Mobil hitam yang dikendarai oleh Raga berhenti di pekarangan rumah Nenek yang cukup luas. Masih dari balik kemudi, ia melihat Sang Nenek tengah duduk di kursi santai di samping rumah yang disuguhkan dengan hamparan pegunungan dan persawahan yang hijau. Nenek tidak sendirian, di sampingnya ada Astari yang sudah berada di rumah pada jam sepagi ini.
“Nah, itu Raga sudah datang.” Nenek menyambut kedatangannya ketika Raga sudah turun dari mobil dan menghampiri dua orang wanita yang berbeda generasi.
“Bawakan pesanannya Nenek.” Raga mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam sebuah tote bag berukuran sedang.
Melihat itu Sang Nenek melebarkan senyumnya.
“Raga…” Sementara Tari menyapanya dari tempatnya duduk. Senyumnya merekah begitu melihat pria yang pernah mengisi hidupnya dulu itu kini datang.
“Tari, sudah ada disini pagi-pagi?”
Tari memberi anggukan singkat.
“Tari menginap tadi malam,” sambung Nenek Lasmi seraya mengambil tote bag dan mengintip pesanan yang dibawakan oleh cucunya.
“Oh ya? Kamu menginap tadi malam? Untuk menemani Nenek?” Raga mengerutkan kening.
“Iya, sebenarnya tidak direncanakan, sore hari aku mampir kesini untuk bawain makanan buat Nenek dan kami mengobrol cukup lama hingga waktu sudah hampir tengah malam.”
“Tari nggak ada yang nganterin, jadi Nenek suruh dia nginep disini. Sekalian Nenek juga mau dia nyicipin makanan pesanan Nenek. Selera kami kan kebetulan sama.”
Nenek Lasmi kemudian bangkit dan memanggil Esih yang ada di dalam rumah. Tak lama kemudian wanita bertubuh kurus itu muncul.
“Taruh di dalam toples ya. Siapkan juga teh hangat buat Raga.”
“Kamu sendirian?” Tari membuka suaranya.
Raga mengangguk. “Iya, Kinan mendadak sakit perut tadi pagi.”
“Mendadak atau nggak mau ikut?” tanya Nenek Lasmi.
“Sakit, Nek. Perutnya sakit karena tamu bulanannya datang tadi pagi. Seperti biasa dia hanya bisa meringkuk di kasur kalau sudah seperti itu.”
“Itu artinya gagal lagi bulan ini.” Nenek mendengus keras.
Tampak Raga berpura-pura tidak melihat dan memutuskan untuk tidak merespon. Sementara di tempatnya berdiri, Tari diam-diam menyunggingkan senyum miring.
“Nggak apa-apa istri kamu ditinggal sendirian?”
“Aku sudah siapkan makanan dan obat di samping tempat tidurnya kalau dia tidak bisa bangun. Tapi aku nggak bisa menginap ya, Nek. Kasihan Kinan nanti malam dia tidur sendirian dalam keadaan sakit.” Raga menolehkan kepala ke arah Nenek.
Nenek hanya melengos pelan dan mengibaskan tangannya acuh sebelum kemudian mengajak keduanya kembali masuk ke dalam rumah. Tampak di meja ruang tamu sudah terhidang tiga cangkir teh hangat lengkap dengan beraneka ragam olahan kue dari toko kue ternama di kota.
“Cobain lapis legitnya. Kamu suka kan, Tari?”
“Suka, Nek.”
“Nenek sudah pisahin buat kamu bawa dan berikan juga kepada Nenekmu. Dia pasti juga suka kan?”
Sudah menjadi rahasia umum di kampung ini bahwa Nenek Lasmi berteman akrab dengan Neneknya Tari, Hamidah pada semasa mereka muda sampai berusia senja. Satu alasan besar Nenek Lasmi begitu merestui hubungan Tari dan Raga karena kedekatannya dengan keluarga Tari.
Dulu sekali, Nenek Lasmi pernah ingin menjodohkan anaknya, ayahnya Raga dengan anak Nenek Hamidah, Rahayu, ibunya Tari. Namun, mereka tidak berjodoh. Hingga pada saat dirinya tahu Raga dan Tari sempat menjalin hubungan, hal itu menimbulkan kembali keinginannya untuk menjodohkan mereka berdua.
“Nggak usah repot-repot, Nek. Raga kan bawain ini buat Nenek.” Tari menggelengkan kepalanya keras.
“Raga pasti setuju kok, iya kan, Raga?” tanya Nenek menelengkan kepalanya.
“Iya, bawa saja. Sebenarnya aku bawa banyak kok dan memang tadinya mau ngasih buat kamu sebagai tanda terima kasih karena udah mau nemenin Nenek disini.”
Tari mendongak. Matanya berbinar mendengar ucapan Raga sebelumnya.
“Makasih banyak, aku senang kok nemenin Nenek. Setelah kembali ke rumah orang tuaku, aku jadi punya kehidupan.”
Raga menatap wanita itu dengan sorot mata ragu-ragu. Mulutnya sudah setengah membuka lalu sejurus kemudian ia menutup mulutnya. Ada keengganan yang membuatnya mengurungkan niatnya.
“Katakan saja, Raga.”
Sontak Raga mendongak. Terkejut karena rupanya Tari menyadarinya.
“Katakan saja apa yang membuatmu penasaran.”
Sementara di sebelahnya, Nenek Lasmi diam-diam memperhatikan keduanya sambil menyesap teh hangat.
“Apa kamu baik-baik saja?”
Seulas senyum hambar tersungging di bibirnya. “Awalnya tidak, sudah pasti. Tapi sekarang aku sudah baik. Bahkan lebih baik.”
“Apa yang terjadi sama kamu sebenarnya, Tari?”
“Dia… ringan tangan.”
Sontak saja Raga dan Nenek Lasmi mengucap istighfar bersamaan.
“Jadi dia melakukan kekerasan sama kamu?” tanya Raga lagi seolah masih belum percaya dengan apa yang didengarnya.
“Sudah kamu laporkan?” tanya Nenek Lasmi. Kini seluruh perhatian tertuju pada Tari.
Tari menggeleng. “Aku nggak mau ngelaporin, Nek. Biarin aja, yang penting aku udah bisa terbebas dari dia. Buktinya sekarang aku bisa bangkit dari keterpurukan. Aku hanya butuh dijauhkan oleh orang semacam dia.”
Sesaat Raga menatap sendu wajah Tari. Setengah tak menyangka bahwa wanita yang pernah ia bahagiakan kini harus mengalami perjalanan pernikahan yang cukup menyedihkan.
***
“Kasihan sekali ya hidupnya Tari,” ujar Nenek Lasmi tak lama setelah Tari pamit menjelang makan siang tadi karena ada urusan mendadak.
Di tempatnya, Raga terdiam. Tidak merespon. Kepalanya tertunduk, sorot matanya tidak tertuju pada satu fokus apapun pertanda bahwa pikirannya sedang berkelana. Terpisah dari raganya.
“Mungkin kalau dia jadi nikah sama kamu, dia nggak harus mengalami pernikahan yang pahit bersama dengan mantan suaminya yang suka main tangan itu,” lanjut Sang Nenek lagi. Matanya menatap Raga penuh selidik.
“Memang sudah begitu jalan hidupnya, Nek.” Raga menjawab singkat.
“Seandainya saja kalian menikah waktu itu…”
“Nanti dia juga pasti akan mendapatkan kebahagiaannya sendiri.”
“Kalau sama kamu, dia pasti bahagia.”
Raga sontak mendongak. Menatap Sang Nenek setengah tak percaya dengan apa yang dikatakannya. Bagaimana bisa Nenek berkata seperti itu disaat dirinya sudah menikah saat ini?
“Maksudnya, Nek?”
“Ya, nggak apa-apa. Nenek cuma masih berandai-andai setelah melihat kamu nggak bahagia.”
Tenggorokan Raga tercekat. “Aku bahagia kok.”
“Apa kamu yakin?” Nenek menatap mata Raga lekat-lekat.
Tak siap dengan itu, detik selanjutnya, Raga memalingkan wajahnya. Untuk menutupi kegelisahannya, pria itu kembali menyuapkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Namun, rasa ayam semur kesukaannya itu mendadak terasa hambar.
“Nenek tahu kamu sangat menginginkan anak, Raga. Tapi kamu harus menutupinya hanya untuk membuat Kinan tidak merasa kecil. Padahal kamu boleh saja menuntutnya,” ujar Nenek lagi.
“Kinan pasti lebih terpukul dengan ini, Nek. Dia juga sama-sama menginginkan anak sama sepertiku.”
“Andai aja kamu menikah dengan Tari, mungkin kalian sudah dikaruniai anak-anak yang lucu.”
Ujung bibir Raga berkedut. “Belum tentu, Nek. Itu masih menjadi Misteri Ilahi. Aku dan Kinan juga sudah berusaha semaksimal mungkin.”
“Tapi usaha kalian selalu saja gagal kan?”
Raga tidak menjawab. Toh kan pasti neneknya tahu betul apa yang terjadi.
“Karena yang bermasalah itu pasti Kinan, nggak mungkin kamu. Kamu ingat kan, apa yang dikatakan oleh Aki Karim?”
Raga termangu. Tentu saja dia ingat. Waktu itu Neneknya mengajak dirinya menemui seorang sesepuh yang katanya memiliki bakat melihat sesuatu dari dalam diri seseorang.
Aki Karim berkata padanya bahwa kesehatan reproduksi Raga benar-benar sehat sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saat itu, Raga tidak mau semerta-merta langsung percaya karena dia belum melakukan tes kesehatan secara medis.
“Kamu jadi mau pulang langsung hari ini?” tanya Nenek yang sepertinya memahami gerak-gerik tak nyaman dari pria itu.
“Iya, Nek. Kinan lagi sakit. Aku nggak tega ninggalin dia sendirian.”
Nenek hanya mendengus pelan.
Raga menyadarinya, tapi ia memilih untuk tidak memberikan respon apapu.
“Ya sudah, tunggu dulu, Nenek mau bawain lauk makan buat kamu. Si Kinan pasti nggak akan masak malam ini dengan alasan sakitnya itu.” Seusai berkata begitu, Nenek Lasmi pun bangkit dan berjalan perlahan menuju dapur.
Tidak lama kemudian, terdengar suara orang terjatuh disertai dengan bunyi perabotan yang berhamburan.
“Nenek!”
***
Nenek Lasmi membuka matanya yang sayu. Dilihatnya langit-langit kamar rumah sakit yang tampak familier satu dengan yang lainnya dengan pandangan yang kosong. Bertanya-tanya apa yang membawanya sampai harus dilarikan ke rumah sakit?Perlahan sekelebat bayangan kejadian terakhir membuatnya sadar. Walaupun, wanita itu hanya mengingat bagian semuanya menjadi gelap setelah mendengar paling mengejutkan.Diliriknya ke samping, terdapat Raga tengah duduk dengan kepala tertunduk sambil memegang tangannya yang lemah.“Raga,” panggil Nenek dengan suaranya yang masih serak dan terdengar lemah.Sontak saja Raga mendongak. “Alhamdulillah, Nenek sudah sadar. Tunggu sebentar ya, Raga panggilin dokter dulu.”“Nenek sudah tidak apa-apa.” Nenek menggelengkan kepalanya.“Diperiksa sama Dokter dulu ya, Nek.” Pria itu pun segera bangkit. Namun, Nenek menggenggam tangan Raga di sisa tenaganya.“Nenek sudah baik-baik saja. Ceritakan saja, apa yang sebenarnya terjadi?” Suaranya masih terdengar lemah.Sementar
Entah sudah berapa kali Kinan menghembuskan napas berat selagi menatap langit kelabu yang menggantung pada sore hari itu.“Seharusnya aku nggak terburu-buru membuka hati kalau ujungnya akan begini,” ujarnya lirih.Di belangannya, Raras ikut menghela napas. Tangannya terulur dan mengelus pelan punggung teman baiknya. Sudah dua hari setelah kejadian itu ia menolak untuk keluar dan bertemu dengan siapapun.Tadinya itu termasuk dengan Raras, tapi karena wanita itu paham betul dengan perubahan gelagat Kinan, maka disinilah sekarang. Tanpa perlu meminta izin, Raras sudah berdiri di depan pintu unit apartemen Kinan dan menolak pergi sebelum wanita itu luluh.“Siapa yang menyangka kalau keluarga bisa bertindak sejauh itu.”Kinan pun menoleh. Hanya menatap tapi tanpa memberikan respon.“Katamu, kalian pernah bertemu waktu masih sama-sama kuliah? Apa saat itu kamu nggak tahu bagaimana latar belakang keluarga Adrian?” kata Raras kemudian.Kinan menggeleng lemas. “Waktu itu kami hanya saling liha
Adrian hanya mampu menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dimengerti. “Apa status itu begitu penting bagi Mami?” “Tentu saja! Kamu harus tahu posisimu sebagai siapa? Kamu bukan hanya menikah untuk diri kamu tapi juga penyatuan dua keluarga. Yang paling penting lagi, kamu membawa nama keluarga Raharja. Maka keturunanmu juga akan menyandang nama keluarga itu. Maka anakmu tidak boleh berasal dari sembarang orang!” Sekali lagi, Adrian dibuat terpukau dengan perkataan Mami yang menggebu-gebu sejurus kemudian terlihat napasnya tersengal. “Nggak semua hal yang Mami pikir terbaik adalah yang terbaik,” ujarnya kemudian. Mami mengulas senyum miring. “Mungkin kamu melupakan sesuatu, kamu juga bilang itu saat kamu mempertahankan dia yang melemparkan kotoran di muka kita!” “Semua itu nggak akan terjadi kalau misalkan Mami lebih percaya sama dia.” Rahang Adrian mengeras dan tubuhnya sudah hampir bergetar lantaran menahan gejolak perasaan di dalam tubuhnya.Sementara wanita itu menatap anak
Beberapa jam yang lalu, Adrian sudah tidak sanggup lagi berada dalam ketidakpastian perubahan sikap Kinan yang terlalu drastis.Pesannya yang terakhir tak kunjung dibalas padahal sudah jelas-jelas dibaca oleh sang penerimanya; Kinan.“Ini nggak bisa dibiarkan. Lama-lama aku bisa gila kalau begini terus.”Ia tahu bahwa pasti sedang ada yang terjadi, tapi ia tidak ingin memaksa wanita itu untuk bercerita. Maka Adrian memberikan ruang dan jarak untuknya.“Aku harus menemuinya.”Sejurus kemudian, Adrian sudah berada di kawasan menuju apartemen Kinan dengan membawa bingkisan makanan kesukaannya dengan harapan jika ia datang tanpa memberitahunya, wanita itu akan luluh dan mau menemuinya.Ketika Adrian membelokkan setir kemudi menuju lahan parkir tamu yang persis di depan pintu masuk menuju lobi, ia dikejutkan dengan seseorang yang terasa sangat ia kenal tampak baru keluar.Seorang wanita paruh baya yang mengenakan dress sebatas betis berwarna hijau emerald lengkap dengan tas jinjing berwarna
Setelah kelahiran putri kecil mereka, rumah menjadi terasa lebih hidup. Para tetangga juga turut datang untuk menjenguk Tari dan Tarra yang menjadi bintang utama pada hari itu. “Tumben, biasanya anak perempuan itu mirip sama bapaknya banget tapi Tarra itu malah mirip ibunya ya?” ujar salah satu tetangga yang mengamati Tarra tertidur dari krib yang diberikan kelambu. “Katanya kalau anak perempuan itu harus mirip dengan bapaknya, begitu juga dengan laki-laki harus mirip dengan ibunya. Pokoknya selang-seling begitu deh. Karena kalau nggak salah satunya ada yang kalah,” kata salah satu tetangga yang usianya lebih tua dan terkenal dengan mitos-mitos yang berkembang dari zaman terdahulu. “Ah, ibu-ibu ini. Itu berarti gen ibunya lebih dominan. Apa-apa jangan dikaitkan dengan mitos,” timpal salah satu tetangga lainnya.Nenek Lasmi lalu muncul dari dapur membawa nampan berisi aneka macam kue basah untuk disuguhkan. “Tarra itu mirip kakeknya. Ayahnya Raga waktu masih kecil,” tukas Nenek Lasm
Sehari sebelumnya … Cukup lama Kinan memandangi layar ponsel yang berisi pesan singkat dari wanita paruh baya yang ia temui siang tadi. Kami berencana untuk membuat makan malam perpisahan melepas Liara kembali ke Melbourne. Kalau kamu tidak keberatan, Adrian pasti akan senang sekali melihat kehadiranmu. “Sebenarnya apa maksud dari ini semua?” gumamnya pelan. Tak mampu merespon pesan singkat itu, ia menaruh kembali ponsel ke atas meja nakas. Kinan menghembuskan napas berat. Pertemuannya yang tidak disengaja siang tadi masih membuatnya tak menyangka. Bahwa ia bertemu dengan Retno Wulandari? Mami-nya Adrian? Wanita itu mengatakan bahwa Adrian sudah bercerita cukup banyak tentang dirinya. “Bahkan kami saja belum mengobrol sampai pada tahap itu.” Kinan mengerutkan keningnya dalam. Kepalanya sedang berpikir keras, melawan gejolak hatinya yang merasakan ada sesuatu yang mengganjal. “Kenapa Mas Adrian tidak pernah cerita ya?” Kinan kembali menoleh ke ponsel yang sunyi senyap. Terakh