Beranda / Romansa / Diam-Diam Menikmati / Bab 6. Menjadi guru

Share

Bab 6. Menjadi guru

Penulis: SILAN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-15 12:41:22

Tak pernah terlintas di benak Jacob bahwa pelariannya ke pulau ini akan membawanya pada pengalaman baru, menjadi seorang guru privat bagi gadis berusia enam belas tahun. Niatnya semula sederhana, menjauh dari dunia yang penuh kenangan pahit setelah kehilangan kekasih tercinta. Namun, takdir memiliki rencana lain dan mempertemukannya pada Luna.

“Salah lagi. Lakukan dengan cara yang lain!” suara Jacob menggema di ruangan, disertai dentuman keras meja yang dipukulnya. Luna tersentak, matanya melebar, nyalinya hampir ciut oleh ketegasan pria itu.

Jacob memperhatikan Luna dengan cermat, lebih cermat dari biasanya. Selama dua puluh lima tahun hidupnya, baru kali ini ia bertemu seseorang yang dalam pandangannya, begitu sulit memahami hal-hal dasar. Perhitungan sederhana saja menjadi tantangan besar bagi Luna.

"Apa sebenarnya isi kepalamu ini?" gumamnya sambil menekan tongkat kayu sepanjang lima puluh sentimeter ke dahi Luna.

Luna menatapnya polos, tanpa rasa bersalah. “Isi kepalaku ini tentu saja untuk menyimpan kenangan,” jawabnya santai, seolah ucapan itu adalah fakta paling logis di dunia.

Jacob menghela napas panjang, menahan kesal yang sudah mencapai ubun-ubun. “Kalau otakmu memang untuk menyimpan kenangan, kenapa pelajaran yang kuberikan tidak bisa kau simpan juga? Aku sudah membuat semuanya sesederhana mungkin, Luna. Kau ini…”

Luna mengerucutkan bibirnya. “Aku sudah tiga tahun tidak belajar hitungan,” katanya dengan nada rendah. “Yang kubaca hanya buku-buku yang ada di ruang baca selama aku tinggal di sini.”

Jacob mengusap wajahnya, mencoba meredakan rasa frustrasinya. “Mulai sekarang, kau akan belajar lebih banyak lagi. Aku tidak akan membiarkanmu istirahat sampai kau paham apa yang kuberikan!”

“Itu pemaksaan!” protes Luna, matanya berkobar menantang karena usahanya selalu salah di mata Jacob.

Jacob berdiri sambil mendengus. “Lebih baik aku memaksamu daripada membiarkanmu tumbuh menjadi wanita bodoh! Sekarang keluar dan ambilkan aku air minum. Mengajarimu seharian ini benar-benar membuatku haus!”

Dengan kesal, Luna bangkit dan menuju dapur. Ia menuangkan segelas air, sambil melirik pelayan Maci yang selama ini ia anggap sebagai pengganti ibu.

“Tuan Muda mengganggumu?” tanya Maci, menyadari raut wajah Luna yang penuh amarah.

“Bukan mengganggu. Lebih dari itu! Dia tiba-tiba saja menawarkan diri jadi guru, tapi sukanya marah-marah dan bilang aku bodoh!” Luna mengadu dengan nada mengeluh.

Maci tersenyum tipis, penuh pengertian. “Kamu seharusnya bersyukur, Luna. Tidak semua orang mau mengajarimu dengan sukarela. Tuan Muda Jacob adalah lulusan terbaik. Tak heran kalau dia ingin kamu belajar lebih baik.”

“Kenapa Ibu malah membelanya?!” Luna menghentakkan kakinya ke lantai dengan keras. “Kalau dia bukan keluarga pemilik pulau ini, aku mungkin sudah jadi musuhnya!”

Maci hanya tersenyum simpul mendengar gerutuan Luna yang tidak seperti biasanya. Sampai gadis itu kembali bicara.

"Bertemu dengan orang sepertinya, bukankah ini termasuk pembulian?" ucapnya sambil menghembuskan nafas panjang. Ia akhirnya kembali ke ruang belajar dengan gelas di tangannya. Meskipun kesal, ia tahu bahwa marah bukan solusi terbaik untuk mengatasi Jacob.

**

Dua bulan berjalan, dan Jacob tetap mengajarkan Luna pelajaran demi pelajaran. Meski kesabaran Jacob sering diuji, ia tidak menyerah. Setiap sore dihabiskannya dengan mengajar gadis itu, meski hampir selalu diiringi helaan nafas panjang karena lambatnya pemahaman Luna.

Namun, sore itu berbeda. Jacob memutuskan untuk bersantai di taman, membiarkan pikirannya mengembara. Aroma laut bercampur dengan semilir angin seakan menjadi obat penenang untuk hatinya yang terusik. Meski sudah hampir tiga bulan berlalu, bayangan Anastasya masih membayangi setiap sudut benaknya.

“Kau dan anak kita pasti melihatku dari atas sana,” gumamnya, menatap langit yang tampak berawan hari ini.

Kerinduan itu begitu dalam, mencengkeram hatinya hingga terasa sakit. Ingatan tentang senyum Anastasya menghantui, membawa rasa pedih yang tak kunjung hilang karena seharusnya mereka hidup bahagia setelah pernikahan.

Saat ia terlarut dalam lamunannya, gerimis kecil mulai turun. Jacob berdiri, membiarkan tetesan air hujan membasahi bahunya sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam mansion. Langkahnya mengarah tanpa tujuan, hingga ia menemukan dirinya di depan pintu kamar Luna yang terbuka.

Dari tempatnya berdiri, ia melihat pelayan Maci sedang memotong rambut Luna. Rambut gadis itu kini kembali pendek seperti pertama kali ia melihatnya. Jacob mengetuk pintu, lalu masuk tanpa menunggu undangan.

“Tuan Muda, Anda membutuhkan sesuatu?” tanya Maci sopan.

Jacob melirik Luna yang sedang menatapnya, kali ini dengan tatapan tajam, seolah gadis itu sedang menantangnya.

“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya meski sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.

“Menggunting rambutnya,” jawab Maci singkat, sambil kembali merapikan potongan terakhir.

Jacob memandang Luna sejenak yang kembali dengan rambut yang lebih pendek, dia terlihat berbeda. Meski demikian, Jacob membayangkan bahwa Luna akan lebih cantik jika membiarkan rambutnya memanjang dan dibiarkan terurai.

Namun, ia menepis pikiran itu dan menggelengkan kepala. “Kenapa aku harus peduli pada urusan orang lain?” gumamnya pelan sebelum meninggalkan ruangan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Diam-Diam Menikmati    Ekstra part 3

    10 Tahun KemudianMentari sore menggantung rendah di langit, menciptakan semburat jingga keemasan yang menyelimuti pulau. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan nostalgia masa kecil yang perlahan memudar. Di tepi dermaga kecil, di mana ombak lembut menyapa tiang-tiang kayu, Jacob berdiri berdampingan dengan putranya, Henry, yang kini telah tumbuh menjadi remaja enam belas tahun dengan sorot mata yang mantap.“Kau serius?” tanya Jacob, suaranya tenang namun menyimpan getaran halus. Tatapan matanya tak bisa menyembunyikan emosi yang berlapis, antara bangga dan kehilangan.Henry mengangguk. “Aku ingin keluar dari pulau ini, Ayah. Aku ingin mencoba hidup di luar. Belajar mandiri, menghadapi dunia nyata dengan caraku sendiri.”Jacob menarik nafas panjang, seolah menyerap kata-kata itu hingga ke dalam dadanya yang sesak. Ia merangkul Henry sekilas, menepuk punggungnya pelan. “Kalau itu keputusanmu, Ayah tak akan menghalangi. Itu hakmu.”Henry menatap sang ayah sejenak sebelum be

  • Diam-Diam Menikmati    Ekstra part 2

    Hari masih pagi benar, matahari bahkan belum sepenuhnya menggantung di langit. Tapi dari halaman belakang, sudah terdengar gelak tawa yang memecah keheningan. Suara riuh Riley dan Henry menyatu dengan pekikan ceria khas anak-anak, menggema hingga ke dalam rumah, cukup untuk membuat Luna dan Jacob terbangun dari tidur mereka.Dengan mata masih setengah terpejam, Luna mengintip jam di dinding. Tujuh pagi. Ia menghela nafas lalu beranjak dari tempat tidur, berjalan pelan menuju balkon kamarnya yang menghadap langsung ke halaman belakang.Begitu sampai, senyum langsung merekah di wajahnya. Riley terlihat memeluk seekor kelinci putih dengan lembut, sementara Henry berlarian dengan penuh semangat bersama Nico, mengejar kelinci lain yang dengan lincah menghindar di antara semak dan rerumputan.Setiap kali seekor kelinci dewasa mendekat, Nico dengan penuh semangat mencoba menangkapnya. Tapi entah karena terlalu lambat atau kelincinya terlalu gesit, yang ada justru Nico yang tersungkur berulan

  • Diam-Diam Menikmati    Ekstra part 1

    Musim terus berganti, namun pulau kecil yang tersembunyi itu tetap menjadi surga tenang bagi keluarga kecil Jacob. Lokasinya terpencil, nyaris tak terjamah dunia luar, hanya keluarga Jacob yang tahu letaknya, seolah Tuhan sengaja menciptakannya sebagai tempat pelarian dari segala kebisingan dunia.Saat pintu rumah dibuka, pemandangan pertama yang menyambut adalah kelinci-kelinci putih berlarian bebas di rerumputan, bunga liar bermekaran di tepian jalan setapak, dan udara laut yang segar menyapu wajah dengan lembut.Kini adalah musim panas keenam sejak mereka tinggal di sana. Pulau itu telah menjadi rumah yang utuh, tempat mereka menua bersama waktu, membesarkan anak-anak, dan menyulam kebahagiaan dalam sunyi yang damai.“Ayah! Lihat aku, aku bisa melakukannya!” teriak Riley, gadis kecil yang hampir genap berusia enam tahun. Tubuh mungilnya berdiri mantap di atas papan selancar yang meliuk lincah dibawa ombak.Tawa Riley pecah, bergema bersamaan dengan deru ombak yang memecah bibir pan

  • Diam-Diam Menikmati     Tamat

    Tiga tahun kemudian.Mentari pagi menembus jendela-jendela besar rumah kayu mereka, memantulkan cahaya hangat ke lantai kayu yang mengkilap. Luna menuruni tangga dari lantai dua, gaun santainya bergoyang lembut mengikuti langkahnya. Tapi tak seperti biasanya, suasana rumah pagi itu terasa terlalu sunyi.Tak ada suara tawa anak-anak, tak ada suara Jacob yang biasanya sibuk menyiapkan sarapan atau menggoda Henry dan Riley. Ruang tamu kosong. Dapur pun sepi.Luna mengernyit. Hatinya bertanya-tanya.Langkahnya pun membawanya ke belakang rumah, ke arah kebun. Di sana, ia hanya menemukan Maci yang baru saja selesai mengisi keranjang dengan hasil panen kentang. Wajah wanita paruh baya itu tampak bersemu oleh matahari, peluh membasahi pelipisnya.“Bu, kemana anak-anak dan ayahnya?” tanya Luna dengan lembut.Maci mengusap keringatnya dengan punggung tangan lalu tersenyum. “Mereka ke arah sungai di utara. Sekarang sedang musim udang air tawar, dan Riley serta Henry semangat sekali ikut berburu.”

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 198 Berduaan

    Pulau itu adalah tempat dimana Jacob dan Luna pertama kali bertemu, selain itu, pulau tersebut juga adalah tempat ternyaman bagi Luna. Ia masih tidak menyangka bahwa Jacob mengajaknya menetap di pulau tersebut, itu keputusan yang cukup mengejutkan.Pagi ini, udara terlihat sangat menyejukkan mata. Selesai melakukan tugasnya sebagai seorang ibu untuk menyusui kedua anaknya, Luna pun memilih jalan-jalan di sekitar pulau yang sudah sekitar satu tahun ia tinggalkan.Sementara kedua bayinya, mereka dijaga dengan baik oleh Maci. "Aku penasaran bagaimana bisa kedua orang tuamu mengetahui pulau ini dan menjadikannya milik mereka," ucap Luna pada Jacob yang berjalan di sebelahnya.Jacob mengedarkan pandangan pada lautan lepas yang ada di hadapannya, kemudian menghembuskan nafas panjang. "Bukan kedua orang tuaku yang mendapatkan pulau ini, aku sempat mendengar bahwa pulau ini ditemukan oleh seorang nelayan yang tersesat, lalu mendiang nenek membelinya.""Nenek?" tanya Luna.Jacob mengangguk, "P

  • Diam-Diam Menikmati    Bab 197 Tiba di pulau 

    Tidak ada yang bisa menghentikan kepergian Jacob dan Luna, keputusan mereka sudah final dan tak bisa ditarik kembali. Setelah menunggu hingga usia bayi mereka empat bulan, kini waktunya untuk menuju ke tempat tinggal yang baru.Di atas sebuah helipad gedung apartemen Jacob, helikopter sudah siap mengantar mereka. Disisi lain, Hazel masih menggendong Riley dalam dekapannya, bayi itu menggunakan pelindung telinga untuk mengantisipasi gangguan mesin helikopter pada pendengarannya."Sayang sekali kita harus berpisah sampai disini, tunggu aku untuk menjenguk kalian ya." ucap Hazel tak tega, ia mendaratkan kecupan manis di pipi Riley sebelum menyerahkan bayi itu pada Jacob.Sementara bayi satunya, ada di gendongan Nico. Lelaki itu jug tampak enggan melepaskan Henry dari pelukannya saat Luna akan mengambilnya, bahkan Nico mundur selangkah dengan kepala menggeleng pelan, Luna menatap Nico dengan senyum tipis agar adiknya itu segera menyerahkan Henry padanya."Luna, tinggal saja disini okay? Ta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status