Pranggg!!!
Sebuah barang yang pecah menggema memenuhi sudut ruangan. Seorang gadis menunduk untuk memungut pecahan kaca tersebut. "Ahh!..." Gadis itu di tarik. "Plakkkk!!!' sebuah tamparan menghujam pipi mulusnya. "Dasar anak bodoh! Siapa yang suruh kamu jatuhkan piring itu?! Kau tahu, harga piring itu jauh lebih mahal ketimbang harga dirimu! Dan sekarang piring itu sudah pecah. Mau pakai apa kau menggantinya?!" ujar Armand, yang merupakan papanya. Gadis itu hanya menunduk sambil memegang pipinya yang terasa panas. "Jawab papa, Rubby! Kenapa kamu selalu saja ceroboh! Sudah berapa banyak barang-barang yang pecah gara-gara ulahmu! Papa lelah, Kenapa juga Amira harus melahirkan anak sepertimu! Harusnya kamu mati saja dulu, bukan mamamu! Memang kau anak pembawa sial!" Deg! Air mata luruh di pipi Rubby mendengar ucapan papanya itu. Sampai hati, laki-laki yang begitu ia sayangi menyumpahinya seperti itu. Ini bukan pertama kalinya Rubby di marahi seperti itu. Hampir setiap waktu, setiap kali apapun yang dia lakukan, pasti akan selalu salah di mata keluarganya, termasuk di mata ayahnya sendiri. Hingga tiba-tiba datang seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dia adalah Alvian dan Amara, yang merupakan kakaknya Rubby. Melihat adik bungsu mereka sedang di marahi Armand, kedua orang itu sudah tak aneh lagi. "Dia buat ulah apa lagi, Pah?!" tanya Amara cuek. Dia pun duduk di meja makan yang sudah tersedia banyak makanan. Di susul oleh Alvian kemudian. "Biasa, adikmu yang satu ini selalu saja membuat ulah. Papa sudah suruh untuk hati-hati membawanya, tapi tetap saja dia ceroboh!" ujar Armand kesal. "Sudah pah, biarkan saja dia! Biar dia bereskan barang yang pecah itu. Lebih baik sekarang papa sarapan saja sama kita, takut kita terlambat," sahut Alvian. Armand pun mengangguk. Kemudian ia menoleh ke arah Rubby. "Bersihkan pecahan kaca itu sampai benar-benar bersih! Jangan sampai tersisa sedikitpun! Pokoknya kamu tidak boleh pergi sekolah, kalau semuanya belum selesai! Apa Kamu paham, Rubby?!" titah Armand. Rubby pun hanya mengangguk. Setelah itu Armand pun duduk di meja makan lalu menikmati sarapan bersama dengan kedua anak kesayangannya. Sementara Rubby, dia sibuk membersihkan pecahan kaca yang dikarenakan olehnya tadi. Setelah selesai sarapan, mereka bertiga meninggalkan Rubby begitu saja. Bahkan mereka juga tidak menyisakan makanan sedikitpun untuk Rubby. Makanan sisa yang tak mereka makan langsung Mereka buang. Tanpa peduli kalau Rubby belum sarapan. Setelah selesai membereskan kekacauan tadi, Rubby pun berdiri di depan meja makan. Perutnya lapar tapi tidak ada sedikitpun makanan disana. Mbok Minah yang melihat itu sungguh merasa kasihan padanya. Dia sungguh tidak menyangka kalau majikan laki-lakinya itu akan setega itu pada Putri bungsunya. Mbok Minah tergopoh-gopoh menghampiri Rubby. Dia memeluk anak majikannya itu dengan sayang dari belakang. Ya, ini bukan pertama kalinya mbok Minah melihat itu. Sejak pertama kali dirinya bekerja di rumah itu, tepatnya pada saat usia Rubby menginjak lima tahun, majikan laki-lakinya itu beserta kedua anaknya selalu saja mengasingkan Rubby. Awalnya mbok Minah mengira, kalau Rubby itu adalah anak pungutnya Armand. Namun lama-kelamaan dia pun mengetahui, kalau gadis itu adalah anak kandung dari majikannya. Mbok Minah yang merasa kasihan pun berusaha untuk menenangkan Rubby. "Non yang sabar ya Non, pasti tidak mudah jadi Non, yang selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dari papa non sendiri. Non yang kuat, ya," ujar Minah menepuk-nepuk pundak Rubby. Rubby pun mengangguk. "Saya tidak apa-apa kok, mbok, makasih ya, mbok selalu baik sama saya. Hanya mbok yang saya punya setelah papa dan kedua kakak saya. Saya sayang sama mbok. Makasih ya, mbok..." Rubby memeluknya. Minah pun membalas pelukan Rubby. Dalam hati dia sangat bersedih dan kasihan pada Rubby. Dia berdoa, semoga kelak keluarganya Rubby bisa mencintai dan menyayangi gadis itu dengan tulus. "Iya, non. Mbok juga sayang sama Non Rubby. Non lapar, 'kan? Biar mbok masakan lagi, ya! Buat non makan?" Rubby pun menoleh ke arah jam dinding di sana. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih. Seketika iapun teringat akan sekolah. "Ya ampun, mbok! Aku sudah kesiangan. Sepertinya aku gak akan sarapan sekarang. Aku harus segera pergi ke sekolah, mbok!" "Astaga, non! Terus bagaimana? Non belum sarapan, lagi! Yasudah, mendingan non siap-siap dulu sekarang, biar mbok siapkan bekal, ya!" Rubby tersenyum. "Terimakasih, mbok. Mbok memang yang terbaik," ujar Rubby mengelus wajah renta Minah. Minah pun tersenyum kepadanya. Setelah itu Rubby pun bergegas pergi ke kamarnya untuk bersiap. Tak lupa dia mandi terlebih dahulu untuk membersihkan tubuhnya. Setelah selesai bersiap, diapun turun dengan menggunakan seragam sekolahnya. Mbok Minah dengan siaga membawakan bekal untuknya. Rubby pun mencium pipinya setelah dia mengambil makanannya. "Terimakasih ya, mbok. Mbok sudah repot-repot bikin bekal buat Rubby. Maaf karena Rubby sudah merepotkan mbok." "Non Rubby ini bicara apa? Saya 'kan majikan non, sudah sepatutnya saya melayani non Rubby." "Tapi kalau papa dan yang lainnya tahu, mbok selalu membuatkan bekal untuk saya, takutnya mbok akan kena masalah. Rubby gak mau mbok di marahin papa nanti." Rubby sedih. Minah pun mengelus pipinya. "Non tenang saja, ya! Mbok pasti gak akan kenapa-kenapa, kok. Lagian kasihan non, kalau non gak ada bawa bekal. Kan non juga gak di kasih uang bukan, sama tuan Armand? Lalu bagaimana non mau makan di sekolah, kalau non sendiri gak bawa uang." "Ah, saya sudah biasa kok, mbok, saya paling minum air keran saja untuk menghilangkan haus. Masalah makan, saya ada teman namanya Zee, dia baik, kok. Suka kasih saya makanan." Mbok Minah menatap Rubby kasihan."Yasudah, non hati-hati ya, di jalannya! Bawa sepedanya pelan-pelan!" Rubby mengangguk. "Kalau begitu saya pamit ya, mbok! Mbok juga baik-baik di rumah." "Iya, non." Setelah itu Rubby pun pergi dengan mengendarai sepeda miliknya. Dia mengayuh sepeda itu dengan kecepatan sedang. Namun saat di perjalanan, dia tak sengaja melihat sekelompok orang sedang mengeroyok seorang pria. Pria itu nampak ketakutan dengan raut wajah tua yang cemas. Rubby yang memang memiliki jiwa sosial yang tinggi, tak lantas pergi begitu saja. Dia justru menghentikan laju sepedanya, lalu mencari sesuatu. Tak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat sebuah balok kayu. Dia pun langsung mengambil balok kayu tersebut, selalu menghampiri orang-orang itu. "Hey, kalian semua!" teriak Rubby sambil mengangkat balok kayu itu tinggi-tinggi. Semua orang pun menoleh ke arahnya dengan keheranan. Hingga detik berikutnya... Bugh! Bugh! Bugh! Rubby menukul orang-orang itu satu persatu dengan balok kayu yang dia bawa. Orang-orang itupun kelimpungan. Hingga tiba-tiba..., seseorang bangkit, lalu kemudian mengarahkan sebuah pisau ke arah Rubby. Sreeetttt... Blesssh! Rubby pun terkena goresan pisau tersebut juga luka tusukan. "Akh!...ssshh..." Melihat Rubby terluka, orang yang tadi di tolong oleh Rubby itupun segera meminta bantuan. Sementara orang-orang yang tadi mengeroyoknya, mereka langsung pergi begitu saja setelah penusukan Rubby itu terjadi.Begitu orang itu melepaskan tangannya dari mata Rubby, Rubby pun segera berbalik badan untuk melihatnya. Dia menyempitkan matanya melihat seseorang yang pernah dikenalinya. “Oliver?” ucap ruby sambil menunjuk wajah laki-laki itu. Ya, ternyata yang menutup mata Rubby tadi adalah Oliver, laki-laki yang sempat bertemu dengannya beberapa waktu lalu saat di butik. Dan Clarissa yang memperkenalkan mereka. Oliver tersenyum mendengar ucapan Rubby, dia merasa senang karena ternyata Rubby masih mengingatnya. “Kamu masih mengingatku?” tanya Oliver bahagia. Rubby pun mengangguk. Oliver lagi tersenyum.“Syukurlah kalau kamu masih mengingatku. Aku kira kamu sudah tidak ingat lagi.” Rubby lagi tersenyum. “Oh ya, Kamu sedang apa di sini? Apa mungkin kamu ingin pergi ke suatu tempat?” tanyanya ragu.“Tidak, tidak. Tadi aku hanya mencari udara segar saja. Kebetulan aku melihat kamu di sini, makanya aku hampiri.” Rubby mengangguk. Dia sebenarnya merasa malu karena ketahuan sedang mengintip Malvino. D
Beberapa hari berlalu, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu itupun tiba. Hari pernikahan Malvin dan Rubby di adakan di kediaman Thompson. Seluruh keluarga Thompson dan kerabat hadir di acara pernikahan itu, namun tidak dengan keluarga Rubby. Rubby meminta Minah untuk menjadi orang tua penggantinya di pernikahan itu. Dan Minah pun dengan senang hati bersedia. Di kamarnya, Rubby sudah terlihat cantik dengan gaun pengantin yang di kenakan nya. Sebuah mahkota indah juga turut menghiasi di kepala. Rubby tersenyum menatap bayang dirinya di cermin. Dia masih tidak percaya, kalau hari ini adalah hari pernikahannya. Pernikahan dengan seorang pria yang baru saja di kenalnya beberapa hari.Namun meski begitu Rubby yakin, kalau ini sudah menjadi takdirnya. Tuhan pasti memiliki alasan di balik pertemuannya dengan keluarga Thompson ini. Mungkin ini adalah jawaban dari sebuah penantian panjangnya. Buah dari kesabarannya, hingga akhirnya mendapatkan keluarga yang menyayanginya.Lagi pula kalau di liha
Malam harinya Malvin kembali mendapatkan telepon dari mantan kekasihnya—Secilia. Gadis itu masih juga belum menyerah dan belum bisa menerima nasibnya.Sudah berkali-kali Secilia mencoba menghubunginya. Namun Malvin berusaha untuk mengabaikannya. Hingga pada panggilan ke sepuluh, akhirnya Malvin pun mengangkat panggilannya. Dia merasa terganggu dengan suara dering dari telpon tersebut."Ada apa lagi, nona Secilia? Bukankah sudah saya katakan untuk tidak menghubungi saya lagi? Saya sungguh merasa terganggu dengan panggilan dari Anda. Saat ini saya sedang sibuk mengurus acara pernikahan saya."Secilia terisak tangis. "Aku mohon jangan seperti ini Malvin, aku tidak bisa kehilangan kamu. Tolong jangan pernah tinggalkan aku. Batalkan pernikahan kamu dengan gadis itu, Malvin. Aku mohon...""Apa yang anda katakan, Nona Secilia. Saya tidak mungkin membatalkan pernikahan saya. Semuanya sudah di atur dan tinggal menunggu hari H nya saja. Saya harap anda tidak lagi mengganggu saya. Tolong terima
"Ibu pengganti?"Rubby mengangguk mengiyakan. "Sebenarnya ceritanya panjang Malvin, aku tidak bisa menceritakannya di sini. Ini sudah larut. Bisakah aku membawanya ke rumah?"Malvin terdiam sejenak. Hingga kemudian dia pun mengangguk. "Baikkah, kamu boleh mengajaknya ke rumah."Rubby tersenyum mendengar itu. "Terima kasih."Malvino mengangguk. Kemudian mereka semua pun masuk ke dalam mobil. Malvin melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. Setibanya di kediaman keluarga Thompson, Rubby mengajak Minah untuk masuk ke dalam rumah. Minah sedikit keheranan melihat rumah tersebut. Dia tidak tahu itu rumah siapa. "Non Rubby, ini rumah siapa? Kenapa kita kesini saat ini?"Rubby tersenyum mendengar pertanyaan Minah tersebut. "Ini rumah keluarga Thompson, Mbok. Mereka adalah keluarga baruku!"Minah sedikit terkejut mendengar pernyataan Rubby. "Keluarga baru Non?"Rubby mengangguk. Hingga akhirnya langkah mereka pun tiba di ruang utama. Kakek Oscar, Clarissa, dan juga yang lainnya menatap tany
Setelah selesai makan malam, Rubby pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Namun tiba-tiba saja dia teringat kalau saat ini dia sedang mendapatkan tamu bulanannya. Dia bahkan tidak memiliki pembalut sama sekali di kamarnya. Dia pun harus segera pergi ke minimarket atau dia tidak bisa melewati tidur indahnya hari ini. Dia pun bergegas keluar dari kamar dan pergi menuju kamarnya Clarissa. Dia harus segera meminta izin kepada wanita itu untuk bisa keluar dari rumah. Tak berselang lama setelah mengetuk pintu, pintu tersebut pun dibuka oleh Clarissa. Wanita itu tersenyum melihat Rubby. "Rubby? Sayang, ada apa? Apa kamu membutuhkan sesuatu?" Rubby pun memelintir pakaiannya menggunakan tangan sebelum berbicara. Dia merasa ragu untuk mengatakannya. "Em, begini Nyonya, saya—" "Rubby, bukankah sudah kukatakan, untuk tidak memanggilku dengan sebutan seperti itu? Panggil aku Mami, seperti layaknya Malvin memanggilku. Dan jangan berbicara formal seperti itu denganku! Bicara seperti biasa saja
Pernikahan antara Malvino dan Rubby pun sudah diatur keluarga. Semuanya sibuk untuk mempersiapkan acara. Tak hanya keluarga dekat, namun Opa Oscar juga meminta kerabat jauh mereka untuk datang ke acara pernikahan Malvino dan Rubby nanti.Kini, seluruh keluarga sudah berkumpul untuk merayakan pernikahan Malvino dan Rubby yang akan diadakan lusa nanti. Undangan juga sudah mulai disebar. Hampir semua rekan bisnis yang menjadi kolega keluarga mereka, mereka undang.Tak hanya rekan bisnis, namun Malvino dan keluarganya juga mengundang Cecilia, untuk turut hadir ke pernikahannya Malvino. Cecilia terkejut saat mendapatkan undangan itu dari asistennya Malvino. Dia tidak menyangka, kalau kekasihnya itu akan semudah itu melupakannya. "Kamu jahat sekali, Malvin, kamu tega melakukan ini padaku!" ujar Cecilia tak terima. Dia pun mencoba untuk menghubungi Malvino. Tapi ponsel pria itu sama sekali tidak aktif. Cecilia pun kesal. "Apa Kamu sengaja mematikan ponselmu, supaya aku tidak bisa menghubun