"Apa ini? Kenapa ada yang mengirim pakaian bayi laki-laki ke rumah ini? Apa Mas Ardi sengaja memberi tahu temannya alamat ini? Tapi dia tidak mengatakan apa pun tadi. Bahkan dia berpesan agar jangan sampai ada yang tahu keberadaan bayi itu. Jangan sampai seorang pun. Lantas ini?" Alya menggeleng dengan dada sesak.
[Titip anakku sebentar saja. Dan maaf, aku pinjam suamimu. Oh, maaf ini bukan pinjam.] Catatan dalam bungkusan itu juga tanpa nama. Hanya ada huruf 'R' di ujung paper note itu. "Bu." Pak Karto menehan Alya yang terhuyung. "Hah. Hah. Hah. Mas Ardi ...." Alya lemas dalam pegangan Pak Karto. "Pak, kita bawa Bu Alya masuk dulu." Mbok Sari sangat cemas lihat keadaan majikannya. Alya di dudukan di sofa ruang tengah. Wanita langsung tergeletak bersandar lemas dengan tatapan kosong ke depan. Dia masih memegang secarik note tadi. Pak Karto lantas membawa masuk pakaian bayi yang tadi terlepas dari pegangan Alya. "Istighfar, Bu. Ini semua belum pasti seperti apa. Misa jadi ini hanya orang iseng saja." Mbok Sari membuat sugesti positif. Akan tetapi, Alya menggeleng. "Nggak, Mbok. Nggak! Ini bukan orang iseng. Ini sesuatu yang harus aku cari tahu kebenarannya. Sebenarnya apa yang Mas Ardi sembunyikan selamanya ini dariku." Wanita itu menghentak nafasnya kuat agar sesak dad4nya berkurang. Mbok Sari dan Pak Karto saling pandang. Mereka para paruh baya terdiam karena juga menangkap ada yang kurang beres pada majikan laki-lakinya. Sekian saat Alya terdiam mengatur alur rasa hati dan menatap pikiran. Cinta tak memilih pada dia yang sempurna, tapi untuk menyempurnakan kita yang tak sempurna. Kesetiaan, kepercayaan, cinta, rindu, cemburu, ego, nafsu, jujur, saling menjaga, menghormati, itu hanya sebagian unsur kebahagiaan pernikahan. Semua pernikahan pasti akan melewati ujian. Jika memang dia jodoh yang akan menjadi hari tuamu, pasti semua unsur itu akan terpegang kuat dan melekat dalam hati. Saat dia bersama wanita lain, pasti bayangan istrinya akan menahan untuk melangkah jauh. "Hah! Sepertinya aku nggak bisa diam lebih lama lagi, Mbok." Alya kini duduk tegak meski pandangnya belum fokus. "Tapi, mau bergerak bagaimana, Bu? Lebih baik berdo'a supaya jika ada masalah yang Ibu tidak tahu disingkirkan oleh Allah. Dan berusaha percaya pada Bapak sekali lagi." Mbok Sari hanya khawatir jika praduganya benar-benar nyata, lantas bagaimana nasib rumah tangga majikannya. Selama ini keduanya dinilai orang baik. Pasangan itu juga selalu manis dan mesra di depannya. "Entahlah, tapi aku ingin Mbok Sari dan Pak Karto melakukan sesuatu untukku." Alya menatap dua paruh baya itu. Mereka sama-sama mengangguk. "Tolong selama beberapa hari atau entah sampai aku siap, kalian menginap di sini. Tolong bantu aku merawat bayi ini." "Simbok hanya bisa bantu hal seperti itu, Bu. Soal yang lain, kami hanya bisa membantu do'a. Semoga secepatnya Ibu mendapatkan jawaban dan jawaban itu adalah hal baik." "Terima kasih, Mbok. Aku yakin Mbok Sari juga merasa janggal dengan sikap Mas Ardi dan bayi ini. Aku hanya ingin membuat keputusan seperti apa sebagai istrinya. Jadi harus mencari jawaban sebenar mungkin." Alya memegang tangan Mbok Sari. Sedang Pak Karto mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kartu menunggu pasien rumah sakit di salah satu kota itu. "Maaf, Bu. Tadi saat mencuci mobil saya menemukan kartu ini. Semula ingin menyerahkan pada bapak, tapi lupa karena tadi bapak saja berangkat buru-buru. Mungkin bisa membatu Ibu." Alya menerima dengan tangan bergetar. Air mata itu kembali luruh tanpa isakan. Dia membaca alamat rumah sakit itu. "Meski tidak ada nama pasiennya, tapi Ibu bisa melacak kebenaran dari titik itu juga." Pak Karto merasa iba. Dia seorang laki-laki dan pastinya bisa merasakan gelagat aneh pada Ardi. "Terima kasih, Pak. Untung saja Pak Karto nggak kasih ke suamiku. Mungkin ini sebuah petunjuk untukku." Alya tersenyum miris. Hening sesaat. "Siang ini aku akan ke kantor Mas Ardi menemui seorang. Aku nitip Daffa sama Mbok Sari. Soal kerjaan rumah, nggak usah dikerjakan dulu, yang penting Daffa nggak rewel." Alya menyeka sisa air matanya. -- Sesuai rencana, Alya keluar sebelum jam istirahat siang kantor pusat suaminya. Tadi, dia telah mengompres mata dan wajahnya yang membengkak karena menangis. Kini, wanita itu telah tampil cantik dan anggun meski dengan balutan hijab. Dia tarik lengkungan bibir kaku sembari hentakan nafas kuat. Wanita itu melangkah dengan terus menekan gemuruh di d4danya. Ya, Alya adalah wanita cantik, manis dan lembut. Namun, dia bukan wanita lemah yang jika ditindas atau dikecewakan akan diam saja. Alya memilih naik taksi untuk menghindari kecurigaan suaminya. Dia harus bertindak sehati-hati mungkin. 'Mas, aku tak mungkin diam saja setelah rentetan kejutan yang kamu sajikan. Dan aku sangat penasaran dengan wanita yang kamu panggil 'Ra' itu. Wanita yang aku yakini juga mengirim pakaian bayi ke rumah. Semoga kamu masih tetap Mas Ardi yang aku cintai dan sangat mencintaiku,' batin Alya. Dia menatap kosong arus jalan. "Mau kemana kita, Mbak?" Teguran supir taksi membuyarkan lamunan Alya. "Ehm, ke BGE Company. Tolong nanti berhenti di jarak agak jauh." "Baik, Mbak." Sekian lama melaju, taksi itu berhenti di tempat yang diinginkan Alya. Wanita itu keluar dengan terus mengedar pandangan. Alya melihat arloji. "Pas waktunya istirahat siang. Aku harus cepat masuk ke sana." Di depan sedikit sisi ada sebuah bangunan gedung pencakar langit yang begitu megah. Ya, tempat di mana suaminya bekerja. Di sana dia punya seorang kenalan. Sebenarnya teman kerja suaminya, tapi karena beberapa bertemu dan satu frekuensi, jadi mereka bisa akrab. Sayang sekali, Ardi melarang Alya menyimpan nomor kontak teman kerja suaminya. Dulu, Alya hanya mengiyakan saja karena Ardi bilang kurang etis dan suaminya kurang nyaman, tapi sekarang dia akan tau jawabannya kenapa dulu suaminya melarang menyimpan nomor teman kerjanya. Alya melangkah anggun, tapi berjalan sedikit ke tengah dan semakin menengah ke jalan. Karena kalutnya pikiran jadi kurang paham dengan sisi belakangnya. 'Mas, maafkan aku jika harus bertindak sejauh ini!' Tatapan itu tajam kekecewaan. "Siapa wanita itu, kenapa berjalan tak paham arus? Apa dia wanita gil4? Pepet dia, biar paham aturan!" Seorang pria dengan balutan setelan jas abu-abu gelap menatap tajam dengan wajah datar langkah Alya. Dengan ragu sang supir mengangguk. Sebuah m0bil sed4n mew4h melintas dari belakang ke sisi Alya dengan kecepatan tinggi. Ciiiiitttttttt ...! "Akh! Astagfirullah hal adzim!" teriak Alya, hampir terserempet. Alya membelalak dengan memegang dad4nya yang berdetak kencang. Dia tatap lajuan mobil yang masuk ke halaman gedung yang juga akan dia datangi. "Siapa dia. Sungguh tak tahu aturan. Apa karena memakai m0bil m4hal jadi nggak bisa melihat orang berjalan di sini?" gerutunya. Dia segera mengatur laju nafas dan bergegas melanjutkan langkah. Pria yang duduk di kursi belakang itu menatap reaksi wajah Alya dari kaca spion. Satu sudut bibirnya terangkat sambil merapikan jasnya. Langkah Alya terhenti saat yang akan ditemuinya malah kebetulan sedang keluar dari pintu utama gedung. "Sindy!" teriak Alya. Wanita yang dipanggil langsung menoleh dan tersenyum. "Alya?" Dia melangkah panjang dan mendekat. Alya tersenyum tipis. "Maaf, aku ingin mengajakmu makan siang sambil ngobrol. Kebetulan aku lewat sini dan merindukanmu." Basa basi Alya untuk mengajak Sindy keluar. Sindy malah mengerutkan dahi. "Kamu kapan keluar dari rumah sakit? Ardi ambil cuti karena kamu sakit dan sampai sekarang katanya kamu belum sembuh. Lantas ada apa ini? Kenapa kamu malah ada di sini dengan penampilan sangat cantik?" Wanita itu menaikkan dua alisnya. Deg! D4da Alya bagai dih4ntam palu besar untuk kesekian kalinya. Kejutan dari sang suami bertambah satu lagi dan semakin besar. Wanita itu mengepal kuat tangannya sejenak. "Aku butuh kamu, Sindy. Ayo kita cari tempat untuk bicara." Sindy memegang tangan Alya. Dia paham sesuatu dari genangan cairan di kelopak mata Alya."Alya sudah masuk kamar itu, Nona Julia. Reporter juga telah siap." Bawahan Julia melapor. Julia tersenyum dingin. "Bagus. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Begitu pintu terbuka, biarkan mereka langsung menyerbu masuk. Dan ... Ha ha ha ha sad ending!" Bawahannya mengangguk, lalu keluar dengan cepat. Julia menyandarkan tubuhnya di sofa. Ya, dia ada di kamar sebelah, menanti momen yang telah rencanakan dengan detail. Tujuannya jelas -menghancurkan reputasi Alya dan membuat Bara tidak menginginkan istrinya lagi. Rencana inti dimulai. Kamar Ardi dibuka dari luar. BRAKKK! "Siapa kalian?" teriak Ardi. "Apa yang sedang kali lihat aku?" teriak Alya. Seketika suasana gaduh dan kacau. Kilatan lampu kamera berlomba di ruangan itu. Para reporter mencoba mendesak masuk. Namun, apa yang mereka temukan membuat semua orang terdiam heran. Tidak seperti yang dikatakan Julia. Alya berdiri di tengah ruangan dengan senyum miring. "Ada yang bisa saya bantu? Kenapa kalian semua ad
"Mau tidak mau, kamu harus eksekusi rencana itu besok. Aku akan atur soal Alya bisa sampai ke tanganmu. Setelah itu, kamu selesaikan. Kalau sampai gagal, kamu dan keluargamu akan masuk penjara!" Julia menatap tajam wajah Ardi, menekan ancamannya.Ardi menelan ludah, mengangguk tanpa suara. Julia tersenyum tipis, merasa sudah menang. "Bagus kalau kamu mengerti. Aku ingin semua berjalan mulus. Aku akan langsung melihat hasilnya. Jangan sampai ada satu pun kesalahan."Tanpa menunggu jawaban, Julia keluar dari ruangan itu.Setelah memastikan Julia telah benar-benar pergi, Ardi menarik ponselnya.[Julia akan beraksi besok. Semua sudah disiapkan di hotel seperti rencananya. Bisa jadi dia akan menggunakan media untuk membesarkan skandal.] Pesan terkirimkan pada Bara.Balasan Bara datang beberapa detik kemudian. [Lakukan apa yang dia mau. Jangan sampai dia curiga. Sisanya aku yang atur. Tetap berkoordinasi.]----"Sayang, sepertinya soal bertemu dengan anak kita hanya bisa malamnya. Karena b
"Bara, istrimu menuduh mama bersekongkol dengan pembantu untuk mencelakainya. Ini sudah kelewatan. Mama nggak terima dan kamu harus kasih dia pelajaran!" Desi berlari mendekati Bara, wajahnya langsung dipenuhi air mata.Alya menatap sendu ke arah suaminya. Senyum kaku tersungging di bibirnya. "Mas, kamu pulang?" Biasanya dia akan menghampiri dan mencium punggung tangan suaminya, tapi karena ada drama mertua kali ini dia menahan diri.Bara menatap bingung keduanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?""Mama difitnah, Bara."Alya melangkah maju. "Pembantu itu mengaku, Mas. Mama menyuruhnya memberikan obat berbahaya untukku."Desi langsung mendengkus, menyeka air matanya. "Itu bohong! Pembantu itu jelas bekerja sama dengan Alya untuk menjatuhkan mama. Kenapa kamu percaya omong kosong seperti itu, Bara? Kamu lihat sendiri, Alya hanya ingin menghancurkan hubungan ibu dan anak!""Apa maksud Mama menghancurkan hubungan? Aku hanya ingin kebenaran terungkap." Alya menatap Desi heran.Desi tidak meny
"Itu hasil tes DNA. Kamu lihat sendiri." Benny berdiri tegak dengan tatapan kosong, mencoba menyembunyikan gejolak batinnya. Ada ketakutan yang disembunyikan dalam hatinya. Tangannya sedikit gemetar saat memberikan amplop itu pada Bara.Bara cepat meraih amplop itu, lalu pelan membukanya. Jantungnya berdetak kencang. Dia juga gemetar. Dalam hati berharap semoga hasil seperti yang dia inginkan.Lembar kertas putih itu terlihat jelas di tangannya. Matanya bergerak membaca setiap kata, setiap angka yang tertulis di sana. Dalam sekejap, matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan luapan emosi."Dia anakku, benar-benar anakku." Suaranya pecah, tangannya mencengkeram kertas itu. Senyumnya lebar. Dia bernafas lega, seperti kebahagiaan kembali digenggamnya.Benny tetap mematung. Wajahnya datar, tapi di dadanya sedang ada pergelutan rasa. Dia tahu apa yang harus dilakukan, tapi cinta pada istrinya terlalu besar."Anak ini sudah menjadi bagian dari keluarga kami, Tuan Bara. Dia bukan hanya
"Kamu yakin istriku ada di kamar ini? Apa sebelum dia booking hotel, mengatakan sesuatu?" Bara menatap Ivan ragu . Pikirannya kacau, terutama setelah Alya mematikan ponselnya seharian tanpa penjelasan. Sangat jelas kalau istrinya itu sedang menghindarinya dan tidak mau bicara padanya.Ivan menggeleng. "Berdasarkan laporan, tidak ada tanda-tanda nyonya Alya marah, Tuan. Saya juga tidak tahu apa rencana nyonya. Kenapa sampai bisa ada di hotel."Bara mendekati pintu kamar, menekan bel ragu. Ketika pintu terbuka, Alya tidak langsung terlihat."Masuk, Mas." Hanya terdengar suaranya saja.Bara melangkah perlahan, matanya menyapu ruangan. Tidak ditemukan istrinya. Begitu pintu ditutup. "Mas."Bara tercengang melihat Alya berdiri di balik pintu dengan pakaian yang membuatnya menelan ludah."Mas, kenapa?" Alya menatap puas melihat wajah suaminya seperti itu."Ke-kenapa kamu memakai pakaian seperti itu? Ehm, lingerie?" Bara berusaha menyembunyikan rasa panas yang muncul tiba-tiba.Alya tidak
"Aku harus bertemu dengan Rani, istri Ardi. Ada masalah apa dia?" Alya masih menatap layar ponselnya. Pesan itu membuatnya tidak tenang.Dia mengetik balasan. [Aku setuju bertemu. Tapi aku yang tentukan tempatnya.] Pesan terkirim. Sebuah nama restoran juga dilampirkan, lengkap dengan alamatnya. Alya duduk di kursi belakang. "Pak, tolong kabari seseorang karena aku akan bertemu istri mas Ardi. Sepertinya ada yang perting." Alya bicara pada sopirnya yang merupakan orang kepercayaan untuk menjaganya saat pergi. "Baik, Nyonya. Dan lebih baik Anda hati-hati nanti. Jangan sampai rencana Tuan terkendala.""Aku tahu."Setibanya di restoran. Alya duduk menunggu dengan tatapan ke layar. Dia masih menunggu pesan balasan atau telepon suaminya. "Sedang apa Mas Bara sebenarnya?" Dia duduk tak tenang. Pikirannya semakin macam-macam. Dia sengaja tidak membahas pada orang lain.Beberapa waktu kemudian, Rani datang. Wanita itu hanya membawa dirinya, tanpa kedua anaknya. Ya, Rani telah mengasuh dua