Share

Cinta itu Berbunga-Bunga

            Tatapan Aisyah kosong memandang ke luar jendela. Pikiran Aisyah semakin tidak karuan. Terlalu berlama-lama di rumah Rahman, seakan menambah daftar dosa dalam hidupnya. Meski semua ini bukanlah keinginannya.

            Sebuah tangan meraih gagang pintu. Mata Aisyah melihat gagang pintu itu turun ke bawah akibat ada yang membuka dari luar. Antara Rahman atau Mbok Darsih yang muncul di benak pikiran Aisyah.

            Saat pintu terbuka, hati Aisyah merasa lega. Mbok Darsih yang muncul dari balik pintu. Mbok Darsih meminta Aisyah untuk membantu di dapur. Kejadian semalam ternyata diketahui oleh Mbok Darsih.

            “Non Aisyah mau membantu saya di dapur?” tanya Mbok Darsih diiringi senyuman.

            “Iya, Mbok.” Jawab Aisyah.

            Sudah sepuluh menit Aisyah membantu Mbok Darsih di dapur menyiapkan sarapan namun hatinya masih saja merasa gelisah. Pikiran Aisyah masih memikirkan kejadian semalam. Apa yang dilakukan oleh Rahman sangat membuat dirinya merasa tersiksa. Namun anehnya juga, kenapa muncul perasaan cinta untuk laki-laki itu. Rahman sangat jauh sekali dari prediksi calon imam terbaik.

            “Non, maafkan Tuan Rahman, yah…” ucapan Mbok Darsih membuyarkan lamunan Aisyah.

            “Mbok, apakah Tuan Rahman memang seperti itu orangnya?” tanya Aisyah.

            “Tidak Non. Tuan Rahman orang yang baik. Mungkin takdir Non ketemu dengan Tuan Rahman, disaat yang kurang tepat saja alias apes.” Ucap Mbok Darsih.

            “Ah, Mbok, bisa saja.” Sanggah Aisyah.

            Orang yang sedang dibicarakan tiba-tiba muncul. Rahman penuh keringat, tampaknya dia baru saja dari ruang gym. Tubuh kekarnya tampak menawan. Mata Aisyah kaku memandang.

            Tanpa bersuara Rahman membuka pintu kulkas. Dia mengambil botol juice orange lalu mengambil gelas. Aisyah melihati Rahman yang memasukkan air warna orange itu ke dalam mulutnya. Terlihat jakun Rahman naik turun.

            “Maaf Tuan, kalau minum sebaiknya duduk.” Aisyah mengingatkan Rahman.

            Dua mata Rahman memandang Aisyah. Matanya lama menahan berkedip untuk menangkap bola mata Aisyah. Akibat pandangan mata Rahman membuat Aisyah merasa serba bingung.

            “Mbok siapkan koper saya.” Rahman meninggalkan gelas kosong di atas meja begitu saja.

            “Baik, Tuan.” Jawab Mbok Darsih.

            Aisyah merasa bingung, kenapa tiba-tiba Rahman meminta koper untuk disiapkan. Apakah Rahman akan ke luar negeri. Sungguh tidak mempunyai hati nurani, setelah kejadian semalam, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

            Aisyah mengikuti Mbok Darsih menyiapkan koper yang diminta Rahman. Koper warna hitam sudah disiapkan Mbok Darsih di kamar Rahman. Aisyah menunggu Rahman ke luar dari kamar mandi. Meski Mbok Darsih meminta Aisyah untuk tidak bertanya apa-apa, takutnya Rahman akan mengamuk. Namun Aisyah meminta Mbok Darsih agar tidak khawatir.

            Punggung Mbok Darsih sudah tidak kelihatan. Aisyah duduk di atas kasur sambil memandang foto keluarga Rahman. Bibir Aisyah melengkung mengukir senyuman. Tidak ada tampang ‘ganas’ sebenarya di raut wajah Rahman.

            Rahman mengeringkan rambutnya ke luar dari kamar mandi. Rahman merasa tertegun melihat ada Aisyah.

            “Kenapa kamu di sini?” tanya Rahman.

            “Aku menunggumu selesai mandi.” Kata Aisyah sambil berdiri.

            “Ada apa?” suara Rahman terdengar lembut.

            “Aku ingin memastikan tentang kejadian semalam… aku ingin kamu bertanggung jawab untuk menikahiku.” Aisyah mengambil handuk yang dipegang Rahman lalu mengeringkan rambut Rahman.

            Rahman membiarkan Aisyah melakukan itu. Namun tidak lama tangan Rahman menghentikan tangan Aisyah. Hanya ada jarak dalam hitungan sentimeter. Kedua jantung mereka berdetak semakin kencang. Rahman mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Aisyah dan membisikkan kata-kata.

            “Aku akan berangkat ke Singapura.”

            “Aku akan menunggumu kembali.” Jawab Aisyah.

            Rahman dan Aisyah semakin sama-sama memiliki perasaan yang membuat hati mereka berdebar. Ucapan ‘aku dan kamu’ tidak lamu memberatkan lidah berucap. Rahman namun masih merasa egois untuk menyembunyikan tentang isi hatinya. Berbeda dengan Aisyah yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta. Laki-laki itulah yang membuat Aisyah jatuh cinta.

            Tidak seperti cerita teman-teman di penjara suci, katanya jatuh cinta itu menyenangkan bisa membuat hidup berbunga-bunga. Berbalik dengan yang dialami Aisyah oleh Aisyah. Meski jatuh cinta ada perasaan takut dan berdosa dengan ujian yang diberikan oleh Tuhan. Kini Aisyah seperti sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan.

            “Nur Aisyah…”

            Mendengar Rahman memanggil namanya terasa sejuk hati Aisyah. Bola mata Rahman memandang wajah Aisyah.

            “Kamu bebas jika mau pergi.” Ucap Rahman, namun dalam hatinya berkata lain.

            “Aku tidak akan pergi ke mana-mana sampai kamu kembali dari Singapura.” Jawaban dari Aisyah membuat hati Rahman merasa lega.

            Saat Rahman ingin menyentuh pipi Aiysah, tiba-tiba dia mengurungkan niat. Rahman meminta Aisyah untuk membantu packing pakaiannya. Melihat sikap Rahman yang berubah drastis membuat Aisyah tersenyum, hatinya sedikit berbunga-bunga.

                                                                         ***

            Rahman menuruni anak tangga. Tubuh kekarnya menghipnotis Aisyah untuk tidak memalingkan kekaguman pada pria itu. Meski sikapnya sangat acuh dan dingin namun, Aisyah yakin ada sisi lain di sebelah hatinya yang menyimpan kesejukan.

            Aisyah mengambil botol air putih dari tangan Mbok Darsih.

            “Sini, biar saya saja Mbok.” Ucap Aisyah diiringi dengan senyuman.

            Aisyah menuangkan air putih ke gelas Rahman.

            “Terima kasih Mbok.”

            “Aisyah, Tuan…”

            Rahman langsung menolehkan wajahnya. Aisyah tersenyum melihat bibir Rahman akhirnya menciptakan senyuman balik. Rahman memandang Aisyah sekian detik lalu mengedipkan kedua mata.

            “Duduklah temani saya makan.”

            “Baik Tuan.”

            Pak Darto memasukkan koper ke dalam bagasi. Mbok Darsih dan Aisyah mengantar sampai di depan pintu. Ingin sekali Rahman memeluk Aisyah sebelum berangkat. Namun, terbesit rasa malu melihat Mbok Darsih dan Pak Darto.

            “Sudah tidak ada yang ketinggalan, Tuan?” tanya Pak Darto.

            “Tidak Pak.” Rahman masuk ke dalam mobil.

            Aisyah melambaikan tangan. Rahman membuat perjanjian untuk dirinya sendiri. Dia akan kembali dan membuat lembaran baru.

                                                                        ***

            Niken berjalan tegap menghampiri Rahman yang sedang duduk membaca majalah. Masih ada waktu satu jam sebelum check in. Penuh wibawa sebagai sekretaris, Niken menyodorkan berkas-berkas yang harus ditanda tangani terlebih dahulu sebelum keberangkatan Rahman.

            “Setelah kepulangan Anda, sudah saya jadwalkan untuk meeting.”

            “Baik, terima kasih.”

            Rahman selesai menandatangani berkas-berkas. Niken hendak berlalu, tiba-tiba Rahman menghentikan.

            “Niken, ada tugas tambahan untuk kamu.”

            “Tugas apa Pak?”

            “Selama aku berada di Singapura, tolong cek dan penuhi kebutuhan Aisyah.”

            “Aisyah yang…”

            “Betul. Kamu koordinasikan dengan Mbok Darsih.”

            Rahman memotong ucapan Niken, sebelum dia berbicara terlalu panjang. Rahman kemudian mengambil jas dan tasnya, berjalan menuju ke arah check in. Niken masih belum mengerti, kenapa Rahman bisa memiliki hubungan dengan Aisyah, sedangkan secara penampilan, sosok Aisyah sangat jauh berbeda dengan perempuan-perempuan yang selalu dibawa pulang oleh Rahman.

            Niken mengempaskan napas agar bisa merasakan oksigen yang tadi sempat membuat hidungnya sedikit tersumbat.

            “Apakah dia sudah mau taubat?” batin Niken.

            Sambil berlalu dari bandara, Niken menuju ke mobil Rahman, di sana sudah ada Pak Darto yang menunggu dengan sabarmuntuk mengantarkan Niken kembali ke kantor. Kepergian Rahman ke Singapura bukan semata-mata untuk urusan pekerjaan namun ada sesuatu hal yang ingin dia lakukan di sana. Tanpa sepengetahuan Niken maupun keluarganya. Rahman harus memastikan sebelum mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Sambil berharap ucapan Aisyah dapat dipercaya, bukan semata karena ketakutan Aisyah terhadap dirinya.

            Sebelum pesawat terbang, Rahman melihat foto-foto Aisyah yang dicuri olehnya saat Aisyah tertidur. Rahman bahkan sampai men-zoom foto Aisyah. Bibirnya yang lama jarang tersenyum, kini seperti ada kekuatan untuk bisa merasakan bahagia. Memandangi wajah Aisyah walau hanya sebatas lewat handphone namun, dia sudah merasa senang.

            “Tunggu aku kembali, Aisyah.” Bisik hati kecil Rahman, lalu mematikan handphonenya karena pesawat sebentar lagi akan terbang.

                                                                        ***

           

Anung DLizta

Terus lanjutkan baca yah, bab Rahman di Singapura akan ada kisahnya. Jangan lupa like dan dukungan teman-teman pembaca. Terima kasih.

| 2
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ida Dimara
ceritanya sangat menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status