Svaha dan Arkana berteman sejak kecil. Mereka berteman sejak keduanya tahu bahwa teman semestinya tidak saling membelakangi. Teman harus saling membela. Teman adalah yang paling bisa mengingatkan, mana perbuatan salah, mana perbuatan yang benar. Teman harusnya ada di saat susah dan tidak keberatan ketika kita ingin senang-senang sendiri. Teman adalah yang sepenanggungan. Svaha menanggung keluh sahabatnya, Arkana akan menanggung kesah milik Svaha.
Teman yang harus selalu tahu bahwa manusia tidak terlahir baik saja, atau buruk saja. Teman tahu kalau kebaikan adalah sebuah tujuan, karena semua orang ingin diperlakukan dengan baik.
Dan temannya, Arkana. Tidak pernah jadi orang lain. Perempuan itu tidak pernah menjadi Svaha, dan begitu juga sebaliknya. Arkana selalu menjadi dirinya sendiri.
Pertemuan mereka bermula ketika Svaha sudah tidak ingat lagi sejak kapan mereka bermain bersama. Mungkin di sekolah dasar. Atau sekolah menengah. Entah. Tapi ibu keduanya juga berteman (meski tidak jarang mereka beda pendapat dan saling memusuhi untuk beberapa hari). Sedang ayah, mereka sama-sama tidak punya.
Ayah Arkana meninggal dunia sudah lama. Dan ayahnya Svaha meninggalkan si ibu karena merasa belum siap jadi ayah. Menyakitkan. Tapi itu sudah lama sekali. Svaha bahkan sudah lupa pada wajah ayahnya.
Jadi, bisa dibilang kalau Arkana mencari sosok ayah dari lelaki yang ia pacari. Sementara Svaha, ia percaya bahwa perempuan lebih bisa bertanggung jawab soal perasaan. Ia tidak ingin menjadi lelaki yang sama seperti ayahnya.
Begitulah mulanya. Sampai sekarang tidak satu pun hal yang bisa mengganggu persahabatan mereka. Semuanya tulus, mulus—nyaris tanpa selisih paham. Mereka tidak rebutan pacar, tidak bersaing di kelas. Apalagi berebut makanan. Mereka bukan binatang liar. Mereka selalu berbagi.
Mereka tidak suka memperdebatkan hal-hal yang tidak relevan dan memilih untuk menyikapi semuanya dengan ringan. Mereka berkompromi. Bukannya hidup sudah cukup rumit? Dan punya teman akan membuat kerumitan itu sedikit berkurang.
Kecuali yang tadi malam. Ini pertama kalinya selama pertemanan mereka, Arkana benar-benar membuat lelaki seperti Svaha ngotot. Karena Svaha ingat kejadiannya. Dan flashback itu terus membayang di kepalanya.
Svaha baru saja habis mandi ketika Arkana mengetuk pintu kamar sewa.
“Kamu dengar itu?” tanya Cantra yang adalah pacar dari Svaha. Gadis itu berdiri tepat di depan Svaha. Sehelai handuk menutup tubuhnya yang kurus. Rambutnya beraroma shampoo dan masih basah.
Svaha berkonsentrasi. “Iya, mungkin kamar sebelah. Belakangan mereka bertengkar terus.” Lelaki itu menanggapi dengan cuek, kemudian menyingkirkan gumpalan rambut dan mencium leher kekasihnya.
“Tidak. Tunggu. Itu pintumu.” Cantra menyingkirkan bibir Svaha dari lehernya agar ia bisa mendengar lebih jelas.
Svaha menarik nafas dengan tidak sabar. “Kamu ingin aku memeriksanya? Bagaimana kalau itu Arkana?”
“Memangnya kenapa? Apa dia memberitahumu akan datang malam-malam? Apa kalian menyembunyikan sesuatu?” Cantra bertanya, ingin sekali bersikap biasa, tapi tidak bisa.
“Kamu cemburu padanya.” Svaha mengejek.
“Kalian terlalu dekat.” Cantra mengibas rambutnya. “Apa dia baik-baik saja? Apa kalian baik-baik saja?”
“Kami berteman dari kecil, tentu kami dekat.”
“Apa kamu menyukainya?”
Mulut Svaha berkedut. “Tidak,” jawabnya cepat. Menyembunyikan kegugupan. Svaha tidak pernah memikirkan hal tersebut sebelumnya.
“Jangan bohong.” Cantra memincingkan matanya. Ia amati wajah kekasihnya seperti catatan kaki dalam jurnal kesehatan.
Svaha memaksakan senyumnya. “Aku tidak akan merusak apa pun yang kami punya sekarang. Dan, kalau kami pacaran, Ibuku bisa ngamuk.”
Lalu Cantra mendengus, “Setidaknya dia harus bersikap baik padaku.”
“Dia sudah mencobanya.” Svaha menghibur.
“Tidak, dia tidak mencobanya sama sekali. Dia tidak pernah terlihat menghargaiku.”
“Karena dia Arkana. Dia bukan aku yang hobinya menjaga perasaan orang lain.”
“Oke. Sekarang buka pintunya. Dan bilang kamu sedang denganku.”
“Apa sebaiknya kita pura-pura tidak ada di kamar dan melanjutkan ini?” Svaha merayu lagi. Memeluk Cantra dan menciumi bahunya. Yang lelaki itu tahu, urusan dengan Arkana tidak akan pernah sebentar.
Lalu pintu diketuk semakin keras dan suara tangisnya mulai terdengar. Svaha dan Cantra saling memandang.
“Ah, aku akan buka pintunya,” kata lelaki itu plin-plan. Hanya khawatir. Bisa saja Arkana sedang terjebak dalam masalah besar. Arkana mungkin membutuhkan bantuan sahabatnya.
Tanpa pikir panjang Svaha mengambil sehelai handuk untuk menutupi badannya dan berlari ke pintu.
“Ada apa?”
Ketika pintu terbuka Arkana menghambur masuk tanpa satu pun jawaban keluar dari mulutnya. Bau alkohol menyibak udara, gadis itu duduk di sofa.
“Aku sedang dengan pacarku.” Merasa tak enak. Tapi, Svaha harus menjelaskan persis seperti yang diajarkan Cantra tadi.
“Temani aku minum.” Arkana terisak. Namun kalimatnya masih jelas. Dan memaksa.
Bahu Svaha mengendur, kemudian ia duduk di sebelah Arkana. “Apa kamu baik-baik?”
“Tentu saja tidak. Apa orang yang baik-baik saja bisa menangis sekencang aku?” Arkana menjawab sekaligus bertanya sambil mengeluarkan sebotol arak dari dalam tasnya. Kemudian ia berdiri dan berjalan sempoyongan ke dalam wilayah dapur untuk mencari gelas.
Sebentarnya Cantra keluar dengan pakaian lengkap seperti saat ia datang. Svaha berdiri dan menghampiri kekasihnya. “Mau ke mana?”
“Mau pulang,” jawab Cantra lugas.
“Kenapa? Bukannya kita—"
Cantra menunjukkan kedua telapak tangannya agar Svaha berhenti bicara dan tidak menghalanginya. “Dia membutuhkan teman. Aku harus pulang.”
“Tapi, bagaimana dengan—” Svaha yang kebingungan memeras simpul handuk di depan pusarnya.
Tapi Cantra sudah keburu pergi.
Tahu ada yang tidak beres, lelaki itu mencari Arkana ke kamar.
Dan benar, sahabatnya sudah berbaring di tempat tidur sambil memeluk botol araknya.
“Arkana, apa yang kamu katakan pada Cantra?” Svaha menepuk-nepuk pipi Arkana.
“Sva, Sva!”
Svaha terperanjat karena gelegar suara Laung memutus flashback dalam kepalanya. Pacar Arkana berdiri di tengah ruang tamu. Dadanya bidang, menutupi nyaris seperlima interior di belakangnya. Ia cukup tinggi jadi Svaha tak perlu menunduk untuk melihat wajahnya.
“Ya?” tanya Svaha panik.
“Arkana. Kamu tahu di mana dia?” Laung mengulang pertanyaannya.
“Apa kamu tidak punya ponsel?”
Lelaki satunya kebingungan dengan pertanyaan dari lawan bicaranya.
Svaha mengangkat alis, menegaskan maksud. “Apa kamu tidak bisa meneleponnya?”
“Kalau dia menjawab teleponku aku tidak akan ke sini.” Laung mulai kesal. “Bajumu terbalik.” Ia menambahkan.
Svaha memeriksa baju yang dipakainya, tiba-tiba ingat tentang Arkana membuat pipinya panas.
“Apa kalian bertengkar?” Cepat-cepat Svaha mengalihkan perhatiannya sendiri.
Kali ini Laung diam. Lelaki itu tertunduk, lalu dengan gerakan teatrikal ia duduk di sofa.
Svaha memijat pelipisnya. Merasa panik. “Mau kuambilkan minum?”
“Terimakasih,” jawabnya, “tolong yang dingin. Dan irisan lemon kalau ada.”
Svaha memutar mata karena frustasi pada sikap Laung yang mulai menyebalkan. “Tunggu sebentar.” Ia berbalik untuk mengambilkan air.
Tapi, seseorang lagi menerobos masuk ke kamar itu. Derap kakinya berhenti tepat di tengah palang pintu.
“Laung.” Arkana memanggil pacarnya. Nafasnya terengah-engah.
Svaha tidak bisa berkata apa pun kecuali menonton drama percintaan yang sedang terjadi di sana.
Laung menengok untuk meyakinkan dirinya, bahwa yang datang adalah Arkana. “Dari mana kamu tahu aku di sini?”
Arkana melirik pada Svaha, menimbang-nimbang kalau kemunculannya yang tiba-tiba akan membuat mereka tertangkap basah. Svaha melotot padanya sambil menggeleng.
“Aku selalu tahu kamu di mana.” Arkana membual, ia menggamit tangan Laung kemudian mencium pipi lelaki itu.
Svaha mencibir dari tempatnya berdiri.
“Ya sudah, sekarang Arkana sudah muncul. Kalian pergilah dari sini.” Sesegera mungkin Svaha mengusir.
Laung keluar lebih dahulu setelah berpamitan. Sebelum menyusul kekasihnya, Arkana menghampiri Svaha.
“Aku akan segera kembali.”
“Aku tidak bisa, Cantra akan datang sebentar lagi.”
“Lalu kapan kita akan bicara?” Arkana mendesak.
“Nanti aku kabari. Oke?”
Lalu perempuan itu mengangguk, ia memeluk Svaha, kemudian mencium pipinya seperti yang biasa mereka lakukan sebelum berpisah.
Hanya, yang kali ini membuat pipi Svaha memerah.
(Flashback)Laung baru saja masuk ke dalam mobil. Ia menutup pintunya dengan kasar. Lalu berpaling pada Arkana. Ia meneliti wajah pacarnya. Menelan ludahnya sekali, untuk menyembunyikan marah. Ia mencobanya. Tapi Arkana melihat mata yang tajam itu bersinar seperti akan memakan dirinya sebentar lagi. “Ke mana saja kamu?” Laung bertanya dengan nada suara yang rendah. Terlalu rendah untuk bisa dipastikan tujuannya. Arkana mengira-ngira apa si lelaki hanya sedang mengambil ancang-ancang untuk menerkamnya? Ia menghela nafas, menghadap ke depan. “Aku di rumah ibuku,” kata perempuan itu. “Tiba-tiba saja, kamu pergi ke rumah ibumu? Enam jam perjalanan? Bolak-balik?”“Tiba-tiba saja aku kangen ibuku. Lalu aku ke sana.”Laung memberi jeda sebentar sebelum mengangguk. Seperti sedang mendistraksi dirinya sendiri, ia menyalakan me
Yang barusan itu hampir saja, pikir Svaha. Setelah mobil Laung menghilang dari pekarangan kamar sewanya, Svaha mendudukkan diri di sofa dengan tarikan dan helaan nafas luar biasa panjang yang sepertinya cukup untuk menghabiskan kadar oksigen di dalam kamar itu. Diam-diam jemarinya yang terlalu lentik untuk seorang lelaki iseng menyentuh pipi—di sana, tempat Arkana biasa menciumnya sebelum mereka berpisah. Svaha bertanya-tanya kenapa hari ini jadi beda ketika sebelum pergi. Jangan-jangan ia sedang berharap pada Arkana. Svaha mungkin terlalu menganggap serius apa yang terjadi semalam. Saat mereka mabuk. Oh, tapi itu tidak boleh. “Mungkin aku hanya belum terbiasa. Belum? Berarti aku akan terbiasa? Aku tidak boleh berharap begitu. Bagaimana pun juga ada banyak sekali pengorbanan yang harus aku lakukan jika membiarkan perasaan ini hidup,” gumam Svaha pada dirinya sendiri. Svaha mengibaskan kepala. Ingat akan bajunya yang terbalik,
“Boo...” Arkana meniup telinga Svaha dari belakang ketika ia sedang membungkuk dengan tindak-tanduk mencurigakan di belakang pilar lorong kelasnya.Tidak. Ia tidak tersentak, atau kaget. Svaha hanya memberi jarak satu atau dua detik untuk menyadari keberadaan Arkana. Kemudian menegakkan tubuhnya dengan anggun. Berbalik dan menghadapi temannya.“Kaget?” tanya Arkana dengan nada riang.Svaha menggeleng. Tapi, wajahnya ketakutan—pucat seperti maniak yang baru saja kepergok mencuri celana dalam.“Siapa yang kamu hindari?” Arkana ikut menengok dari posisinya.“Tidak ada.”Arkana merasa curiga, ia memincingkan mata. Terbiasa memaklumi sikap Svaha yang aneh. Mereka berteman lama sekali. Jadi Arkana tahu kalau Svaha sedang ‘begini’, artinya sahabatnya itu sedang menghindarinya. Tentu saja.Sama seperti dulu itu. Ketika Arkana memergokinya bersikap mencurigakan.
Sayup-sayup gurau mahasiswa membaur bersama suara serangga musim panas. Pohon-pohon muda menari di luar jendela kelas mata kuliah Estetika. Burung-burung terbang dari atap ke dahan mencari-curi hangat di bawah terik matahari. Di bawahnya, di pojokan sebelah luar gedung, kucing liar mengais biji nasi yang tertinggal di kertas minyak. Sampah sarapan mahasiswa terpelajar miskin kesadaran. Yang mengira hanya dengan membayar uang SPP bersubsidi silang, maka mereka akan terbebas dari tanggung jawab soal kebersihan lingkungan. Svaha duduk terpekur dalam kotak kaca. Sebuah akuarium akademis, memikirkan dunia yang dinamis seperti jarum jam yang terus bergerak. “Ck, ck, ck,” bunyi konstan yang relatif. Kadang terasa cepat, seringnya terlalu lambat. Tarik menarik bersama kebosanan masal penghuni kelas. Sekali lagi Svaha mencoba memusatkan perhatian pada ibu dosen bertubuh pendek gemuk (tapi cantik dan terlihat baik) di depan kelas. Ia tangkupkan kedua tangan di pipi, lalu denga
Arkana sudah setengah mabuk ketika jari-jari panjang yang super dingin itu menancap di bahunya. Gadis itu reflek berbalik, hampir berteriak. Ia menginjak sepatu penangkapnya. Mereka terjungkal ke belakang. Lalu keduanya cekikikan.“Sva, kamu membuatku kaget,” omel Arkana ketika tubuh jangkung Svaha masih melintang di atasnya. Rambut hitam yang biasa ia sisir ke belakang terurai. Ujungnya hampir menyentuh wajah Arkana. Kedua tangan lelaki itu bertumpu di tanah membentuk penjara berpilar dua. Mengurung Arkana di antaranya. Lalu Svaha cepat-cepat berdiri sambil menepuk-nepuk paha celananya dengan dua tangan.“Aku sudah merasa keren tadi, tapi adegan jatuh benar-benar tidak ada di sekenario.” Svaha berkelakar, menunggu Arkana berdiri. Sekali lagi ia menangkap lengan Arkana dan memojokkan tubuh gadis di depannya ke batang pohon terdekat.“Tertangkap,” kata lelaki itu.“Haha.” Arkana menggumamkan tawa lalu menghel
Tumpukan kayu dalam api unggun berkeretak. Remah-remah api memercik terbawa angin ke udara. Bulan purnama tergambar di langit biru tua. Sementara permukaan danau berkilau, airnya bergulung lembut. Menghantar sejuk yang menggigit. Para pelaku permainan Buronan berkumpul membentuk koloni seperti sejumput semut yang sedang rapat kalau dilihat dari atas. Cahaya merah memantul di wajah mereka. Memberi kesan misterius yang menyenangkan. Menggairahkan. Cantra duduk di sebelah Svaha, mulutnya berbau asam alkohol, bibirnya mengkilat. Ia tidak banyak bicara. Ia menikmati situasi pesta sambil sesekali mengisi gelas kekasihnya dengan minuman yang sulit dieja namanya. “Apa kamu menikmati pestanya?” Ia memastikan Svaha masih nyaman berada di tempat ini. Svaha mengangguk, mengelus punggung telanjang Cantra agar gadis itu percaya. Punggung itu kering dan dingin. “Aku memikirkan apa yang terjadi di hutan tadi,” gumam Cantra. Cahaya api dan bintang terefleksi d
Arkana memaksa diri untuk bangun, saat ia bermimpi tentang salah satu murid ibunya; seorang anak nakal menendangi kepalanya sampai benjol. Dan saat sudah yakin bahwa secara fisik dirinya sudah terbangun, benjol itu seperti bersarang, nyerinya berkedutan. Arkana melenguh jengkel.Ia mengusap wajah. Masih dalam posisi rebahan gadis itu membuka mata. Mendapati musuh besarnya sudah duduk di tepi tempat tidur, sambil mengumbar senyum. Arkana tersentak sambil mendudukkan diri. Kepalanya terasa makin sakit.Sikap Cantra yang aneh membuat Arkana gugup. “Apa maumu, Cantra?”“Mari kita mulai dengan selamat pagi. Apa kamu tahu ini di mana?”Arkana tahu. Tapi ia memilih untuk melihat ke sekitar sebelum mengangguk.“Bagus. Jadi semalam kamu tidak sepenuhnya mabuk.” Cantra mengulurkan segelas air dingin dan sebutir penghilang rasa sakit. Untuk sakit yang menendang kepala Arkana.“Kamu mengira aku mabuk untuk menca
Svaha ingat, terakhir kali Arkana memagari hatinya dengan membuat tembok yang tinggi adalah lima tahun yang lalu.Waktu itu umur mereka empat belas atau lima belas tahun. Sore yang cerah dan warnanya kemerahan tumpah di halaman belakang rumah keluarga Kana yang mulai sesak karena tamu undangan juga properti untuk acara ulang tahun si putri tunggal.Arkana berputar-putar di antara para tamu undangan dengan gaun berwarna hijau tosca, bertukar antara sapa dan bingkisan. Svaha yang sudah sejak dua jam di sana benar-benar tak punya ide saat teman baiknya bertanya bagaimana warna tosca terlihat di kulitnya.“Itu tetap berwarna tosca,” jawab anak lelaki itu. Gaun panjang Arkana menyeret di rumput seperti kain pel dan entah kenapa suara gesekannya memuaskan mata dan telinga Svaha kecil.Pekarangan rumah keluarga Kana nampak asri. Tidak begitu besar, tapi terlalu luas untuk dikatakan sempit. Ayah Arkana adalah lelaki yang cukup sukses. Setelah ia