Share

4. Kejadian

Author: nanderstory
last update Last Updated: 2025-03-26 15:21:13

Mobil hitam yang dikendarai oleh Raga berhenti di pekarangan rumah Nenek yang cukup luas. Masih dari balik kemudi, ia melihat Sang Nenek tengah duduk di kursi santai di samping rumah yang disuguhkan dengan hamparan pegunungan dan persawahan yang hijau. Nenek tidak sendirian, di sampingnya ada Astari yang sudah berada di rumah pada jam sepagi ini. 

“Nah, itu Raga sudah datang.” Nenek menyambut kedatangannya ketika Raga sudah turun dari mobil dan menghampiri dua orang wanita yang berbeda generasi. 

“Bawakan pesanannya Nenek.” Raga mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam sebuah tote bag berukuran sedang. 

Melihat itu Sang Nenek melebarkan senyumnya. 

“Raga…” Sementara Tari menyapanya dari tempatnya duduk. Senyumnya merekah begitu melihat pria yang pernah mengisi hidupnya dulu itu kini datang. 

“Tari, sudah ada disini pagi-pagi?” 

Tari memberi anggukan singkat. 

“Tari menginap tadi malam,” sambung Nenek Lasmi seraya mengambil tote bag dan mengintip pesanan yang dibawakan oleh cucunya. 

“Oh ya? Kamu menginap tadi malam? Untuk menemani Nenek?” Raga mengerutkan kening. 

“Iya, sebenarnya tidak direncanakan, sore hari aku mampir kesini untuk bawain makanan buat Nenek dan kami mengobrol cukup lama hingga waktu sudah hampir tengah malam.” 

“Tari nggak ada yang nganterin, jadi Nenek suruh dia nginep disini. Sekalian Nenek juga mau dia nyicipin makanan pesanan Nenek. Selera kami kan kebetulan sama.” 

Nenek Lasmi kemudian bangkit dan memanggil Esih yang ada di dalam rumah. Tak lama kemudian wanita bertubuh kurus itu muncul. 

“Taruh di dalam toples ya. Siapkan juga teh hangat buat Raga.” 

“Kamu sendirian?” Tari membuka suaranya. 

Raga mengangguk. “Iya, Kinan mendadak sakit perut tadi pagi.” 

“Mendadak atau nggak mau ikut?” tanya Nenek Lasmi. 

“Sakit, Nek. Perutnya sakit karena tamu bulanannya datang tadi pagi. Seperti biasa dia hanya bisa meringkuk di kasur kalau sudah seperti itu.” 

“Itu artinya gagal lagi bulan ini.” Nenek mendengus keras. 

Tampak Raga berpura-pura tidak melihat dan memutuskan untuk tidak merespon. Sementara di tempatnya berdiri, Tari diam-diam menyunggingkan senyum miring. 

“Nggak apa-apa istri kamu ditinggal sendirian?” 

“Aku sudah siapkan makanan dan obat di samping tempat tidurnya kalau dia tidak bisa bangun. Tapi aku nggak bisa menginap ya, Nek. Kasihan Kinan nanti malam dia tidur sendirian dalam keadaan sakit.” Raga menolehkan kepala ke arah Nenek. 

Nenek hanya melengos pelan dan mengibaskan tangannya acuh sebelum kemudian mengajak keduanya kembali masuk ke dalam rumah. Tampak di meja ruang tamu sudah terhidang tiga cangkir teh hangat lengkap dengan beraneka ragam olahan kue dari toko kue ternama di kota. 

“Cobain lapis legitnya. Kamu suka kan, Tari?” 

“Suka, Nek.” 

“Nenek sudah pisahin buat kamu bawa dan berikan juga kepada Nenekmu. Dia pasti juga suka kan?” 

Sudah menjadi rahasia umum di kampung ini bahwa Nenek Lasmi berteman akrab dengan Neneknya Tari, Hamidah pada semasa mereka muda sampai berusia senja. Satu alasan besar Nenek Lasmi begitu merestui hubungan Tari dan Raga karena kedekatannya dengan keluarga Tari. 

Dulu sekali, Nenek Lasmi pernah ingin menjodohkan anaknya, ayahnya Raga dengan anak Nenek Hamidah, Rahayu, ibunya Tari. Namun, mereka tidak berjodoh. Hingga pada saat dirinya tahu Raga dan Tari sempat menjalin hubungan, hal itu menimbulkan kembali keinginannya untuk menjodohkan mereka berdua. 

“Nggak usah repot-repot, Nek. Raga kan bawain ini buat Nenek.” Tari menggelengkan kepalanya keras. 

“Raga pasti setuju kok, iya kan, Raga?” tanya Nenek menelengkan kepalanya. 

“Iya, bawa saja. Sebenarnya aku bawa banyak kok dan memang tadinya mau ngasih buat kamu sebagai tanda terima kasih karena udah mau nemenin Nenek disini.” 

Tari mendongak. Matanya berbinar mendengar ucapan Raga sebelumnya. 

“Makasih banyak, aku senang kok nemenin Nenek. Setelah kembali ke rumah orang tuaku, aku jadi punya kehidupan.” 

Raga menatap wanita itu dengan sorot mata ragu-ragu. Mulutnya sudah setengah membuka lalu sejurus kemudian ia menutup mulutnya. Ada keengganan yang membuatnya mengurungkan niatnya. 

“Katakan saja, Raga.” 

Sontak Raga mendongak. Terkejut karena rupanya Tari menyadarinya. 

“Katakan saja apa yang membuatmu penasaran.” 

Sementara di sebelahnya, Nenek Lasmi diam-diam memperhatikan keduanya sambil menyesap teh hangat. 

“Apa kamu baik-baik saja?” 

Seulas senyum hambar tersungging di bibirnya. “Awalnya tidak, sudah pasti. Tapi sekarang aku sudah baik. Bahkan lebih baik.” 

“Apa yang terjadi sama kamu sebenarnya, Tari?” 

“Dia… ringan tangan.” 

Sontak saja Raga dan Nenek Lasmi mengucap istighfar bersamaan. 

“Jadi dia melakukan kekerasan sama kamu?” tanya Raga lagi seolah masih belum percaya dengan apa yang didengarnya. 

“Sudah kamu laporkan?” tanya Nenek Lasmi. Kini seluruh perhatian tertuju pada Tari. 

Tari menggeleng. “Aku nggak mau ngelaporin, Nek. Biarin aja, yang penting aku udah bisa terbebas dari dia. Buktinya sekarang aku bisa bangkit dari keterpurukan. Aku hanya butuh dijauhkan oleh orang semacam dia.” 

Sesaat Raga menatap sendu wajah Tari. Setengah tak menyangka bahwa wanita yang pernah ia bahagiakan kini harus mengalami perjalanan pernikahan yang cukup menyedihkan. 

*** 

“Kasihan sekali ya hidupnya Tari,” ujar Nenek Lasmi tak lama setelah Tari pamit menjelang makan siang tadi karena ada urusan mendadak. 

Di tempatnya, Raga terdiam. Tidak merespon. Kepalanya tertunduk, sorot matanya tidak tertuju pada satu fokus apapun pertanda bahwa pikirannya sedang berkelana. Terpisah dari raganya. 

“Mungkin kalau dia jadi nikah sama kamu, dia nggak harus mengalami pernikahan yang pahit bersama dengan mantan suaminya yang suka main tangan itu,” lanjut Sang Nenek lagi. Matanya menatap Raga penuh selidik. 

“Memang sudah begitu jalan hidupnya, Nek.” Raga menjawab singkat. 

“Seandainya saja kalian menikah waktu itu…” 

“Nanti dia juga pasti akan mendapatkan kebahagiaannya sendiri.” 

“Kalau sama kamu, dia pasti bahagia.” 

Raga sontak mendongak. Menatap Sang Nenek setengah tak percaya dengan apa yang dikatakannya. Bagaimana bisa Nenek berkata seperti itu disaat dirinya sudah menikah saat ini?

“Maksudnya, Nek?” 

“Ya, nggak apa-apa. Nenek cuma masih berandai-andai setelah melihat kamu nggak bahagia.” 

Tenggorokan Raga tercekat. “Aku bahagia kok.” 

“Apa kamu yakin?” Nenek menatap mata Raga lekat-lekat. 

Tak siap dengan itu, detik selanjutnya, Raga memalingkan wajahnya. Untuk menutupi kegelisahannya, pria itu kembali menyuapkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Namun, rasa ayam semur kesukaannya itu mendadak terasa hambar.  

“Nenek tahu kamu sangat menginginkan anak, Raga. Tapi kamu harus menutupinya hanya untuk membuat Kinan tidak merasa kecil. Padahal kamu boleh saja menuntutnya,” ujar Nenek lagi. 

“Kinan pasti lebih terpukul dengan ini, Nek. Dia juga sama-sama menginginkan anak sama sepertiku.” 

“Andai aja kamu menikah dengan Tari, mungkin kalian sudah dikaruniai anak-anak yang lucu.” 

Ujung bibir Raga berkedut. “Belum tentu, Nek. Itu masih menjadi Misteri Ilahi. Aku dan Kinan juga sudah berusaha semaksimal mungkin.” 

“Tapi usaha kalian selalu saja gagal kan?” 

Raga tidak menjawab. Toh kan pasti neneknya tahu betul apa yang terjadi. 

“Karena yang bermasalah itu pasti Kinan, nggak mungkin kamu. Kamu ingat kan, apa yang dikatakan oleh Aki Karim?” 

Raga termangu. Tentu saja dia ingat. Waktu itu Neneknya mengajak dirinya menemui seorang sesepuh yang katanya memiliki bakat melihat sesuatu dari dalam diri seseorang. 

Aki Karim berkata padanya bahwa kesehatan reproduksi Raga benar-benar sehat sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saat itu, Raga tidak mau semerta-merta langsung percaya karena dia belum melakukan tes kesehatan secara medis.  

“Kamu jadi mau pulang langsung hari ini?” tanya Nenek yang sepertinya memahami gerak-gerik tak nyaman dari pria itu. 

“Iya, Nek. Kinan lagi sakit. Aku nggak tega ninggalin dia sendirian.” 

Nenek hanya mendengus pelan.

Raga menyadarinya, tapi ia memilih untuk tidak memberikan respon apapu. 

“Ya sudah, tunggu dulu, Nenek mau bawain lauk makan buat kamu. Si Kinan pasti nggak akan masak malam ini dengan alasan sakitnya itu.” Seusai berkata begitu, Nenek Lasmi pun bangkit dan berjalan perlahan menuju dapur. 

Tidak lama kemudian, terdengar suara orang terjatuh disertai dengan bunyi perabotan yang berhamburan. 

“Nenek!” 

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibalas Dengan Dusta    35. Perasaan yang Ambigu

    Kinan dapat melihat dengan jelas dan cukup yakin bahwa saat ini Adrian tengah mengatupkan rahang dengan kuat. Pandangannya masih tertuju ke depan membawanya sejauh mungkin dari mantan suaminya yang ia yakini akan semakin salah mengira tentang mereka.Pandangan Kinan tertuju pada genggaman tangan Adrian yang semakin lama semakin membuatnnya merasa aman dan nyaman. Namun, pertanyaan besar kemudian muncul dari dalam benaknya.“Mas?” Kinan membuka suaranya dan menatap Adrian dengan penuh kehati-hatian.“Hmm?” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya.“Mas Adrian sudah datang sejak tadi?”Pria itu mengangguk. “Aku cukup sedikit mendengar percakapan kalian.”Hati Kinan mencelos. Langkahnya langsung terasa lunglai.“Jadi … dia adalah manta suamimu?”Kinan menjawab dengan anggukan singkat.Adrian mengerutkan keningnya, sekelebat bayangan dari kejadian beberapa saat yang lalu berputar kembali dalam benaknya. Menampilkan sosok pria yang sama. Si penabrak!Rahangnya kemudian mengeras. Adrian tamp

  • Dibalas Dengan Dusta    34. Kesepakatan

    “Adrian!” Seorang pria berusia pertengahan lima puluhan dengan rambut yang sudah hampir sepenuhnya memutih itu tampak antusias menyambut kedatangan Adrian pada pagi itu. “Hai, Pi.” Adrian mengangkat sebelah tangannya seraya melangkah masuk ke ruang kerja Papi dan menghempaskan bokongnya pada sofa. “Kamu terlihat tidak bersemangat bertemu Papi, Adrian?” “Bukan begitu … aku hanya sedikit kewalahan. Sebenarnya kalau bukan karena Mami, aku mungkin lupa kalau hari ini sudah waktunya kita bertemu.” Pria yang bernama Erwin Raharja itu sontak bangkit dari kursi kebesarannya untuk menghampiri anak sulungnya. “Mau minum apa?” tanya Erwin seraya mengangkat telepon yang ada di samping sebuah kursi kulit tempat biasa ia duduk untuk memulai sebuah perbincangan. “Kopi aja mungkin?” Adrian memberikan pilihan. Sejurus kemudian Erwin menghubungi sekretarisnya yang selalu siaga di depan ruangannya itu untuk menyiapkan minuman. “So … kamu lagi sibuk rupanya?” “Begitulah.” Adrian menganggukkan kep

  • Dibalas Dengan Dusta    33. Persepsi

    Kinan melangkahkan kakinya kembali ke kantor Literas dengan totebag yang membawa laptop kemanapun ia pergi. Kedatangannya itu disambut oleh Putri dengan senyuman merekah. “Mbak? Kemana aja? Kok nggak kelihatan dari kemarin?” “Lagi ada urusan aku, Put. Jadi balik kampung,” jawab Kinan santai. Ia dan Putri cukup akrab berkomunikasi via email ataupun telepon baik itu untuk urusan pekerjaan ataupun sedikit merumpi. “Oh, pantesan udah nggak dateng lagi.” Putri manggut-manggut. “Oh ya, Mbak kok nggak bilang kalau sudah kenal sama Pak Adrian?” “Oh, itu.” Kinan mengusap tengkuknya tampak kikuk. “Aku juga baru tahu ketika bertemu langsung.” “Pantesan … kalian terlihat cukup akrab.” Putri menarik kesimpulan. “Pak Adrian juga akrab dengan yang lain kan.” “Kelihatan bedanya kok, Mbak.” Putri mengibaskan tangannya santai. “Kalau sama Mbak Kinan. Beda.” Kinan mengerjap. Ini pasti karena kejadian waktu kemarin saat pria itu menggenggam tanganya dan disaksikan oleh seluruh orang yang ada di r

  • Dibalas Dengan Dusta    32. Terjebak Perasaan

    “Silahkan dinikmati minumannya, Mas.” Kinan tersenyum kecil bermaksud untuk meledek Adrian yang sejak tadi duduk di sofa pada sebuah kafe yang terletak di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Pilihan yang tidak terlalu sulit mengingat mereka tengah berada di salah satu mall yang cukup besar. “Thank you.” Adrian terkekeh. Tangannya terulur untuk mengambil satu gelas kopi dingin dan meneguknya perlahan, dan Kinan pun melakukan hal yang sama. “So … ada perihal apa yang membawamu kembali kesini?” Kinan menaruh kopinya dan sedikit tertegun. “It’s okay kalau kamu belum mau cerita,” lanjut Adrian lagi setelah memperhatikan perubahan raut wajah Kinan. “Nanti … kalau semuanya sudah beres, aku pasti akan cerita. Sekarang masih terlalu abu-abu. Boleh dibilang, aku juga tidak menyangkanya.” “Is it a good thing?” tanyanya. “Tentu saja. Ini kesempatan emas yang bahkan nggak pernah terbesit sekalipun dalam benakku." Adrian manggut-manggut, benaknya sibuk menebak-nebak apa yang sedang dibicarak

  • Dibalas Dengan Dusta    31. Garis Singgung

    “Terima kasih atas waktunya ya, Kinan.”Kinan menggelengkan kepalanya pelan. “Saya yang berterima kasih karena telah diberikan kepercayaan pada kesempatan ini.”“Takdir yang mempertemukan kita lewat karyamu yang luar biasa, Kinan. Saya yakin tulisanmu akan meledak segera setelah kita umumkan pemberitahuan bahwa bukumu akan segera diterbitkan.”Kinan mengulas senyumnya. “Sejujurnya saya takut dengan ekspektasi pembaca.”“Jangan pernah meragukan kemampuanmu, Kinan. Kami semua yakin tulisanmu akan menjadi the next best seller. Percaya pada editormu.” Hesti mengedipkan sebelah matanya sesaat sebelum kemudian tersenyum.“Tentu aku percaya dengan penilaian Mbak Hesti.”Siapa yang tidak mengenal Hesti Parasayu. Seorang editor yang sudah cukup terkenal dalam memprospek karya dari penulis yang bertalenta dan membuat karyanya masuk ke dalam jajaran hit different karena Hesti tidak berkutat pada satu genre naskah, melainkan hampir ke semua genre yang memiliki nilai lebih menurut sudut pandangnya

  • Dibalas Dengan Dusta    30. Adrian Raharja

    “Udah ya, Mi. Aku nggak mau dijebak-jebak kayak gini lagi.”Adrian memasuki ruang kerjanya dengan tangan menggenggam ponsel dan meletakkan di telinga kiri. Tampak serius berbicara dengan Mami via telepon.Tepat pada saat jam makan siang tadi, ibunya tiba-tiba menghubungi untuk menemuinya di salah satu restoran tak jauh dari kantornya berada. Hal yang jarang sekali ibunya lakukan lantaran jarak dari rumah ke kantornya terbilang cukup jauh.Namun, dengan polosnya Adrian mendatangi salah satu restoran yang letaknya di dalam sebuah hotel dan mendapati sang ibunda tengah duduk bersama seorang perempuan muda yang tidak ia kenal.Belum sempat Adrian berbalik badan, ibunya sudah terlanjur menyadari kehadirannya dan memanggilnya. Detik berikutnya, ia tahu bahwa ia sudah sangat amat terlambat untuk kabur.Dan Adrian terjebak dalam skenario ibunya sendiri.Seseorang dari seberang telepon berdecak sebal. “

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status