(Flashback)
Laung baru saja masuk ke dalam mobil. Ia menutup pintunya dengan kasar. Lalu berpaling pada Arkana.
Ia meneliti wajah pacarnya. Menelan ludahnya sekali, untuk menyembunyikan marah. Ia mencobanya. Tapi Arkana melihat mata yang tajam itu bersinar seperti akan memakan dirinya sebentar lagi.
“Ke mana saja kamu?” Laung bertanya dengan nada suara yang rendah. Terlalu rendah untuk bisa dipastikan tujuannya.
Arkana mengira-ngira apa si lelaki hanya sedang mengambil ancang-ancang untuk menerkamnya? Ia menghela nafas, menghadap ke depan. “Aku di rumah ibuku,” kata perempuan itu.
“Tiba-tiba saja, kamu pergi ke rumah ibumu? Enam jam perjalanan? Bolak-balik?”
“Tiba-tiba saja aku kangen ibuku. Lalu aku ke sana.”
Laung memberi jeda sebentar sebelum mengangguk. Seperti sedang mendistraksi dirinya sendiri, ia menyalakan mesin mobil.
Semula Arkana pikir masalah mereka sudah selesai.
“Tapi kamu harusnya bilang padaku!” Laung berteriak. Memukul-mukul kemudi seperti sedang kesetanan. Rambutnya terguncang, seperti badannya.
Arkana terkesiap. Kaget dan ketakutan pada saat yang sama. “Aku minta maaf. Oke? Jangan marah.” Ia membujuk. Mencoba mengambil hati Laung dengan bersandar pada bahunya yang kekar. “Aku minta maaf.”
Laung tidak bergerak. Arkana mendongakkan kepala, mencium pipi Laung yang kasar karena belum bercukur. “Ayo kita pulang.”
Masih tak bersuara, kini Arkana mengusap dada lelaki itu.
“Lain kali, kalau kamu akan pulang ke rumah ibumu, bilang padaku. Aku tak keberatan mengantarmu.”
Arkana mengangguk. Ia ingin pertengkaran ini cepat berlalu.
Laung mencium kening gadisnya, kemudian bibirnya sebentar, sebelum ia berubah pikiran.
“Kita pulang ke rumahku.”
Arkana segera mengiyakan, memasang sabuk pengaman dan duduk dengan tenang sampai mereka sampai di rumah besar itu.
Pohon-pohon bergerak seperti roll film dalam proyektor kuno. Menjauh ke belakang dalam kebisuan mereka berdua. Laung memusatkan seluruh perhatiannya ke jalan. Ia tidak mengumpat pada orang-orang di jalan seperti yang biasa ia lakukan.
Ia sedang menghukum Arkana dengan sikapnya yang terlalu diam. Sampai mobilnya memasuki gerbang rumah. Laung turun dari mobil, menunggu Arkana untuk segera membuka pintu. Lalu dia memapah tangan gadisnya masuk ke dalam rumah.
“Mana orang tuamu?” tanya Arkana untuk membuka percakapan.
“Sudah berangkat kerja,” jawabnya cepat, “atau keluar kota.”
Ini pertama kalinya Arkana dibawa kemari, ia memindai rumah Laung dengan tatapan kagum. Duduk di sofa ruang tamunya yang megah. Arkana percaya kalau pacarnya kaya, tapi tidak mengira kalau sekaya ini.
“Kita ke kamar saja, atau kamu mau sarapan dulu?” Kini Laung merubah intonasinya jadi lebih lembut.
Arkana tersenyum. “Aku lapar sekali. Mungkin kita sarapan dulu?”
Laung menunduk sedikit untuk menatap Arkana. “Nanti, kita sarapan nanti saja.” Ia mengusap pipi Arkana. Lalu menarik tangan gadis itu naik tangga, menuju kamarnya.
Arkana mengikuti dengan patuh. Mengatur nafas untuk naik ke tangga itu. Laung mendudukkannya di tepi tempat tidur. Kemudian membuka jaket Arkana. Menatanya di capstok dekat pintu. Lalu lelaki itu menanggalkan bajunya juga.
“Hm, Laung!” Ragu-ragu Arkana memanggil.
Laung mendekat. Duduk di sebelah pacarnya dengan dada yang sudah telanjang. Ia menciumi leher Arkana.
Gadis itu menjauh. “Aku tidak mau.”
“Kita sudah pacaran enam bulan.” Suaranya parau. Laung meneruskan kecupannya.
“Aku tahu, tapi bukan berarti aku mau melakukannya. Aku belum siap Laung. Mungkin beberapa bulan lagi.” Telapak tangan Arkana menangkup di wajah tirus lelakinya, membelai tulang pipi itu dengan lembut. “Kita bisa melakukannya lain kali. Aku lelah Laung, lagi pula aku lapar.”
Laung mengerjap. Lalu mengangguk seolah mengerti. Arkana yang cepat percaya menghela nafas lega. Berpikir masalah ini terselesaikan dengan mudah, barangkali untuk sementara.
Sayang, yang lelaki itu lakukan selanjutnya malah terbalik. Ia mendorong pacarnya. Membuka kait celana jeansnya.
Arkana menolak. Didorongnya Laung dengan kaki.
Laung menggigit bibirnya. Semakin penasaran. Dipikirnya gadis malang itu sedang jual mahal.
“Kita harus bicara, Laung.” Arkana duduk kembali.
Bahu Laung naik turun. “Kita bisa bicara nanti.”
Pacarnya menggeleng. “Sekarang.”
“Apa kamu ingin kita putus?”
“Bukan begitu,” jawab Arkana. Gadis itu kebingungan, harus memulai dari mana.
“Kalau begitu bagus,” kata si lelaki dingin, “sekarang buka bajumu sebelum aku merobeknya.” Rahangnya mengeras.
“Laung, aku belum pernah melakukannya.”
“Atau kamu tidak ingin aku tahu kalau kamu sudah melakukannya.”
Kalimat itu sulit dipercaya. Arkana membuka mulutnya, “Wow, apa itu Laung?”
“Kamu berselingkuh mungkin? Atau kamu sebenarnya tidak mau aku tahu kalau kamu sudah pernah melakukannya dengan orang lain. Jadi kamu tidak mau melakukannya denganku.” Laung mondar-mandir. Spekulasi di kepalanya melayang-layang seperti kabut tak kasat mata. “Atau, kamu dan Svaha…”
“Laung,” panggil Arkana, tapi lelaki itu tidak mau menoleh.
Arkana tahu benar kalau pembicaraan ini akan percuma. Jadi ia memutuskan, “Kalau begitu aku pergi.” Arkana berdiri, mengambil jaketku dan memakainya. “Kalau kamu pikir begitu Laung, anggap saja begitu. Lain kali kalau kamu sudah bisa membuang pikiran tidak masuk akalmu. Baru kita bicara.” Ia menuju pintu hendak membukanya. Laung tidak menghalangi sama sekali. Ia hanya memandang lawan bicaranya.
Sayang, Arkana tidak bisa membuka pintu itu. Laung mengunci pintunya. Dan kuncinya tidak ada di sana. Itu kenapa Laung begitu tenang, ia tidak bereaksi.
Arkana berbalik lagi. “Buka. Aku mau pulang.” Ia berusaha sekali untuk tidak tersulut kemarahan. Semua hal bisa dibicarakan dengan baik. Pikirnya.
Laung menepuk tepi tempat tidur. Menyuruh kekasihnya duduk. Arkana menolak.
“Duduk dulu. Kalau mau kubukakan pintunya.”
Sekian detik berlalu dengan lamban. Akhirnya Arkana menyerah. Ia duduk di sebelah Laung. “Apa yang kamu mau, Laung?” tanya Arkana sambil menyabar-nyabarkan diri.
Laung mengusap dagunya. Setelah helaan nafas ia akhirnya bicara, “Temani aku tidur.”
“Tidur? Ini masih pagi, Laung.”
“Aku belum tidur. Aku mencarimu semalaman. Ini hari libur.”
Arkana menatapnya lekat. “Baiklah. Tapi aku butuh ke kamar mandi dahulu.”
Laung mengangguk. Ia berdiri, mengambil kunci di kantong celananya dan membukakan pintu kamarnya untuk Arkana.
Arkana melangkah ke luar, Laung mengikuti di belakang.
“Beritahu saja di mana letak kamar mandimu.”
Setelah itu Laung berhenti, menunjuk ke ujung lorong.
Gadis itu menyusuri lorong lantai dua, masuk ke dalam kamar mandi. Setelah menutup pintu cepat-cepat ia mengeluarkan ponsel dan menyalakannya. Sambil menelepon Arkana menyalakan keran agar Laung tidak curiga.
“Sial,” katanya.
Satu-satunya bantuan yang ia harapkan tidak bisa diandalkan. Svaha tidak mengangkat telepon. Arkana belum menyerah, ia mencoba sekali lagi. Dan lagi. Svaha tetap tidak menjawab. Gadis itu mendongak seolah jawaban akan segera menjemputnya dari langit-langit kamar mandi.
“Oke, Arkana. Sekarang bagaimana kalau kamu menyelamatkan dirimu sendiri?” Gadis itu bertanya pada pantulan wajahnya di cermin.
Sekali lagi Arkana mencuci muka, pelan-pelan ia membuka pintu kamar mandi. Berjinjit melewati kamar Laung menuju tangga. Semuanya berjalan baik. Sialnya, Laung sudah menunggu. Ia duduk di anak tangga ke tiga.
“Tidak secepat itu,” katanya. Lelaki itu menyeringai seperti serigala.
Arkana mundur, berlari.
Si lelaki mengejar. Menangkap gadis itu segera, mendorong tubuhnya ke tembok hingga kepala Arkana pusing karena terbentur.
“Kamu mengasariku.”
“Kamu mencoba kabur.”
“Kamu psikopat!”
Laung terkikik geli, “Aku bisa dengan cara yang lembut. Tapi kamu menolakku. Kamu membuatku melakukan ini.” Laung mengangkat tangannya. Sebuah gunting kain besar tersangkut di sana, sebentar lagi dia akan memotong baju Arkana. Atau menusuk pacarnya.
“Oke. Oke,” kata Arkana, sambil menahan panik. Ia mengangkat kedua tangannya yang gemetar ke udara.
Laung tersenyum senang.
Arkana kembali ke kamar Laung seperti tawanan. Laung mengikuti dari belakang. Sebelum naik ke tempat tidur lelaki itu keburu memeluk Arkana dari belakang. Membuka kait celananya. Menurunkannya cepat-cepat.
Arkana mencicit karena kaget. Ia berusaha mempertahankan diri. Tapi Laung seperti sudah terbiasa melakukannya. Gadis itu menyerah. Setelahnya. Arkana menutup mata saja. Membiarkan pacarnya merubah diri jadi monster dan melakukan apa yang dia mau.
Arkana mengibas-ngibaskan kepala agar ingatan buruk tersebut segera hilang dan berhenti mengganggunya. “Aku bisa saja melaporkanmu ke polisi, Laung!” ancamnya setelah keluar dari kamar sewa Svaha, “atas semua yang kamu lakukan kemarin padaku.”
“Kamu tidak akan melakukannya.” Laung berkata yakin.
“Aku bisa melakukannya.”
“Mau bilang apa kamu pada mereka? Pacar saya memperkosa saya? Bagaimana kalau mereka malah tertawa?” Laung sengaja mengubah suaranya untuk menghina Arkana.
Arkana tercekat, “Svaha akan percaya padaku.”
“Dia percaya padamu. Tapi dia bukan polisi. Dan, dia tidak ada di sana.” Laung memeluk pacarnya dari belakang. “Aku pacarmu. Kamu milikku. Aku tidak akan menyakitimu. Asal kamu tidak bandel.”
Laung menuntun Arkana ke dalam mobilnya. Sebelum menyalakan mesin dan pergi, ia mencium kening gadisnya. Dari tempat Arkana duduk, ia melihat Svaha mengintip dari jendela kamar sewanya.
Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida
Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari
Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu
Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama
Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran