Tujuan awal Anneth adalah menjauh sepenuhnya dari Julius, menjelma menjadi bayang-bayang yang kehilangan cahaya, tak nampak namun ada. Tapi saat Lyra mengatakan jika rapat perang akan segera dilaksanakan, Anneth segera dilanda kegelisahan. Dia menyingkap kain penutup tenda dengan langkah berat, ternyata rasa penasarannya lebih besar dibanding rasa malunya.Udara dingin segera menyambut meski pakaian yang dikenakannya sudah cukup tertutup. Tak sedingin utara, namun berhasil membuat lengan Anneth bergerak memeluk diri, serta bibir yang gemetar kedinginan. Cuaca dingin seolah bukan halangan, melainkan menjadi alasan kuat untuk membuat orang-orang tetap berkumpul dan berkerumun dengan beberapa api unggun besar di beberapa titik.Anneth sempat terkejut, ternyata para penduduk yang biasanya memakai kain seadanya untuk menutup tubuh, kini menutup diri dengan rapat, mengaku kalah pada cuaca.Gerombolan yang Anneth ciptakan bersama para pelayan yang mengiringinya, seolah mencuri perhatian pend
Segerombol orang berjubah panjang yang dilengkapi dengan tudung kepala, berdiri mengelilingi api unggun yang berwarna biru. Suara-suara mantra mulai di serukan bersama-sama, menciptakan alunan nada yang serempak meski diucapkan oleh puluhan mulut yang berbeda. Tepat setelah nada mantra itu memuncak, api di tenah lingkaran orang berjubah itu padam, menggantikan suasana terang menjadi gelap gulita.Saat itulah suara bisikan seorang pria mulai terdengar, dari tengah kerumunan perlahan-lahan muncul cahaya berwarna merah, bersamaan dengan bayangan yang mulai terlihat. Cahayanya semakin terang, dan sosok pria tanpa busana mulai tergambar jelas, dengan telapak tangan terbuka yang memiliki sumber cahaya merah yang berasal dari batu suci.Mantra-mantra mulai kembali terdengar sahut menyahut, begitupun dengan sosok pria dengan batu suci merah yang ikut berseru-seru. Perlahan-lahan, dari balik kulitnya yang tak tertutup, muncul goresan berwarna hitam yang membentuk aksara yang mulai memenuhi sek
Hari itu sangat mendung dan dingin, begitu identik dengan musim dingin yang benar-benar sudah di depan mata. Anneth menghembuskan nafas, hingga menimbulkan uap udara yang terlihat seperti asap keluar dari mulut dan hidungnya. Pakaiannya cukup hangat, Lyra mengantarkan mantel bulu yang lembut pagi tadi, membangunkan Anneth yang tidur seorang diri. Dia bahkan tidak ingat kapan dirinya mulai terlelap dan tak tahu ternyata pria itu tidak tidur bersamanya. Bukan hanya terbukti dari kesendiriannya, namun juga diperjelas dengan tempat tidur disampingnya yang masih rapi dan dingin.Di ujung pandangan adalah puncuk menara dari istana milik kerajaan Amogha, menurunkan sedikit pandangan, terlihat benteng tinggi yang mengitari wilayah itu, lalu berakhir pada danau yang terlihat sangat dingin dan tenang. Kehadirannya di penggir danau, bukanlah tanpa sebab. Anneth sibuk berpikir semalaman hingga lelah dan berakhir terlelap tanpa sadar. Saat ini, kepalanya dipenuhi oleh benyak pertanyaan yang bahk
Putri Finley terus menyunggingkan senyuman pada pangeran Valter yang duduk tepat dihadapannya. Suka cita benar-benar tidak bisa dia tutupi dari raut wajah dan senyum bahagianya, bagaimana tidak? Tidak lama lagi dia akan menjadi tunangan dari pangeran Valter, sang penguasa Barat yang terkenal cerdik dan berkuasa. Selain itu, Finley sudah lama mendambakan Valter, pria memesona yang ketampanannya diaggungkan oleh 3 kerajaan di tanah Hyacinth.Berbanding terbalik dengan Finley yang nampak berbungga-bungga, Valter terlihat acuh seraya memainkan sebilah pisau saku kesayangannya, dengan sesekali melirik Finley dengan jenggah. Wanita itu memang tidak buruk rupa, dengan kulit kecoklatan dan tubuhnya yang semampai, sangat tidak pantas jika disebut jelek. Namun, dengan paras dan tubuhnya, sama sekali tidak bisa memikiat hati Valter yang semakin kesal karena wajah bodoh Finley yang terlihat sangat menginginkannya.Terlihat jelas perbedaan kelas antara Anneth dan Finley. Untuk pernikahan politik,
Tangannya menyambar obor dalam langkah lebarnya, berjalan menyusuri gelapnya malam dengan berteman suara binatang hutan, meninggalkan keramaian pesta yang tepat berada di punggungnya. Suara kodok mulai terdengar, dalam kegelapan, Anneth dapat menerka jika langkahnya sudah mendekati danau, hingga akhirnya dia memutuskan menjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan, seraya menatap langit malam yang indah. Senyum simpul tersungging di wajahnya, dia mendadak ingat pada ucapan sang ibu saat dirinya masih kanak-kanak. Di mana, arwah orang yang meninggal akan berubah menjadi bintang, dan bintang yang paling terang, adalah sosok yang paling kita rindukan. Anneth menjulurkan tangannya, mencoba menggapai bintang yang menurutnya paling terang, berharap jika itu adalah ibunya, yang kini sedang menemaninya dalam kesepian. Hingga, sebuah tangan menggapai tangan Anneth, mengenggamnya dengan erat, dan kehadiran seseorang di sampingnya, memaksa Anneth untuk lebih awas. Obor di tangannya dia sodorkan ke
Menurut penjelasan Lyra, ini adalah hari ke 4 Anneth menginjakkan kaki di kerjaan Amogha, suku terbesar di tanah Avram. Namun, dua hari Anneth habiskan dengan tidak sadarkan diri, dan dua hari setelahnya, karena dia yang dikurung di dalam kamar dan dipaksa melayani binatang buas tak berhati itu. Hari ini, adalah hari pertamanya keluar dari tenda, menyaksikan langsung bagaimana kehidupan liar yang tidak lama lagi akan menjadi kegiatan sehari-harinya. Sepanjang matanya menatap, hanya ada rumah tenda berbahan kain yang berjajar ribuan, memenuhi setiap sudut hutan yang luas. Semua penghuni tumpah ruah dalam satu lokasi yang sama, dan berbagi makanan layaknya pasukan pelarian yang tidak memiliki banyak persediaan. Hal itu kembali menyadarkan Anneth, jika istana megah, tidak akan mungkin dimiliki oleh kerajaan Amogha. Bahkan Amogha tak layak disebut sebagai kerajaan, karena sama sekali tak ada istana yang menjadi pusat wilayah kekuasaan. Menyaksikan banyak orang yang berbaur menjadi sat