Share

2

Svaha dan Arkana berteman sejak kecil. Mereka berteman sejak keduanya tahu bahwa teman semestinya tidak saling membelakangi. Teman harus saling membela. Teman adalah yang paling bisa mengingatkan, mana perbuatan salah, mana perbuatan yang benar. Teman harusnya ada di saat susah dan tidak keberatan ketika kita ingin senang-senang sendiri. Teman adalah yang sepenanggungan. Svaha menanggung keluh sahabatnya, Arkana akan menanggung kesah milik Svaha.

Teman yang harus selalu tahu bahwa manusia tidak terlahir baik saja, atau buruk saja. Teman tahu kalau kebaikan adalah sebuah tujuan, karena semua orang ingin diperlakukan dengan baik.

Dan temannya, Arkana. Tidak pernah jadi orang lain. Perempuan itu tidak pernah menjadi Svaha, dan begitu juga sebaliknya. Arkana selalu menjadi dirinya sendiri.

Pertemuan mereka bermula ketika Svaha sudah tidak ingat lagi sejak kapan mereka bermain bersama. Mungkin di sekolah dasar. Atau sekolah menengah. Entah. Tapi ibu keduanya juga berteman (meski tidak jarang mereka beda pendapat dan saling memusuhi untuk beberapa hari). Sedang ayah, mereka sama-sama tidak punya.

Ayah Arkana meninggal dunia sudah lama. Dan ayahnya Svaha meninggalkan si ibu karena merasa belum siap jadi ayah. Menyakitkan. Tapi itu sudah lama sekali. Svaha bahkan sudah lupa pada wajah ayahnya.

Jadi, bisa dibilang kalau Arkana mencari sosok ayah dari lelaki yang ia pacari. Sementara Svaha, ia percaya bahwa perempuan lebih bisa bertanggung jawab soal perasaan. Ia tidak ingin menjadi lelaki yang sama seperti ayahnya.

Begitulah mulanya. Sampai sekarang tidak satu pun hal yang bisa mengganggu persahabatan mereka. Semuanya tulus, mulus—nyaris tanpa selisih paham. Mereka tidak rebutan pacar, tidak bersaing di kelas. Apalagi berebut makanan. Mereka bukan binatang liar. Mereka selalu berbagi.

Mereka tidak suka memperdebatkan hal-hal yang tidak relevan dan memilih untuk menyikapi semuanya dengan ringan. Mereka berkompromi. Bukannya hidup sudah cukup rumit? Dan punya teman akan membuat kerumitan itu sedikit berkurang.

Kecuali yang tadi malam. Ini pertama kalinya selama pertemanan mereka, Arkana benar-benar membuat lelaki seperti Svaha ngotot. Karena Svaha ingat kejadiannya. Dan flashback itu terus membayang di kepalanya.

Svaha baru saja habis mandi ketika Arkana mengetuk pintu kamar sewa.

“Kamu dengar itu?” tanya Cantra yang adalah pacar dari Svaha. Gadis itu berdiri tepat di depan Svaha. Sehelai handuk menutup tubuhnya yang kurus. Rambutnya beraroma shampoo dan masih basah.

Svaha berkonsentrasi. “Iya, mungkin kamar sebelah. Belakangan mereka bertengkar terus.” Lelaki itu menanggapi dengan cuek, kemudian menyingkirkan gumpalan rambut dan mencium leher kekasihnya.

“Tidak. Tunggu. Itu pintumu.” Cantra menyingkirkan bibir Svaha dari lehernya agar ia bisa mendengar lebih jelas.

Svaha menarik nafas dengan tidak sabar. “Kamu ingin aku memeriksanya? Bagaimana kalau itu Arkana?”

“Memangnya kenapa? Apa dia memberitahumu akan datang malam-malam? Apa kalian menyembunyikan sesuatu?” Cantra bertanya, ingin sekali bersikap biasa, tapi tidak bisa.

“Kamu cemburu padanya.” Svaha mengejek.

“Kalian terlalu dekat.” Cantra mengibas rambutnya. “Apa dia baik-baik saja? Apa kalian baik-baik saja?”

“Kami berteman dari kecil, tentu kami dekat.”

“Apa kamu menyukainya?”

Mulut Svaha berkedut. “Tidak,” jawabnya cepat. Menyembunyikan kegugupan. Svaha tidak pernah memikirkan hal tersebut sebelumnya.

“Jangan bohong.” Cantra memincingkan matanya. Ia amati wajah kekasihnya seperti catatan kaki dalam jurnal kesehatan.

Svaha memaksakan senyumnya. “Aku tidak akan merusak apa pun yang kami punya sekarang. Dan, kalau kami pacaran, Ibuku bisa ngamuk.”

Lalu Cantra mendengus, “Setidaknya dia harus bersikap baik padaku.”

“Dia sudah mencobanya.” Svaha menghibur.

“Tidak, dia tidak mencobanya sama sekali. Dia tidak pernah terlihat menghargaiku.”

“Karena dia Arkana. Dia bukan aku yang hobinya menjaga perasaan orang lain.”

“Oke. Sekarang buka pintunya. Dan bilang kamu sedang denganku.”

“Apa sebaiknya kita pura-pura tidak ada di kamar dan melanjutkan ini?” Svaha merayu lagi. Memeluk Cantra dan menciumi bahunya. Yang lelaki itu tahu, urusan dengan Arkana tidak akan pernah sebentar.

Lalu pintu diketuk semakin keras dan suara tangisnya mulai terdengar. Svaha dan Cantra saling memandang.

“Ah, aku akan buka pintunya,” kata lelaki itu plin-plan. Hanya khawatir. Bisa saja Arkana sedang terjebak dalam masalah besar. Arkana mungkin membutuhkan bantuan sahabatnya.

Tanpa pikir panjang Svaha mengambil sehelai handuk untuk menutupi badannya dan berlari ke pintu.

“Ada apa?”

Ketika pintu terbuka Arkana menghambur masuk tanpa satu pun jawaban keluar dari mulutnya. Bau alkohol menyibak udara, gadis itu duduk di sofa.

“Aku sedang dengan pacarku.” Merasa tak enak. Tapi, Svaha harus menjelaskan persis seperti yang diajarkan Cantra tadi.

“Temani aku minum.” Arkana terisak. Namun kalimatnya masih jelas. Dan memaksa.

Bahu Svaha mengendur, kemudian ia duduk di sebelah Arkana. “Apa kamu baik-baik?”

“Tentu saja tidak. Apa orang yang baik-baik saja bisa menangis sekencang aku?” Arkana menjawab sekaligus bertanya sambil mengeluarkan sebotol arak dari dalam tasnya. Kemudian ia berdiri dan berjalan sempoyongan ke dalam wilayah dapur untuk mencari gelas.

Sebentarnya Cantra keluar dengan pakaian lengkap seperti saat ia datang. Svaha berdiri dan menghampiri kekasihnya. “Mau ke mana?”

“Mau pulang,” jawab Cantra lugas.

“Kenapa? Bukannya kita—"

Cantra menunjukkan kedua telapak tangannya agar Svaha berhenti bicara dan tidak menghalanginya. “Dia membutuhkan teman. Aku harus pulang.”

“Tapi, bagaimana dengan—” Svaha yang kebingungan memeras simpul handuk di depan pusarnya.

Tapi Cantra sudah keburu pergi.

Tahu ada yang tidak beres, lelaki itu mencari Arkana ke kamar.

Dan benar, sahabatnya sudah berbaring di tempat tidur sambil memeluk botol araknya.

“Arkana, apa yang kamu katakan pada Cantra?” Svaha menepuk-nepuk pipi Arkana.

“Sva, Sva!”

Svaha terperanjat karena gelegar suara Laung memutus flashback dalam kepalanya. Pacar Arkana berdiri di tengah ruang tamu. Dadanya bidang, menutupi nyaris seperlima interior di belakangnya. Ia cukup tinggi jadi Svaha tak perlu menunduk untuk melihat wajahnya.

“Ya?” tanya Svaha panik.

“Arkana. Kamu tahu di mana dia?” Laung mengulang pertanyaannya.

“Apa kamu tidak punya ponsel?”

Lelaki satunya kebingungan dengan pertanyaan dari lawan bicaranya.

Svaha mengangkat alis, menegaskan maksud. “Apa kamu tidak bisa meneleponnya?”

“Kalau dia menjawab teleponku aku tidak akan ke sini.” Laung mulai kesal. “Bajumu terbalik.” Ia menambahkan.

Svaha memeriksa baju yang dipakainya, tiba-tiba ingat tentang Arkana membuat pipinya panas.

“Apa kalian bertengkar?” Cepat-cepat Svaha mengalihkan perhatiannya sendiri.

Kali ini Laung diam. Lelaki itu tertunduk, lalu dengan gerakan teatrikal ia duduk di sofa.

Svaha memijat pelipisnya.  Merasa panik. “Mau kuambilkan minum?”

“Terimakasih,” jawabnya, “tolong yang dingin. Dan irisan lemon kalau ada.”

Svaha memutar mata karena frustasi pada sikap Laung yang mulai menyebalkan. “Tunggu sebentar.” Ia berbalik untuk mengambilkan air.

Tapi, seseorang lagi menerobos masuk ke kamar itu. Derap kakinya berhenti tepat di tengah palang pintu.

“Laung.” Arkana memanggil pacarnya. Nafasnya terengah-engah.

Svaha tidak bisa berkata apa pun kecuali menonton drama percintaan yang sedang terjadi di sana.

Laung menengok untuk meyakinkan dirinya, bahwa yang datang adalah Arkana. “Dari mana kamu tahu aku di sini?”

Arkana melirik pada Svaha, menimbang-nimbang kalau kemunculannya yang tiba-tiba akan membuat mereka tertangkap basah. Svaha melotot padanya sambil menggeleng.

“Aku selalu tahu kamu di mana.” Arkana membual, ia menggamit tangan Laung kemudian mencium pipi lelaki itu.

Svaha mencibir dari tempatnya berdiri.

“Ya sudah, sekarang Arkana sudah muncul. Kalian pergilah dari sini.” Sesegera mungkin Svaha mengusir.

Laung keluar lebih dahulu setelah berpamitan. Sebelum menyusul kekasihnya, Arkana menghampiri Svaha.

“Aku akan segera kembali.”

“Aku tidak bisa, Cantra akan datang sebentar lagi.”

“Lalu kapan kita akan bicara?” Arkana mendesak.

“Nanti aku kabari. Oke?”

Lalu perempuan itu mengangguk, ia memeluk Svaha, kemudian mencium pipinya seperti yang biasa mereka lakukan sebelum berpisah.

Hanya, yang kali ini membuat pipi Svaha memerah.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elthea Boekoe
mau ngevote gak tau gimana caranya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status