Pov Aisyah
Dear Diary,
Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu.
Rahman Wijanto.
Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah.
Penjara suc
Tubuh Aisyah dijatuhkan ke atas tempat tidur. Kasur yang empuk itu membuat tubuh Asiyah terpental. Sekuat tenaga Aisyah tidak ingin menangis. Sementara Rahman, pria yang penuh dendam di dalam hatinya masih menatap Aisyah dengan tatapan bengisnya. Aisyah masih merasa bingung, dalam sekejap waktu dia bisa berada di kamar besar dan rumah yang bagaikan istana. “Tunggu saja hukuman dariku!” Rahman lalu meninggalkan kamar. Pembantu rumah yang sangat setia dengan Tuannya itu tidak tega melihat Aisyah. Melihat penampilan Aisyah, pembantu itu menganggap kalau Aisyah adalah permpuan baik-baik, kenapa Tuannya membawanya ke sini. Apakah dia salah membawa wanita atau dia ingin merasakan kepuasan dari wanita yang tak seperti biasanya. “Maafkan Tuan Rahman. Nona.” &nbs
Rahman pulang dipapah oleh supir pribadinya yaitu Pak Darto. Bukan pertama kali Rahman pulang dalam keadaan mabuk. Bahkan hampir setiap malam. Kondisi Rahman seperti itu sangat membahayakan posisinya sebagai CEO namun seolah dia tidak mau peduli. Pak Darto dan Mbok Darsih sering menasihati Rahman tapi selalu dianggap angin lalu. Meskipun Pak Darto dan Mbok Darsih hanya pembantu dan supir pribadinya tapi Rahman masih menghormati mereka berdua karena sejak kecil sudah diasuh dengan baik. Orangtuanya tinggal di Singapura, bersama Adik perempuan Rahman yang sedang kuliah di NUS. Perbaduan blesteran antara Jawa dan Amerika, itulah yang membuat paras Rahman mempunyai ciri khas. Pria yang berbadan six pack itu seakan tidak mempunyai kecacatan fisik. Namun entah kenapa, keluarga Cindy tiba-tiba membatalkan pernikahan yang sudah matang disiapkan.
Niken mengetuk pintu. Rahman masih termenung dengan ucapan Pak Darto. Kehadiran Niken pun tak kalah dilewatkan oleh mata Rahman. Niken yang memakai rok di atas lutut dan baju hem yang ketat berbalut blazer. “Maaf Pak… meeting sebentar lagi.” “Bukankah siang ini?” “Jadwalnya diajukan Pak, sudah saya beritahu Pak Rahman kemarin.” “Oh yah.” Rahman mengangguk dan tidak begitu pusing memikirkannya. Niken memberikan berkas-berkas yang harus disiapkan untuk presentasi. Niken menjelaskan kalau Rahman tidak bertindak tegas dan cepat, bisa saja proyek cabang baru bisa jatuh ke tangan lawan. &n
Rahman melihat kamarnya masih terang. Dia tidak melihat Aisyah di kamarnya, hatinya langsung panik. Dia bergegas mencari Aisyah ke bawah. Menurut pengakuan Mbok Darsih, Aisyah tidur di kamar tamu. Pintu kamar yang tidak dikunci membuat Rahman dengan mudah masuk. Aisyah mengucapkan salam selesai salat tahajudnya. Dia langsung kaget melihat Rahman yang duduk di kasur. “Ngapain kamu ke sini?” Rahman masih diam sambil memandang wajah Aisyah yang tanpa niqam melihatkan bentuk hidung mancung Aisyah dan bibir mungilnya, sehingga membuat Rahman menelan salivanya. Melihat kecantikan Aisyah siapa yang tidak akan tertarik. Paras perempuan-perempuan penghibur di club malam, kalah dengan kecantikan Aisyah yang tanpa polesan make up. &nbs
Mobil berhenti di depan rumah kontrakan. Aisyah melihat dari dalam mobil, pemilik kontrakan sedang mengetuk-ngetuk pintu. Aisyah bergegas keluar dari dalam mobil dan menghampirinya. “Assalamualaikum…” Aisyah mengucapkan salam. Bibirnya yang tersenyum walau tidak kelihatan, dia tetap tersenyum. “Waalikumsalam…” “Ustazah Aisyah, darimana saja?” “Maafkan saya, Bu.” Rahman dengan santai keluar dari mobil. Pemilik kontrakan sebenarnya merasa kesal karena sudah dua minggu Aisyah menunggak membayar uang kontrakan, ditambah lagi dia menghilang begitu saja.  
Aisyah masih merasa bingung, kenapa Rahman bisa bersikap seperti itu. Dengan uang yang dimiliki, dia bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Mbok Darsih datang dengan wajah yang gelisah. “Non,” ucap Mbok Darsih lirih namun terdengar jelas. “Ada apa, Mbok? Apakah Tuan Rahman sudah turun?” tanya Aisyah, menghentikan zikirnya. “Belum, Non.” Jawab Mbok Darsih, bertambah gelisah. Aisyah teringat kalau Rahman mempunyai sakit magh, jika telat makan bisa berakibat buruk. Aisyah menawarkan dirinya untuk mengantarkan makan malam untuk Rahman. “Yakin, Non?” tanya Mbok Darsih sedikit
Aisyah masih merasakan nyeri di bibirnya yang memang sedikit lecet terkena gigi-gigi Rahman yang lancip. Dia merasa berdosa sekali. Aisyah melaksanakan salat tobat dan meminta ampunan dari Tuhan. Walau apa Aisyah alami bukan karena keinginannya. Justri dengan meminta dihalalkan oleh Rahman, dia anggap sebagai penebusan dosa. Meski bangun tengah malam atau sedingin Subuh, bagi Aisyah sudah sangat terbiasa. Kehidupan di penjara suci sudah mengajarkan banyak keprihatinan tentang hidup. Justri dia merasa aman tinggal di pondok pesantren. Pintu kamar terbuka, Aisyah masih khusyuk berzikir dengan mata terpejam. Rahman duduk di atas kasur dan melihat Aisyah yang sangat tenang. Sudah setengah jam Rahman menunggu Aisyah, namun Aisyah masih khusyuk berzikir. Tanpa sadar, Rah
Tatapan Aisyah kosong memandang ke luar jendela. Pikiran Aisyah semakin tidak karuan. Terlalu berlama-lama di rumah Rahman, seakan menambah daftar dosa dalam hidupnya. Meski semua ini bukanlah keinginannya. Sebuah tangan meraih gagang pintu. Mata Aisyah melihat gagang pintu itu turun ke bawah akibat ada yang membuka dari luar. Antara Rahman atau Mbok Darsih yang muncul di benak pikiran Aisyah. Saat pintu terbuka, hati Aisyah merasa lega. Mbok Darsih yang muncul dari balik pintu. Mbok Darsih meminta Aisyah untuk membantu di dapur. Kejadian semalam ternyata diketahui oleh Mbok Darsih. “Non Aisyah mau membantu saya di dapur?” tanya Mbok Darsih diiringi senyuman.