Share

Keikhlasan

Aisyah masih merasa bingung, kenapa Rahman bisa bersikap seperti itu. Dengan uang yang dimiliki, dia bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Mbok Darsih datang dengan wajah yang gelisah.

            “Non,” ucap Mbok Darsih lirih namun terdengar jelas.

            “Ada apa, Mbok? Apakah Tuan Rahman sudah turun?” tanya Aisyah, menghentikan zikirnya.

            “Belum, Non.” Jawab Mbok Darsih, bertambah gelisah.

            Aisyah teringat kalau Rahman mempunyai sakit magh, jika telat makan bisa berakibat buruk. Aisyah menawarkan dirinya untuk mengantarkan makan malam untuk Rahman.

            “Yakin, Non?” tanya Mbok Darsih sedikit tidak yakin.

            “Insya Allah, Mbok, tidak apa-apa.”

            Akhirnya Mbok Darsih menyiapkan makan malam di atas nampan. Perlahan Aisyah menaiki anak tangga dan masuk ke kamar Rahman. Tangan Aisyah meraih saklar lampu. Melihat Rahman masih duduk dengan posisi terakhir kali dia melihatnya.

            “Tuan, makan dulu.” Ucap Aisyah masih berdiri.

            “Kenapa kamu masih di sini?” Rahman melihat Aisyah tanpa memakai niqam. Luka lebam di pipinya sangat biru sekali. Dia merasa kasihan juga.

            “Izinkan aku berkerja di sini untuk membayar hutangku.” Kata Aisyah sedikit lebih mendekati Rahman.

            “Kamu tidak punya hutang. Jangan mencari alasan. Bilang saja kalau kamu tidak punya tempat tinggal, dan ingin tinggal di sini gratis!” Rahman seolah mengejek Aisyah.

            Meski terasa menohok ucapan Rahman, tapi Aisyah masih bertahan untuk mendengarkannya, karena memang benar ucapan Rahman.

            “Aku punya hutang sepuluh juta yang Tuan bayarkan untuk kontrakan. Biarkan aku membayarnya dengan bekerja di sini sebagai pelayanmu.”

            “Ha ha ha ha…”

            Aisyah pun merasa lucu melihat tiba-tiba Rahman tertawa. Pria itu tampak sangat tampan jika tidak berselimut kemarahan.

            “Menjadi pelayanku?”

            “Iyah, Tuan.”

            Rahman pun bangkit dan berjalan mendekati Aisyah yang masih berdiri memegang nampan, meski tangannya sudah terasa pegal memegangi nampan yang tidak ringan. Melihat pipi Aisyah yang masih lebam membiru membuat Rahman bertamabh semakin kasihan lagi melihatnya.

            “Apa masih sakit?” tanyanya lirih.

            “Hah?”

            “Pipimu?” Rahman ingin menyentuh lukanya, tapi Aisyah memalingkan wajah.

            “Oh, tidak apa-apa, Tuan.”

            Rahman mengambil nampan dan meletakkan di meja samping tempat tidurnya.

            “Suapi aku.”

            “Apa?”

            “Kamu bilang mau menjadi pelayanku.”

            “Iya, Tuan.”

            “Lalu tunggu apa lagi? Lakukan tugasmu.”

            Aisyah tidak bisa menolak. Rahman sudah bersender di atas tempat tidur menunggu Aisyah memberikan layanan sesuai ucapannya tadi. Aisyah mengambil sendok dengan tangan yang gemetar. Rahman hanya melihatnya saja, mau bertahan berapa lama Aisyah akan melayaninya. Dengan pelan Aisyah mengangkat makanan yang sudah disendoknya.

            “Sudah berdoa, Tuan?”

            Rahman menampel sendok itu dan membuat berserakan di lantai. Rahman meremas pipi Aisyah dengan kasar. Matanya sangat mengerikan sekali. Aisyah mencoba tidak menangis walau menahan sakit. Rahman merasa sedang diceramahi oleh Aisyah.

            Melihat Aisyah yang diam saja membuat Rahman melepaskan tangannya. Aisyah keluar dari kamar Rahman, barulah dia menangis dan berlari masuk ke kamar. Mbok Darsih menyusulnya.

            “Non…”

            Aisyah menghapus air matanya. Mungkin dia telah keliru membuat pilihan. Menjadi pelayan Rahman saja bunuh diri secara pelan-pelan. Mbok Darsih memangku kepala Aisyah dan menceritakan bagaimana dulu Rahman sebelum berubah menjadi sosok yang sekarang.

            “Dulu, Tuan sangat baik sebelum gagal menikah.”

            “Benarkah Mbok? Tapi kalau karena gagal menikah, tidak seharusnya dia berubah jahat seperti itu. Tuhan sudah menentukkan rezeki, umur dan jodoh sebelum umat-Nya lahir kedua.”

            “Tuan tidak pernah cerita, kenapa dia gagal menikah.” Ucap Mbok Darsih.

            Tiba-tiba Aisyah teringat saat Rahman bertemu dengan seorang wanita di parkiran. Mungkin karena wanita itu telah melukai hati Rahman dan dia tidak bisa ikhlas menerima ujian dari Tuhan.

            “Siapa pacar Rahman, Mbok?” tanya Aisyah.

            “Namanya Cindy kalau tidak salah.” Ucap Mbok Darsih sambil mengingat.

            Aisyah memasrahkan dirinya jika harus menjadi pelayan untuk Rahman. Tidak peduli hukuman apa pun yang akan diterimanya. Sudah takdirnya berada di sini.

                                                            ***

            Paginya Aisyah menyiram tanaman sementara Mbok Darsih menyiapkan sarapan. Rahman melihat Aisyah yang tidak melayani dirinya langsung meraih selang air dan menyiramkan ke mukanya.

            Aisyah menjerit kesakitan terkena luka di pipinya. Mbok Darsih mencoba menghentikannya tapi tidak dihiraukan oleh Rahman. Aisyah pun diam dan membiarkan Rahman melampiaskan kepuasannya.

            “Kamu tahu apa kesalahanmu?”

            Aisyah mengangguk, dia pun meminta maaf dan segera menuju ke meja makan. Menyiapkan sarapan untuk Rahman dengan bajunya yang basah. Perlakuan Rahman yang sungguh keterlaluan tidak ada yang bisa menghentikannya.

            Rahman melemparkan serbet makan. Selera makan katanya hilang melihat Aisyah yang tidak rapi. Lagi-lagi Mbok Darsih meminta Aisyah untuk berpikir ulang tentang niatnya melayani Tuan Rahman.

            Di depan terlihat keramaian, Pak Darto memelankan laju mobilnya. Ternyata ada kecelakaan motor. Rahman hanya melihat sekilas darah yang keluar dari kepala pembonceng. Tak lama terdengar mobil ambulan.

            Niken mengetuk pintu dan langsung memberikan berkas-berkas untuk Rahman tanda tangani. Namun sebelumnya Niken sudah mengingatkan Rahman untuk membaca lebih teliti.

            “Pak, tolong baca lebih teliti.”

            “Kenapa, bukankah jika jatuh ke tangan Robi, kamu pasti senang.”

            “Robi memang pacar saya, tapi Bapak adalah boss saya. Saya tidak ingin Bapak ceroboh dalam menandatangani dokumen.”

            “Ceroboh?”

            “Apa Bapak tahu, siapa yang akan menikahi Adik Pak Rahman?”

            Benar juga apa yang dikatakan oleh Niken. Selama ini, dia tidak tahu siapa kekasih Adiknya di Singapura. Niken berusaha untuk mengingatkan Rahman, akan orang-orang yang ingin menyingkirkan posisinya.

            Niken lalu melihatkan foto calon Adik iparnya itu yang tak lain dan tidak bukan adalah Adik Cindy. Itu artinya, orangtua Cindy sengaja membatalkan pernikahannya karena ingin mengambil Shelin, Adiknya. Adik Cindy, juga melanjutkan kuliahnya di Singapura.

            Tanpa diminta, Niken telah melacak keberadaan Dimas, Adik Cindy. Setahun lagi, dia lulus kuliah dan akan melanjutkan perusahaan orangtuanya di ibukota. Sementara Cindy sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di Bali. Jadi selama ini orangtua Rahman sudah tahu, kalau Adiknya menjalin hubungan dengan Dimas. Tentu saja, orangtuanya sangat setuju, semua hanya alasan bisnis yang harus saling menguntungkan.

            Jika Dimas menikah dengan Shelin dan mereka punya anak, maka jalinan perusahaan kedua keluarga tidak akan terputus. Posisi Rahman benar-benar terancam jika tidak bisa memiliki keturunan. Dia bisa dibuang bagaikan sampah tak berguna.

            Sejak pulang dari kantor, Aisyah tidak melihat Rahman yang tempramental. Dia mendiamkan diri di dalam kamar. Aiysah mengetuk pintu dan membawakan buah anggur. Pura-pura Aisyah sambil melirik apa yang sedang Rahman kerjakan.

            “Astaghfirulllahalaziim…”

            Aisyah merasa risih melihat Rahman sedang berselancar di situs prostitusi online. Perempuan hampir bertelanjang sepenuh badan dengan wajah yang diblur serta ada total harga sewa yang harus dibayarkan untuk servisenya. Aisyah merasa kesal dan langsung memencet tombol off.

            “Hei, kamu apa-apaan!” bentak Rahman.

            “Tuan itu yang apa-apaan. Situs seperti itu dilihat.” Seru Aisyah tidak merasa takut sama sekali.

            Rahman menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ingin rasanya meremas pipi Aisyah, namun dia tidak tega, masih ada luka lebam yang belum sembuh. Rahman mengoceh panjang lebar hingga di satu titik dia berkata tanpa sadar.

            “Apa pedulimu. Biarkan aku hancur. Percuma aku hidup jika tidak bisa memiliki keturunan…”

            Aisyah menyentuh pundak Rahman yang sudah tampak tenang.

            “Kenapa Tuan bicara seperti itu. Anak itu rezeki dari Tuhan.”

            “Aku mandul, Aisyah…”

            “Tapi Tuan belum menikah, darimana Tuan tahu kalau mandul?”

            “Sebelum menikah dengan Cindy, orangtuanya meminta kami untuk test kesuburan dan hasilnya aku yang mengalami gangguan sperma tidak subur.”

            Aisyah melihat Rahman yang begitu terpuruk. Perubahan sikapnya selama ini mungkin saja karena hal itu. Rahman bercerita seperti dengan tembok, tanpa memikirkan malu. Bahkan orangtua Cindy tetap menginginkan keluarganya tetap ada jalinan dengan keluarga Rahman. Menikahkan Sheila, Adiknya dengan Dimas.

            “Nikahi aku, Tuan.” Ucap Aisyah.

            Rahman kaget mendengar ucapan Aisyah. Sudah Panjang lebar sebab gagalnya dia menikah tapi Aisyah justru berucap tidak masuk akal.

            “Aku mandul, Aisyah…”

            “Aku tidak percaya, Tuan mandul. Kita buat kesepakataan, jika selama enam bulan aku tidak hamil, maka Tuan bisa menceraikanku. Tapi jika aku bisa hamil, Tuan akan berubah dan bersikap baik seperti yang Mbok Darsih katakan.”

            “Dalam waktu enam bulan kamu yakin bisa hamil denganku?” Rahman tampak ragu.

            “Iyah, tapi dengan syarat. Tuan harus mengikuti ikhtiar bersamaku. Selama ikhtiar Tuan tidak boleh minum minuman keras, merokok, pulang malam, dan pergi ke club malam.”

            Rahman merasa tertantang dengan ucapan Aisyah. Jika dilihat-lihat, Aisyah juga tidak kalah cantik dengan Cindy. Bahkan daya tarik Aisyah terlihat dari bentuk matanya yang bisa menghipnotis hatinya. Rahman menggigit bibirnya sambil membayangkan bibir mungil Aisyah.

            “Bagaimana setuju?”

            Rahman mencengkram lengan Aisyah, tatapannya berubah seketika.

            “Kamu pikir siapa, bisa menentukan pilihan untukku. Jika aku mau, sudah kugagahi tubuhmu ini.”

            Rahman melepaskan tangannya dan meminta Aisyah untuk keluar dari kamarnya. Rahman termenung, saran dari Aisyah tidak ada salahnya untuk dicoba, apalagi Aisyah lulusan pondok yang cukup terkenal di Jawa, pasti amalam dia selama di pondok bisa membantunya untuk ikhtiar.

            Aisyah merasa malu atas sikapnya tadi. Seperti perempuan yang tidak punya harga diri menawarkan diri sendiri untuk dinikahi. Merasa kesal, Aisyah melempar bantal dan tanpa sengaja terkena wajah Rahman yang baru membuka pintu.

            “Ouhhh…” Aisyah langsung panik. Rahman pasti akan menghukumnya.

            Rahman mengunci pintu dan meletakkan bantal di sebelah Aisyah. Merasa terancam, Aisyah langsung turun dan berdiri menepi di pojokan.

            “Ke sini…”

            Aisyah masih diam. Dia mengelengkan kepala. Rahman merasa kesal lalu melemparkan bantal ke arah Aisyah.

            “Ke sini!” bentak Rahman. Mau tidak mau, Aisyah mendekati Rahman.

            Rahman membuka obat oles. Aisyah masih diam tidak menoleh. Perlahan, tangan Rahman mengolesi pipi Aisyah yang masih lebam. Merasa tidak nyaman, Aisyah menggeserkan posisi duduknya. Rahman menahan pundak Aisyah.

            “Sakit?”

            Aisyah menggeleng tapi dia juga takut jika disakiti lagi oleh Rahman, dia pun mengangguk. Berharap Rahman tidak menyakitinya lagi. Setelah selesai mengolesi pipi Aisyah, Rahman mencengkram dagu Aisyah. Jempolnya menyentuh bibir Aisyah.

            “Emmm, bau…”

            Ternyata jempol Rahman tadi terkena obat oles. Aisyah tidak mau berdebat dengan pria itu dan memilih diam, yang penting dia masih bisa melindungi dirinya. Bibir Rahman semakin dekat dengan bibir mungilnya.

            “Halalkan aku dulu…”

            Rahman langsung melepaskan tangannya. Aisyah merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Baru kali ini, Aisyah berada sangat dekat dengan seorang pria. Selama di penjara suci dia selalu menjaga pandangan dan pergaulannya. Rahman pergi dari kamar Aisyah tanpa mengeluarkan sepatah kata apa pun. Aisyah merasa selamat dari srigala mengerikan itu.

            Di dalam kamar Rahman termenung. Wajah Aisyah sangat mengganggu pikirannya. Kenapa dia ingin merasa dekat dengan Aisyah. Padahal jelas-jelas, Aisyah pasti sangat jijik untuk mencintainya yang sangat kotor.

            Rahman berpikir panjang sepanjang malam. Jika Aisyah ikhlas meminta untuk dihalalkan, dia bisa mempunyai kesempatan untuk ikhtiar seperti kata-kata Aisyah. Lagipula, bermain-main dengan kupu-kupu malam sudah sangat puas bagi Rahman.

                                                                        ***

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status