Aisyah masih merasakan nyeri di bibirnya yang memang sedikit lecet terkena gigi-gigi Rahman yang lancip. Dia merasa berdosa sekali. Aisyah melaksanakan salat tobat dan meminta ampunan dari Tuhan. Walau apa Aisyah alami bukan karena keinginannya. Justri dengan meminta dihalalkan oleh Rahman, dia anggap sebagai penebusan dosa.
Meski bangun tengah malam atau sedingin Subuh, bagi Aisyah sudah sangat terbiasa. Kehidupan di penjara suci sudah mengajarkan banyak keprihatinan tentang hidup. Justri dia merasa aman tinggal di pondok pesantren.
Pintu kamar terbuka, Aisyah masih khusyuk berzikir dengan mata terpejam. Rahman duduk di atas kasur dan melihat Aisyah yang sangat tenang.
Sudah setengah jam Rahman menunggu Aisyah, namun Aisyah masih khusyuk berzikir. Tanpa sadar, Rahman jatuh tertidur. Kekuatan matanya tidak sekuat Aisyah yang sudah terbiasa.
Saat Aisyah mengakhiri zikirnya, dia merasa kaget melihat Rahman tertidur pulas. Aisyah lebih dekat memandangi wajah. Paras rupa blesteran Rahman dalam keadaan terlelap seperti itu mendebarkan isi hatinya. Aisyah tersenyum dan melihat jam di dinding sudah pukul tiga pagi.
Aisyah mengambil satu bantal dan tidur di karpet di bawah tempat tidur. Menunggu Subuh tiba, biasanya Aisyah mudah untuk terlelap. Rahman terbangun dan tidak menemukan Aisyah yang terakhir kali dilihatnya masih duduk anteng.
Saat Rahman menurunkan kakinya, barulah dia sadar ternyata Aisyah tertidur di karpet. Rahman duduk di samping Aisyah terus memandingi wajahnya.
“Apakah dia bidadari yang dikirim Tuhan, untukku?” bisik hati Rahman.
Namun rasa sakit atas cintanya dahulu membuat Rahman merasa tidak yakin untuk jatuh cinta lagi. Melampiaskan hasratnya sebatas ingin membalas dendam. Wajah polos Aisyah sekali lagi membuat hati Rahman berdebar.
Rahman mengangkat tubuh Aisyah.
“Pantas saja enteng begini, dia kan kurang makan.” Ucap Rahman dalam hati.
Perlahan Rahman meletakkan Aisyah di atas kasur. Saat Rahman hendak melepaskan tangannya dari bawah kepala Aisyah, tiba-tiba dia terbangun. Dengan mata yang sangat kantuk, Aisyah mencoba untuk melihat wajah yang telah memindahkan posisi tidurnya.
Seketika Aisyah membalikkan badannya. Dia langsung merasa khawatir. Pikirannya pergi ke imajinasi yang sulit dibayangkan.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Aisyah sambil bangun.
“Ini rumahku, aku bebas melakukan apa saja.” Jawab Rahman.
“Maaf Tuan, saya mohon tinggalkan saya sendiri.” Ucap Aisyah.
“Beberapa jam lalu, kamu minta dihalalkan, dan sekarang minta ditinggalkan sendiri. Kamu serius tidak untuk menjadi istriku?”
Mendengar upacan Aisyah, kakinya langsung bergetar. Apakah laki-laki aneh itu serius dengan ucapannya.
“Kamu mabuk, Tuan?” Aisyah ingin memastikan.
Rahman mendekati Aisyah yang sekarang posisinya terpojok di sudut kamar. Rahman membuka mulutnya.
“Haaah!” Rahman membuka mulutnya persis di depan wajah Aisyah.
“Apa bau minuman keras?” tanya Rahman sekali lagi.
Aisyah menutup mulutnya dan memegang dada Rahman yang datar dengan tangan kanannya lalu mendorongnya pelan.
“Pergilah, Tuan…” pinta Aisyah.
Rahman meraih tangan kanan Aisyah. Ingin sekali menyingkirkan tangannya, tapi Aisyah masih merasa takut jika Rahman akan membabi buta dan bisa membahayakan dirinya.
“Tuan, halalkan aku dulu. Setelah itu Tuan, bebas melakukan apa pun terhadapku.” Aisyah sadar dengan ucapannya itu. Memilih menentukan takdir yang tidak pernah dibayangkan sama sekali.
“Rahman mencium tangan Aisyah. Terasa wangi sekali. Namun tiba-tiba hati dan pikiran Rahman menjadi kacau. Dia melepaskan tangan Aisyah dengan kasar, sehingga Aisyah merasa kesakitan.
“Perempuan tidak tahu malu!”
Aisyah masih berusaha untuk bertahan sekuat hatinya. Apakah pantas keluar dari mulut seorang laki-laki yang ternyata kini membuat hati Aisyah merasakan cinta pertama. Bahkan sakit akibat ulah Rahman, tidak lagi ditakuti.
“Memang, aku tidak punya malu Tuan.” Jawab Aisyah.
Aisyah berjalan pelan melawati Rahman, namun sekejap kilat tubuh Aisyah sudah dalam genggaman tangan Rahman yang kuat. Kedua tangan Rahman mengunci perut Aisyah sangat erat. Aisyah memohon untuk dilepaskan.
“Aku pikir kamu sudah gila jika mau menikah denganku.” Bisik Rahman tepat ke telinga Aisyah.
“Aku mencintaimu, Tuan.” Jawab Aisyah meski merasakan lidah yang getir.
Rahman membalikkan posisi Aisyah. Posisi mereka kini sangat dekat sekali. Rahman mulai melebarkan kuncian tangannya yang melingkar di perut Aisyah. Aisyah menggunakan kedua tangannya supaya buah dadanya tidak menempel ke tubuh Rahman.
“Mencintaiku?” Rahman merasa tidak percaya.
Ditatapnya mata Aisyah yang bersinar. Gadis polos yang rela keluar dari penjara suci demi mengejar impian ke ibukota.
“Apa yang membuatmu jatuh cinta kepadaku?” tatapan mata Rahman sangat meneduhkan saat ini. Hingga Aisyah menundukkan pandangannya takut berlama-lama memandang mata Rahman.
“Akan aku jawab, tapi lepaskan aku dulu Tuan.” Pinta Aisyah.
Rahman melepaskan tubuh Aisyah. Dua langkah memundurkan kakinya, Aisyah memberanikan dirinya untuk melihat Rahman yang menunggu jawaban.
“Jika ada laki-laki yang berani menyentuh tubuh ini, maka dia harus bertanggung jawab untuk menikahiku.”
“Ha ha ha ha…” Rahman justru tertawa mendengar ucapan Aisyah.
Aisyah menjadi kesal dan ingin rasanya dia menampar pipi Rahman untuk kedua kali, supaya dia sadar. Rahman merasa geli dengan kejujuran Aisyah.
“Apa ada yang lucu Tuan?” tanya Aisyah sambil menutupi jengkel dalam wajahnya.
Aisyah tidak perlu mendengar jawaban dari Rahman. Aisyah berjalan ke sisi tempat tidur dan merebahkan badannya dan berharap Rahman segera pergi.
“Apakah aku laki-laki pertama yang menyentuh tubuhmu?” Tiba-tiba terdengar suara Rahman.
“Iya, Tuan.” Aisyah menjawab sambil memejamkan mata.
“Tapi aku laki-laki kotor.” Rahman duduk di sebelah Aisyah.
“Aku bukan Tuhan yang dapat menilaimu kotor atau tidak.” Jawab Aisyah.
Detik itu juga, Rahman ingin memeluk Aisyah namun diurungkan. Aisyah sudah mengatakan kesediannya untuk dinikahi, tidak sepantasnya Rahman melakukan perbuatan yang melukai hati Aisyah.
“Cobalah kamu pikirkan. Kalau niatmu menikah denganku untuk membayar hutangmu, maka kamu akan menderita.” Rahman turun dari tempat tidur.
Ketika tangannya hendak meraih gagang pintu, Aisyah mengeluarkan kata-kata yang membuat Rahman menjadi murka.
“Dasar laki-laki tidak tahu diri. Pengecut! Pecundang!”
“Apa katamu?!”
Rahman langsung berbalik dan menindihi tubuh Aisyah dan mencengkram pipi Aisyah yang masih lebam.
“Emmmm, lepaskan…” Aisyah memberontak.
Tubuh Rahman yang sangat kuat tidak mudah untuk disingkirkan. Aisyah memukul-mukul lengan Rahman dengan tenaga yang dimilikinya.
“Aku akan membuatmu sangat tersiksa…”
Aisyah diam. Keluar cairan bening dari bola matanya. Rahman mengangkat tubuhnya dan membiarkan Aisyah bernapas. Aisyah mengelap air matanya dan duduk di sebelah Rahman.
“Maakan aku, Tuan.”
Rahman refleks memegang pipi Aisyah dan mengusap sisa airmata Aisyah dengan lembut. Perlahan Rahman mendekatkan napasnya persis di bibir Aisyah. Antara takut dan malu, Aisyah memejamkan matanya dan berkata.
“Halalkan aku, Tuan…”
Kali ini Rahman tidak peduli langsung mengangkat wajah Aisyah hingga terasa sesak di dalam dada karena oksigen yang dihirup berkurang. Tubuh Aisyah merasa dingin dan membiarkan sedikit lebih lama.
***
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n