“Maafkan aku, Mas, telah lancang menggeledah celanamu. Bukan inginku begini. Tetapi, saat bangun nanti kamu pasti akan langsung meminta makan. Sementara tak ada sedikit pun makanan yang tersedia. Izinkan aku mengambil uangmu untuk membeli bahan sayuran juga lauk,” gumamku lirih memohon izin pada Mas Agus yang terlelap tidur. Sebenarnya lebih pada berbicara sendiri, karena aku berbicara sedikit berbisik.
“Aku lapar, Mas. Anak-anak juga butuh makan. Aku janji, akan mengambil sedikit aja,” tambahku membela diri. Dari sore kemarin aku belum makan sedikit pun. Makan malam semalam, hanya cukup untuk anak-anak juga Mas Agus saja. Bukan aku diet atau berhemat, memang bahan makanan yang sudah habis, hanya cukup untuk makan tiga orang saja. Jatah bulanan pemberian Mas Agus sudah habis seminggu yang lalu. Sedangkan awal bulan untukku kembali mendapat jatah bulanan masih seminggu lagi.
Dengan tangan gemetar, aku mulai meraba kantong celana Mas Agus yang digantung di belakang pintu kamar. Mencari benda tebal yang terbuat dari semi kulit, tempat menyimpan uang juga kartu-kartu penting Mas Agus.
“Ya Allah, ampuni aku. Aku tidak punya cara lain selain mengambil sedikit saja uang suamiku,” lirihku gemetar. Sesekali aku melirik pada Mas Agus yang terlelap pulas di tempat tidur.
Dapat! Jemariku menemukan dompetnya di saku kanan belakang. Segera kukeluarkan benda semi kulit berwarna coklat itu. Tanganku semakin gemetar memegangnya. Meski sudah sepuluh tahun hidup bersama, ini kali pertama aku memegang dompet Mas Agus. Bukan apa-apa atau sok naif, selama ini aku tipikal istri yang nerima saja semua yang diberikan padaku tanpa meminta lebih atau bilang kurang. Karena Mas Agus biasanya selalu memberikan semua penghasilannya setiap hari tanpa ada yang ditutup-tutupinya. Sehingga tidak perlu buatku untuk mengorek isi dompetnya lagi.
Mas Agus bagiku adalah segalanya. Perasaanku padanya tidak pernah berubah semenjak kami menikah sepuluh tahun lalu hingga sekarang. Begitu juga Mas Agus menurutku. Aku yang begitu buta menaruh cinta padanya, sehingga sulit menemukan kekurangannya. Dia adalah tipe suami idaman juga suami siaga, menurutku.
Tapi, empat bulan belakangan Mas Agus sedikit berubah, kurasa. Entah ini hanya pikiranku saja. Perubahan sikapnya mulai semenjak Mas Agus diterima kerja di perusahaan kelapa sawit di daerah tempat tinggal kami. Sebelumnya Mas Agus bekerja sebagai tukang ojek pengkolan yang tempat mangkalnya tak jauh dari rumah.
Entah apa yang membuatnya berubah. Mas Agus yang dulu begitu menghargai waktu kebersamaan dengan keluarga kini menjadi jarang berada di rumah. Berangkat kerja pukul 06.00 pagi, dan pulang setelah larut malam. Aku tidak tahu jam kerja perusahaan, apa benar kerja sampai tengah malam? Entahlah. Setiap kutanya saat dia pulang kenapa terlambat, alasannya karena lembur. Aku yang awam dunia pekerjaan ini yaa percaya saja.
Mas Agus juga mulai perhitungan dengan uang, dia hanya memberiku jatah belanja satu juta di awal bulan saat dia gajian, alasannya memberi segitu karena gaji yang diterima Mas Agus masih UMR, maklum masih karyawan baru yang baru selesai magang.
“Sisa gajinya aku yang pegang untuk biaya pulang pergi ke perusahaan.” Begitu ucap Mas Agus dulu saat dia pertama menerima gaji, dan setelah memberiku jatah belanja. Aku mencoba memaklumi karena bekerja di perusahaan berbeda dengan menjadi tukang ojek. Mungkin memang membutuhkan biaya untuk pulang pergi bekerja. Secara Mas Agus tidak pulang ketika makan siang. Dia memilih makan di kantin yang berada di perusahaan.
Awalnya aku berusaha memahami, tetapi belakangan aku melihat Mas Agus mulai sering berbelanja keperluannya sendiri tanpa memberi tahuku. Oke aku juga berusaha memaklumi, Mas Agus membutuhkan pakaian, juga perlengkapan lain untuk menunjang penampilan saat bekerja sebagai karyawan.
Tetapi, ada yang menyinggung perasaanku, yaitu saat aku meminta uang untuk jajan Ayuni karena aku tidak memegang uang lagi, sedangkan jatah yang diberikannya sudah habis, Mas Agus marah besar sambil memaki-makiku. Dia mengataiku sebagai istri parasit yang hanya tau menghabisi uang suami saja. Tak lama setelah dia memarahiku dan bersikukuh tidak mau memberiku uang, datang temannya meminjam uang dan langsung diberikan Mas Agus di depan mataku tanpa rasa bersalah. Melihat hal itu hatiku sungguh teriris, apalagi aku hanya meminta sedikit uang padanya untuk jajan Ayuni, anak bungusku.
Setelah kejadian itu, aku tidak berani lagi meminta lebih jatah belanja padanya. Meski uang satu juta yang dia berikan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup kami satu bulan. Tapi aku harus bisa menahan diri tidak meminta padanya. Solusi terbaik yang bisa kulakukan supaya kebutuhan hidup tetap terpenuhi adalah berhutang. Aku harus tetap makan, begitu juga dengan kedua anakku. Mas Agus pun butuh makan. Maka apa boleh buat, perut harus tetap terisi meski dengan cara berhutang.
Cukup lama termenung, aku sadar bahwa dompet Mas Agus masih utuh dalam genggamanku. Aku belum berani membukanya.
“Duh. Buka nggak ya? Gimana cara bilangnya nanti pada Mas Agus kalau uangnya aku ambil? Atau, baiknya aku diam aja? Ya Allah. Bagaimana ini?” eluhku mulai panik. Biar bagai mana pun mengambil milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya tetap namanya mencuri. Meski itu mengambil dari orang terdekat yang memang ada hak kita padanya.
Mataku terus melirik Mas Agus, cemas dia menangkap basah perbuatanku. Aku malah lebih penasaran dengan apa yang akan dia lakukan terhadapku jika ketahuan.
Sekali lagi aku menguatkan hati. Perih di perut lebih penting saat ini dibanding ketahuan oleh Mas Agus. Jika ketahuan Mas Agus pasti akan murka, nggak masak pun nanti aku juga yang akan kena marah karena tidak ada makanan yang bisa dia makan. Posisiku saat ini bak kata pepatah maju kena mundur pun kena.
Takut Mas Agus marah, takut Allah murka. Tapi, aku mulai tidak bisa menahan perut yang berdenyut perih ini. Tangan dan kaki mulai melemas, ditambah aku melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsipku. Makin lemas aja rasanya pijakan kaki ini.
Setiap melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati, jantung pasti bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya. Memicu adrenalin bak kata orang. Kali ini aku merasakannya. Debarannya bahkan terdengar keras memenuhi kendang telinga. Aku kehilangan fokus, perasaan was-was lebih dominan.
“Bismillah,” lafalku beberapa kali sambil memejamkan mata. Menguatkan diri.
Pelahan aku mulai membuka dompet semi kulit berwarna cokelat itu. Aroma pabrik masih tercium saat saya menyibaknya, karena Mas Agus baru membeli dompet itu awal bulan kemarin.
“MasyaAllah! Sebanyak ini?” Mataku membelalak lebar menyaksikan barisan lembaran merah memenuhi ruang dompetnya. Tanpa sadar telapakku terangkat menutup mulut yang mulai menganga lebar.
Perasaan kecewa karena merasa dibohongi menyeruak di dada. Selama ini Mas Agus selalu bilang nggak ada uang setiap aku minta tambahan jatah belanja. Nyatanya, dompetnya terisi penuh dengan uang pecahan seratus ribu. Belum lagi yang mungkin saja ada yang tersimpan di dalam ATM-nya.
“Lagi ngapain kamu!” Sebuah hardikan menambah kekagetanku, tangan yang memang semenjak tadi gemetar semakin kehilangan kendalinya. Spontan, dompet yang berada dalam genggaman terjatuh mencium lantai.
Mas Agus bangun, dan apa yang aku takutkan akhirnya terjadi, dia menangkap basah tindakanku. Apa yang harus kulakukan? Bukti kejahatan terpampang nyata di dekat kakiku. Meski uang di dalamnya belum berhasil pindah ke tanganku.
Tatapan garangnya melemahkan semangatku. Matanya yang merah akibat baru bangun itu semakin menambah kengerian pada tatapannya. Wajahku rasanya menebal, seakan semua aliran darah menuju ke sana. Aku berdiri goyah tidak bisa mengambil sikap. Entah gimana nasibku setelah ini.
Mas Agus berjalan mendekatiku dengan tangan terkepal erat, bersiap untuk menghajarku mungkin. Kupejamkan mata seiring langkahnya yang kian mendekat. Penuh kecemasan aku menggumam, “Ya, Tuhan, aku pasrahkan hidupku padaMu.”
"Ngapain sama dompet aku? Mulai lancang kamu, ya! Mengobrak abrik barang pribadiku!” ketus Mas Agus merampas dompetnya di dekat kakiku.“Ma-maaf, Mas.” Suaraku bergetar ketakutan. Refleks aku mundur selangkah memberi jarak di antara kami.“Sejak kapan kamu jadi istri tak tau diri begini?” garang Mas Agus menatapku. Hatiku teriris mendengar pedas ucapannya.“A-aku cuma mau ngambil uangmu dikit aja, Mas. Untuk membeli tahu dan tempe buat di masak hari ini.” Gugup suaraku menimpali. Aku masih terus menunduk, terlalu takut bertemu mata dengannya.“Bukannya udah kukasih kemarin? Kemana aja uang sebanyak itu?” Suara garang Mas Agus membuatku semakin menciut.“Tiga minggu yang lewat Mas berikan, sudah habis kemarin beli beras 2kg untuk makan beberapa hari ke depan, Mas.”Meski takut, aku tetap harus menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Mas Agus pasti akan memahami keadaanku.“Uang 1 juta kamu habiskan tiga minggu?” sentak Mas Agus tak percaya. T
“Selvi!”Samar aku mendengar suara Mas Agus semakin menjauh memanggil namaku sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya. Pandangan di sekelilingku menjadi gelap gulita.Cukup lama rasanya aku berada dalam kegelapan sehingga aroma minyak kayu putih membuat panca Inderaku kembali berfungsi.Hiruk pikuk di sekelilingku membuat kesadaranku semakin muncul ke permukaan. “Akhirnya sadar juga,” ucap suara perempuan yang terdengar familiar. Suaranya dekat sekali di telinga. Mungkin orang itu yang juga menepuk-nepuk bahuku sambil memaksa penciumanku untuk menghirup aroma minyak kayu putih.“Alhamdulillah, matanya sudah mulai terbuka,” ucap suara lain yang juga seorang perempuan ketika kupaksa membuka kelopak mata yang terasa berat.Aku semakin jelas mendengar suara di sekelilingku seiringan dengan penglihatanku yang mulai jernih.“Mbak Jum,” lirih suaraku memanggil orang pertama yang mampu ditangkap netra. Cukup kaget dengan keberadaan Mbak Jum di rumahku, tetangga yang terpisah dua rumah dariku it
“Mari makan ... hidangan sudah siap.” Suara Mbak Jum membuyar lamunanku yang sedang memikirkan Mas Agus yang kabur entah ke mana. Tetangga rasa saudara itu mulai menata makanan yang selesai dimasaknya di atas meja makan. Entah dengan apa aku bisa membalas kebaikannya nanti, dengan uang tentu tidak bisa karena aku tidak memilikinya. “Rafni, adik bawamu sini, Nak. Ini Bude ambilkan nasi untuk kalian,” ucap Mbak Jum memberi perintah pada dua anakku untuk mendekat ke meja makan.Dua bocah yang memang sudah kelaparan itu segera menghambur ke meja makan. Masing-masing langsung mengambil piring yang telah berisi nasi lengkap dengan lauk dan sayurannya. “Mama sini makan juga,” panggil Ayuni menoleh ke arahku dengan mulut yang terisi penuh. “Mama biar makan di sana saja, ini Bude siapkan untuk mama. Kalian makan saja yang lahap,” tukas Mbak Jum lebih dulu sembari memperlihatkan piring di tangannya. Tidak ingin terlalu merepotkan Mbak Jum lebih banyak lagi aku berusaha bangkit. “Aku makan
“Ayo Mbak Selvi, kita lihat suamimu ke sana. Biar nanti aku cari pertolongan dengan meminta bantuan pada bapak-bapak yang lain.” Ajakan Pak Rahmad timbul tenggelam di pendengaranku.Kepalaku tengah sibuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi jika Mas Agus beneran pergi secepat ini. Bagai mana hidup kami setelah ini? Masalah pendidikan ke dua anakku? Dan masih banyak lagi kecemasan yang tiba-tiba mendera. “Papa kenapa, Ma? Apa papa pingsan seperti Mama tadi?” Guncangan pelan di tanganku mengembalikan kesadaranku. Putri bungsuku itu menatap cemas ke arahku. “Cepat bersiaplah, jika keselamatan Agus dipertaruhkan. Kabarnya sudah dari senja tadi dia seperti itu, aku baru dapat kabarnya barusan dari mendengar cerita beberapa pemuda yang singgah membeli rokok di warung.” Pak Rahmad kembali mendesakku. Kali ini dia terlihat mulai tak sabar dengan diriku yang lemot dalam mengambil keputusan. “Ayo kita jemput papa, Ma.” Ayuni juga ikut mendesakku melihat aku masih bergeming. Tanga
"Siapa perempuannya, Pak Rahmad?" tanyaku penasaran. Meski hati sudah tidak karuan rasanya, tapi aku berusaha untuk tetap tenang."Aku nggak tau, Mbak Selvi. Orang di dalam bilang itu cewek panggilan," jawab Pak Rahmad ragu."Astaghfirullahhal'adzim!" pekikku syok mendapati suamiku mulai bertindak di luar kebiasaannya.Mas Agus memang sudah jauh sekali berubah semenjak menjadi karyawan ini. Dia mulai bertindak semaunya. Sudah lama sekali dia tidak mabuk-mabukkan seperti ini, kalau tidak salah terakhir dia melakukannya saat kami hendak menikah dulu. Alasan dia melakukannya waktu itu untuk menghilangkan beban pikiran yang memenuhi kepalanya. Memang Mas Agus dulu stres mencari cara untuk mendapatkan restu dari orang tuaku. Walaupun akhirnya kami tetap bisa menikah, meski tanpa restu dari mereka.Dan sekarang, apa yang membuatnya banyak pikiran? Dia sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji mengalir tiap bulan. Sedangkan sepuluh tahun ke belakang dengan penghasilan seadanya dia tidak mera
"Ternyata masih berani pulang dia," geram Rafni sambil menggeser langkahnya di belakangku, seperti berlindung dari pantauan Mas Agus. Sedangkan adiknya sudah tertawa riang dalam pelukan Mas Agus. Mas Agus pulang masih mengenakan pakaian yang dia pakai kemarin. Wajahnya terlihat sama kusutnya dengan pakaian yang dia kenakan, seperti orang bangun tidur. "Kakak jahat sama Adek, Pa. Suka bentak bentak." Terdengar Ayuni mulai mengadu. Mendengar pengaduan Ayuni semakin membuat Rafni menempelkan tubuhnya padaku. Walau pun kemarahannya sampai ke ubun-ubun, aku tahu putri sulungku ini takut pada papanya. "Kenapa kakak marah? Pasti Adek melakukan sesuatu yang membuat Kak Rafni marah." Ternyata Mas Agus menanggapi dengan cukup bijak. Dia tidak langsung meng-aminkan aduan Ayuni. "Adek mau ketemu Papa, terus kakak langsung marah-marah."Hening sewaktu-waktu. Mungkin Mas Agus bingung harus menjawab seperti apa. Aku dan Rafni juga masih membisu. Memperhatikan dua beranak itu dari jauh. Tidak ingi
"Mas, kenapa sambel dan sayur sebanyak itu kamu habiskan? Seharusnya cukup untuk makan kita sampai malam. Dan, ini aku belum makan tapi semuanya sudah ludes," cecarku didepan yang sibuk bermain ponsel. Sementara Ayuni sudah terlelap di sampingnya. Terpaksa aku melahap nasi putih yang dioles pada sambal mangkok supaya ada sedikit rasanya.Mas Agus cuek saja, seakan suaraku tidak sampai ke telinganya. Terlebih dia tidak mendongak dengan kedatanganku, tetap fokus pada ponsel dalam genggamannya."Itu sisa bahan kemarin yang aku masak, Mas. Udah nggak ada apa-apa lagi di rumah yang bisa di masak. Nanti malam kita mau makan apa?" Aku kembali berucap meski Mas Agus terus mengabaikanku."Kamu pikir sendiri lah gimana supaya bisa makan. Salah sendiri kenapa kamu habiskan jatah belanja yang aku berikan," pungkas Mas Agus santai tanpa menoleh ke arahku."Mau cari di mana, Mas? Mas tahu sendiri kalau selama ini aku hanya mengandalkanmu, Mas," ujarku pasrah.Tak habis pikir melihat Mas Agus yang s
"Mulai berani kamu sekarang, ya! Berani kamu mengadukan perbuatan Mas pada ibu-ibu komplek!" tuding Mas Agus begitu aku sampai di depannya. "Udah puas menertawakan, Mas? Hah!" Tatapannya garang menatapku. Seakan mampu melahapku hidup-hidup. "Maaf, Mas. Aku pergi hanya untuk menghibur diri. Apa salahnya jika aku berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Sementara Mas juga nongkrong bersama teman-teman, Mas. Bahkan sampai pergi dengan perempuan panggilan pula." Entah apa yang membuatku mulai berani untuk melawannya. Rasanya tidak betul jika aku harus selalu mengalah. Dia yang salah."Tuh kan, liat saja! Baru sekali berkumpul dengan mereka, kamu sudah mulai berani melawan suami. Memang dasar istri benalu tidak tahu diri, masih untung aku mau menampung dan memberimu makan. Jika tidak, sudah jadi gembel kamu di sini!" Setiap kata yang keluar dari mulut Mas Agus kini hanya umpatan dan kemarahan."Jaga bicara kamu, Mas! Aku ini istrimu, memang wajib kamu nafkahi," bentakku ikut meninggikan suara