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status