Share

Bab 5

Author: shimizudani
last update Last Updated: 2023-06-19 16:30:01

"Ya, saya berjanji." Gita mengujarkannya sembari menatap lurus mata cokelat Rangga. Itu merupakan kalimat yang sama yang juga Rangga ucapkan sebelumnya. Sebuah janji dalam ketenangan yang berusaha mereka tunjukkan meski mata mereka tidak mampu menutupi kegugupan masing-masing. Tetapi, tatapan mereka seolah-olah saling menenangkan dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. 

Ya, hal itulah yang memang dibutuhkan Gita saat ini. 

"Sekarang, saya telah meresmikan kalian berdua sebagai sepasang suami dan istri. Semoga pernikahan kalian selalu diberkahi dengan kebahagiaan hingga kalian menua." Sang penghulu mengakhiri akad pernikahan dengan sebuah peresmian. Itulah akhir dari proses sakral dalam pernikahan, yang akhirnya, selesai mereka lalui. "Pengantin pria diperbolehkan untuk mencium pengantin wanita." Dan sebuah penutup manis. Ciuman. 

Rangga tampak ragu. Dalam situasi seperti ini, biasanya, pengantin pria akan mencium bibir si pengantin wanita, bukan? Tapi entah kenapa, dia merasa tidak pantas melakukannya. Tidak, itu bukan soal kesungguhannya. Itu tentang bagaimana pernikahan mereka berjalan. Seharusnya, pernikahan mereka dimulai dengan sebuah cinta sehingga ciuman akan menjadi penutup yang sangat manis untuk melengkapi proses pernikahan mereka. Namun, pernikahannya jelas tidak begitu. 

Maka, dia memutuskan untuk mengubahnya. Dia mencium dahi Gita, alih-alih bibirnya. 

Tepat setelah ciuman berakhir, tepukan tangan terdengar, menggema dalam ruangan besar minim orang tersebut. Semua itu berasal dari tamu-tamunya atau lebih tepatnya, para saksi pernikahannya. Mereka hanyalah Nenek, Kirana, dan asisten mereka serta asisten Rangga. Seharusnya keluarganya juga hadir. Tapi, Nenek tidak sabar lagi. Lagian, pernikahannya sangat mendadak sehingga mereka tidak dapat langsung menghadirinya. 

"Selamat, Sayang. Dan selamat datang di keluarga Adiwijaya." Nenek berkata seraya memeluk Gita. Itu pelukan yang hangat. Sehangat penerimaannya terhadap keluarga barunya. "Kamu dapat dukunganku. Jadi jangan khawatirkan hal lain." Suaranya terdengar menenangkan. 

Gita tersenyum canggung. Dia masih tak tahu hal lain apa yang dimaksud Nenek. Tetapi, agaknya, Nenek mengerti sumber kecemasannya. 

Keluarga Adiwijaya. 

Ya, itu sama dengan nama hotel yang dikunjunginya semalam. Dan otaknya mampu dengan mudah menghubungkan segalanya. Mereka berasal dari keluarga Adiwijaya yang sama. Keluarga Adiwijaya pemilik puluhan bisnis di bawah Adiwijaya Corp dengan salah satunya yang menjadi orang terkaya di dunia, Rangga Adiwijaya. 

Dan yang dinikahinya tak lain adalah sang milyuner. 

"Makasih, Nek." 

Sejujurnya dia tak tahu apakah tepat untuk mengatakan hal tersebut. Nenek mendukungnya sekaligus menjebaknya dalam situasi ini. Kedua hal itu sungguh berlawanan. Dan Rangga tidak pernah mengatakan bahwa dia adalah Rangga Adiwijaya! Ini seperti bom kedua yang menjatuhinya. 

Tetapi, bagian menegangkannya belum usai. Setelah kegugupan soal upacara pernikahannya, malamnya dia mesti mempersiapkan diri pada pertempuran yang sesungguhnya. Makan malam bersama dengan keluarga besar Adiwijaya. Tentu, orang tua Rangga akan hadir setelah menempuh perjalanan dari kota Surabaya. 

"Kamu gugup?" 

Pertanyaan Rangga seperti tidak ada gunanya. Siapa yang tak gugup dalam situasi seperti Gita? Dia akan bertemu mertuanya. 

Tapi, dia beruntung Rangga mengerti dan menemaninya, bukannya ikut menyambut kedatangan keluarga besarnya. Dia sangat membutuhkan Rangga di sisinya. Hanya Rangga satu-satunya orang yang dapat diandalkannya. 

Gita menganggukkan kepalanya. "Aku nggak pernah dikenalkan pada keluarga seseorang sebelumnya," jujurnya. 

"Kapan terakhir kali kamu pacaran?" 

Kegugupan Gita untuk sejenak berhenti untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan Rangga. "Di SMA." Dia menyedihkan, bukan? Sepanjang hidupnya cuma mengidolakan Lukman sehingga menutup pintu bagi pria-pria yang pernah mendekatinya. Bahkan ketika Lukman mulai pacaran dengan Dela, dia masih tidak bisa berhenti mencintai Lukman. Makanya, ketika Lukman dan Dela memutuskan untuk menikah, dia menjadi limbung. 

"Kenapa nggak coba dekat dengan seseorang?" 

Gita menelan ludahnya dengan susah payah. Bukan tidak bisa, melainkan tidak mau. "Ada seseorang yang kusukai." Matanya meneduh kala mengatakannya. 

Dan Rangga melihatnya. Dia juga melihat air mata yang menumpuk di pelupuk mata Gita. Cara wanita itu mengatakannya menunjukkan bahwa hal itu merupakan perasaan yang dalam. "Maaf." 

Gita tersentak. Dia segera mengubah ekpresinya dan menolehkan kepalanya ke samping, hanya untuk menemukan Rangga menatapnya dalam penyesalan. Hal itu mengingatkannya pada percakapan mereka pagi tadi. 

"Kamu seharusnya bisa hidup bahagia dengan orang itu, bukannya terjebak denganku dalam pernikahan ini." Rangga berkata lagi sebelum Gita merespons kalimat sebelumnya. 

Gita memandang lekat wajah tampan pria di sampingnya. Dia pikir semua konglomerat itu sombong dan berperilaku buruk. Oh, dia punya beberapa pengalaman buruk tentang mereka. Menjadi asisten artis secara tidak langsung membuatnya mengenal dunia mereka. Dan itu justru membuatnya skeptis kepada mereka. 

Tapi, Rangga mematahkan asumsinya. Rangga memiliki kelembutan yang jarang-jarang ditemuinya pada para konglomerat. 

"Itu nggak mungkin terjadi. Dia akan menikah besok." Gita berusaha cuek saat mengatakannya meski itu tak sejalan dengan hatinya. Lukanya belum sembuh dan seolah-olah ditaburi garam. Namun, dia tidak mau membawa masalahnya dalam hubungan barunya dengan Rangga. Masalah ini merupakan sesuatu yang mesti diselesaikannya sendiri. 

Rangga membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Tetapi kemudian, Gita mendahuluinya. "Jangan katakan apapun. Aku memang patah hati tapi aku baik-baik saja. Dan jangan khawatir. Aku pasti akan memenuhi janjiku." 

Dengusan pelan dikeluarkan Rangga. Dia tampak tak suka dengan cara Gita yang berusaha untuk terlihat kuat. "Nggak usah memaksakan diri. Ini baru permulaan dalam pernikahan kita. Kamu bisa menangis jika memang membutuhkannya. Ingat, kita berjanji untuk berbagi semuanya, bukan?" Dia mengingatkan. Pernikahan yang Gita tawarkan bukan tentang saling menyembunyikan luka masing-masing tetapi membaginya untuk menyembuhkannya bersama. 

Gita tersenyum melihat reaksi Rangga. Tidak. Dia bukan menertawakannya. Tapi dia merasa Rangga itu lucu dan manis di saat yang bersamaan. "Kamu benar-benar ingin pernikahan kita berhasil, ya?" 

"Tentu saja. Aku selalu serius saat sudah memutuskan sesuatu." 

Gita mengerti. Jadi, Rangga adalah pria yang memegang ucapannya. 

"Aku bisa menemanimu besok." 

"Nggak perlu," tolak Gita cepat. "Aku adalah pengiring pengantin wanita. Dan juga, situasi kita terlalu absurd untuk diceritakan." 

Tetapi, rupanya, penjelasan Gita justru menghadirkan pertanyaan untuk Rangga sebab sebuah kerutan muncul di dahinya. "Tunggu. Kamu bilang kamu suka dengan si pengantin pria, benar?" Dia mengulang informasi yang diperolehnya. Itu tidak pas dengan kalimat terakhir Gita. Kenapa jadi pengantin wanita? 

"Iya. Aku juga sahabat dari si pengantin wanita." 

Anggukan paham ditunjukan Rangga. Semua menjadi masuk akal. "Kamu seperti cara mati," komentarnya. 

Gita meringis. Rangga benar tentang hal tersebut. "Ya, begitulah. Aku memang menggali kuburanku sendiri." 

Percakapan mereka tidak lagi berlanjut setelah orang yang mereka nantikan datang. Nenek dan Kirana muncul dari balik pintu dengan orang tua Dave dan beberapa orang lain. Kehadiran mereka seketika mengembalikan kegugupan Gita. 

"Kamu pasti kebingungan pagi tadi. Maafkan Nenek. Nenek terkadang memang keterlaluan." Ibu Dave, berujar sembari memegang tangan Gita. Caranya mengatakannya dan perlakuannya tidak menunjukkan penolakan. Itu melegakan Gita dan menghilangkan kegugupan serta ketakutannya. 

"Aku melakukan semua ini demi Rangga. Dia tidak bisa menyendiri selamanya." Nenek menimpali cepat. Dia duduk di ujung sekaligus menandakan dia-lah tetua dalam makan malam keluarga ini. 

"Jangan-jangan Nenek berniat memaksaku menikah juga?" Kirana bergabung dalam obrolan itu. Sesuai urutan, dia-lah cucu tertua kedua setelah Rangga. Setelah Rangga menikah, selanjutnya adalah gilirannya. Benar? 

"Kamu punya pacar. Jadi aku tidak terlalu khawatir. Beda dengan Rangga yang menjomlo lama." 

Ya, Kirana memang memiliki kekasih. Pengusaha fashion asal Paris. Namun, itu bukan jaminan bahwa dia akan lolos dari sasaran Nenek. Bagaimana jika hubungannya dan sang kekasih berakhir? Apakah Nenek akan mulai menjodohkannya seperti yang dilakukannya kepada sepupu lelakinya yang malang itu? 

"Dengar itu?" Rangga buka suara. Dia memandang para sepupunya yang duduk di hadapannya. Yang termuda masih berada di tahun pertama SMA. "Kalian mungkin bernasib sama sepertiku jika menjomblo lama." Itu jelas merupakan sindirannya atas apa yang terjadi kepadanya. Pernikahan mendadak. Mungkin, hanya dia yang mengalaminya. 

"Ibu juga melakukannya kepadaku," ujar bibi Rangga. "Ibu nggak berhenti sampai aku menikah." 

Sebuah kesimpulan dapat ditarik Gita. Pernikahan merupakan sesuatu yang wajib dalam keluarga ini. 

"Hanya ibumu yang bisa bebas." Itu adalah paman Rangga. 

"Dia menikah sebelum aku khawatir soal masa depannya." 

Tidak ada jawaban. Semua orang seolah-olah tersekakmat oleh ucapan Nenek. Memang, pengaruhnya sangat besar di dalam keluarga ini. 

"Setelah ini apa? Nenek ingin mereka punya anak?" Sepupu Rangga dengan enteng mengujarkannya. Padahal dua orang yang menjadi subjek pembicaraan tengah mendelik dan nyaris tersedak mendengarnya. Memiliki anak tidak pernah semudah mengatakannya. 

Nenek menggumam tapi jelas menunjukkan ketertarikannya. "Bagus jika mereka segera punya anak. Tapi, aku tidak mau memburu mereka. Mereka butuh waktu untuk saling mengenal." 

Rangga dan Gita mengembuskan napas lega. Itu kabar baik. Mereka tidak dapat menerima begitu saja jika Nenek menekannya dengan keinginan lainnya. 

"Tapi, Gita, aku sungguh menantikan bayi dalam keluarga ini. Sudah lama aku tidak mendengar suara tawa bayi." 

Atau tidak? Tidak ada kedamaian seperti itu dalam pernikahan Gita dan Rangga. 

"Nenek!" seru Rangga kesal. Nenek tidak bisa meminta lebih dari ini. Terlebih kepada Gita. "Dia sudah mengabulkan permintaan Nenek. Jangan melunjak." Ya, dia tidak akan membiarkan Nenek mengganggu istrinya dengan permintaan lain. 

Nenek menatap Rangga dan Gita penuh makna. Lalu, senyum lebar terulas di bibirnya. "Aku senang sekali lihat kamu sudah melindungi Gita seperti ini! Tenang. Aku tidak akan meminta lagi. Setidaknya, dalam setahun ini." 

"Nenek!" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 130 - Epilog 2

    Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 129 - Epilog 1

    Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 128

    "Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 127

    Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 126

    "Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 125

    Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status