Share

Diam-diam Cinta
Diam-diam Cinta
Penulis: Carolina Ajeng

1

“Bukan, Sva. Bukan begitu ceritanya!” Ini sudah ketiga kalinya Arkana berteriak tentang hal yang sama. Kalau bukan begitu cerita yang sebenarnya, yang terjadi semalam.

Menurut Arkana, Svaha ada benarnya. Tapi tidak sepenuhnya. Kemudian dalam kepalanya reka ulang adegan semalam muncul kembali.

Malam kemarin Arkana datang, mengetuk pintu kamar sewa Svaha. Dia ingat, pada waktu itu langit sudah mulai gelap. Angin bertiup pelan-pelan, menjilat tengkuknya yang berkeringat dan kepanasan. Tanpa rasa malu ia membiarkan suara tangisnya menggelegar. Bisa saja membangunkan penghuni kamar yang lain. Mungkin mereka sempat berpikir kalau Arkana adalah sekelebat hantu penasaran yang konon menghuni area dekat sini. Yang pada malam tertentu berpatroli keliling desa sambil menangis minta dicarikan kepalanya yang hilang.

Tapi, gadis itu tidak perduli. Dadanya sesak, kepalanya sudah terlalu pening karena minum setengah botol arak sendirian dalam waktu yang cepat. Arkana masih menyimpan sebotol lagi di dalam tas kuliahnya. Kalau-kalau Svaha sahabatnya itu mau membukakan pintu untuknya, dan mendengarkan ceritanya.

Sempat Arkana membentur-benturkan kepala ke permukaan kayu untuk sekedar mengisi waktu. Bunyinya lumayan keras. Cukup untuk membuat benjol kalau dilakukan secara konstan. Tapi karena tindakan itu membikin seluruh anatomi di dalam tengkoraknya bergetar sampai mau pecah, ia memutuskan untuk berhenti. Dan kembali menggunakan cara mengetuk konvensional yang kepurbaan. Menggunakan kepalan tangan.

Setelah akhirnya teman baiknya itu membukakan pintu. Arkana menerobos masuk tanpa bertanya dulu. Ada siapa di sana? Apa ada pacarnya? Karena setelah perempuan itu duduk di sofa, ia baru sadar kalau Svaha hanya mengenakan selembar handuk merah muda. Rambutnya basah dan dadanya telanjang.

“Ya ampun, Arkana. Sudah kubilang, itu yang sebenarnya!” suara lelaki itu membawa Arkana kembali ke masa kini, “aku tidak mungkin berbohong. Kita bersahabat dari kecil, kamu tahu kalau aku tak suka menyembunyikan rahasia di antara kita berdua. Ya, kan? Sekarang bagaimana?” tanya Svaha panik.

Sudah lima belas menit sejak bangun, Svaha mondar-mandir di sebelah tempat tidurnya dengan resah. Ia pakai bajunya terburu-buru sampai-sampai dirinya tak sadar kalau baju itu terbalik. Tapi, Arkana tidak bilang apa pun soal itu, ia khawatir diskusi mereka akan melenceng seperti yang sering terjadi.

Arkana tidak menjawab. Gadis itu hanya memandangi tindak-tanduk sahabatnya sambil menggigiti kutikula. Tidak percaya kalau dia dan Svaha bisa melangkah sejauh itu.

“Apa yang harus kukatakan pada pacarmu? Apa yang harus aku katakan pada pacarku?” Svaha sebenarnya tidak jauh berbeda dari Arkana. Ia mengulang hal yang sama bahkan lebih dari tiga kali.

Yang sangat mengganggu mereka pagi ini, adalah fakta bahwa ketika terbangun, tidak satu pun kain menempel di badan keduanya. Tidak satu pun. Tidak selimut, tidak pakaian dalam, tidak satu pun!

Tentu saja saat terbangun mereka langsung merasa malu, adegannya nyaris sama seperti film remaja komersil yang punya rating tinggi. Dan menurut Arkana, (ia yakin Svaha setuju) ini lebih buruk dari yang ditampilkan televisi. Lalu, sejak itu mereka mulai saling menuduh.

“Kamu yang memulai,” tuduh Arkana, “karena kamu seorang lelaki!”

Svaha tidak terima, “Oh, setelah pertemanan kita selama ini, kamu menghakimiku? Begitu pikirmu selama ini? Aku melakukannya padamu karena aku lelaki? Coba kamu pikir kenapa aku harus menunggu sampai tadi malam? Kenapa aku tidak memanfaatkanmu sejak dulu?” Svaha kehabisan nafas, ia berhenti sebentar. “Ingat ini, kamu datang sudah dalam keadaan mabuk, Arkana. Dan—dan mungkin Laung bukan lelaki yang bisa memuaskanmu!”

Arkana menggaruk pelipisnya, seolah gerakan itu bisa memutar otak dan membuatnya lebih pintar berkilah, “Hubungan seksual saat mabuk itu hanya mitos, Svaha. Kamu tidak mabuk, pasti kamu yang memulainya.”

“Dengar sekali lagi. Kamu datang, kamu mengusir pacarku.”

“Pacarmu ngambek. Lalu dia pergi.”

“Bukan itu intinya. Pacarku pergi, lalu kamu bicara banyak sekali. Aku minum, kamu minum. Kita mabuk.” Svaha bicara cepat sekali sambil mengacung-acungkan telunjuk.

Stop!

“Dengar dulu, aku ingat kok.”

Lalu suara ketukan pintu membuat nafas mereka tertahan.

“Pacarmu?” tanya Arkana pada Svaha.

Mungkin kekasih Svaha sudah tidak marah, jadi ia kembali untuk menyelesaikan yang tadi malam. Apa pun itu yang mereka lakukan tadi malam.

Svaha berjalan ke arah pintu dan mengintip dari kisi-kisi jendela. Terburu-buru lelaki itu kembali. “Laung,” ujarnya. Ia mengambil semua baju Arkana yang masih berserak di lantai, menggulungnya sembarangan dan membawanya dengan satu tangan, yang lain ia gunakan untuk menyeret tangan gadis itu ke luar dari pintu belakang.

“Ini yang harus kamu ketahui, Arkana. Aku menghormatimu dan hubunganmu dengan Laung, sekarang kamu keluar dari sini.” Svaha berbisik.

“Tapi pembahasan ini belum selesai,” kata Arkana, semua gadis membutuhkan kepastian.

“Nanti, nanti kita selesaikan. Aku tidak mungkin pura-pura tidak ada di kamar.”

“Sva,” panggil Laung dari seberang pintu.

Arkana dan Svaha bertatapan, yang perempuan menggeleng agar sahabatnya tidak menyahut.

“Ya!”

“Bodoh.” Arkana mengumpat ke wajah Svaha.

“Aku bukan pembohong. Sana cepat.” Lalu Svaha menutup pintu. Ia biarkan Arkana di luar dengan baju yang belum terpakai. Syukurnya tembok belakang kos Svaha cukup tinggi, jadi mustahil penghuni bangunan lain akan mengintip atau melihat drama ini. Kecuali, kecuali kalau tetangga sebelah kamarnya kebetulan membuka pintu belakang.

Arkana dan Svaha sudah berteman sejak sekolah dasar. Ibunya Arkana berteman dengan ibunya Svaha. Bisa dikatakan berteman baik. Meski demikian mereka pun sering saling menggosip satu sama lain. Kadang mereka bertengkar atau saling merajuk dan seperti jentikan jari mereka berbaikan.

Sementara Arkana dan Svaha tidak terpisahkan. Sampai hari ini, mereka tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas yang sama.

Svaha adalah kunci kebebasan bagi Arkana, apa pun yang atas nama Svaha ibunya Arkana akan mengijinkan. Karena Svaha adalah anak lelaki yang pintar juga santun. Dan selamanya akan demikian untuk ibunya Arkana. Satu lagi, mereka berdua sama-sama tidak punya bapak.

Bisa dikatakan, sebagai mahluk dalam sebuah ekosistem universal, mereka tidak memiliki predator. Simbiosis mereka terjadi di atas angin. Meski kata orang tidak mungkin ada mutualisme di antara mahluk mars dan venus kecuali cinta, nampaknya itu anomali untuk mereka. Tidak ada yang pernah mengancam persahabatan mereka.

Mereka tidak mungkin berebut pacar. Tentu saja, mereka juga tidak berpacaran. Mereka berdua tidak berebut jabatan di grup ekstrakurikuler atau Unit Kegiatan Mahasiswa. Karena Arkana menyukai olahraga dan Svaha, lelaki itu tidak suka apa pun selain mendengarkan musik dan membaca. Juga perempuan cantik.

Tidak juga mereka pernah punya masalah yang ada hubungannya soal perasaan. Tidak ada drama. Berpacaran akan membuat semuanya semakin rumit. Itu kenapa mereka tidak melakukannya. Mereka tidak mau memikirkannya. Meski seluruh kampus pernah curiga tentang hubugan antara keduanya, gosip itu segera berakhir ketika Arkana berkencan dengan kapten Unit Kegiatan Mahasiswa Voli, Laung.

Memang awalnya Svaha tidak setuju dengan hubungan itu. Arkana dan Laung maksudnya. Meski belum jelas alasannya, tapi pada akhirnya Svaha memutuskan untuk menghormati pilihan Arkana. Arkana tidak bisa lebih berterimakasih pada Tuhan mengenai itu.

Karena itu juga terjadi pada Arkana. Gadis itu terobsesi dengan citranya sebagai teman yang baik. Ia tidak menghakimi Svaha karena lelaki itu memacari perempuan kaya yang paling populer, Cantra. Lagipula kenapa Arkana harus? Bukankah bagus kalau mereka bisa menyayangi orang lain tanpa memandang siapa dan apa bentuk itunya? Laki-laki dan perempuan itu sama saja, ada yang menyebalkan ada yang tukang gosip. Sama saja pokoknya.

Memang awalnya begitu menakutkan bagi Arkana. Tapi kalau memang punya seorang teman lelaki itu mengerikan, Svaha malah sebaliknya. Dia selalu ada di sana kalau Arkana patah hati, dia selalu ada kalau Arkana butuh pinjam uang. Kalau Svaha mau mencelakai perempuan itu, dia punya banyak kesempatan dari dulu.

Nah, yang tadi malam, Arkana kurang tahu. Dia datang dalam keadaan sedih. Arkana sedang mabuk. Arkana tahu dialah yang memaksa sahabatnya untuk minum. Dan bukan salah Svaha, karena minum alkohol membuat orang mabuk.

Sampai di sana, Arkana memutuskan untuk menunggu waktu yang baik agar bisa mengobrol soal ini dengan Svaha. Karena baginya, tidak boleh ada apa pun yang membuat hubungan persahabatan mereka selesai. Tidak semudah itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Elthea Boekoe
celingak celinguk nyari Helena ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status