Aku pun hari itu bersiap-siap pergi ke kontrakan Cantika yang jauh dari Kontrakanku. Ya, berjarak cukup jauh memang. Seketika setelah menelpon Cantika, aku pun segera ambil langkah seribu untuk pergi dari sana, hanya untuk melihat kondisi Kontrakan miliknya yang memang segera akan aku huni nantinya.
Sudah berniat sekali aku untuk pindah dari tempat ini, tak ada gunanya aku berpikir dua kali untuk bertahan lagi di tempat ini. Memang harus aku lakukan, untuk apa aku memilih masih tetap tinggal di sini, jika hatiku merasa sudah tak nyaman lagi. Untuk apa aku bertahan di sini, sementara selalu merasa tak tenang.
Begitulah hari itu, segera aku pergi dan tak lupa mengunci terlebih dahulu pintu kamar Kontrakan, kemudian melangkahkan kaki.
Aku telah sampai di Kontrakan Cantika saat itu, kulihat pintu kamar Kontrakann Cantika terbuka. Ku lihat dia masih mengenakan pakaian celana pendek dengan kaos minim. Aku sedikit tersenyum dan lega bisa sampai tiba di sini. Segera
“Oh jadi kamu yang mau pindah ya dek? Bapak pemilik kontrakan itu ramah padaku, bapak yang berdiri dan menyapaku itu adalah pemilik Kontrakan tempat Cantika tinggal. Begitu ramah dan begitu bersahabat. Terlihat juga saat itu beberapa anak Kontrakan lainnya sudah datang dan tersenyum padaku, tentu saja dengan begitu ramah. Semua aku rasa begitu berbeda dengan suasana semula di tempatku. “Hai Cantika? “Banyak dapat pelanggan semalam….? Beberapa anak laki-laki itu mencoba menggoda Cantika temanku dengan senyum ramah, bercanda dan melemparkan senyum padaku dan Cantika. Aku seketika mengernyitkan kening, mengalihkan pandangan pada Cantika yang saat itu menjawab pertanyaan beberapa anak laki-laki itu, tentunya menggoda Cantika dengan kata-kata pelanggan. “Pelanggan..? Timbul pertanyaan dalam hatiku saat itu. Apakah memang para anak laki-laki di tempat Cantika mengontrak dan tinggal itu tahu pekerjaan Cantika saat ini?
Ya… begitulah aku hari itu. Tak perlu menunggu kebimbangan dengan sikap dan keputusanku. Tak nyaman berada di tempat lama itu yang aku rasa semua kaku. Orang-orang yang selalu mencibirku dengan tingkat pendidikan mereka yang begitu tinggi, pemilik kosan lama yang begitu sangat menyakitkan hati, semua seolah membuat aku ingin cepat pergi. Padahal dulu, aku mengenal mereka semua selalu bersikap ramah, berkata manis.“Apakah semua orang di kota ini munafik?“Apakah semua orang di kota ini memang begitu cara mereka kepada semua pendatang?“Aku rasa tidak juga. Mereka hanya ramah pada setiap orang yang memang selevel dengan mereka. Sedangkan aku…?“Aaa… sudahlah buat apa aku terlalu memikirkannya,” begitu pikiranku saat itu. Tak mau banyak berpikir tentang hal-hal yang menurutku memang membuat kepalaku rasanya mau meledak. Tak ada untungnya juga aku memikirkan mereka yang tak ada sangkut pautnya dengan diriku.
“Aku akan pindah bu.”Aku berbicara sembari menunjukkan raut muka datar hari itu, seolah memang sudah bosan memandang pemilik kosan lama yang aku anggap memang budak uang. Aku sadar mereka juga butuh uang, tetapi bisakah dia menahan kata-kata kasarnya selama ini, ketika menagih uang padaku yang telat bayar kontrakan. Tetap tak bisa, hanya menambah sakit hati saja mengenangnya.“Apa kau sudah berpikir matang-matang?”Ucap pemilik kontrakan lama itu bertanya balik ke padaku, tentang rencana diriku yang memang ingin pergi dari tempat kontrakan miliknya. Aku memang tak ada hati lagi untuk tinggal di sini, berbagai alasan yang memang sengaja tak aku ungkapkan hari itu dan ingin cepat pergi, muak dengan wajah bertopengnya yang seolah ramah.Ya, biarlah ini menjadi pelajaran dari pengalaman serta perjalanan hidupku. Tentunya lebih berhati-hati memilih tempat tinggal di ibu kota ini, kenyamanan yang memang terkadang susah
Malam hari adalah malam yang kami tunggu. Sudah tak sabar lagi rasanya aku menunggu matahari tenggelam dari aktifitas menyinari bumi hari itu. Biasanya, aku sebelum jam lima sore terlebih dahulu mandi dan kembali tidur. Hal itu aku lakukan agar kembali segar ketika akan melakukan profesi malamku itu. Ya profesi di gelapnya malam sebagai gadis kupu-kupu malam yang berdiri tepat di pinggir jalan. Menantikan hidung belang dengan membawa rupiah yang berguna untuk meneruskan kehidupan dan perjuangan berat di kota Kejam ini.Setelah bangun tidur pada saat tepat pukul Sembilan malam, aku biasanya berdandan dan mempoles seluruh bagian wajah dan juga mengenakan pakaian seksi milikku, cantik bak perempuan liar jalanan. Ya, hampir setiap malam aku melakukan hal itu begitu saja terus.Jika malam hari atau saat azan berkumandang biasa digunakan untuk beribadah orang-orang, aku tak melakukannya. Bukan tak mau beribadah, tetapi aku berpikir memang belum pantas untuk menye
Aku saat itu memakai pakaian seksi yang aku kenakan untuk mencari rupiah di jalanan. Tentu saja setelah hari itu mendapat telepon dari salah satu tamu atau yang biasa aku sebut pelanggan. Pelanggan yang malam itu menelponku dengan memakai nomor pribadi, menelpon diriku di saat keadaan sudah malam hari. Tepat pada jam sembilan malam. “Dimana kau? “Aku ingin mencicipi tubuh seksimu? Ucap tamu atau pelanggan yang berkata demikian, seolah menggairahkan sehingga membuat aku semakin penasaran. “Punya uang berapa? Ucapku seolah meremehkan salah satu pelanggan yang menelpon itu, seolah tak percaya dia memberikan uang banyak atas pelayanan yang akan aku berikan. Maklum, aku memang tak bernafsu pada pelanggan atau tamu yang memang pelit terhadap uang. Tak sebanding dengan aku yang harus bermandikan keringat malam. “Kau meremehkanku?” “Berapa kau minta?” Ucap laki-laki itu dari ujung telepon genggamnya, menantangku unt
“Cantika?“Cantika?Teriakku dari depan pintu sebuah kamar kontrakan, tepat di depan kamar Cantika yang memang hari itu tak kudengar suaranya. Sudah seharian ini dia memang tak terlihat atau memanggilku yang memang biasa dia lakukan setiap hari, tapi kali ini tak terlihat. Sebelum pergi ke hotel untuk berkencan, aku pun ingin memastikan keadaan sahabatku satu-satunya itu apakah dia baik-baik saja atau tidak.Terlihat saat itu aku sudah keluar dan berdiri dengan pakaian yang sudah aku siapkan sebelumnya. Sudah siap menuju kamar hotel tempat pelangganku menunggu. Tapi dengan rasa penasaranku saat itu ingin tahu apakah sahabatku itu baik-baik saja atau tidak. Aku sedikit mengintip dari balik tirai kamarnya yang saat itu sedikit terbuka. Terlihat dari luar sebuah tubuh telentang dengan Headset yang masih terpasang di telinga. Wajar saja dia tak mendengar sahutanku yang dari tadi memanggilnya.“Oalahh…. pantas saja
Aku begitu takjub dengan laki-laki yang berdiri di hadapanku saat ini. Begitu tampan dengan muka yang layaknya seorang keturunan bak pangeran berkuda yang seakan membangkitkan gairah malamku yang begitu menggebu-gebu. Aku tak perduli lagi, walaupun dia telah memiliki pasangan ataupun tidak. Aku tak mempersoalkan hal itu. Saat itu Aku lihat dia memandangku dengan penuh nafsu. Terlihat tubuh kekarnya denagn dada bidang berbulu,lalu laki-laki itu tersenyum padaku. Setelah aku masuk ke dalam kamar hotel aku masih berdiri di hadapannya saat itu. Laki-laki yang Memakai piama atau baju tidur panjang saat itu seolah menatap diriku di atas kursi santai yang didudukinya di dalam sebuah kamar hotel nomor tiga puluh enam itu. “Kau bisa menari? Ucapnya padaku sembari dia duduk di atas kursi santai itu, ditemani dengan segelas minuman berwarna merah yang aku tahu itu sejenis minuman memabukkan dengan minuman yang mengandung kadar alkohol, tercium dari
Samar-samar aku melihat pria itu membuka baju tidurnya, kemudian aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu. Aku begitu benci dengan waktu yang begitu berjalan cepat, terperdaya malam itu dengan terlalu banyak minum-minuman alkohol yang disuguhkan laki-laki gagah itu. Sehingga, laki-laki itu begitu leluasa mengotak-atik bagian-bagian berharga dalam hidupku. Entah sudah keberapa kalinya laki-laki di luaran sana memakai tubuh yang ku anggap sebagai aset terpenting dalam hidupku ini.Aku tak tahu, aku gaman. Aku seolah baru dalam dunia seperti ini. Mungkin saat ini bisa saja aku menjadi primadona karena usia yang masih muda, tapi entah esok harinya bahkan esok harinya lagi. Semua seakan sudah menjadi rahasia yang memang sudah digariskan tuhan. “Sudahlah” aku hanya ingin menikmati apa yang ada sekarang, itu saja.”“Kau baru sadar?“Maaf ya. Aku memang sengaja memberikanmu minuman itu agar kau cepat menikmati permainan liar ini.”