Share

5

Lelaki yang Kubenci

Aku sigap berdiri mengulurkan tangan, mengajak salaman. Namun lelaki yang kutahu songong dan sombong itu malah diam hanya dengan melirikku sekilas, lalu abai. Ia menarik kursi, dan duduk dengan santainya di sebelah Alisa.

Tangan kutarik kembali, malu. Ingin sekali mengumpat saat Alisa mengulum bibirnya menahan senyum melihatku diabaikan suaminya.

Aku duduk kembali. Seharusnya aku diam saja, dan abai dengan lelaki tersebut. Hanya ingin menunjukkan rasa hormat, kutekan ego mengajaknya berjabat tangan. Namun malah malu yang kudapat.

Namanya Atalarik Bara Wijaya. Aku lebih mengingatnya dengan panggilan Pak Arik. Dia adalah donatur tetap sekolah menengahku dulu di SMA swasta yang cukup bergengsi. Aku bisa masuk di sana karena dapat beasiswa. Lulus pun dengan nilai cukup memuaskan karena persaingannya lumayan ketat. Bisa sekolah gratis saja tanpa dikenakan biaya sudah bagus dan patut kusyukuri. Setidaknya dapat mengurangi beban ibuku yang merupakan single parents.

Di sanalah awal aku bertemu dengannya. Aku menjulukinya Om songong. Sedang sahabatku--Yasmin menyebutnya Om ganteng. Julukan itu hanya dikalangan kami berdua saja ketika sedang membicarakannya. Kenapa Om songong? Karena sikapnya yang cuek, dingin, serta angkuh yang membuatku tidak menyukainya. Hampir dua kali kejadian, kami saling bertubrukan saat jalan, dan reaksinya cuma menatapku tajam tanpa sebaris kata maaf pun keluar dari mulutnya. Ia seperti memandang remeh ke arahku. Padahal dengan jelas dia juga bersalah. Aku hanya dianggap patung yang nggak sengaja ketabrak olehnya, lalu ditinggal pergi. Mungkin juga karena aku masih anak sekolahan yang dianggapnya masih kecil, hingga yang mudalah yang harusnya minta maaf pada yang tua. Waktu itu umurnya sekitar 34 tahun, wajar kalau kami panggil Om, mengingat perbedaan jauh umur kami.

***

"Sudahlah Lun, cuma lecet dikit, ntar juga ilang bekasnya." Yasmin mencoba menghiburku yang masih cemberut meratapi sikutku yang sedikit lecet, karena bertubrukan dengan Pak Arik.

"Ini sudah kedua kalinya, Yas, aku tabrakan dengan Om songong ituh. Yang pertama okelah, mungkin dia buru-buru apalagi sambil teleponan. Aku memaklumi. Lah, yang ini aku sampai terjengkal jatuh dan dia nggak ada niat bantuin aku berdiri. Bilang maaf pun juga tidak. Aku bukan mempermasalahkan luka ini. Cuma kan dia bisa bilang maaf. Cuma maaf, Yas. Sekedar basa-basi juga, apa susahnya sih," sewotku masih tidak terima.

"Atau setidaknya bilang, 'kamu baik-baik saja? Atau iya, nggak pa-pa' saat aku yang lebih dulu meminta maaf. Ini nggak ada Yas. Dia cuma natap aku sekilas doang, terus pergi. Dua kali Yas, aku digituin. Apa begitu ya sikap orang kaya? Nyebelin."

Yasmin terkekeh mendengar omelanku tentang lelaki tersebut.

"Aku nggak tuh," bantah Yasmin.

"Tapi kamu bukan lagi narik perhatiannya kan? Makanya marah, dicuekin." Yasmin menatapku menyelidik. 

"Apa!? Ya,nggak lah. Ih … nggak banget segitunya buat narik perhatian om-om, sambil berdarah begini?" cebikku tak terima.

"Biarpun om-om tapi ganteng loh."

"Bukan tipeku ,Yas. Rupa tanpa attitude yang baik itu nol besar," cecarku mematahkan sanjungan Yasmin pada lelaki tersebut.

Yasmin terkekeh kembali.

"Tapi aku nggak mau ya, bilang kalian jodoh karena sudah dua kali tabrakan. Jangan juga sampai tiga. Katanya kalau sampai tiga kali itu namanya jodoh, dan aku nggak rela," timpalnya sembari menatap serius ke layar ponsel.

"Jodoh sama orang itu? Nggak mungkin. Aku nggak bakalan mau. Nggak pernah juga dengar tuh istilah. Jangan ngadi-ngadi. Lagipula katamu dia udah nikah. Siapa nama keluarganya? Memang sekaya apa sampai kamu merasa minder gituh dan bilang nggak ada apa-apanya."

"Om ganteng itu dari keluarga Bara Wijaya dan istrinya dari keluarga Subagyo. Dua orang dari latar belakang keluarga terpandang dan konglomerat, terus disatukan ya boom-lah, Lun. Tajir melintir. Kekayaan keluargaku saja cuma seujung kukunya. Bahkan tuh, si Angela tidak ada apa-apanya sama mereka." Lirikan mata Yasmin ke arah Angela--teman satu kelas kami yang dikenal paling kaya dibandingkan yang lainnya.

Yasmin sangat menyukai Pak Arik sejak lelaki tersebut datang berkunjung ke sekolah kami. Tidak hanya Yasmin saja yang menggemarinya. Hampir 70 persen siswi di sekolahku waktu itu mengidolakan dan mendambakan beliau. Mereka sangat bersemangat kala sekolah mengadakan event dan Pak Arik datang sebagai tamu agungnya. Selain wajah tampannya, ia juga diketahui merupakan direktur utama di sebuah perusahaan besar, dan seorang pebisnis ulung. Bahkan saat dikenalkan ketua yayasan, banyak prestasi dan usaha bisnis yang disebutkan beliau mengenai Pak Arik. Sedang aku tidak tertarik sama sekali seperti mereka saat tahu attitude-nya yang jelek. Tidak bisa menghargai seseorang hanya karena levelnya berbeda dengannya.

Dari Yasmin juga kutahu dia sudah beristri. Temanku itu getol sekali mencari tahu tentang sosok idolanya. Bahkan sampai masalah kehidupan rumah tangganya Pak Arik dikuliknya habis. Cuma tidak disebutkan apakah dari pernikahannya, ia memiliki anak atau tidak, dan waktu itu aku sama sekali tidak tertarik dengan biodata lelaki tersebut. 

***

"Rik, disapa dong Lunanya, masa dicuekin." Alisa mencoba mengakrabkan aku dan suaminya.

"Sudah kenal, namanya Luna kan?" Liriknya menghentikan aktivitas menyuap roti ke mulut. 

"Maaf ya Lun, Arik memang orangnya cuek, tapi dia baik kok."

Aku hanya menanggapi ucapan Alisa dengan tersenyum tipis. Memaksakan lengkungan bulan sabit di wajah, meski hati menjerit kesal. Kalau tahu laki-laki ini yang bakal jadi calon suamiku, sudah sedari awal kutolak tawaran Alisa. Mimpi apa sampai bertemu kembali dengan lelaki tersebut setelah dua tahun silam berlalu.

"Jadi rencananya besok kalian nikah, setuju kan Rik? Lebih cepat lebih baik. Aku udah urus semuanya. Kamu tinggal ijab kabul aja." Alisa kembali bersuara. Kali ini membuatku terkaget. Walaupun seharusnya aku sudah siap karena memang itulah alasan kenapa aku bisa di rumah ini.

"Kamu yakin mau nikahin aku sama dia?" Ekor mata Arik mengarah ke diriku. Kubalas menatapnya balik.

Maksudnya? Aku mendelik tajam. 

Alisa mengangguk pasti. "Dia kandidat yang kupilih dan aku suka, Rik. Semua sudah di tes dan dia sehat untuk mengandung anakmu, anak kita."

Tes? Aku? Kapan? Aku merasa tidak pernah melakukan tes apapun. Aku bergumam sendiri dalam hati membantah ucapan Alisa pada suaminya.

Keningku mengkerut melihat Alisa membisikkan sesuatu ke suaminya. Entah apa yang dirahasiakan mereka.

"Terserah kamu sajalah. Atur aja sesukamu." 

Lipatan di keningku makin bertambah melihat reaksi Pak Arik yang tetiba setuju saja setelah dibisiki istrinya. Semudah itu meluluhkan hati Pak Arik. Pantas Alisa bilang kalau suaminya sangat mencintainya.

"Bapaknya masih hidup?" tanyanya ke Alisa. Aku refleks menatap ke arahnya. Roti yang tinggal satu gigitan tak jadi kumasukan ke mulut. 

Padahal pertanyaan itu bisa ditanyakan langsung kepadaku yang duduk di hadapannya. Namun dia lebih memilih bertanya ke Alisa.

Alisa menatapku, aku diam saja pembiarkan Alisa yang menjawab. Aku yakin dia tahu betul tentang diriku.

 "Sudah meninggal sejak umur 13 tahun. Kenapa?" 

"Kamu sudah urus walinya? Pastikan walinya tanda tangani surat perjanjian. Aku nggak mau jadi masalah dikemudian hari," jawabnya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.

"Wali? Maksudnya wali hakim? Tenang, itu gampang diatur." 

"Bukan sayang, tapi wali nikah, seperti ayah atau saudara kandung. Seperti kita nikah dulu." Pak Arik menggenggam tangan Alisa dengan tersenyum hangat. Aku melengos, tidak ingin melihat kemesraan mereka.

"Memang harus ya? Kan bisa diwakilkan ke wali hakim?" 

"Iya, bisa Sayang. Aku lupa bagaimana persyaratannya. Yang jelas kalau masih ada walinya harus dari keluarga itu bukan wali hakim. Pokoknya begitulah, baru sah. Bukankah pernikahan ini terjadi untuk menghindari zina? Kalau nikahnya tidak sah sama saja bohong," balasnya lagi.

"Aku hanya punya adik kandung dan jujur aku nggak mau dia tahu tentang masalah ini, ataupun keluargaku yang lainnya, apa tidak bisa diwakilkan ke wali hakim?" ucapku menyela. Terserah dia mau menganggapku tidak sopan. Aku hanya ingin memperjelas saja. Lagipula dari tadi aku seperti patung dihadapannya, membiarkan mereka bicara berdua seolah aku tidak ada.

Pak Arik tersenyum kecut. "Kalau begitu lebih baik batalkan rencana pernikahan. Tidak ada gunanya."

Aku dan Alisa saling pandang. 

Dibatalkan? Aku paling senang mendengar kalimat ini, tapi bagaimana dengan nasib kesepakatan kami? Apakah aku harus mengembalikan semua uang yang sudah digunakan, sedangkan uang untuk mengembalikan saja tidak kumiliki.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tri Joko Widodo
wah tanggung nich. mana terusan nya ? hehe
goodnovel comment avatar
Mom L_Dza
awal baca penasaran.. eeeehhhh malah keterusan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status