“Bukan, Sva. Bukan begitu ceritanya!” Ini sudah ketiga kalinya Arkana berteriak tentang hal yang sama. Kalau bukan begitu cerita yang sebenarnya, yang terjadi semalam.
Menurut Arkana, Svaha ada benarnya. Tapi tidak sepenuhnya. Kemudian dalam kepalanya reka ulang adegan semalam muncul kembali.
Malam kemarin Arkana datang, mengetuk pintu kamar sewa Svaha. Dia ingat, pada waktu itu langit sudah mulai gelap. Angin bertiup pelan-pelan, menjilat tengkuknya yang berkeringat dan kepanasan. Tanpa rasa malu ia membiarkan suara tangisnya menggelegar. Bisa saja membangunkan penghuni kamar yang lain. Mungkin mereka sempat berpikir kalau Arkana adalah sekelebat hantu penasaran yang konon menghuni area dekat sini. Yang pada malam tertentu berpatroli keliling desa sambil menangis minta dicarikan kepalanya yang hilang.
Tapi, gadis itu tidak perduli. Dadanya sesak, kepalanya sudah terlalu pening karena minum setengah botol arak sendirian dalam waktu yang cepat. Arkana masih menyimpan sebotol lagi di dalam tas kuliahnya. Kalau-kalau Svaha sahabatnya itu mau membukakan pintu untuknya, dan mendengarkan ceritanya.
Sempat Arkana membentur-benturkan kepala ke permukaan kayu untuk sekedar mengisi waktu. Bunyinya lumayan keras. Cukup untuk membuat benjol kalau dilakukan secara konstan. Tapi karena tindakan itu membikin seluruh anatomi di dalam tengkoraknya bergetar sampai mau pecah, ia memutuskan untuk berhenti. Dan kembali menggunakan cara mengetuk konvensional yang kepurbaan. Menggunakan kepalan tangan.
Setelah akhirnya teman baiknya itu membukakan pintu. Arkana menerobos masuk tanpa bertanya dulu. Ada siapa di sana? Apa ada pacarnya? Karena setelah perempuan itu duduk di sofa, ia baru sadar kalau Svaha hanya mengenakan selembar handuk merah muda. Rambutnya basah dan dadanya telanjang.
“Ya ampun, Arkana. Sudah kubilang, itu yang sebenarnya!” suara lelaki itu membawa Arkana kembali ke masa kini, “aku tidak mungkin berbohong. Kita bersahabat dari kecil, kamu tahu kalau aku tak suka menyembunyikan rahasia di antara kita berdua. Ya, kan? Sekarang bagaimana?” tanya Svaha panik.
Sudah lima belas menit sejak bangun, Svaha mondar-mandir di sebelah tempat tidurnya dengan resah. Ia pakai bajunya terburu-buru sampai-sampai dirinya tak sadar kalau baju itu terbalik. Tapi, Arkana tidak bilang apa pun soal itu, ia khawatir diskusi mereka akan melenceng seperti yang sering terjadi.
Arkana tidak menjawab. Gadis itu hanya memandangi tindak-tanduk sahabatnya sambil menggigiti kutikula. Tidak percaya kalau dia dan Svaha bisa melangkah sejauh itu.
“Apa yang harus kukatakan pada pacarmu? Apa yang harus aku katakan pada pacarku?” Svaha sebenarnya tidak jauh berbeda dari Arkana. Ia mengulang hal yang sama bahkan lebih dari tiga kali.
Yang sangat mengganggu mereka pagi ini, adalah fakta bahwa ketika terbangun, tidak satu pun kain menempel di badan keduanya. Tidak satu pun. Tidak selimut, tidak pakaian dalam, tidak satu pun!
Tentu saja saat terbangun mereka langsung merasa malu, adegannya nyaris sama seperti film remaja komersil yang punya rating tinggi. Dan menurut Arkana, (ia yakin Svaha setuju) ini lebih buruk dari yang ditampilkan televisi. Lalu, sejak itu mereka mulai saling menuduh.
“Kamu yang memulai,” tuduh Arkana, “karena kamu seorang lelaki!”
Svaha tidak terima, “Oh, setelah pertemanan kita selama ini, kamu menghakimiku? Begitu pikirmu selama ini? Aku melakukannya padamu karena aku lelaki? Coba kamu pikir kenapa aku harus menunggu sampai tadi malam? Kenapa aku tidak memanfaatkanmu sejak dulu?” Svaha kehabisan nafas, ia berhenti sebentar. “Ingat ini, kamu datang sudah dalam keadaan mabuk, Arkana. Dan—dan mungkin Laung bukan lelaki yang bisa memuaskanmu!”
Arkana menggaruk pelipisnya, seolah gerakan itu bisa memutar otak dan membuatnya lebih pintar berkilah, “Hubungan seksual saat mabuk itu hanya mitos, Svaha. Kamu tidak mabuk, pasti kamu yang memulainya.”
“Dengar sekali lagi. Kamu datang, kamu mengusir pacarku.”
“Pacarmu ngambek. Lalu dia pergi.”
“Bukan itu intinya. Pacarku pergi, lalu kamu bicara banyak sekali. Aku minum, kamu minum. Kita mabuk.” Svaha bicara cepat sekali sambil mengacung-acungkan telunjuk.
“Stop!”
“Dengar dulu, aku ingat kok.”
Lalu suara ketukan pintu membuat nafas mereka tertahan.
“Pacarmu?” tanya Arkana pada Svaha.
Mungkin kekasih Svaha sudah tidak marah, jadi ia kembali untuk menyelesaikan yang tadi malam. Apa pun itu yang mereka lakukan tadi malam.
Svaha berjalan ke arah pintu dan mengintip dari kisi-kisi jendela. Terburu-buru lelaki itu kembali. “Laung,” ujarnya. Ia mengambil semua baju Arkana yang masih berserak di lantai, menggulungnya sembarangan dan membawanya dengan satu tangan, yang lain ia gunakan untuk menyeret tangan gadis itu ke luar dari pintu belakang.
“Ini yang harus kamu ketahui, Arkana. Aku menghormatimu dan hubunganmu dengan Laung, sekarang kamu keluar dari sini.” Svaha berbisik.
“Tapi pembahasan ini belum selesai,” kata Arkana, semua gadis membutuhkan kepastian.
“Nanti, nanti kita selesaikan. Aku tidak mungkin pura-pura tidak ada di kamar.”
“Sva,” panggil Laung dari seberang pintu.
Arkana dan Svaha bertatapan, yang perempuan menggeleng agar sahabatnya tidak menyahut.
“Ya!”
“Bodoh.” Arkana mengumpat ke wajah Svaha.
“Aku bukan pembohong. Sana cepat.” Lalu Svaha menutup pintu. Ia biarkan Arkana di luar dengan baju yang belum terpakai. Syukurnya tembok belakang kos Svaha cukup tinggi, jadi mustahil penghuni bangunan lain akan mengintip atau melihat drama ini. Kecuali, kecuali kalau tetangga sebelah kamarnya kebetulan membuka pintu belakang.
Arkana dan Svaha sudah berteman sejak sekolah dasar. Ibunya Arkana berteman dengan ibunya Svaha. Bisa dikatakan berteman baik. Meski demikian mereka pun sering saling menggosip satu sama lain. Kadang mereka bertengkar atau saling merajuk dan seperti jentikan jari mereka berbaikan.
Sementara Arkana dan Svaha tidak terpisahkan. Sampai hari ini, mereka tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas yang sama.
Svaha adalah kunci kebebasan bagi Arkana, apa pun yang atas nama Svaha ibunya Arkana akan mengijinkan. Karena Svaha adalah anak lelaki yang pintar juga santun. Dan selamanya akan demikian untuk ibunya Arkana. Satu lagi, mereka berdua sama-sama tidak punya bapak.
Bisa dikatakan, sebagai mahluk dalam sebuah ekosistem universal, mereka tidak memiliki predator. Simbiosis mereka terjadi di atas angin. Meski kata orang tidak mungkin ada mutualisme di antara mahluk mars dan venus kecuali cinta, nampaknya itu anomali untuk mereka. Tidak ada yang pernah mengancam persahabatan mereka.
Mereka tidak mungkin berebut pacar. Tentu saja, mereka juga tidak berpacaran. Mereka berdua tidak berebut jabatan di grup ekstrakurikuler atau Unit Kegiatan Mahasiswa. Karena Arkana menyukai olahraga dan Svaha, lelaki itu tidak suka apa pun selain mendengarkan musik dan membaca. Juga perempuan cantik.
Tidak juga mereka pernah punya masalah yang ada hubungannya soal perasaan. Tidak ada drama. Berpacaran akan membuat semuanya semakin rumit. Itu kenapa mereka tidak melakukannya. Mereka tidak mau memikirkannya. Meski seluruh kampus pernah curiga tentang hubugan antara keduanya, gosip itu segera berakhir ketika Arkana berkencan dengan kapten Unit Kegiatan Mahasiswa Voli, Laung.
Memang awalnya Svaha tidak setuju dengan hubungan itu. Arkana dan Laung maksudnya. Meski belum jelas alasannya, tapi pada akhirnya Svaha memutuskan untuk menghormati pilihan Arkana. Arkana tidak bisa lebih berterimakasih pada Tuhan mengenai itu.
Karena itu juga terjadi pada Arkana. Gadis itu terobsesi dengan citranya sebagai teman yang baik. Ia tidak menghakimi Svaha karena lelaki itu memacari perempuan kaya yang paling populer, Cantra. Lagipula kenapa Arkana harus? Bukankah bagus kalau mereka bisa menyayangi orang lain tanpa memandang siapa dan apa bentuk itunya? Laki-laki dan perempuan itu sama saja, ada yang menyebalkan ada yang tukang gosip. Sama saja pokoknya.
Memang awalnya begitu menakutkan bagi Arkana. Tapi kalau memang punya seorang teman lelaki itu mengerikan, Svaha malah sebaliknya. Dia selalu ada di sana kalau Arkana patah hati, dia selalu ada kalau Arkana butuh pinjam uang. Kalau Svaha mau mencelakai perempuan itu, dia punya banyak kesempatan dari dulu.
Nah, yang tadi malam, Arkana kurang tahu. Dia datang dalam keadaan sedih. Arkana sedang mabuk. Arkana tahu dialah yang memaksa sahabatnya untuk minum. Dan bukan salah Svaha, karena minum alkohol membuat orang mabuk.
Sampai di sana, Arkana memutuskan untuk menunggu waktu yang baik agar bisa mengobrol soal ini dengan Svaha. Karena baginya, tidak boleh ada apa pun yang membuat hubungan persahabatan mereka selesai. Tidak semudah itu.
Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida
Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari
Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu
Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama
Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran