Share

Bab 4 : Ahli Waris

"Maaf sedikit terlambat. Ada sesuatu yang mendesak yang harus segera aku tangani."

Oma mengangguk singkat. Tampak tak mempermasalahkan hal tersebut. Bersamaan dengan itu, para pelayan keluarga Ananta datang, meletakkan satu persatu sajian.

"Wah Morris kita pasti sibuk sekali!" Morris hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat tante Widya, si bungsu Ananta, ibu pemuda yang duduk di sampingnya.

Lona sejak tadi menyimak dengan hikmat obrolan diantara mereka, akan tetapi hidang-hidangan di hadapannya berhasil membuat setengah fokusnya membuyar. Dia tertegun melihat banyaknya hidangan nikmat yang akan mengisi perutnya kali ini.

"Siang tadi Sabrina kembali ke rumah ini, setelah menyelesaikan kuliah dan membawa pulang gelar sarjana dengan lulusan predikat yang sangat memuaskan. Selamat sekali lagi untuk cucu Oma tercinta."

Lona sedikit gelagapan. Merespon dengan senyum selebar mungkin karena tidak tahu harus menjawab apa.

"Keponakan Tante, kenapa tidak bilang kalau kamu mau pulang?"

"Ah, itu. Maaf Tante. Tadinya Sabrina pikir orang-orang rumah pasti sedang sibuk. Jadi aku pulang saja tanpa memberitahu siapapun."

Alis Ajeng bertaut, menoleh menatap Lona dengan tatapan seperti mengintimidasi. "Kau tidak beritahu Oma juga?" Sabrina menggeleng, jujur.

"Dia tidak memberitahu siapa pun, termasuk aku, tapi bukan hal yang perlu dipermasalahkan, yang terpenting adalah kalian juga masih punya waktu dan niat untuk pulang ke rumah."

Suasana mendadak hening sejenak. Barangkali cukup sadar kalau kalimat Oma mengandung sindiran halus.

"Sudah kamu bilang ke Dimas kalau aku menyuruhnya kemari?" Lusiana bertanya pada Ajeng.

"Dimas lagi sibuk-sibuknya, Ma. Mama kan tahu kalau dia lagi magang."

"Tempat magang dia tidak jauh-jauh sangat dari sini. Kenapa masih tinggal di kosannya?"

"Ga apa-apa, lah, Ma. Dia kan udah besar, harus mandiri." Widya menimpali. Meski begitu, anggota tertua tak berniat membalas ucapan anak bungsunya. Lebih memilih menggenggam sendok dan garpu pada masing-masing tangannya.

"Malam ini aku mengharuskannya semua anggota keluarga untuk hadir makan malam bukan hanya untuk menyambut kepulangan Sabrina ke rumah, tetapi juga untuk membuat anggota keluargaku berkumpul kembali." Lusi memandangi satu-persatu anggota keluarganya. Dari sana Lona bisa merasakan aura yang mendominasi dari diri Lusiana.

"Sayangnya, masih ada anggota keluarga yang tidak bisa hadir karena berbagai alasan. Untuk makan malam selanjutnya, aku harap semua anggota keluarga Ananta bisa hadir, baik yang sekarang sedang duduk di sini ataupun menantuku, suami Ajeng, dan cucuku, Dimas Ananta." Seluruh anggota keluarga merespon dengan anggukan kecil.

"Baiklah, selamat makan."

Bunyi alat-alat makan yang beradu dengan piring membuat Lona segera mengangkat sendok makan. Niatnya ingin mencicipi terlebih dahulu sup di mangkuk.

Matanya Lona sedikit melebar, merasakan cita rasa sup yang menyapa indra pengecapnya. Benar-benar nikmat! Lona dengar Ananta punya seorang juru masak hebat yang bekerja untuk memasak hidangan mereka. Fakta itu membuat ia semakin terkesima dengan keluarga ini.

"Kupikir kau sudah betah di sana."

Lona mendongak. Kalimat itu dilayangkan oleh lelaki di hadapannya. Morris Mahardika, lelaki yang tadi dia lihat di pajangan bingkai foto lantai atas. Bedanya yang duduk di hadapannya kini sudah tampak lebih dewasa daripada yang di foto. Lona akui, visualnya memang tampan, tapi penafsiran Sabrina tentang lelaki itu tampak ada benarnya, dingin dan terlihat arogan.

Kadangkala kembarannya itu heran mengapa oma begitu menyayangi dan memercayai Morris, lelaki yang notabenenya tidak memiliki hubungan darah apa pun dengan keluarga mereka.

Kepercayaan Lusiana bahkan sampai membuat Morris mengisi posisi direktur utama dalam bisnis keluarga mereka.

"Memangnya kenapa? Kau pikir aku tidak akan pulang?"

Lona berusaha menanggapinya setenang mungkin. Dia lihat sudut kanan bibir lelaki itu menyungging sedikit.

Sabrina bilang dia tidak suka Morris. Lelaki itu kerap kali bersikap menyebalkan. Sering menyulut emosi kembarannya dengan kalimat-kalimat yang terdengar meremehkan. Perlakuan yang Morris berikan kepada Sabrina dan saudara-saudaranya yang lain pun begitu berbeda. Tak tahu pasti mengapa, tapi Sabrina selalu curiga hal itu bersinggungan dengan bisnis keluarga Ananta.

"Oma akan menyeretnya pulang kalau dia tidak mau pulang." Lusi berujar diakhiri kekehan kecil. Lona ikut tertawa singkat sementara beberapa dari anggota lainnya hanya tersenyum simpul.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan setelah ini, keponakanku?" Si bungsu Ananta bertanya.

Makanan di dalam mulut berhenti dikunyah. Otaknya berpikir sejenak, mencari-cari jawaban dari skenario yang sudah dia dan Sabrina perkirakan.

"Apalagi?" Lona menoleh, dia lihat Lusi menatapnya sembari tersenyum. "Dia harus mempersiapkan diri untuk Ananta Grup. Jadi mulai sekarang kamu harus banyak ikut andil pada manajemen Ananta Group."

Lona bingung bukan main. Hal ini tidak ada di dalam skenario yang diberitahukan Sabrina kepadanya. Lona tahu kalau Sabrina Ananta adalah ahli waris Ananta Group, tapi Lona tidak pernah menduga kalau hal yang satu ini nantinya akan menjadi tanggung jawabnya juga.

"Aa ... aku."

"Keponakan tante emangnya gak mau lanjutin kuliah ke luar negeri? Dia kan pintar, masih muda juga. Sayang banget kalau gak lanjut. Kamu mau dimana, Brina? Amerika? Jerman?"

"Tidak perlu. Cucuku ini sudah cerdas sejak lahir. Aku yakin, tanpa melanjutkan pendidikannya pun dia bisa."

"Tapi sayang sekali, lho, Ma. Benar, tidak, Kak?"

Ajeng menatap adik perempuannya. Tidak mengiyakan pun juga tidak menyuarakan ketidaksetujuannya. Putri sulung keluarga Ananta itu kemudian melanjutkan suapannya, terlihat enggan ikut campur dalam urusan ini.

"Biar menjadi urusanku. Kamu tidak perlu sibuk turun tangan, Widya. Urusi saja putramu, Jordan." Lona melihat raut wajah tantenya itu berubah menjadi masam. Segera menyendok nasi di piring dan melahapnya. Namun, berbeda dengan reaksi sang anak yang tampak tak acuh.

Lona memperhatikan adik dari ayah kandungnya itu, mencoba menilai tampilan luar wanita tersebut. Lona rasa semua orang yang berpapasan dengan Widya bisa secara terang-terangan menilainya.

Dari penampilannya saja sudah terlihat kalau si bungsu Ananta itu termasuk ke dalam jejeran wanita sosialita yang dikenal hedon. Sementara pria di sebelahnya tampak seperti tipikal suami yang menurut dengan istirnya. Lona yakin, gaya berpakaian sang suami diatur oleh istrinya, sebab tampak serasi dengan pakaian yang dikenakan Widya. Hanya remaja lima belas tahun yang duduk di samping Morris yang berpakaian simpel, mengenakan atasan hoodie dan bawahan celana jeans hitam.

"Aku akan memanggil menantuku, Morris dan Sabrina untuk datang satu-persatu ke ruanganku nanti."

■⁠-■⁠-⁠■

Bohong kalau Lona merasa tenang-tenang saja ketika Niyah memanggilnya untuk menghadap Lusiana di ruang kerja yang pernah ditempati kepala keluarga Ananta dulu, Hans Ananta. Saking paniknya mendengar perintah Lusi sewaktu makan malam tadi, Lona segera bergegas menuju kamar setelah makan malam selesai, mencari telepon seluler baru yang dibelikan Sabrina tiga hari sebelum kedatangannya ke sini. Menggunakan benda canggih itu, Lona segera menghubungi kembarannya.

Pada percakapan singkat jarak jauh tersebut, Sabrina meyakinkan Lona agar tidak perlu terlalu khawatir. Untung saja saran yang diberikan saudara kandungnya itu bisa sedikit menenangkan dirinya. Sisanya Lona hanya bisa berharap supaya perkara ini tidak akan menjadi momok menakutkan baginya.

Setelah mengatur napas menjadi lebih tenang, Lona memberanikan diri mengetuk dan membuka pintu ruang kerja pemilik Ananta grup. Tatkala pintu itu terbuka, figur Lusiana terpampang jelas, dengan kacamata bertengger di wajah, terlihat fokus dengan dokumen yang ada di tangan. Dia baru mendongak ketika Lona sudah lebih dekat dengannya.

"Duduklah di sana, Oma ingin membicarakan sesuatu."

Lona menurut, duduk di sofa yang di arahkan Lusi melalui sorot matanya. Tidak butuh waktu lama juga bagi Lusiana untuk segera melangkah dan bergabung.

Keduanya memaku fokus satu sama lain. "Ada apa memanggilku ke sini, Oma?"

Helaan napas berat terdengar sebelum Lusi buka suara.

"Oma rasa, sudah seharusnya kamu bersiap."

"Bersiap?"

"Mau bagaimana pun kamu tetap pewaris Ananta Grup, Sabrina. Sudah waktunya kamu melangkah masuk dan belajar. Mau menunggu apalagi?"

Perubahan suasana hati sang oma mudah untuk dibaca oleh Lona, sorot mata wanita itu lebih dari cukup untuk memberitahunya.

"Oma, bukankah lebih baik kalau aku melanjutkan kuliah dulu saja? Seperti kata Tante Widya. Aku akan mencari pengetahuan lebih banyak lagi agar—"

"Oma rasa kamu lebih dari cukup untuk itu. Oma mengenalimu, cucu kesayanganku ini sangat cerdas."

Cemas kembali menghampiri Lona. Ia merasakan telapak tangannya berkeringat. Saran Sabrina nyatanya tidak mampu menyelesaikan hal ini begitu saja.

"Kamu itu tidak sendirian, Brina. Kamu punya banyak orang yang akan berada di sisimu, termasuk Oma, Morris, paman-paman mu."

Lona membatu beberapa detik tanpa memutus kontak matanya dengan sang nenek. Otaknya ia paksa untuk berpikir cepat, mencari suatu alasan yang bisa meluluhkan Lusi.

"Aku takut kalau aku tidak bisa melakukannya. Bagaimana kalau aku ternyata tidak punya keahlian mengelola perusahaan sehebat Oma?"

Lona sebisa mungkin menunjukkan raut wajah penuh keraguan, harap-harap Lusi memahami dan memakluminya.

Sosok seorang lelaki tiba-tiba saja melintas di ingatannya. "Bagaimana dengan Morris, bukankah caranya memimpin perusahaan sudah cukup memuaskan?"

Lusiana mengalihkan perhatiannya, memandang lurus ke depan. Makna tatapannya tampak dalam. Menerawang pada sesuatu yang tak Lona ketahui.

"Oma memutuskan hal itu bukan tanpa alasan, Brina."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status