Cirrocumulus. Kata itu melayang janggal dalam kepala Arkana seperti balon kata dalam cerita bergambar.
Ia memandang ke arah langit. Kepada awan pembawa hujan yang menyebar rata di atas bangunan kampus. Sebentar lagi musim berubah, mungkin itu bisa jadi salah satu alasan atas suasana hatinya yang buruk hari ini.
Tapi benarkah perubahan iklim bisa membuat perasaan manusia berubah? Mungkin saja. Kalau tidak salah ia pernah dengar tentang SAD (Seasonal Affective Disorder). Istilah itu begitu mudah diingatnya karena sangat lucu jika diterjemahkan; Gangguan Suasana Hati Musiman. Sejauh yang ia dengar dan pahami, ini hanya berupa peran cuaca terhadap kadar serotonin dalam tubuh seseorang. Bisa membuat seseorang jadi sensitif, atau malah agresif. Tidak berlaku untuk semua manusia, tapi beberapa persen mengalaminya.
Setidaknya begitu yang ia bisa ingat dari kuliah umum tidak formalnya Svaha. Fakultas mereka memang tidak ada hubungannya dengan sains a
Mekanisme Coping.Adalah sebuah cara yang sering dilakukan manusia dalam mengatasi trauma atau stress. Mekanisme ini bisa membantu manusia untuk mengolah rasa sakit dan emosi juga menyesuaikan diri dari kejadian buruk yang menimpanya.Beberapa contoh yang sering terjadi pada orang-orang adalah mencari kegiatan baru, menjalani hobi baru, bicara dengan orang baru. Ada juga yang melakukannya dengan makan, menikmati hidup dengan berlibur. Ada yang menyalahkan diri sendiri dan menyangkal keadaannya. Tapi itu membuat mekanisme ini jadi tampak mirip dengan saudaranya yang lain, defense mechanism.Bagi Svaha, membentur-benturkan kepala ke meja adalah salah satu wujud dari mekanisme coping tersebut.Kalau saja, hari ini tidak ada jadwal ujian. Svaha pasti sudah meringkuk di bawah selimut sambil mengembara dalam cerita roman-heroik Musashi. Atau dia akan duduk di taman umum dengan novel Little Women dalam genggaman. Atau tempat manapun tanpa orang yang ia
Arkana tidak pernah menduga kalau menghindari lelaki seperti Laung akan sedemikian mudah. Sebelumnya ia pikir lelaki itu mungkin akan menggunakan kekerasan untuk memaksanya. Laung akan membentak, atau jadi ringan tangan seperti biasanya. Jelas lelaki itu punya pengaruh besar di kampus ini. Kemarin malam, Laung bahkan mempermalukan Arkana di depan teman-teman klub Voli-nya. Tapi, barangkali Arkana hanya perlu bertindak seolah ia perempuan yang kuat. Arkana hanya perlu membalas tatapan Laung dengan pandangan yang menantang dan sok berani. Menjawab omong kosong lelaki itu dengan tegas. Seperti yang sering Arkana lakukan pada Cantra. Maka Laung akan kalah. Ya! Dia akan menunduk dan mengalah. Dia akan mundur dan berpikir dua kali untuk mengasari Arkana lagi. Perihal lain, tanpa bermaksud menjilat ludahnya sendiri, Arkana memuji Cantra dalam hati. Cantra adalah orang yang membuat Arkana sadar akan kekuatan dalam dirinya. Cantra perempuan yang penuh dengan keyakinan
Sampai pada akhirnya Arkana tiba dengan Laung di sebelahnya, Svaha pikir acara malam ini akan berjalan dengan baik tanpa rasa canggung.Salah.Otaknya menolak untuk menikmati film yang sedang tayang tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena Svaha sedang tidak ingin menonton film bergenre misteri. Atau karena Arkana duduk di sebelahnya.Mereka belum sempat bicara lagi sejak hari itu. Dan Svaha tidak mungkin menyalahkan pacarnya karena merencanakan acara ini tanpa berdiskusi dulu. Cantra tak tahu apa-apa. Ini bukan salah kekasihnya.Tak lama kemudian Svaha menoleh pada Arkana. Di saat yang sama Arkana sedang memandang Svaha juga. Lelaki itu kemudian tersenyum, ingin tahu apa Arkana masih marah padanya. Arkana membalas senyum Svaha dan membuat lelaki itu merasa lega. Pikirnya, sekarang masalah mereka sudah selesai. Dan Svaha bisa menonton film dengan perasaan yang lebih tenang.Salah lagi.Ketika Svaha memperbaiki posisi duduknya, tak sengaja ia
Laung harus menjawab telepon dari orang tuanya ketika mereka sampai di rumah—kawasan Lake Side Property. Jadi dia menyuruh Arkana naik ke kamar lebih dulu.Kalau Arkana bertanya kembali pada dirinya tentang bagaimana perasaannya setiap kali memasuki kamar pacarnya, jawabannya adalah, “Aku tidak tahu.”Kadang Arkana berada pada sudut pandang ketiga di luar dirinya. Di mana ia bisa melihat situasi lampau dengan jelas. Semua sisi. Dari bangku penonton. Ia bisa menyaksikan dirinya dilucuti, dipermalukan, ditelanjangi. Bukan cuma bajunya, hal-hal yang bisa diamati fisiknya. Tapi dirinya, rasa percaya dirinya. Oleh Laung. Lelaki yang seharusnya menempati titel ‘lelaki terpercaya’. Tentu tidak yang teratas, karena tempat itu milik sahabat baiknya, Svaha.Kadang Arkana ada di sudut pandang pertama. Ia jadi dirinya. Kelima indranya masih mengingat kejadian itu. Mereka merasakannya! Rasa malu, sakit, marah, kecewa. Lelaki yang ia percaya beru
Kita hanya manusia, bintik-bintik yang bergerak dinamis dalam semesta permainan sang pencipta. Kita dilahirkan dari ketiadaan, berjuang untuk keberadaan. Kita hanya manusia yang dibekali beban, menyebutnya tujuan untuk sekedar penghiburan. Kita ditemani waktu, dimusuhi waktu. Pada akhirnya dikejar waktu. Kita tidak punya waktu.Kita tidak lengkap. Dibuat untuk saling mencari. Kita lahir sendiri, tapi kesendirian tidak pernah membuat kita lebih berani. Untuk menjalani, apalagi mati tanpa ditemani.Kita hanya manusia. Kita berangkat dari yang sudah ada. Kita boleh mengeluh, tapi tidak boleh berbuat banyak. Kita boleh berharap, tapi tidak boleh punya suara utuh untuk memutuskan.Begitu, ketika Svaha ingin membantah semua keputusan Cantra, ia tidak bisa.Cantra menginginkan istirahat. Istirahat artinya berhenti dengan tenggang waktu tertentu, sementara. Kadang pasti, seringkali sebaliknya.Gadis itu meyakinkan Svaha kalau istirahat baik buat hubungan m
Mereka harus menempuh setidaknya enam jam perjalanan untuk sampai ke kota kecil bernama Eila. Kota kecil yang masih kental dengan bau tanah berkadar asam tinggi, perkebunan dan bau kotoran hewan dari peternakan lokal. Orang-orang sering menyebut kota kelahiran mereka sebagai tempat yang kuno karena penduduknya masih sangat menikmati produk makanan (tumbuhan dan hewani) yang diolah tanpa bantuan mesin. Apa salahnya?Arkana pikir penduduk kota Eila sangat mandiri. Mereka membayar pajak pada negara juga, dan memanfaatkan yang mereka punya untuk hidup lebih sederhana. Penduduk Eila tidak boros energi. Mereka makan yang ada, mewah untuk tolak ukur orang modern kadang-kadang. Orang dari kota yang lebih besar seperti Harsha menyebutnya organik.Menurut gadis itu juga, kota kelahirannya tidaklah kuno. Kota ini bahkan sedang berkembang. Mereka mengembangkan apa saja. Ada gedung baru, ada sekolah, ada rumah sakit kecil yang sepi, ada kantor dan bengkel. Yang tidak ada hanya toko
Svaha sempat memeriksa telepon genggamnya ketika ia dan Arkana turun dari mobil. Hujan gerimis dan kabut pelan-pelan menjauh. Pukul dua lebih sedikit. Memang sudah waktunya makan siang. Keduanya berjalan di atas batu-batu kerikil dari tempat parkir menuju sebuah restoran yang nampak sederhana namun berlantai dua. Favorit nama restoran itu. Mereka selalu makan di sini kalau sedang pulang kampung atau akan kembali ke kota Harsha. Restoran ini berada tepat di tikungan. Ya, bukan pilihan baik kalau dibandingkan dengan restoran lain yang berada di sisi kiri dan kanannya. Sulit mencari haluan, sulit menyeberang ke sini kalau datang dari arah berlawanan. Tapi, masakannya enak. Porsinya banyak. Murah. Meriah. Dan, karena restoran ini cukup sepi, dia dan Arkana jadi bisa berlama-lama tanpa takut mengganggu pengunjung yang antre. Interiornya juga cantik. Lantainya dilapisi kayu, dinding sekat juga berbahan kayu, semua pernak-pernik terbuat dari kayu. Semuanya berbau ka
Arkana ingat, saat Svaha kembali dari kamar kecil. Menanyai hal tak penting yang dijawab dengan kata pendek yang juga tak penting. Arkana membasahi bibir bawahnya, Svaha memperhatikannya. Arkana merasa aneh, hasrat itu turun dari langit seperti plastik tipis yang lengket. Membungkus badannya dan tidak menyisakan ruang nafas sama sekali. Otaknya terasa kosong. Hanya satu kata yang berpendar di sana. Berteriak. Kesetanan. Kebingungan. Svaha, Svaha, Svaha dalam desah yang menggebu dan menyakitkan. Arkana takut meledak. Jadi ia berdiri. Svaha juga. Kebetulan. Dan rasa lapar; ayam bakar dan sate daging sapi telah mereka lupakan. Arkana mengikuti Svaha ke kamar itu. Nomor sepuluh. Tanggal lahir sahabatnya, dua hari sebelum miliknya sendiri. Pentingkah itu? Lalu Svaha menjatuhkan kunci, Arkana menertawai kecerobohan lelaki itu dalam hati. Lapisan itu menjerat Arkana lagi. “Cepatl