"Eh, buat apa memanggil anak itu, nanti dia makin kesenangan karena kita minta pendapatnya." Masih sempat kudengar penolakan ibu mertua yang tidak setuju aku dipanggil ikut serta dalam pembicaraan keluarga mereka. Setelahnya, aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan. Aku sudah berada di lantai atas dengan napas ngos-ngosan karena naik tangga dengan langkah cepat.
"Mbak Luna!" Ada yang memanggilku. Dari caranya memanggilku, aku tahu itu Bu Sukma, kepala pekerja di rumah ini. Kulepas pegangan knop pintu kamar yang siap kubuka. Aku berbalik dengan memaksakan senyum.
"Iya." Kucoba senatural mungkin saat menjawab panggilannya.
Wanita matang dengan garis wajah tegas menelisikku tajam.
"Ekhem, iya ada apa?"
"Mbak Luna dari mana?" Kedua alisnya saling bertaut.
"Saya?
Penasaran, aku pun bergegas menghampiri Pak Arik yang masih berdiri di depan pintu.Bu Sukma. Ternyata dia yang memergoki kami dalam satu kamar. Saat mata kami saling terpaut, aku tahu sorot tajam matanya menunjukkan ketidaksukaan. Aku juga tahu dia sedang memindai penampilanku, tampak dari bola matanya yang bergerak dari atas ke bawah.Aku hanya mampu menelan saliva dan terdiam terpaku di belakang Pak Arik."Ekhem." Bu Sukma Berdeham."Saya baru saja dari kamar Non Alisa. Ia meminta saya membawakan buah ini untuk Luna," tuturnya memberitahukan dan berlalu masuk ke dalam, melewati Pak Arik begitu saja tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dia juga tidak memanggilku Mbak, seperti biasanya dia menyapa.Kami memperhatikan Bu Sukma yang berjalan mendekati nakas, lalu meletakkan piring be
"Jangan dibiasakan. Sekarang kamu nggak sendiri, ada nyawa lain yang harus kamu perhatikan juga," nasihatnya dengan menunjuk ke bagian perutku."Iya, maaf Kak. Um … kapan kita pulang?" lanjutku bertanya. Alisa tampak terkejut mendengarnya. Nampak sekali aku tidak betah tinggal di rumah ini."Bukan kamu saja. Aku pun ingin menjauh dulu dari rumah ini. Capek harus berbohong dan bersandiwara. Apalagi menggunakan pakaian aneh gini." Alisa membuka sedikit atasan baju piyamanya yang menampilkan perut buncit hamil bohongan."Berat Kak, makenya?" Bukan pertanyaan penting, tapi aku sedikit penasaran melihat wujud perut Alisa dari luar memang tampak seperti ibu hamil."Nggak. Cuma yang mengganggu itu sumpeknya. Sesak, berasa susah napas, kan nempel gini. Mungkin faktor ini yang membuatku drop tadi. Dari kemarin kan, aku make ini semen
"Yuk rebahan." Pak Arik menepuk-nepuk atas bantal memintaku berbaring."Maksudnya Mas tidur di sini juga?""Memang kenapa? Nggak boleh?" Dengan santainya bertanya."Ya j--jangan. Nanti kalau ada yang lihat Mas keluar dari kamar ini gimana?""Aku nggak mau dicap jelek lagi. Dibilang wanita murahan dan--""Hussstttt! Siapa yang bilang begitu. Tenang. Aku nggak bakal ketahuan. Ayuk rebahan di sini. Biar kupijit kepalanya. Masih sakit kan?"Aku menggeleng."Sudah nggak?" Seolah tidak percaya dengan jawabanku."Iya, kan sakitnya kambuhan. Kadang muncul, tapi ntar hilang sendiri.""Oh, aneh. Kok bisa begitu. Padahal aku sudah bawa minya
"Brengs*k!" Sayup terdengar umpatan kasar seseorang.Apa aku tidak salah dengar? Suara itu jelas terdengar dari arah depan kamar. Bergegas kucuci muka dengan cepat agar segera keluar untuk memastikannya."Arik! Axel! Hentikan!" Itu suara Alisa yang berteriak memanggil kedua nama orang yang tak asing di telingaku. Apa yang terjadi?Aku yang baru membuka pintu kamar terkejut disuguhi pemandangan mencengangkan di depan mata. Dimana ada Pak Arik dan Axel yang saling baku hantam. Wajah mereka sudah babak belur satu sama lain. Entah apa yang mereka pertentangkan."Axel, sudah! Hentikan!" Alisa masih berteriak mencoba melerai dengan menarik tangan Arik--suaminya. Namun ditepis."Orang kayak dia tidak pantas dibela, Kak. Aku malu punya Kakak bejat begini!" timpal Axel dengan tatapan bengis.
"Axel, kamu mau mengantarku kemana?" Aku menahan tangannya yang ingin menghidupkan mesin mobil."Ke rumahmu, kemana lagi?" Disentaknya kasar tanganku hingga aku mencengkram kembali lengannya."Nggak! Aku nggak mau. Buka pintunya Xel. Aku mau keluar." Sia-sia aku berusaha membuka handle pintu mobil, karena pintu tersebut telah dikuncinya."Kenapa nggak mau? Oh … mungkin karena kamu nggak mau jauh-jauh dari Mas Arik, gitu?" Mataku mendelik tajam ke arahnya.Aku yakin sekarang apa penyebab Axel semarah itu denganku. Pasti ada hubungannya dengan pertengkaran mereka, dan pertengkaran itu karena-ku."Kenapa dari tadi kamu membahas Pak Arik?" tanyaku mulai kesal.Axel tertawa sebentar. "Pak Arik? Lucu. Berhentilah bersandiwara aku sudah tahu s
Axel salah tingkah. Bola matanya bergerak tidak fokus. Dia seperti baru menyadari telah salah melontarkan perkataan itu padaku."B--bukan, maksudku bukan begitu.""Kamu tenang saja, Xel. Aku bukan wanita jahat yang mengambil suami orang tanpa izin. Aku bukan PeLaKor, aku dinikahi kakakmu sah secara agama. Istrinya tahu itu dan ia sendiri yang memintaku untuk menikah dengan suaminya. Sudah paham kan? Jadi kamu salah melemparkan semua kesalahan padaku. Kenapa dan bagaimananya, bisa kamu tanyakan sendiri padanya. Aku terlalu lelah untuk menjawab semua pertanyaanmu. Jadi sekarang antarkan aku pulang." Dengan memejamkan mata, dan bersandar ke badan kursi, kusudahi ucapanku padanya, dan memaksanya mengantarkanku kembali ke rumah besar tersebut."Jadi Kak Alisa tahu?"Aku diam, mengabaikan pertanyaannya. Tidak berniat pu
"Tidak! Itu tidak mungkin. Pasti Ibu salah dengar kan Yah?" Ibu Rosa muncul dari belakang Ayah dengan wajah menegang. Dia menatapku tajam. Disusul Alisa yang berlari mendekat.Tamat sudah riwayatku. Orang tua mereka mendengar semuanya dan mempertanyakan kebenaran yang diucapkan Axel. Mungkin ini saatnya bicara jujur."Jadi siapa yang mau menjelaskan? Arik?" Pak Bara memulai pertanyaannya pada kami di ruang tamu. Semua kumpul dan duduk atas perintahnya.Pak Bara menatap kami satu per satu. Aku tepat duduk di depannya, diapit oleh kedua kakak-beradik yang sebelumnya sempat bertengkar hebat."Axel?" Melihat Pak Arik hanya diam tertunduk, dia beralih pada Axel. Anak kedua dari keluarga Bara Wijaya ini juga tertunduk ke bawah. Terlihat takut dan kehilangan keberanian yang sempat ditunjukkannya padaku.
Sedikit lega mendengar kalimat itu diucapkan oleh Arik di hadapan orang tuanya."Apa hebatnya dia dibanding Alisa? Memangnya sekarang dia sudah bisa memberikanmu anak? Walaupun sudah, Ibu tidak tertarik dengan cucu dari rahimnya!" cecar Ibu mertua tidak terima.Kutatap wanita paruh baya di depanku dengan sorot mata sendu. Hatiku hancur tercabik mendengar penolakan calon nenek dari anak yang kukandung sekarang."Jadi Ibu tidak akan mengakui anak dari rahim yang kukandung?" Aku bertanya menantang."Cih, tidak akan!" Ibu mertua memalingkan mukanya dariku."Baik kalau begitu jangan menyesal kalau--"Eh, Alisa, kamu kenapa? Alisa, Rik!" Pekik Bu Rosa mengagetkan kami yang ada di ruangan ini dan serempak menoleh ke arahnya. Tampak Alisa tersandar di bahu Ibu mertua