"Cola dingin satu." Kata Adina.
"Dua."
Mendengar suara Derek, Adina memutar tubuhnya dan melihat Derek sedang berdiri tepat di belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Beli cola." jawab Derek sambil tersenyum santai. "Dan Popcornnya satu."
Pria di balik stan makanan memberikan pesanan mereka sambil terus menatap Derek. "Sepertinya aku mengenalmu."
Derek tersenyum lebar sambil menyerahkan uang. "Mungkin kau memang mengenalku."
Pria itu terus memperhatikan wajah Derek sambil menghitung uang kembalian Derek. Adina berusaha untuk membayar sendiri minumannya tapi tangannya di tahan oleh Derek.
"Oh astaga!" Kata pria remaja itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Kau bekerja di supermarket, kan? Di bagian peralatan olahraga?"
Senyum Derek memudar, tapi hanya separuh. "benar." Pria itu tersenyum lebar dan terlihat bangga karena telah mengingat seorang pekerja yang bekerja di supermarket sambil menyerahkan uang kembalian pada Derek. "Terima kasih." Kata Derek lalu menuntun Adina keluar dari antrean dan berjalan menuju tempat duduk penonton di lapangan olahraga sekolah.
Tawa Adina meledak.
"Diam." Kata Derek. "Ini bukan pertama kali terjadi dan ini membantuku untuk tetap rendah hati."
Pria itu sama sekali tidak terlihat rendah hati. Dia mengenakan celana pendek dan kaus biru yang membentuk tubuhnya, sebuah topi dan kacamata hitam yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Berjalan di sampingnya, Adina melihat beberapa orang melihat ke arah Derek entah karena mereka mengenali sosok yang terkenal itu atau hanya sedang mengagumi seorang pria tampan.
"Terima kasih untuk minumannya." Kata Adina.
"Sama-sama. Mau popcorn?" tawar Derek
"Tidak, terima kasih."
Karena kedua tangannya penuh, Derek menggunakan mulutnya untuk langsung mengambil popcorn. "Aku mendapat surat lagi." Kata Derek dengan tenang sambil mengunyah.
"Benarkah?" Kata Adina yang langsung berhenti berjalan.
"Ya. Hari yang sama waktu aku bertemu denganmu. Kita mau duduk di mana?"
"Di bawah sana, yang penuh dengan orang yang memakai baju biru dan putih." Adina menjawab dan menganggukkan kepalanya ke sebuah tempat duduk yang penuh dengan para pendukung yang berteriak dengan meriah.
Derek menepi agar Adina bisa jalan mendahuluinya menuruni tangga.
"Apa isi surat itu?" Tanya Adina sambil menengok ke belakang.
"Sama seperti sebelumnya. Nanti saja kita membahasnya. Setelah pertandingan selesai." Jawab Derek.
"Aku pikir karena kau tidak menelepon atau datang lagi..."
"kau tidak akan melihatku lagi?" Sambung Derek memotong perkataan Adina.
"Ya." Jawab Adina jujur.
"kau merasa senang atau sedih?"
"Aku tidak tahu." Jawab Adina sambil mengangkat ke dua bahunya.
Adina merasa hampa ketika hari demi hari berlalu tanda Derek yang tidak mencoba untuk menghubunginya lagi. Di satu sisi dia merasa sangat leha tapi di sisi yang lain dia tidak sanggup membayangkan tidak dapat bertemu lagi dengan pria itu. Di tambah lagi dengan kekecewaan Bobby yang harus dia atasi saat idola anak itu tidak meneleponnya.
"Bagaimana kalau kita duduk di sini?" Tanya Derek saat melihat deretan kursi kosong di baris ke empat.
"Boleh."
Adina melambaikan tangan ke arah para orang tua teman satu tim Bobby yang sebagian besar berhenti bersorak untuk memperhatikan Derek dan Adina dengan penuh rasa ingin tahu. Adina memang belum pernah menghadiri acara olahraga di sekolah bersama seorang teman kencan pria. tahun lalu dia di jodoh-jodohkan dengan pelatih sepakbola yang juga masih lajang.
Sekarang pelatih itu sudah punya kekasug yang sedang berteriak dari kursi penonton, Dan Adina merasa bisa selamat dari pertemuan yang di rancang untuk memaksa mereka berduaan.
Adina tidak pernah menceritakan pada mereka kalau si pelatih pernah meneleponnya tiga kali untuk mengajaknya berkencan. Saat pelatih itu menelepon untuk ke dua dan ketika kalinya dia mengarang alasan yang tidak terkesan di buat-buat hingga pelatih itu akhirnya menyerah dan mundur.
Sekarang justru dia merasa kalau semua perhatian sedang tertuju padanya ketika Derek duduk di sampingnya. Semua yang duduk di sekeliling mereka terus memperhatikan mereka berdua.
"Sudah ada kabar dari perusahaan biro iklan itu?" tanya Derek.
"Belum. Aku masih terus berdoa untuk itu." Adina mengangkat tangannya dan membuat gerakan orang yang sedang berdoa. Derek meraih pergelangan tangan Adina untuk melihat tangan Adina.
"Bagimana lukanya?"
"Sudah baik, Untungnya hanya merah dan tidak melepuh." Jawab Adina sambil menarik tangannya.
"Baguslah kalau begitu." Kata Derek kemudian memperhatikan Adina. "Kau terlihat seperti maskot tim." Komentar Derek sambil makan popcorn langsung dari tempatnya. "Seharusnya kau ikut tim pemandu sorak."
Adina mengenakan celana pendek hitam dan sebuah kaus tim berwarna biru putih. "Semua ibu-ibu memakai baju seperti ini."
"Tapi tidak dari mereka yang mirip denganmu."
Adina tidak dapat melihat mata Derek di balik kacamata hitamnya, tapi dia tahu kalau Derek sedang mengamatinya. Tiba-tiba dia merasa malu dan langsung mengalihkan perhatiannya ke lapangan. "Itu Bobby."
"Nomor berapa? Oh itu dia."
Bobby dan timnya sedang berlari di pinggir lapangan setelah melakukan pemanasan. Saat dia melihat mereka berdua duduk berdampingan di bangku penonton, dari jauh pun Adina bisa melihat mata Bobby yang berbinar-binar. Senyum Bobby semakin lebar dan dia melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Derek membalas lambaian tangannya dan mengancungkan ibu jarinya.
"Timnya pasti menang." Kata Derek.
"Dari mana kau tahu?"
"Anak itu seorang pemenang, sudah terlihat jelas." Jawabnya dengan senyum sombong.
Di akhir babak pertama Adina merasa ramalan Derek salah. Tim Bobby kalah satu kosong. Babak itu adalah babak yang berat untuk kedua tim, karena masing-masing sudah hampir mencentak angka tapi langsung di gagalkan oleh para penjaga gawang yang handal. Suasana histeris melanda penonton dan emosi semakin meningkat. Karena itulah ketika paha mereka tidak sengaja bersentuhan, Adina langsung menarik pahanya. Tiap helai bulu di pahanya seperti tersengat listrik.
"Maaf." Kata Adina sambil menahan napas.
"Tidak apa-apa." Jawab Derek. Tanpa sadar Adina menggosok pahanya yang tadi bersentuhan dengan paha Derek. Derek melihat itu dan berbisik ke telinga Adina. "tenang saja, Aku tidak menularkan apa-apa lewat sentuhan ringan seperti itu."
Adina berhenti menggosok pahanya dan mengerutkan dahi sambil memandang Derek dengan kesal. "Kau senang melakukannya?"
"Apa? Sentuhan ringan?"
"Membuat wanita salah tingkah." Jawab Adina.
"Sebenarnya salah tingkah tidak membuatku bergairah. Aku lebih suka membuat sentuhan yang lebih intim dan memusatkan perhatian pada hal-hal yang perlu saja."
Adina ingin menghapus senyum mengejek yang di berikan pria itu dan mengalihkan pembicaraan ke masalah serius yang mempertemukan mereka. "Apa isi surat itu?"
Matahari di balik sisi stadion mulai tenggelam membuat lampu besar di sekitaran mereka menyala terang. Derek melepaskan kacamata hitamnya.
"Sama seperti sebelumnya." Jawab Derek.
"Lebih mengancam?" Tanya Adina khawatir dengan keselamatan Bobby.
"Tidak juga. Aku hanya di ingatkan kalau pers akan berpesta pora kalau mereka tahu tentang Bobby. Aku bahkan juga tahu itu."
"Bobby juga akan terkena akibatnya."
"Aku tahu." Jawab Derek. "Aku bukan bajingan egois seperti yang kau kira. Sekarang aku harus bisa berpikir lebih logis dan tidak emosional. Satu-satunya cara kita bisa menangkap orang ini adalah dengan mulai berpikir seperti dia."
Adina hanya mengangguk.
"Aku memang sasaran empuk untuk di jadikan objek ancaman. Siapa pun yang menulis surat-surat itu cukup pandai untuk menyadarinya dan menggunakan Bobby sebagai umpan. Dia sama sekali tidak bisa di anggap enteng. Ini adalah rencana yang sudah dia rancang dengan matang untuk menghancurkanku." tambah Derek.
"Aku bisa mengerti kalau ini bisa mengganggu hidup kita, tapi bagaimana bisa mengungkapkan kesalahan di msa mudamu bisa menghancurkan karirmu?"
"Maskapai tempat aku bekerja sudah mendapatkan kembali nama dan kepercayaan mereka yang sempat hilang setelah kecelakaan karena kecerobohan pilot yang mabuk-mabukkan sehari sebelum penerbangan tujuh tahun lalu." Kata Derek.
"Berkat kau." Kata Adina dengan nada bosan.
"Aku tidak berusaha terdengar seperti orang munafik. Jangan berpkir aku melihat diriku seperti itu. Seharian aku mempersiapkan pidato ini. Setiap kata yang aku ucapkan adalah ungkapan dari hatiku. Tolong biarkan aku selesaikan. Masih ada yang lain." Jawab Adina dan Derek menganggukkan kepalanya menyuruhnya melanjutkan apa yang ingin Adina bicarakan."Apa yang terjadi pagi ini..." Adina memulai."Hmm?""Ada beberapa alasan mengapa hal itu sampai terjadi." Kata Adina hampir tergagap."Yang aku tahu itu adalah pemanasan yang bagus." Kata Derek."Derek..."Maaf." Derek melambaikan tangannya dengan tidak sabar."Aku merasa sangat sedih karena kematian ibuku. Tidak berdaya, kau tahu. Seperti bertanya-tanya apa gunanya hidup kalau harus berakhir seperti itu?" Kata Adina."Aku mengerti. Kau membutuhkan untuk berkontak dengan manusia lain, dan menegaskan kalau hdup ini memang memiliki arti." Kata Derek sambil menganggukkan kepalanya."Benar." Kata Adina, diam-diam merasa terkejut karena Derek
Dengan langkah lemas Adina menaiki anak tangga rumahnya. Dia tidak menyalakan lampu sama sekali, meski pun hari sudah sore dan kegelapan mulai memenuhi tiap sudut rumahnya.Di kamar tidurnya dia melepaskan sepatu kulitnya yang berwarna hitam dan meletakkan tasnya di atas lemari kecil. Adina berjalan menuju jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Dia menatap ke kejauhan untuk beberapa lama. Keputusaan telah merasukinya.Dia baru saja hendak berbalik ketika dia melihat bola sepak milik Bobby tergeletak begitu saja di rumpun bunga di tanah. Bola yang terlihat sangat kesepian, terbuang dan terlantar. da tampaknya melukiskan segala kesedihan dalam hidup Adina.Adina mendesah kuat-kuat dan mengulurkan tangannya ke punggung belakangnya untuk membuka resleting gaun hitamnya."Mari aku bantu." Kata Derek.Adina langsung berbalik karena terkejut. Derek berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, dia masih mengenakan jaket hitam dan kemeja hitamnya. Saat denyut jantung Adina sudah k
Setelah mandi dengan cepat, Adina segera berpakaian. Adina menenteng sepatunya dan berjalan menyusuri rumah itu, dia berjalan ke arah dapur. Kemudian dia melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Adina kemudian mendorong pintu pelan dan membukanya.Kamar Bobby. Hal itu yang langsung terlihat olehnya. Pakaian-pakaiannya tergelatak di mana-mana, Sebuah kebiasaan buruk yang dulu membuatnya marah tapi kini dengan pesih dia merindukan kebiasaan itu. Berbagai ponser bintang rock, altet olahraga, dan sebuah poster model berbaju bikini yang ceria memenuhi dinding kamarnya. Sebuah minatur pesawat ada di meja bersama dengan setumpuk buku sekolah.Meski pun Bobby baru menempati kamar itu sebentar, Bobby sudah mengisi kamar itu dengan semua ciri khasnya. Selain barang-barang yang dari dulu sudah dia miliki, Adina juga melihat ada sebuah tv baru yang lengkap dengan perlengkapan video game, sesuatu yang memang sangat di inginkan Bobby sejak lama. Sebuah telepon yang sepertinya baru saja di pasan
Adina mendesah dalam-dalam sebelum dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas seperti dia baru saja melakukan aktifitas yang berat. Seolah setiap sel dalam tubuhnya tidak berdaya. Jantungnya berdetak lebih kuat dan lambat. Dia nyaris dapat merasakan aliran darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia pernah merasa sesantai ini. Bersantai seperti ini tanpa harus memikirkan apa pun rasanya enak sekali.Adina menguap dan meregangkan tubuhnya. Saat itulah dia merasa kakinya menyentuh kaki lain yang bukan kakinya. Adina langsung terkejut lalu dengan perlahan dia menoleh ke sampingnya. Derek sedang tidur tepat di sampingnya. Rambutnya acak-acakan dan bagian bawah wajahnya derdapat jenggot yang baru tumbuh. Selimut hanya menyelimutinya sebatas pinggang. Dada pria itu terpampang di depan wajahnya.Adina hanya berbaring dengan diam, dia nyaris tidak berani untuk bernapas. Adina memandangi pria itu. Menit demi menit sudah berlalu. Alam bawah sadarnya
"Aku pikir aku tidak perlu mengatakan tentang apa rancanaku padamu, Derek." Kata Adina."Aku tidak membeli mobil itu sebagai sogokan agar bisa lebih dekat dengan Bobby. Aku berani sumpah. AKu ahkan berpikir kalau kamu mungkin akan ikut senang kalau Bobby juga senang." Kata derek sambil tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Itu saja." Lanjut Derek."Aku juga begitu!" Kata Adina dengan meninggikan suaranya sambil menunjuk dadanya."Aku mengerti dan aku minta maaf karena itu. Memang aku yang salah. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kecuali..." Derek berhenti dan memandang Adina dengan tatapan memohon dan menarik napas panjang. "Kau memiliki Bobby selama ini. Kamu merayakan ulang tahunnya selama ini bersamanya. Aku tidak pernah mengalami hal itu." Lanjut Derek.Adina terdiam, tidak mengatakan apa pun."Baiklah. Aku mungkin memang terlalu berlebihan dengan memberinya mobil itu. Tapi tolong jangan salahkan aku. Aku masih baru dalam hal ini. Aku a
Mulut Adina menganga lebar. "Apa?""Mengingat keadaan emosionalmu saat ini, kamu tidak bisa mengendarai mobil, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi di jalanan. Lagi pula, aku tidak yakin kalo kamu punya tenaga untuk pulang ke rumah. Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, tidak baik kalau kamu sendirian malam ini." Jelas Derek."Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya sendiri." Jawab Adina."Aku memaksamu. Aku punya banyak kamar tidur yang kosong." Kata Derek."Tapi tempat tidurnya sudah pernah di gunakan." Balas Adina.Derek meringis. "Ternyata kau masih ingat. Tajam sekali ingatanmu. Aku janji, malam ini tidak akan ada pasangan setengah telanjang yang akan mengganggumu. Semua temanku sudah tahu kalau aku sekarang tinggal bersama anak remaja jadi perilaku seperti itu sudah di larang di sini." Jawab Derek."Apa yang kamu katakan pada mereka?" Tanya Adina penasaran."Mereka harus mencari tempat lain jika ingin telanjang." Jawab Derek."Bukan, maksudku tentang Bobby." Kata Adina sambil memuta