Beranda / Romansa / Diam-Diam Menikmati / Bab 5 Tidak seperti yang dibayangkan

Share

Bab 5 Tidak seperti yang dibayangkan

Penulis: SILAN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-15 12:39:12

Keesokan harinya, aktivitas Luna masih sama seperti hari sebelumnya. Saat Jacob keluar dari kamar ke arah balkon, ia akan langsung dihadapkan pemandangan Luna yang berlarian mengejar para kelinci.

Wajahnya begitu riang saat dia berhasil mendapatkan kelinci yang dikejarnya, Luna akan menggendong dan mengusap kepala kelinci itu penuh kasih sayang sambil memberi sebuah wortel.

“Berteman dengan gadis yang usianya sepuluh tahun lebih muda dariku… aneh juga rasanya,” gumamnya sambil menyandarkan tubuh ke pagar balkon. “Tapi kalau hidup di pulau ini tanpa teman, rasanya terlalu membosankan. Mungkin sudah waktunya aku mengajarkan pada gadis itu bahwa pendidikan itu sama pentingnya dengan bermain.”

Sementara itu, Luna tidak sadar bahwa dia sering kali diperhatikan oleh Jacob. Ia terbiasa sendirian selama dua tahun tinggal di pulau itu, teman-temannya adalah para kelinci yang begitu banyak di pulau itu.

Seekor kelinci remaja berada dalam dekapannya, ia mengusap bulu lembut kelinci itu sambil memberinya makan. Ketika ia berbalik badan, tiba-tiba saja Jacob sudah berdiri tak jauh darinya. Kejutan itu membuat kelinci di pelukannya melompat dan berlari menjauh.

"Tuan, Anda mengagetkanku!" seru Luna, matanya melebar seperti anak rusa yang ketahuan.

Jacob tersenyum kecil, seolah menikmati reaksinya. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sementara matanya menyapu pemandangan kelinci yang berlarian di sekitar mereka.

"Banyak sekali kelinci di pulau ini," komentarnya santai.

Luna mengangguk cepat, "Benar. Setiap bulan, populasinya selalu bertambah."

Jacob mengangguk, lalu menambahkan dengan nada serius, "Kalau begitu, mereka pasti lezat kalau dipanggang."

Luna menatapnya dengan ekspresi terkejut dan sedikit marah. "Anda makan kelinci?! Hewan menggemaskan seperti itu? Bagaimana Anda tega menyantap mereka?"

Jacob mengangkat bahu. "Mereka terlalu banyak, Luna. Lagipula, daging kelinci itu boleh dimakan. Rasanya mirip ayam, dan aku yakin kalau kau mencobanya, kau akan suka."

"Tidak! Aku tidak akan pernah memakan kelinci. Mereka adalah teman-temanku!" balas Luna, suaranya meninggi.

Jacob hanya menyeringai kecil sebelum berbalik dan berjalan melewatinya. "Hewan tetaplah hewan. Kelinci bukanlah makhluk buas, dan mereka ... lumayan enak." katanya tanpa memandang ke belakang.

Luna mendengus kesal, matanya menatap punggung Jacob dengan tajam. Ia tak pernah berpikir seseorang akan melihat kelinci dengan cara seperti itu, apalagi pria yang tiba-tiba datang mengklaim pulau ini sebagai miliknya.

Langkah Jacob terhenti sejenak, dan ia berbalik sambil berseru, "Jangan lupa, kau sudah berjanji untuk membawaku ke tempat indah di pulau ini. Cepat ganti pakaian dan bersiaplah mengantarku!"

Luna menghela nafas panjang, sejak awal dia tidak menyukai kedatangan Jacob di rumah ini. Awal bertemu membuat Luna takut pada pria itu, lalu sekarang setelah Jacob berkata dia akan memakan kelinci, itu membuat Luna semakin tidak menyukainya.

Namun, berhubung pulau ini adalah milik orang tua Jacob. Luna tidak punya pilihan untuk menunjukkan sikap baiknya, ia tidak mau di usir dari pulau itu karena ia tau bahwa kehidupan di luar pulau lebih mengerikan.

"Aku tidak punya pilihan, aku sudah jatuh cinta dengan pulau ini." ujarnya sambil menghela nafas pasrah.

**

Tak lama kemudian, Luna memimpin Jacob menuju salah satu tempat favoritnya, air terjun kecil yang tersembunyi di dalam hutan. Sepanjang perjalanan, Luna hanya memberi arahan dengan kata-kata seadanya, nada bicaranya terdengar enggan.

Ketika mereka tiba di air terjun, Jacob seketika terpesona oleh pemandangan yang ada di depannya. Air yang jernih mengalir deras, menciptakan kolam kecil yang berkilauan di bawah sinar matahari.

"Kau sering kemari?" tanyanya sambil menatap kolam itu dengan kagum.

"Sesekali," jawab Luna singkat. "Tapi lebih sering saat musim panas. Airnya lebih hangat, cocok untuk berenang." lanjutnya dengan nada ketus.

Jacob tidak ambil pusing akan hal itu, tanpa banyak bicara ia mulai melepaskan kemejanya, memperlihatkan tubuhnya yang berotot. Luna langsung memalingkan wajah, tangannya menutupi matanya dengan cepat.

"Tuan! Kenapa Anda melepas baju di sini?" serunya panik.

Jacob menoleh sambil tersenyum kecil. "Aku tidak telanjang, Luna. Hanya melepas baju. Kau ini terlalu berlebihan," katanya santai sebelum turun ke kolam.

Luna mengintip melalui celah jemarinya, memastikan Jacob benar-benar hanya melepas baju. Melihatnya berenang dengan santai di air yang jernih, ia merasa sedikit iri. Biasanya, ia berenang di sini sendirian, merasa bebas tanpa khawatir ada yang melihat. Tapi dengan kehadiran Jacob, kebebasan itu terasa hilang.

"Hei, kau tidak mau ikut berenang?" tanya Jacob setelah beberapa saat.

Luna menggeleng cepat. Ia tak mau mengambil risiko. Bagaimanapun, ia sadar perbedaan gender mereka, dan ia tidak ingin ada hal yang tidak diinginkan terjadi.

Setelah puas berenang, Jacob naik ke permukaan. Rambut basahnya meneteskan air yang mengalir di wajah dan tubuhnya. Penampilannya begitu menawan, tapi Luna buru-buru menundukkan kepala, menatap kerikil di bawah kakinya untuk menghindari rasa canggung.

Tiba-tiba, Jacob berbicara, "Mulai hari ini, kau akan menjadi muridku."

Luna mengangkat wajah, bingung. "Murid apa?"

Jacob mengenakan bajunya lagi sambil menjawab, "Usiamu masih muda. Kau perlu banyak belajar. Di mansion ada banyak buku, dan aku adalah siswa terbaik di masaku. Aku akan mengajarimu."

Luna menatapnya, setengah kaget, setengah tak percaya. Tapi sebelum ia bisa menolak, Jacob sudah berjalan lebih dulu.

"Tuan, kenapa Anda suka sekali mengambil keputusan sepihak?" serunya, mencoba mengejar langkah pria itu.

Jacob melirik Luna dari sudut matanya, senyum tipis muncul di wajahnya. "Karena aku tidak ingin gadis sepertimu tumbuh menjadi wanita yang bodoh."

Luna mendengus kesal. "Kau menyindirku karena aku tidak sekolah!"

Jacob tak menjawab, hanya terus melangkah dengan santai, sementara Luna mengekor di belakangnya dengan wajah masam.

"Karena aku lebih muda darinya, dia jadi seenaknya padaku." gerutunya sambil melangkah cepat mengikuti Jacob yang sudah jauh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Diam-Diam Menikmati    Ekstra part 3

    10 Tahun KemudianMentari sore menggantung rendah di langit, menciptakan semburat jingga keemasan yang menyelimuti pulau. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan nostalgia masa kecil yang perlahan memudar. Di tepi dermaga kecil, di mana ombak lembut menyapa tiang-tiang kayu, Jacob berdiri berdampingan dengan putranya, Henry, yang kini telah tumbuh menjadi remaja enam belas tahun dengan sorot mata yang mantap.“Kau serius?” tanya Jacob, suaranya tenang namun menyimpan getaran halus. Tatapan matanya tak bisa menyembunyikan emosi yang berlapis, antara bangga dan kehilangan.Henry mengangguk. “Aku ingin keluar dari pulau ini, Ayah. Aku ingin mencoba hidup di luar. Belajar mandiri, menghadapi dunia nyata dengan caraku sendiri.”Jacob menarik nafas panjang, seolah menyerap kata-kata itu hingga ke dalam dadanya yang sesak. Ia merangkul Henry sekilas, menepuk punggungnya pelan. “Kalau itu keputusanmu, Ayah tak akan menghalangi. Itu hakmu.”Henry menatap sang ayah sejenak sebelum be

  • Diam-Diam Menikmati    Ekstra part 2

    Hari masih pagi benar, matahari bahkan belum sepenuhnya menggantung di langit. Tapi dari halaman belakang, sudah terdengar gelak tawa yang memecah keheningan. Suara riuh Riley dan Henry menyatu dengan pekikan ceria khas anak-anak, menggema hingga ke dalam rumah, cukup untuk membuat Luna dan Jacob terbangun dari tidur mereka.Dengan mata masih setengah terpejam, Luna mengintip jam di dinding. Tujuh pagi. Ia menghela nafas lalu beranjak dari tempat tidur, berjalan pelan menuju balkon kamarnya yang menghadap langsung ke halaman belakang.Begitu sampai, senyum langsung merekah di wajahnya. Riley terlihat memeluk seekor kelinci putih dengan lembut, sementara Henry berlarian dengan penuh semangat bersama Nico, mengejar kelinci lain yang dengan lincah menghindar di antara semak dan rerumputan.Setiap kali seekor kelinci dewasa mendekat, Nico dengan penuh semangat mencoba menangkapnya. Tapi entah karena terlalu lambat atau kelincinya terlalu gesit, yang ada justru Nico yang tersungkur berulan

  • Diam-Diam Menikmati    Ekstra part 1

    Musim terus berganti, namun pulau kecil yang tersembunyi itu tetap menjadi surga tenang bagi keluarga kecil Jacob. Lokasinya terpencil, nyaris tak terjamah dunia luar, hanya keluarga Jacob yang tahu letaknya, seolah Tuhan sengaja menciptakannya sebagai tempat pelarian dari segala kebisingan dunia.Saat pintu rumah dibuka, pemandangan pertama yang menyambut adalah kelinci-kelinci putih berlarian bebas di rerumputan, bunga liar bermekaran di tepian jalan setapak, dan udara laut yang segar menyapu wajah dengan lembut.Kini adalah musim panas keenam sejak mereka tinggal di sana. Pulau itu telah menjadi rumah yang utuh, tempat mereka menua bersama waktu, membesarkan anak-anak, dan menyulam kebahagiaan dalam sunyi yang damai.“Ayah! Lihat aku, aku bisa melakukannya!” teriak Riley, gadis kecil yang hampir genap berusia enam tahun. Tubuh mungilnya berdiri mantap di atas papan selancar yang meliuk lincah dibawa ombak.Tawa Riley pecah, bergema bersamaan dengan deru ombak yang memecah bibir pan

  • Diam-Diam Menikmati     Tamat

    Tiga tahun kemudian.Mentari pagi menembus jendela-jendela besar rumah kayu mereka, memantulkan cahaya hangat ke lantai kayu yang mengkilap. Luna menuruni tangga dari lantai dua, gaun santainya bergoyang lembut mengikuti langkahnya. Tapi tak seperti biasanya, suasana rumah pagi itu terasa terlalu sunyi.Tak ada suara tawa anak-anak, tak ada suara Jacob yang biasanya sibuk menyiapkan sarapan atau menggoda Henry dan Riley. Ruang tamu kosong. Dapur pun sepi.Luna mengernyit. Hatinya bertanya-tanya.Langkahnya pun membawanya ke belakang rumah, ke arah kebun. Di sana, ia hanya menemukan Maci yang baru saja selesai mengisi keranjang dengan hasil panen kentang. Wajah wanita paruh baya itu tampak bersemu oleh matahari, peluh membasahi pelipisnya.“Bu, kemana anak-anak dan ayahnya?” tanya Luna dengan lembut.Maci mengusap keringatnya dengan punggung tangan lalu tersenyum. “Mereka ke arah sungai di utara. Sekarang sedang musim udang air tawar, dan Riley serta Henry semangat sekali ikut berburu.”

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 198 Berduaan

    Pulau itu adalah tempat dimana Jacob dan Luna pertama kali bertemu, selain itu, pulau tersebut juga adalah tempat ternyaman bagi Luna. Ia masih tidak menyangka bahwa Jacob mengajaknya menetap di pulau tersebut, itu keputusan yang cukup mengejutkan.Pagi ini, udara terlihat sangat menyejukkan mata. Selesai melakukan tugasnya sebagai seorang ibu untuk menyusui kedua anaknya, Luna pun memilih jalan-jalan di sekitar pulau yang sudah sekitar satu tahun ia tinggalkan.Sementara kedua bayinya, mereka dijaga dengan baik oleh Maci. "Aku penasaran bagaimana bisa kedua orang tuamu mengetahui pulau ini dan menjadikannya milik mereka," ucap Luna pada Jacob yang berjalan di sebelahnya.Jacob mengedarkan pandangan pada lautan lepas yang ada di hadapannya, kemudian menghembuskan nafas panjang. "Bukan kedua orang tuaku yang mendapatkan pulau ini, aku sempat mendengar bahwa pulau ini ditemukan oleh seorang nelayan yang tersesat, lalu mendiang nenek membelinya.""Nenek?" tanya Luna.Jacob mengangguk, "P

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 197 Tiba di pulau 

    Tidak ada yang bisa menghentikan kepergian Jacob dan Luna, keputusan mereka sudah final dan tak bisa ditarik kembali. Setelah menunggu hingga usia bayi mereka empat bulan, kini waktunya untuk menuju ke tempat tinggal yang baru.Di atas sebuah helipad gedung apartemen Jacob, helikopter sudah siap mengantar mereka. Disisi lain, Hazel masih menggendong Riley dalam dekapannya, bayi itu menggunakan pelindung telinga untuk mengantisipasi gangguan mesin helikopter pada pendengarannya."Sayang sekali kita harus berpisah sampai disini, tunggu aku untuk menjenguk kalian ya." ucap Hazel tak tega, ia mendaratkan kecupan manis di pipi Riley sebelum menyerahkan bayi itu pada Jacob.Sementara bayi satunya, ada di gendongan Nico. Lelaki itu jug tampak enggan melepaskan Henry dari pelukannya saat Luna akan mengambilnya, bahkan Nico mundur selangkah dengan kepala menggeleng pelan, Luna menatap Nico dengan senyum tipis agar adiknya itu segera menyerahkan Henry padanya."Luna, tinggal saja disini okay? Ta

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 196 Persiapan pindah

    Tiga minggu berlalu.Menjadi orang tua baru, tentu menjadi tantangan tersendiri untuk Jacob dan Luna. Apalagi anak mereka kembar, itu cukup menguji mereka menjadi sosok orang tua baru yang berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya.Sementara ini, Jacob dan Luna juga sempat membutuhkan bantuan dari baby sitter, mereka belum tau banyak bagaimana cara merawat bayi secara langsung, sampai akhirnya Jacob dan Luna bisa mengerjakan tugas bagaimana merawat bayi dengan baik.Hari demi hari berlalu, masa-masa indah merawat para bayi adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Luna menikmati momen bagaimana ia menjaga bayinya serta dimanjakan oleh suaminya, bahkan saat tengah malam ketika bayinya terbangun, Jacob lah yang paling cekatan melakukan tugas memeriksa kondisi bayi mereka."Kau terbangun karena tangisan Henry?" tanya Jacob yang sudah menggendong putranya.Perlahan Luna beranjak duduk, bersandar sambil melihat betapa telaten Jacob menggantikan popok anaknya. Dia benar-benar sudah siap me

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 195 Sambutan anggota baru

    Henry dan Riley, itulah nama yang Jacob berikan untuk kedua anaknya. Nama yang sudah ia dan Luna sepakati sebelum kedua bayi itu lahir, mereka lahir dengan kondisi yang diharapkan, sehat dan juga menggemaskan.Setelah satu jam tertidur karena kelelahan, Luna kembali bangun. Hal pertama yang ia lihat adalah Jacob yang memberikan susu untuk bayi mereka, melihat Luna yang sudah sadar, Jacob menoleh sambil tersenyum."Kau butuh sesuatu?" tanyanya perhatian.Luna menggeleng, tak berselang lama, pintu terbuka, Hazel datang membawa buket bunga serta dua balon untuk menyambut kedua keponakan barunya."Apa teman kecilku sudah lahir?" tanya Hazel, tapi belum sempat pertanyaannya dijawab, pandangannya langsung tertuju pada dua boks bayi di sebelah Jacob.Hazel membuka bibirnya kagum, buru-buru ia meletakkan balon bawaannya dan juga buket bunga ke meja sebelum menghampiri dua bayi mungil itu."Astaga, astaga, mereka menggemaskan sekali." serunya, saat tangannya terulur untuk menyentuh wajah bayi

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 194 Hari penantian

    Segala persiapan renovasi hampir rampung. Tiga orang pekerja yang dikirim Jacob mulai sibuk sejak hari pertama menginjakkan kaki di pulau itu. Debu beterbangan, suara alat pertukangan terdengar nyaring memecah keheningan pulau, dan satu per satu bagian rumah tersebut mulai berubah sesuai instruksi khusus dari Jacob.Dari kejauhan, Maci berdiri di ambang pintu dapur sambil menyeka tangannya dengan celemek. Matanya tak lepas memperhatikan proses itu dengan campuran rasa cemas dan haru. Hatinya penuh harapan, bukan hanya soal rumah yang direnovasi, tapi tentang kedatangan kembali dua sosok yang sangat ia rindukan, Jacob dan Luna."Akhirnya aku akan melihat Luna dengan kebahagiaan barunya, aku sudah menantikan ini sejak lama. Takdir memang tak bisa ditebak, siapa yang mengira kalau gadis kecil terlantar yang aku temukan dulu, kini telah menjadi istri pewaris tunggal keluarga Lawson." batin Maci turut senang, menatap kosong ke arah bangunan yang terus dikerjakan.Satu ruangan terlihat berbe

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status