******()******
Aku lupa, kenapa dulu kamu begitu menarik perhatianku, aku rasa bukan cinta, tapi … sebuah simpati mungkin. (Yori Kristian Hirata)
***
Sayup-sayup suara ayam tetangga sudah terdengar. Alarm alami yang didengarkan setiap pagi oleh Yori sejak kecil, tentu saja koleksi ayam milik tetangganya. Ia pun menggeliat pelan, mengembus napas mengumpulkan seluruh nyawanya. Lelah sekali tubuhnya, rasanya malas untuk bangun, tetapi rugi juga kalau menghabiskan waktu hanya untuk rebahan."Kemarin mimpi bukan sih?" gumamnya pelan.
Ia mengingat kembali, semalam kedua orang tuanya memberitahukan masalah hadiah ulang tahunnya. Setelah memastikan itu bukan mimpi, pria itu dengan kesal mengentak kaki kemudian bangun dan duduk di pinggiran ranjang.
"Bagaimana ini? Aku harus menggagalkan rencana konyol ini, kan? Buku harian sial," ucapnya kesal.
Yori segera bangkit dan berjalan meraih handuk, ia akan mandi dan mulai mencari cara agar rencana aneh itu bisa gagal, atau setidaknya ditunda, jangan sampai ia menikah tanpa cinta, ia merinding sendiri membayangkan pernikahannya tidak harmonis dan penuh pertengkaran, ia tidak mau hal itu terjadi.
Pria bertubuh atletis itu menyelesaikan ritual paginya di dalam kamar mandi hampir selama satu jam, lebih banyak merenung tepatnya. Ia belum pernah melewati hal yang tidak baik, semua sesuai dengan apa yang menjadi keinginannya. Setelah apa yang terjadi semalam, untuk pertama kali dihadapkan pada situasi rumit dan tidak menyenangkan, makanya ia merasa bingung bagaimana harus bertindak.
Yori turun dari lantai dua kamarnya menuju ke lantai bawah menemui ibunya. Makan malam yang belum ia selesaikan membuat pagi ini rasanya sangat lapar. Ia menghela napas sejenak ketika menatap punggung ibunya yang sedang sibuk memasak di dapur. Sesaat ia tersenyum, ibunya masih seperti dulu. Walau sudah mempekerjakan asisten rumah tangga tetap saja memasak akan dikerjakan ibunya sendiri ketika anggota keluarga ada di rumah atau sedang libur bekerja.
"Bun?" sapa Yori pelan sambil memeluk ibunya dari belakang dengan lembut.
Ibunya sedikit terkejut. Namun, segera membalas pelukan itu dengan usapan pundak anaknya dengan lembut pula. Yori segera melepaskan pelukan itu saat jemari tangan ibunya menarik lembut tangannya.
"Bun," panggil Yori lagi masih betah menatap wajah ayu ibunya.
"Kenapa, Sayang?" Ibunya mengerutkan kening, merasa anaknya pagi ini kelihatan aneh. "Ada yang mengganggu pikiranmu?"
"Ehmm … bunda itu tipe wanita yang aku idam-idamkan," katanya.
Ayu segera tertawa menanggapi gombalan putra tunggalnya itu. Ia beberapa kali harus memukul lengan itu agar tidak terus menggoda. Ia memahami kegundahan hati anaknya, tetapi apa yang sudah ia utarakan kepada sahabatnya tidak mungkin ia tarik kembali, ia merasa sangat malu melakukannya.
"Sayang, Ayah sudah datang melamar Hana buat kamu," ungkap ibunya pelan.
Yori segera melepas jemarinya dan terduduk lesu di kursi sebelah ibunya berdiri. Ayu tidak bisa berbuat apa pun, karena ia sendiri tidak menyangka kejutan itu tidak membahagiakan anaknya. Perempuan berhati lembut itu segera menggenggam jemari Yori, menautkan jemari tangan mereka di atas meja.
"Apa kamu tidak senang?" tanya ibunya masih mengucap dengan suara sangat pelan.
"Seharusnya masalah pernikahan bisa dibicarakan baik-baik, bukan begini caranya," keluh Yori.
"Maafkan kesalahan bunda, nanti akan coba bunda perbaiki," tukas ibunya kemudian.
"Yori pergi dulu, mau ketemu teman lama, Bun. Suntuk di rumah," pamitnya sambil melepaskan tautan tangan mereka dan melenggang pergi dari hadapan ibunya.
"Kamu tidak sarapan?"
"Belum lapar," sahut Yori lesu sambil berjalan.
Ayu hanya bisa terduduk lesu menatap kepergian Yori. Tidak seperti tahun-tahun yang lalu putranya sangat antusias, tetapi kali ini ia menjadi sangat menyesal karena salah dalam memilihkan hadiah ulang tahunnya. Ia merasa sangat sedih menerima reaksi anaknya yang jauh dari bayangan. Anaknya tidak bahagia sedangkan ia dan suaminya sudah datang dan menyetujui rencana itu bersama keluarga Hana?
***
Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, akhirnya kini Yori sudah berada di dalam kafe miliknya, menatap Andi sahabat yang menyandang gelar seorang barista sedang memamerkan keahliannya. Sampai-sampai ia tersenyum dengan acungan jempol ke arah sahabatnya. Yori menggeleng kepala merasa kagum dengan kelihaian tangan sahabatnya sejak SMP itu dalam menyajikan menu populer di kafenya.
"Ketampananmu memudar," ejek Andi seraya menyerahkan secangkir kopi esspreso hasil racikannya kepada Yori, pria itu tersenyum sambil meraihnya.
"Aku lagi suntuk," jawab Yori dengan raut wajah memang mengisyaratkan bahwa suasana hatinya sedang buruk.
"Kita ke pub, yuk?" ajak Alan yang baru datang segera bergabung dan menepuk punggung Yori yang sudah duduk santai di kursinya.
"Jangan mulai deh." Andi mencebikkan bibirnya, ia selalu saja kesal kalau satu sahabatnya itu mengajaknya ke tempat ingar-bingar seperti itu, sedangkan Yori hanya diam saja memandang sekilas dengan lesu.
Ingatan Yori kembali kepada masa sekolah, mengingat jelas wajah siswi berambut kuncir kuda bernama Hana Aulia Divandra. Teman sekelasnya saat duduk di kelas dua sampai lulus. Seorang wanita aneh yang mengusik jiwa rapinya.
"Apa dia benar-benar seorang perempuan?" batinnya geli.
Ia masih mengingat saat gadis itu menodongnya tiba-tiba saat pelajaran matematika, guru killer yang saat itu mengajar akan melemparkan sebuah penghapus penuh debu kalau ada murid tidak mengerjakan tugas atau juga menyuruhnya keluar kelas kalau sedang tidak beruntung.
Yori bahkan seringkali melihat gadis itu datang terlambat ke sekolah dan juga pulang dengan cepat, sering mengantuk juga kadang seragamnya bau ikan.
Gadis bermata sayu, letih dan acak-adut baginya. Bagaimana mungkin saat semua siswi berlomba-lomba untuk merias diri, tetapi gadis bernama Hana itu tampil seperti tidak terurus.
Gadis kusam itu begitu menyita perhatiannya selama sekolah. Sebagai salah satu siswa yang populer, tentu ia tidak mungkin mendekati gadis itu dan menanyakan soal kehidupannya, bukan? Yori terlalu gengsi.
"Melamun terus," tegur Andi kini sudah ikut duduk di hadapan Yori, pria itu tampak menyeruput kopinya sambil menegakan wajah, matanya memicing isyarat meminta Yori menjawab tegurannya.
"Dua minggu lagi aku akan melepas masa lajang," ucapnya mengagetkan kedua sahabatnya.
"Maksud, Lo?" seru Alan segera mengalihkan perhatiannya ke arah Yori. "Serius?"
"Nikah maksudnya?" Andi melebarkan bola matanya terkejut, Yori hanya menghela napas lesu tanpa mengangguk.
"Kalian ingat temen kita SMA yang bernama Hana?" tanya Yori mencoba membagi kisahnya.
"Hana? Siapa ya … Hana, banyak kok yang aku kenal," jawab Andi mencoba mengingat kembali teman-teman SMA mereka dengan nama itu.
"Hana Iriana?" tebak Alan.
"Bukan." Yori menggeleng.
"Ehhm … pasti Hana yang paling cantik di sekolah kita? Hana Adreliana?" tebak Alan lagi. Pria itu meraih dagunya dengan jemari tangan sambil mengamati wajah sendu Yori.
"Bentar deh, ini kok jadi ngomongin Hana, ya? Apa hubungannya, apa pacar kamu bernama Hana dan sekarang ini lagi hamil minta pertanggungjawaban dari kamu, gitu?" lontar Andi segera diberi embusan napas protes dari Yori.
"Nggak gitu!" decak Yori kesal.
Kedua sahabatnya itu hanya bisa saling memandang satu sama lain, saling melotot memberi isyarat bahwa pria paling tampan di antara mereka bertiga itu sedang galau.
"Aku dijodohin sama temen sekolah kita waktu SMA bernama Hana Aulia Divandra. Kalian paham maksudnya?" toleh Yori ke arah Alan dan Andi bergantian.
"Hah? Dijodohkan? Gila ya!" seru Alan merasa kaget. Tidak sadar ia menepuk pundak Yori sambil tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya menunduk saking gelinya. Dengan berat Yori mengembus napasnya, dengan kesal ia dorong tubuh sahabatnya itu menjauh.
Alan tidak menyangka sama sekali bahwa sahabat paling membuatnya iri karena tampan, pintar, dari keluarga terpandang bisa mengalami nasib sial seperti ini. Menikahi Hana? Alan ingin sekali memeluk sahabatnya itu untuk memberi simpati.
"Cabut ah, kalian ini." Yori merasa kesal.
"Eh, jangan dong! Nggak asik amat sih, Lo," cegah Alan merangkul pundak Yori, menekan kuat tubuhnya agar tidak sampai meninggalkan kursi.
"Tenang, Men. Masih ada waktu dua minggu 'kan? Masih bisa diputar balik, nanti kita bantu," ucap Alan lagi menenangkan.
Yori kembali tenang duduk di kursinya dan kembali menyesap kopi miliknya, sesekali menatap Andi yang masih terdiam.
Pria itu kini sibuk membuatkan pesanan para tamu, berjalan ke area kekuasaannya dalam meracik dan meramu berbagai jenis minuman. Dia sangat berbakat di tengah kehidupan pahitnya. Diam-diam Yori merasa kagum pada sosoknya.
"Aku harus ketemu Hana," gumamnya pelan.
"Apa dia masih sama seperti saat kita SMA ya?" celetuk Alan membuat Yori menoleh.
"Memangnya seperti apa dia?" tanya Andi penasaran, pria itu kembali mendekat.
"Ya, gayanya seperti preman, tukang bolos, kumal dan gendut," jawab Alan menatap simpati ke arah Yori yang kembali menghela napas berat. Tapi tetap ia mengukir senyuman untuk nasib sahabatnya Yori yang tampan.
"Bagaimana kalau kita intip saja medsosnya?" celetuk Andi memberi saran, mereka bertiga segera saling tatap dengan senyuman setuju.
“Ide brilian," sahut Alan memberikan tos kepada Andi dan menoleh ke arah Yori yang segera mengambil ponsel dari dalam saku jaketnya.
Mereka bertiga merasa antusias dengan ponsel masing-masing untuk mencari akun media sosial milik Hana.
"Hana, seperti apa dirimu yang sekarang, ya," gumam Yori segera membuka salah satu aplikasi media sosial di ponselnya dan mulai mengetik nama wanita itu di papan keyword.
***
Bab 64. Kebahagiaan Yang Sempurna'Virus cinta menginfeksi tubuh berpusat pada hati. Campuran dari rasa kagum, cemburu, egois, sayang, dan juga rindu. Ia kuat, tetapi mampu merapuhkan. Ia ramah, tetapi sanggup menghancurkan. Hitam putih warnanya tergantung pada siapakah kita letakkan biangnya.'(Syala Yaya)*****Delapan bulan sudah berlalu, hidup berjalan dengan indah. Saat ini pasangan itu sedang menunggu kelahiran buah cinta mereka yang akan terlahir dua minggu lagi. Keduanya disibukkan dengan persiapan untuk menyambut dengan mendesain ulang kamar. Hana sangat antusias, tidak kalah dengan keluarga Yori yang kini sering berkunjung ke rumahnya.Setelah m
Bab 63. Menikmati Kesabaran.'Tidak ada yang menang ketika memilih jalan untuk melepaskan genggaman silaturahmi. Keindahan saat kebersamaan terjalin harus pupus oleh keegoisan karena memaksakan keadaan untuk bisa memiliki.'(Syala Yaya)****Hana memandang Yori dalam diam. Ia lebih banyak menyimak obrolan mertuanya yang heboh dalam memilih nama yang kelak akan diberikan kepada calon anaknya kelak. Sebenarnya ia cukup bingung untuk ikut berkomentar. Ini bahkan terlalu cepat untuk membicarakan masalah itu berhubung kehamilannya baru menginjak enam minggu.“Cowok apa cewek, ya?” oceh Ayu belum berhenti berspekulasi.
Bab 62. Kabar Bahagia.'Kebahagiaan tidak bisa diukur dari materi. Setiap saat bisa memeluk, mencium, dan mengucapkan selamat pagi saja rasanya sudah cukup.'(Hana Aulia Divandra)****Hari-hari berlalu dengan begitu cepat. Minggu berganti bulan dan semua bahkan tidak menyadarinya.Hana lebih sering ke rumah sakit untuk menemani ayahnya. Sambil menunggu kemoterapi dan berbagai pengobatan sebelum mendapatkan donor hati yang cocok, Hana pun mengisi waktunya dengan membuat gambar desain. Iwan yang melihat begitu seriusnya Hana bekerja, mendadak menitikkan air mata diam-diam. Seorang anak yang sering ia maki dengan kata-kata tidak pantas hanya karena tidak ko
Bab 61. Hidup Dengan Perasaan Damai'Bila bibir masih mampu mengucapkan kata maaf dan sayang, maka lakukanlah. Sungguh, sebenci apa pun pada seseorang, dia masih memiliki hak untuk diberi kesempatan yang ke dua.'(Syala Yaya)****Hana mematung di ambang pintu. Ia tidak pernah dekat lagi dengan papahnya sejak mamah meninggal. Dunia mereka berdua seakan tersekat waktu dan keadaan. Hana merasa papah sudah membangun dunianya yang baru hingga sulit baginya untuk ikut masuk ke dalamnya.Hana menatap sekeliling ruang, tampak kosong. Perempuan itu pun sadar, Mila sama sekali tidak merawat papahnya. Kakinya pun kini melangkah maju untuk me
Bab 60. Mengakhiri perang dingin.'Memaafkan masa lalu adalah cara efektif untuk membuang bayangan kelam saat menatap masa depan.'(Syala Yaya)*****Begitu tiba di rumah, Hana segera bergegas menghubungi papahnya. Tubuhnya sebenarnya cukup letih, tetapi wajah Yori lagi-lagi membuatnya terus bertanya-tanya. Ada apa dengan papahnya? Sayang sekali, kemudian ia pun memutuskan hubungan sepihak saat terdengar dari seberang suara papahnya menyahut panggilan.“Aku pergi sebentar, ya. Istirahatlah,” pamit Yori kemudian bergegas pergi.Yori segera menerima
Bab 59. Bulan Madu 2'Jangan pernah lari dariku. Secepat apa pun kamu menghilang, aku akan tetap menemukanmu.'(Yori Kristian Hirata)*****Malam bertabur bintang. Cuaca sangat bagus untuk makan malam di teras yang terletak di samping area kamar dengan suasana terbuka dan menyatu dengan taman.Hana sudah siap, duduk berhadapan dengan Yori. Keduanya saling menautkan jemari tangan di atas meja. Saling memindai wajah satu sama lain diiringi senyuman. Mata berkabut asmara sangat terlihat jelas dari keduanya saat saling memandang.“Terima kasih sudah bersedia menjadi bagian dari hidup Yor