Pov Rahman
Bisa terhitung sangat lama aku tidak melampiaskan hasrat ini. Sejak perempuan memakai niqam singgah dalam hidupku. Pertemuan ini bukanlah suatu rencana yang kubuat. Namun takdir berkata lain.
Nur Aisyah.
Nama yang selalu terngiang setiap malamku. Aku masih dengan sifat arrogantku yang suka melampiaskan emosiku. Perlakuanku terhadapnya tidak membuatnya dia membenciku. Perempuan itu sangat unik. Ucapannya bagaikan busur panah yang menghujam jantungku. Aku dibuatnya kehilangan separuh napas. Namun aku harus tetap terlihat kuat dan menganggap ucapannya sebagai angina lalu.
Aku pikir dia telah gila. Minta dinikahi dan menghalalkan sentuhan yang terjadi. Padahal aku sudah tidak percaya dengan namanya cinta. Apalagi suatu kom
Rahman pulang ke rumah dalam keadaan bimbang dan gelisah. Perkataan Robi memang sialan. Jika bersaing dengan cara cuang memang itu sudah sifatnya dari dulu. Wajah Rahman tampak kusut. Dia mematung di dekat jendela menghadap taman. Bahkan sampai kehadiran Aisyah tidak disadarinya. “Mas Rahman, ada apa? Tampaknya murung sejak pulang tadi?” Aisyah memberikan secangkir teh hangat. Dengan tatapan penuh keraguan Rahman mengambil secangkir teh yang dibawakan oleh istrinya itu. Bagaimana jika suatu hari nanti Aisyah menginginkan seorang anak dan lalu dia akan meninggalkannya. Rahman mulai merasa khawatir. Penuh kelembutan Aisyah mengelus dada Rahman. Sambil tersenyum, Aisyah menyarakan Ra
Sebuah tanggalan meja dilingkari dengan puplen warna merah oleh Aisyah. Dia memperkirakan dengan aplikasi penghitung masa kesuburan setelah menstruasi hari pertama. Pada tanggal dan hari berapa nanti untuk memulai berhubungan dengan suami.Setelah Rahman berangkat bekerja sekitar dua puluh menit yang lalu, Aisyah memilih untuk masuk ke kamar dan merapikan barang-barang. Walau semua tampak rapi dan bersih, namun tetap saja Aisyah ingin melihat perbedaan dengan isi kamar. Mungkin saja dengan sedikit merubah posisi barang-barang yang di kamar akan menambah suasana lebih segar. Terlalu banyak juga kenangan masa lalu Rahman dengan perempuan yang dibawa pulang.Tidak sedikit pun Aisyah meminta bantuan Mbok Darsih, walau keringat sudah membasahi tubuhnya. Cuaca hari ini juga tampak sangat panas sekali. Peluh Aisyah sampai membuat bajunya basah.Saat turun ke bawah, Aisyah melihat Mbok Darsih yang sedang mengobrol dengan Pak Darto. Tapi kenapa Rahman tidak ada di rumah.
Pov Aisyah Pagi-pagi sekali kulihat Rahman bersama Ayahnya sudah mengobrol di taman. Keduanya tampak berkeringat setelah jogging. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, kelihatannya sangat serius sekali. Aku yang hanya bisa melihat mereka dari dapur, tidak berani untuk ikut campur, apalagi Bahasa Inggrisku tidak begitu lancar. “Aisyah,” Terdengar suara yang memanggilku, rupanya Ibu mertuaku. Mungkin dia membutuhkan sesuatu dan butuh bantuanku untuk mencarikannya. Sejak kedatangan orangtua Rahman, aku merasa sangat senang karena mempunyai teman mengobrol. Shelin juga lebih suka di rumah daripada jalan-jalan di luar.&n
Gelapnya malam telah berganti terangnya pagi. Dua manusia masih hangat di dalam selimut. Setelah salat Subuh Aisyah dan Rahman memilih masuk kembali dalam peraduan. Entah kenapa seluruh badan masih merasakan pegal akibat permainan semalam. Perlahan, Aisyah membuka matanya, lalu diikuti geliat Rahman mengangkat lengannya yang dijadikan bantal oleh Aisyah. “Jam berapa, sayang?” ucap Rahman lirih namun masih bisa didengar. Aisyah melihat ke arah jam beker di meja samping. Ternyata sudah pukul enam pagi. Kedua mata masih mengantuk berat, Aisyah menyilakan selimut dan turun dari ranjang. Dia berharap ibu mertua atau ayah mertuanya belum turun ke dapur. Bergegas Aisyah turun ke bawah dan menuju ke dapur. Dilihatnya Mbok Darsih juga seperti baru bangun. Saat melihat Aisyah sudah di dapur, Mbok Darsih tersenyum malu-malu membuat Aisyah tampak bingung. Dan tidak biasanya Mbok Darsih memakai kerudung, tapi pagi-pagi sekali sudah memakai kerudung. ‘Tapi
Tatapan Rahman masih dingin. Bahkan sampai di ruangan kerjanya dia masih memendam kemarahan. Jika saja tidak ditahan oleh Aisyah pasti dia sudah mengamuk di meja makan tadi. Ayah Rahman yang juga ikut ke kantor sedikit bisa membuat Rahman tampak tenang. Tidak mungkin Rahman akan mengamuk di hadapan Ayahnya. Hari ini Ayah Rahman memang sengaja ikut datang ke kantor untuk mengikuti rapat untuk pembukaan cabang resort baru. Dia ke Indonesia bukan semata ingin bertemu menantunya melainkan juga untuk menyaksikan secara langsug progress anak cabang resort terbarunya. Di ruangan rapat sudah hadir beberapa tamu undangan yang merupkan rekan bisnis. Tanpa sengaja Robi menyenggol Ayah Rahman saat di toilet. “Oh, Mr.Wijayanto. What a surprise you are here.” &n
POV Rahman Tiga bulan aku menunggu Aisyah memberikan kabar menggembirakan. Janin ada di dalam rahimnya. Tapi semua itu belum ada sinyal keyakinan. Sementara tiga bulan lagi Shelin wisuda dan langsung menikah dengan Dimas. Hatiku gelisah bukan karea harta ini. Namun aku kegilasah tidak bisa memberikan keturunan untuk Aisyah. Dia masih muda dan cantik. Pasti banyak laki-laki di luar sana yang tertarik. Apalagi semenjak dia kembali aktif menulis dan kelihatannya juga main social media untuk berdakwah. Hatiku gelisah, dia akan luntur untuk mencintaiku. Bahkan di kolom komentar banyak sekali yang memuji Aisyah, dan banyak pula yang berkomentar sebagai calon istri idam
Tubuhku masih terasa tidak enak badan. Perutku bahkan terasa perih. Namun suhu badanku masih normal. Kualihkan pandanganku melihat Rahman yang sudah tidur terlelap. Aku tidak tega untuk membangunkannya. Aku harus bangun untuk mengambil wudhu. Setiap malamku tidak ingin kubuang-buang kesempatan untuk memohon kepada Tuhan. Selagi masih dalam keadaan suci, insya Allah, aku tidak akan lelah untuk membuka mata di sepertiga malam. Tanpa kusadari Rahman juga terbangun. Dia masih kelihatan mengkhawatirkanku. Semenjak ikhtiar bersama, Rahman memang selalu berusaha untuk ikut salat tahajud denganku. Sebagai pemimpin di rumah dan imam dalam hidupku, dia sudah banyak perubahan. “Sayang, kamu baik-baik saja?”&n
Satu gelas ramuan cinta berhasil diminum tanpa menyisakan setetes pun. Rahman menatap Aisyah dan masih memendam penasaran. Tes pack yang dibeli belum digunakan oleh Aisyah. Antara keraguan dan keyakinan masih membingungkan hatinya. Tubuh Rahman menjadi gerah. Pikirannya bahkan menjadi tidak konsentrasi di depan layar laptop. Ada dokumen yang harus dipelajari terlebih dahulu untuk besok. Baru saja Niken, sekretaris pribadinya mengirimkan lewat aplikasi hijau. Melihat Rahman yang sedang bekerja malam, Aisyah tidak ingin mengganggu, dia memilih untuk menulis diary. Padahal Aisyah ingin menanyakan sesuatu. Rahman mengacak rambutnya, Aisyah pikir suaminya itu terlalu stress dengan pekerjaannya. Saking gerah menempel di sekujur tubuhnya bahkan sampai ke tulang-tulang tub