“Ayo Mbak Selvi, kita lihat suamimu ke sana. Biar nanti aku cari pertolongan dengan meminta bantuan pada bapak-bapak yang lain.” Ajakan Pak Rahmad timbul tenggelam di pendengaranku.
Kepalaku tengah sibuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi jika Mas Agus beneran pergi secepat ini. Bagai mana hidup kami setelah ini? Masalah pendidikan ke dua anakku? Dan masih banyak lagi kecemasan yang tiba-tiba mendera.“Papa kenapa, Ma? Apa papa pingsan seperti Mama tadi?” Guncangan pelan di tanganku mengembalikan kesadaranku. Putri bungsuku itu menatap cemas ke arahku.“Cepat bersiaplah, jika keselamatan Agus dipertaruhkan. Kabarnya sudah dari senja tadi dia seperti itu, aku baru dapat kabarnya barusan dari mendengar cerita beberapa pemuda yang singgah membeli rokok di warung.” Pak Rahmad kembali mendesakku. Kali ini dia terlihat mulai tak sabar dengan diriku yang lemot dalam mengambil keputusan.“Ayo kita jemput papa, Ma.” Ayuni juga ikut mendesakku melihat aku masih bergeming. Tangan mungilnya menarikku untuk segera bergerak.“Iya, iya ayo. Tapi, Pak ... Rafni sedang tidur di dalam. Aku cemas meninggalkan dia sendirian,” ujarku teringat dengan sulungku.“Kamu bersiaplah, biar aku jemput istriku untuk menemani Rafni.” Pak Rahmad hendak berbalik menuju rumahnya.“Tapi warungnya gimana, Pak? Nggak ada yang jaga, nanti kalau ada yang mau jajan, nggak bisa,” ucapku cemas menahan langkahnya.“Haduh, Mbak Selvi. Kamu masih saja mikirin warung, keselamatan suamimu lebih penting sekarang.” Pak Rahmad memandangku geram, kemudian segera berlalu meninggalkanku.“Adek ikut jemput papa, ya Ma,” rengek Ayuni memohon. Dia terus mengekor di belakangku ketika aku berbalik ke kamar untuk mengambil cardigan dan jilbab instan.Bertahun-tahun tinggal di Sumatera membuatku terbiasa dengan adat masyarakat di sini yang menutup aurat. Padahal, ketika dulu baru pindah ke sini, aku adalah anak kota yang terbiasa mengenakan pakaian seadanya.“Adek mau ketemu papa, Ma. Adek ikut ya, Ma,” rengek Ayuni lagi ketika aku tak juga menanggapi permintaannya.Pandanganku terarah pada jam yang menempel di dinding kamar. Tak baik membawa Ayuni keluar tengah malam begini, pikirku ketika menyadari waktu sudah pukul 10 malam.Meski warung yang dimaksud Pak Rahmad tidak terlalu jauh dari rumah, tapi aku tidak ingin membahayakan kesehatan Ayuni dengan mengajaknya ikut serta. Udara malam terlalu buruk untuk anak kecil seperti dirinya.Tak lama, Pak Rahmad datang kembali bersama Mbak Jum. Sepasang suami istri itu begitu perhatian pada keluarga kecilku.“Pergilah, Mbak Sel. Biar aku yang jagain anak-anak,” ucap Mbak Jum. Dia bergerak mendekati Ayuni, menggendong bungsuku dalam pangkuannya.Ayuni yang sudah siaga ingin ikut serta sontak saja meronta dalam pangkuan Mbak Jum. “Adek mau ikut mama!” teriaknya mulai menangis.Aku menjadi tidak tega melihat Ayuni yang histeris sambil terus meronta dalam pelukan Mbak Jum. Putri bungsuku itu memang lebih dekat dengan Mas Agus selama ini. Apalagi dia ikut mendengar berita yang disampaikan Pak Rahmad, tentu dia ingin mengetahui keadaan papanya.“Pergilah Mbak Selvi. Ayuni biar aku yang tenangin. Kamu nggak usah cemas.” Mbak Jum meyakinkanku. Bisa kulihat dia mengerahkan tenaganya untuk memegangi Ayuni yang terus meronta.Dengan perasaan tak menentu aku mengekor di belakang Pak Rahmad menuju warung yang terletak di bagian ujung komplek. Ternyata tidak hanya kami berdua yang pergi, beberapa orang bapak-bapak penghuni komplek pun ikut menemani kami sesuai dengan ucapan Pak Rahmad tadi.***Rombongan kami tiba di warung yang masih terlihat ramai. Aku merasa sedikit risi karena perempuan sendiri di antara para pria.Beberapa pengunjung menyadari kedatangan kami, mereka menatapku curiga yang berdiri di antara kumpulan para pria. Aku berusaha mengabaikan perasaan risiku demi menjemput Mas Agus.“Kamu tunggu di sini aja Mbak Selvi. Biar aku cek ke dalam dulu, terlalu ramai di dalam. Nanti kedatangan Mbak Selvi malah menimbulkan keributan.” Pak Rahmad mencegat langkahku.“Betul itu, walau pun tujuan kita ke sini untuk menjemput Agus, lebih baik nggak usah membuat keributan di sini. Kebanyakan yang nongkrong di sini adalah para preman,” ujar salah satu bapak-bapak yang ikut rombongan. Kalau tidak salah suami Tika, tetangga dekat rumah.Tanpa menyiakan waktu, Pak Rahmad segera ke dalam warung kopi yang dipenuhi asap rokok itu, sementara kami menunggu di luar.“Kalian lagi apa berdiri rame-rame di situ?” tegur salah seorang pengunjung warung yang datang menghampiri kami. Mungkin tidak nyaman dengan keberadaan kami yang memantau pengunjung warung.“Kami datang ke sini untuk menjemput suamiku yang katanya ada di sini.” Aku yang menjawab lebih dulu. Jika terjadi sesuatu pada bapak-bapak yang pergi bersama ini, aku merasa bertanggung jawab karena mereka pergi untuk membantu menjemput Mas Agus.“Kalau mau jemput suami kenapa datang rame-rame? Mau bikin keributan di sini, ya?” Garang pria berbadan tegap dengan sekujur tubuh dipenuhi tato itu menatapku. Melihat dari tampilannya, mungkin dia salah satu preman yang dimaksud suami Tika barusan.“Bukan, bukan. Kami mendengar kabar jika suami Mbak ini pingsan di sini, makanya kami datang rombongan untuk membopong suaminya pulang,” ujar suami Tika ikut bersuara. Nyaliku sudah menciut mendengar gertakan preman tanpa baju di depanku.Tak habis pikir aku Mas Agus bergaul dengan orang-orang seperti ini. Apa karena ini juga yang membuat dia berubah akhir-akhir ini?“Oh, kamu istrinya Agus. Sayang sekali Agus sudah pergi dari sini. Tadi dia memang pingsan, dan ada seorang perempuan yang menjemputnya.” Suara sang preman mulai melunak dan bersahabat. Tapi, malah membuat hatiku kian terkoyak.Perempuan? Apa lagi ini? Terlalu banyak kejutan yang membuatku senam jantung hari ini.Ucapan sang preman semakin diperkuat dengan kemunculan Pak Rahmad, suami Mbak Jum itu berkata, “Agus tidak ada di sini. Katanya tadi ada yang jemput ... perempuan.”"Siapa perempuannya, Pak Rahmad?" tanyaku penasaran. Meski hati sudah tidak karuan rasanya, tapi aku berusaha untuk tetap tenang."Aku nggak tau, Mbak Selvi. Orang di dalam bilang itu cewek panggilan," jawab Pak Rahmad ragu."Astaghfirullahhal'adzim!" pekikku syok mendapati suamiku mulai bertindak di luar kebiasaannya.Mas Agus memang sudah jauh sekali berubah semenjak menjadi karyawan ini. Dia mulai bertindak semaunya. Sudah lama sekali dia tidak mabuk-mabukkan seperti ini, kalau tidak salah terakhir dia melakukannya saat kami hendak menikah dulu. Alasan dia melakukannya waktu itu untuk menghilangkan beban pikiran yang memenuhi kepalanya. Memang Mas Agus dulu stres mencari cara untuk mendapatkan restu dari orang tuaku. Walaupun akhirnya kami tetap bisa menikah, meski tanpa restu dari mereka.Dan sekarang, apa yang membuatnya banyak pikiran? Dia sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji mengalir tiap bulan. Sedangkan sepuluh tahun ke belakang dengan penghasilan seadanya dia tidak mera
"Ternyata masih berani pulang dia," geram Rafni sambil menggeser langkahnya di belakangku, seperti berlindung dari pantauan Mas Agus. Sedangkan adiknya sudah tertawa riang dalam pelukan Mas Agus. Mas Agus pulang masih mengenakan pakaian yang dia pakai kemarin. Wajahnya terlihat sama kusutnya dengan pakaian yang dia kenakan, seperti orang bangun tidur. "Kakak jahat sama Adek, Pa. Suka bentak bentak." Terdengar Ayuni mulai mengadu. Mendengar pengaduan Ayuni semakin membuat Rafni menempelkan tubuhnya padaku. Walau pun kemarahannya sampai ke ubun-ubun, aku tahu putri sulungku ini takut pada papanya. "Kenapa kakak marah? Pasti Adek melakukan sesuatu yang membuat Kak Rafni marah." Ternyata Mas Agus menanggapi dengan cukup bijak. Dia tidak langsung meng-aminkan aduan Ayuni. "Adek mau ketemu Papa, terus kakak langsung marah-marah."Hening sewaktu-waktu. Mungkin Mas Agus bingung harus menjawab seperti apa. Aku dan Rafni juga masih membisu. Memperhatikan dua beranak itu dari jauh. Tidak ingi
"Mas, kenapa sambel dan sayur sebanyak itu kamu habiskan? Seharusnya cukup untuk makan kita sampai malam. Dan, ini aku belum makan tapi semuanya sudah ludes," cecarku didepan yang sibuk bermain ponsel. Sementara Ayuni sudah terlelap di sampingnya. Terpaksa aku melahap nasi putih yang dioles pada sambal mangkok supaya ada sedikit rasanya.Mas Agus cuek saja, seakan suaraku tidak sampai ke telinganya. Terlebih dia tidak mendongak dengan kedatanganku, tetap fokus pada ponsel dalam genggamannya."Itu sisa bahan kemarin yang aku masak, Mas. Udah nggak ada apa-apa lagi di rumah yang bisa di masak. Nanti malam kita mau makan apa?" Aku kembali berucap meski Mas Agus terus mengabaikanku."Kamu pikir sendiri lah gimana supaya bisa makan. Salah sendiri kenapa kamu habiskan jatah belanja yang aku berikan," pungkas Mas Agus santai tanpa menoleh ke arahku."Mau cari di mana, Mas? Mas tahu sendiri kalau selama ini aku hanya mengandalkanmu, Mas," ujarku pasrah.Tak habis pikir melihat Mas Agus yang s
"Mulai berani kamu sekarang, ya! Berani kamu mengadukan perbuatan Mas pada ibu-ibu komplek!" tuding Mas Agus begitu aku sampai di depannya. "Udah puas menertawakan, Mas? Hah!" Tatapannya garang menatapku. Seakan mampu melahapku hidup-hidup. "Maaf, Mas. Aku pergi hanya untuk menghibur diri. Apa salahnya jika aku berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Sementara Mas juga nongkrong bersama teman-teman, Mas. Bahkan sampai pergi dengan perempuan panggilan pula." Entah apa yang membuatku mulai berani untuk melawannya. Rasanya tidak betul jika aku harus selalu mengalah. Dia yang salah."Tuh kan, liat saja! Baru sekali berkumpul dengan mereka, kamu sudah mulai berani melawan suami. Memang dasar istri benalu tidak tahu diri, masih untung aku mau menampung dan memberimu makan. Jika tidak, sudah jadi gembel kamu di sini!" Setiap kata yang keluar dari mulut Mas Agus kini hanya umpatan dan kemarahan."Jaga bicara kamu, Mas! Aku ini istrimu, memang wajib kamu nafkahi," bentakku ikut meninggikan suara
“Mas, berangkat, Dek,” kata Mas Agus di depan pintu. Dia selesai memakai sepatu hendak berangkat. Sikapnya kembali biasa, seperti tidak ada bencana dalam bahtera kami.“Iya, Mas,” jawabku menyusul mendekatinya untuk mengecup punggung tangannya. Sebuah kebiasaan yang tidak perah lupa aku lakukan semenjak awal menikah, berharap keberkahan di sana. Mungkin saja kebiasaan kecil ini yang membuat rumah tangga kami masih bertahan. Meski hati marah, kebiasaan seakan sudah menjadi hal wajib yang harus aku lakukan.Seperti biasa Mas Agus langsung berangkat kerja setelah sarapan. Dia tidak mau tau dengan anak sulung kami yang juga akan berangkat sekolah. Baginya tugas mengantar Rafni ke sekolah adalah tanggung jawabku. Tugas dia menjamin uang jajan dan biaya sekolah Rafni terpenuhi. Walaupun belakangan dia mulai lupa dengan tanggung jawabnya.Kami hanya mempunyai satu kendaraan, yaitu sepeda motor yang selalu dipakai Mas Agus untuk pergi kerja. Makanya aku tidak bisa pergi kemana-mana karena
“Saatnya berikan hidangan terbaik untuk tetangga yang baik hati,” ujarku girang seraya melangkah ringan menuju rumah. Aku tidak mau mengecewakan Mbak Jum yang telah menyelamatkanku dari ancaman kelaparan hari ini. Sementara Ayuni kutitipkan bersama Mbak Jum, putri bungsuku itu senang bermain di rumah Mbak Jum karena banyak mainan bekas anak Mbak Jum yang sekarang sudah besar. Ikan pemberian Mbak Jum langsung kumasak tumis cabe hijau sesuai permintaannya. Beberapa ekor aku bakar untuk kedua putriku yang tidak suka pedas, kemudian sisanya aku goreng, disimpan buat stok besok.Selesai bagian tumis, langsung aku bagi dua, satu mangkok untukku, satu lagi untuk Mbak Jum. Untuk bagian Mbak Jum sengaja aku buat lebih banyak. Segera kuantar mangkok yang berisi tumis ikan itu ke rumah Mbak Jum, khawatir Mas Rahmad, suami Mbak Jum pulang cepat pada jam istirahat makan siang. Berbeda dengan Mas Agus, Mas Rahmad selalu pulang ke rumah saat istirahat siang. Selain itu aku juga harus segera m
“Pantas saja kamu terlihat begitu kelelahan, Mas. Ternyata kamu habis senang-senang dengan perempuan lain,” lirihku dengan suara bergetar.Menyesal rasanya karena sempat kasihan melihat dia yang begitu keletihan, ternyata letihnya Mas Agus disebabkan hal lain bukan karena sibuk banting tulang demi kami, keluarganya.“Aku kira kemarin, kamu sekedar nongkrong aja dengan perempuan itu. Ternyata telah berbuat lebih. Kurang ajar kamu, Mas!” Dalam pikiran awamku, Mas Agus tidak akan pernah menduakanku.Memang bodohnya aku yang masih mengira Mas Agus mencintaiku. Padahal kemarin sudah nyata bukti di depan mata namun hatiku masih terus ingin menyangkalnya dan kini kudapati bukti satu lagi. Entah lah, rasanya ada yang luka tapi tidak berdarah.Isak tangisku yang cukup keras membangunkan Mas Agus. Namun, dia hanya memandangku sekilas, setelah itu berlalu begitu saja meninggalkan kamar dan tidak kembali lagi hingga aku terlelap.“Melihatku menangis saja kamu tidak peduli, Mas. Memang sudah
“Ya, Allah kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan padaku?” lirihku mulai terisak ketika Mas Agus sudah berangkat.Aku merosot di lantai ketika semua persendianku kehilangan tenaga untuk menopang bobot tubuhku. Sakit yang kurasakan ini lebih pedih dari pada pengusiran mama dan papa dulu. Terlebih saat ini aku tidak mempunyai siapa-siapa untuk tempat mengadu.Sepuasnya aku menumpahkan air mata, berharap bisa menghilangkan sedikit sesak yang memenuhi dada. “Mama kenapa menangis? Berantem lagi sama papa?” Tanpa kusadari ternyata Ayuni sudah berada di dekatku. Tangan mungilnya menyeka air mata yang mengalir di pipiku. Semakin tersayat hatiku melihat perhatiannya, tidak seharusnya anak sekecil itu menyaksikan permasalahan orang tuanya.“Tidak, Nak. Mama tadi kelilipan debu pas membersihkan jendela,” ucapku berkilah. Segera aku mengusap semua sisa air mata.“Tapi Mama tidak lagi memegang kemoceng.” Ayuni terlalu pintar untuk bisa kubohongi.“Sini peluk Mama dulu.” Aku mengalihkan pemb