"Yuk rebahan." Pak Arik menepuk-nepuk atas bantal memintaku berbaring.
"Maksudnya Mas tidur di sini juga?"
"Memang kenapa? Nggak boleh?" Dengan santainya bertanya.
"Ya j--jangan. Nanti kalau ada yang lihat Mas keluar dari kamar ini gimana?"
"Aku nggak mau dicap jelek lagi. Dibilang wanita murahan dan--"
"Hussstttt! Siapa yang bilang begitu. Tenang. Aku nggak bakal ketahuan. Ayuk rebahan di sini. Biar kupijit kepalanya. Masih sakit kan?"
Aku menggeleng.
"Sudah nggak?" Seolah tidak percaya dengan jawabanku.
"Iya, kan sakitnya kambuhan. Kadang muncul, tapi ntar hilang sendiri."
"Oh, aneh. Kok bisa begitu. Padahal aku sudah bawa minya
"Brengs*k!" Sayup terdengar umpatan kasar seseorang.Apa aku tidak salah dengar? Suara itu jelas terdengar dari arah depan kamar. Bergegas kucuci muka dengan cepat agar segera keluar untuk memastikannya."Arik! Axel! Hentikan!" Itu suara Alisa yang berteriak memanggil kedua nama orang yang tak asing di telingaku. Apa yang terjadi?Aku yang baru membuka pintu kamar terkejut disuguhi pemandangan mencengangkan di depan mata. Dimana ada Pak Arik dan Axel yang saling baku hantam. Wajah mereka sudah babak belur satu sama lain. Entah apa yang mereka pertentangkan."Axel, sudah! Hentikan!" Alisa masih berteriak mencoba melerai dengan menarik tangan Arik--suaminya. Namun ditepis."Orang kayak dia tidak pantas dibela, Kak. Aku malu punya Kakak bejat begini!" timpal Axel dengan tatapan bengis.
"Axel, kamu mau mengantarku kemana?" Aku menahan tangannya yang ingin menghidupkan mesin mobil."Ke rumahmu, kemana lagi?" Disentaknya kasar tanganku hingga aku mencengkram kembali lengannya."Nggak! Aku nggak mau. Buka pintunya Xel. Aku mau keluar." Sia-sia aku berusaha membuka handle pintu mobil, karena pintu tersebut telah dikuncinya."Kenapa nggak mau? Oh … mungkin karena kamu nggak mau jauh-jauh dari Mas Arik, gitu?" Mataku mendelik tajam ke arahnya.Aku yakin sekarang apa penyebab Axel semarah itu denganku. Pasti ada hubungannya dengan pertengkaran mereka, dan pertengkaran itu karena-ku."Kenapa dari tadi kamu membahas Pak Arik?" tanyaku mulai kesal.Axel tertawa sebentar. "Pak Arik? Lucu. Berhentilah bersandiwara aku sudah tahu s
Axel salah tingkah. Bola matanya bergerak tidak fokus. Dia seperti baru menyadari telah salah melontarkan perkataan itu padaku."B--bukan, maksudku bukan begitu.""Kamu tenang saja, Xel. Aku bukan wanita jahat yang mengambil suami orang tanpa izin. Aku bukan PeLaKor, aku dinikahi kakakmu sah secara agama. Istrinya tahu itu dan ia sendiri yang memintaku untuk menikah dengan suaminya. Sudah paham kan? Jadi kamu salah melemparkan semua kesalahan padaku. Kenapa dan bagaimananya, bisa kamu tanyakan sendiri padanya. Aku terlalu lelah untuk menjawab semua pertanyaanmu. Jadi sekarang antarkan aku pulang." Dengan memejamkan mata, dan bersandar ke badan kursi, kusudahi ucapanku padanya, dan memaksanya mengantarkanku kembali ke rumah besar tersebut."Jadi Kak Alisa tahu?"Aku diam, mengabaikan pertanyaannya. Tidak berniat pu
"Tidak! Itu tidak mungkin. Pasti Ibu salah dengar kan Yah?" Ibu Rosa muncul dari belakang Ayah dengan wajah menegang. Dia menatapku tajam. Disusul Alisa yang berlari mendekat.Tamat sudah riwayatku. Orang tua mereka mendengar semuanya dan mempertanyakan kebenaran yang diucapkan Axel. Mungkin ini saatnya bicara jujur."Jadi siapa yang mau menjelaskan? Arik?" Pak Bara memulai pertanyaannya pada kami di ruang tamu. Semua kumpul dan duduk atas perintahnya.Pak Bara menatap kami satu per satu. Aku tepat duduk di depannya, diapit oleh kedua kakak-beradik yang sebelumnya sempat bertengkar hebat."Axel?" Melihat Pak Arik hanya diam tertunduk, dia beralih pada Axel. Anak kedua dari keluarga Bara Wijaya ini juga tertunduk ke bawah. Terlihat takut dan kehilangan keberanian yang sempat ditunjukkannya padaku.
Sedikit lega mendengar kalimat itu diucapkan oleh Arik di hadapan orang tuanya."Apa hebatnya dia dibanding Alisa? Memangnya sekarang dia sudah bisa memberikanmu anak? Walaupun sudah, Ibu tidak tertarik dengan cucu dari rahimnya!" cecar Ibu mertua tidak terima.Kutatap wanita paruh baya di depanku dengan sorot mata sendu. Hatiku hancur tercabik mendengar penolakan calon nenek dari anak yang kukandung sekarang."Jadi Ibu tidak akan mengakui anak dari rahim yang kukandung?" Aku bertanya menantang."Cih, tidak akan!" Ibu mertua memalingkan mukanya dariku."Baik kalau begitu jangan menyesal kalau--"Eh, Alisa, kamu kenapa? Alisa, Rik!" Pekik Bu Rosa mengagetkan kami yang ada di ruangan ini dan serempak menoleh ke arahnya. Tampak Alisa tersandar di bahu Ibu mertua
Dering telepon membuyarkan lamunan akan rencana jahat yang sedang kupikirkan. Segera kuambil ponsel yang tersimpan di dalam tas yang kuletakkan di atas nakas. Ponselku tersebut sudah dikembalikan Pak Arik, tepat setelah Alisa mengambil ponsel Pak Arik dariku.Varel? Kenapa dia menghubungi malam begini? Video call lagi? Mana penampilanku kacau seperti ini. Apa terjadi sesuatu sama Ibu?Bergegas aku merapikan penampilan. Menghapus jejak air mata yang masih membekas di pipi dan mencari cara untuk menutupi mata yang sembab.Panggilan video berakhir. Nada dering terakhirnya tidak sempat kuangkat. Belum sempat jemariku memanggil ulang nomor Varel, ponsel yang masih kupegang berdering kembali. Ternyata masih dari Varel. Aku jadi khawatir. Jantungku berdegup tak beraturan."Halo, assalamualaikum. Iya Varel ada apa? Ibu baik
Terdengar suara deru mobil di depan rumah. Ada yang datang. Jam di ponsel menunjukkan pukul 11.02. siapa yang datang pada jam segini?Pintu kamar segera kukunci. Aku hanya tidak ingin kamarku dimasuki sembarang orang meski itu suamiku sendiri. Entah kenapa aku merasa dia yang datang kemari. Namun apa mungkin dia pergi ke sini dan meninggalkan Alisa?Badan bergetar mendengar ketukan di pintu kamarku. Aku yang bersandar di dinding pintu tersebut, menjauh perlahan dan berjalan mendekati tempat tidur. Kubiarkan ketukan itu terus berbunyi sampai hilang dengan sendirinya.Lalu karena pintunya tidak dibuka juga, suara langkah kaki seseorang yang tadi berdiri di depan pintu kamar terdengar menjauh.Syukurlah. Dia pergi. Aku yang sudah berbaring di tempat tidur, terjaga kembali saat suara anak kunci terdengar b
Benar, kami memang pergi ke Bali. Aku masih tidak percaya. Setelah melewati perjalanan pesawat hampir dua jam, akhirnya kami sampai juga ke Bali, diantarkan ke sebuah villa besar nan mewah. Aku tersenyum melihat pemandangan yang kutemui selama perjalanan menuju ke villa, karena jujur ini untuk pertama kalinya aku pergi ke pulau ini. Indah, seperti yang sering dikatakan orang. Pantas banyak yang mengunjungi tempat dengan banyak pantai ini dan menjadi tujuan utama turis asing saat berkunjung ke negara berkode telepon 62. Kata Pak Arik selama di Bali, kami akan tinggal di villa pribadinya. Tidak masalah, aku setuju saja. Ada kebahagiaan tersendiri saat aku berada di sini. Mungkin suasana baru yang begitu jauh berbeda dengan kota yang kutinggali sebelumnya."Luna!" Alisa menyambutku dengan senyum lebar saat melihatku baru saja keluar dari mobil yang telah mengantarkanku ke sini. Sepertinya dia sudah tahu kapan waktu kedatanganku ke villa yang sangat me