Tikus kecil yang pintar berbohong, batinku.
"Oh," jawabku tak acuh. Lalu berjalan mendahuluinya. Membiarkan ia tenang sebentar.Terdengar helaan nafas dari belakang. Sepertinya sangat susah untuknya bernapas di depanku.Baiklah, tak apa, kali ini kamu aman, Mas. Entah untuk besok atau seterusnya. Aku tersenyum getir, begitu bersemangat sekali Mas Alif menutupi kebohongannya. Semakin ia menutupi, semakin aku bersemangat untuk mencari bukti agar secepatnya berpisah dengan Mas Alif."Oh iya, Mas. Minuman vanilla yang tumpah ya, sejak kapan kamu suka minuman begitu?" Aku bertanya sambil berbalik menghadapnya. Kulihat dia yang mulai tergagap karena aku yang tiba-tiba memberikan pertanyaan seperti itu padanya."Sejak ... e-em sejak Mas kerja kemaren itu, M-mas kan ngurusin proyek." Mas Alif makin terlihat seperti orang yang hilang kesadaran."Kamu kok kayak polisi gitu toh, Dek. Dedek gemes!" ucapnya sambil melangkah maju dan mencium kedua pipiku.Aku langsung mendorongnya dengan pelan. Merasa jijik karena diperlakuannya seperti itu.Mengapa dia bersikap seperti ini yang membuatku semakin tak suka melihat caranya bertingkah. Bahkan dari kalimat yang keluar dari mulutnya pun membuatku semakin muak mendengarnya.Jangan tergoda Laura, ingat dia sudah bermain belakang, ucapku pada diri sendiri. Namun, mana mungkin juga aku tergoda, jelas-jelas rasa cinta sedikit demi sedikit mulai terkikis."Mandi sana, Mas. Kamu tau kan aku nggak suka bau vanilla," ucapku padanya. Ia terkejut mendapati perlakuanku yang tak biasanya. Namun secepat mungkin diubahnya menjadi terlihat biasa-biasa saja."Iya, Sayang. Mas mandi dulu ya, awas jangan ngintip," ucapnya sambil mengedipkan mata. Geram sekali aku melihat tingkahnya yang pecicilan itu.Tanpa menunggu balasanku, Mas Alif lalu bergegas masuk ke kamar, aku menatap punggungnya yang kian menjauh.Lihatlah, pandai sekali bukan Mas Alif memainkan drama ini. Mungkin disangkanya aku begitu bodoh hingga bisa diperdaya olehnya.Bau parfum vanilla itu sangat menyengat, sepertinya harganya juga terbilang mahal.Apa selingkuhan Mas Alif itu termasuk kategori tante-tante yang kaya raya, pikirku. Jika benar, Mas Alif benar-benar keterlaluan menyamakan aku sepertinm tante-tante nakal di luar sanaAku bergidik ngeri jika itu benar-benar terjadi.Ah, sudahlah. Kepalaku sakit jika harus memikirkan itu semua.Kulangkahkan kakiku menuju dapur, dan langsung menyiapkan makanan untuk Mas Alif. Mungkin saja ia tak diberi makan oleh istri keduanya, pikirku. Ingin tertawa keras mentertawai nasib hidupku ini.Hampir dua jam Mas Alif tak keluar-keluar dari kamar.Apa yang dilakukannya di dalam sana, pikirku. Mandi batu kah dia hingga tak selesai-selesai.Penasaran, aku lalu mengendap-endap seperti maling. Ingin melihat, apa yang dilakukan Mas Alif.Klek!Pintu perlahan terbuka, kuintip sedikit ruangan bernuansa biru ini.Dapat.Mas Alif sedang berbaring di ranjang, tidak! Lebih tepatnya bersandar di ranjang tempat tidur kami.Daritadi tak hentinya Mas Alif tersenyum, menatap gawai yang berada dalam genggamannya.Entah apa yang dilakukannya, sepertinya dia sudah merindukan istri barunya itu. Hingga senyum pun tak lepas dari bibirnya.Aku lalu berjalan mendekatinya.Bahkan, saat aku duduk di ujung ranjang, ia sama sekali tak menghiraukanku. Mungkin dia tak tahu atau mungkin dia memang tak mau tahu akan kehadiranku.Ehem!Aku berdehem dengan sangat keras, sehingga membuat Mas Alif terkejut. Ponsel yang berada di tangannya itu pun hampir saja terlepas.Matanya menatapku, terlihat raut wajahnya yang terkejut. Buru-buru ia menyimpan gawainya ke atas nakas."Dedek!" Mas Alif mendekatiku."Sejak kapan di sini, kok Mas nggak tau sih?" tanyanya."Berhenti memanggilku dengan sebutan seperti itu, aku rasanya ingin muak mendengar kata itu," ucapku langsung to the point. Hingga membuat Mas Alif terdiam."Kenapa? Apa ada yang salah, bukankah dulu Mas memang sering memanggilmu dengan sebutan itu?" ujarnya seperti tak terima."Tidak, hanya saja aku sudah tak suka dengan panggilan itu. Kau paham lah mood wanita , sekaran moodku sedang tidak baik-baik saja," ucapku."Kamu sedang datang bulan, Sayang?" tanyanya padaku."Iya," jawabku berbohong padanya. Biarlah dosa aku yang menanggungnya karena berbohong pada suami sendiri.Ia lalu merebahkan kepalanya di pangkuanku. Seperti sedang mengulang kembali kisah cinta kami berdua."Oh ya, Mas kaget kamu tiba-tiba nongol. Sejak kapan kamu di dalam kamar, Dek?" ujarnya kembali mengulang pertanyaan.Sejak kamu tersenyum menatap kebahagiaan lain, selain aku, Mas, batinku. Ya, aku hanya berani mengatakannya di dalam hati sekarang. Tak berani mengungkapkan secara langsung. Sekarang bukan saatnya."Baru aja, Mas," jawabku singkat. Tak ingin banyak berbicara padanya.Mas Alif lalu menuntun tanganku, untuk menyisir rambut basahnya."Kamu udah mandi, Dek?" tanyanya sambil menatap wajahku."Belum." Jiwa bucinku meronta-ronta ingin bermanja dengan Mas Alif. Tapi aku sadar, sekarang bukanlah waktunya untuk itu semua."Pantes bau asem, tapi Mas tetap sayang kok. Mandi dulu sana," ucap Mas Alif lalu bangun dari tidurannya dan mengecup singkat keningku."Iya," jawabku cepat. Lalu bergegas pergi meninggalkannya dan bergegas melakukan ritual mandi.Sempat kulihat raut bingung dari wajah Mas Alif karena perlakuanku. Biarkan saja, biar dia tahu bagaimana rasanya diacuhkan.Entahlah, rasanya sakit saja. Ketika seseorang yang begitu dicintai, ada yang membuatnya tersenyum selain diri sendiri. Mungkin bagiku sakit, tapi baginya itu sangat menyenangkan karena berhasil menyakitiku.Bahkan, hati Mas Alif saja sudah terbagi dua sepertinya.Di dalam kamar mandi, aku menumpahkan seluruh tangisku. Seluruh sesak yang ada dalam hati, senyuman Mas Alif ketika menatap layar handphone begitu menyakitkanku.Dia tak sadar, karena dari awal dia memang berniat untuk memberikan luka yang begitu mendalam pada hatiku.Selesai menangis, aku bergegas membersihkan diri. Lalu menyelesaikan kegiatanku.Saat ke luar dari kamar mandi, lagi-lagi aku melihat pemandangan yang menyakitkan.Mas Alif sepertinya sedang video call dengan seseorang, sampai-sampai dia tak sadar dengan kehadiranku.'Kenapa harus sekarang, Mas, di saat aku mencoba untuk mengumpulkan kepercayaan bahwa kamu tak mungkin sepeti itu. Tapi kamu sendiri yang selalu menunjukkan bahwa kamu memang bermain api di belakangku,' batinku berucap dengan perih.Aku mendekatinya, ia nampak terkejut dengan kehadiranku."Telfonan sama siapa, Mas?" tanyaku dingin. Tak ada senyum di wajahku, bahkan menatapnya saja aku enggan.Mata Mas Alif membulat sempurna."D-dek ... t-tadi Mama nelfon. Kami melepaskan rindu, Dek," ucapnya. Lagi, entah berapa kali dia berbohong. Tak bisa kuhitung.Alasan yang logis, untuk wanita yang mudah dibohongi. Tapi tidak untuk aku."Oh, ya sudah." Aku lalu berlalu menuju lemari pakaian.Setelah selesai, kusisir rambut panjangku. Kutatap pantulan diri di cermin.Apa aku kurang cantik, Mas?Atau memang kamu yang tak cukup dengan satu saja, tanyaku kembali."Sudah salat Asar, Dek?" tanya Mas Alif memeluk pinggangku.Risih.Itu yang kurasakan."Belum, Mas," jawabku."Ayo salat dulu. Mas rindu kita salat berjamaah," ucapnya. Aku hanya mengangguk lalu bergegas meninggalkan ia.****Selepas mengerjakan salat, aku dan Mas Alif lalu menuju meja makan.Seperti biasa aku akan tetap melayani dia dengan baik, mungkin hanya tutur sapaku saja yang akan berubah."Makan dulu, Mas. Jangan main handphone terus," ucapku.Karena dari tadi ia tak bisa lepas dari gawainya."I-iya, Dek." Mas Alif lalu meletakkan handphone di samping piring makannya.Kami makan dengan tenang, sebelum dering panggilan mengganggu suasana ini.Beberapa kali terdengar dering telepon. Namun, tak kunjung diangkat Mas Alif. Sesekali Mas Alif melirikku.Drrrt ... drrrt ....Suara itu terdengar lagi, aku melihat gelas kosong di dekat gawai itu.Lalu kuulurkan tangan untuk mengambil gelas tersebut.Hal tak terduga terjadi, Mas Alif langsung buru-buru mengambil gawainya. Sedangkan tanganku melayang di udara bersama gelas yang berada di genggaman.Aku tertawa miris.Luar biasa tingkah yang kau buat Mas, batinku perih.--Next?Aku terdiam tatkala Ibu mengungkapkan kekhawatirannya pada Laura. Aku merasakan sedih saat Ibu masih tak dapat memberikan kepercayaannya lagi padaku.Ya, aku sadar luka hati Laura begitu besar. Sikap dan perbuatanku dulu memang tak akan mungkin terlupakan. Aku juga tak ada niatan untuk melakukan pembelaan terhadap diriku sendiri.Kutatap manik mata milik Laura yang sudah basah, bergantian dengan Ibu yang juga terlihat berkaca-kaca. Karenaku, sebuah keluarga mengalami pertengkaran hebat. Karena kehadiranku, mereka tak seharmonis dahulu."Ibu hanya khawatir Laura, Ibu takut kamu tersakiti lagi. Ibu masih belum yakin Alif bisa berubah seperti yang kamu harapkan." Dari awal memang aku memilih untuk diam, mendengarkan pembicaraan antara Ibu dan anak. Masih tak berani ikut berbicara takut menambah keadaan semakin memburuk."Tak perlu mengkhawatirkan Laura, Bu. Mas Alif sudah menjadi sosok suami yang bertanggung jawab. Mas Alif sudah benar-benar berubah, Bu, dia sudah tak lagi mengambil peke
"Bu," tegurku saat mendengar Ibu seperti sedang memojokkan Mas Alif."Laura, Ibu seperti ini karena Ibu tidak ingin kamu merasakan sakit kembali. Ibu tak ingin kejadian yang lalu terulang lagi, cukup sekali saja dia berkhianat dan membuat kamu seperti mayat hidup.""Dari awal memang Ibu kurang setuju jika kamu harus berbalikan dengan Alif, tapi saat melihat binar di matamu. Ibu jadi tidak tega jika harus menghalangimu untuk bersama dengannya. Kamu harus mengerti, Laura, semua yang Ibu lakukan murni untuk kebaikan kamu untuk kebahagiaan kamu dan juga Reyhan. Kalo kalian jauh dari Ibu, Ibu tak bisa memantau rumah tangga kalian, Ibu juga tidak bisa mengawasi Alif lagi." Ucapan membuatku membeku seketika. Pertanyaan demi pertanyaan berputar dalam pikiran.Mengapa?Hanya satu kata yang menimbulkan banyak tanya, mengapa Ibu menjadi berubah, ke mana sosok ibuku yang begitu lembut dahulu. Sosok Ibu yang tak pernah menilai seseorang dari masalalu mereka. Mengapa Ibu seperti sosok yang tak bisa
"Dek, tadi Mami ada menghubungiku," ucap Alif saat sedang menikmati masakan milik istrinya. Sedangkan Laura sibuk mengurus Reyhan yang berlarian ke sana kemari."Oh ya, Masyaa Allah kangen banget aku sama Mami. Gimana kabar Mami sekarang, Mas, udah lama kita nggak ketemu sama beliau," kata Laura pada Alif. Ia lalu berjalan mendekati Alif dengan Reyhan dalam gendongannya."Alhamdulillah baik, Dek. Tapi Mami tadi ada ngomong sesuatu sama, Mas. Mami nyuruh Mas untuk pulang ke B******. Katanya kita disuruh ngurus butik yang dahulu di kelola sama Almarhum Mama. Tapi kalo Adek nggak mau, ya nggak papa. Mas nggak bisa maksa juga, Mas nggak mau kalo Adek nggak nyaman nantinya di sana." Alif berbicara langsung tanpa menunggu jawaban dari Laura. Alif hanya takut Laura tak mau pergi meninggalkan rumah yang penuh kenangan bersama dengannya dan juga pastinya Laura akan berjauhan dengan Ayah dan Ibunya.Sedangkan Laura dia nampak terdiam. Lalu setelahnya menatap Alif dengan wajah tersenyum. "Kata
"Mas, mau langsung berangkat kerja, nggak sarapan dulu?" tanya Laura saat melihat Alif yang buru-buru karena bangun kesiangan."Mas langsung berangkat saja ya, Sayang, takut telat. Nanti kalo kamu mau datang aja ke kantor aku ya, ajak Reyhan sekalian. Kapan lagi kan kamu ke kantor aku," ucap Alif sambil memakai sepatunya."Iya, nanti aku ke kantor kamu ya, Mas. Oh ya, mau dibawain apa bekal siang nanti?" tanya Laura lagi sambil mendekat pada sang suami."Apa saja, masakan kamu selalu pas di lidah aku. Jadi apapun itu pasti akan aku makan, termasuk kamunya." Alif langsung tertawa ketika mendapat pelototan tajam dari Laura."Udah, jangan kebanyakan gombal. Lihat tuh udah jam berapa," ucap Laura sambil menggandeng tangan Reyhan dan juga mengamit lengan kekar sang suami."Aku berangkat kerja dulu ya, Sayang. Kamu hati-hati di rumah, jangan terlalu kerja yang berat-berat nanti capek," ucap Alif begitu perhatian pada Laura."Iya, kamu juga, ya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut pokoknya kal
"Kamu yakin ingin kembali dengan Alif, Lau?" Tiara tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Laura.Bukan hal mudah, apalagi Tiara juga termasuk orang yang ikut dalam kisah hidup Laura. Sosok yang juga ikut serta jatuh bangun bersama dengan Laura."Seminggu lagi hari pernikahanmu dan Alif, Lau. Rasanya aku tak menyangka kau kembali lagi pada seseorang yang sudah membuatmu terluka dahulu.""Jujur, aku sebagai seorang sahabat seperti merasa tak rela sahabatku jatuh ke lubang yang sama. Aku takut dia akan mengulangi kesalahannya lagi.""Tiara, aku meminta banyak terima kasih padamu, karena selalu ada untukku. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat dan juga Kakak Ipar sepertimu. Doakan yang terbaik untuk adik iparmu ini. Walau rasanya, ini seperti dejavu. Aku juga tak menyangka akan jatuh cinta kembali pada Mas Alif." Laura memegang tangan sang sahabat, dia menatap Tiara dengan rasa sayang yang dalam. Tiara sendiri langsung memeluk Laura. Air matanya menetes begitu saja, antara rasa tak rela dan ju
Debi terduduk di pinggir jalan, ia menenangkan pikirannya terlebih dahulu. Lalu memutuskan untuk pergi ke tempat penginapan berbekal uang seadanya.Debi ingin mengakhiri hidupnya, akan tetapi teringat bahwa dia memilih melakukan tindakan b*d*h itu agar dirinya tetap hidup.Jadi Debi memutuskan untuk mengistirahatkan pikiran terlebih dahulu, selanjutnya baru ia akan memikirkan tahap selanjutnya.Debi bersyukur polisi tak ada mencarinya, itu artinya mereka tak melaporkan kasus kepada pihak berwajib.Setelah seminggu menghilang, Debi merasakan badannya sering kelelahan, saat malam badannya berkeringat. Selain itu berat badannya pun menurun dan sering mengalami sakit kepala.Jadi Debi memutuskan untuk memeriksa kondisinya ke rumah sakit.****"Lu nggak apa-apa, kan?" tanya Ningsih melihat Ressa yang terbaring lemah di ranjang."Gue baik-baik aja," jawab Ressa. Matanya menatap kosong."Gue ngerasa bersalah sama dia, gue terlalu jauh membuatnya sengsara," ucap Ressa tanpa sadar mengeluarkan