Share

5

Author: Syarlina
last update Last Updated: 2022-01-02 20:11:48

Lelaki yang Kubenci

Aku sigap berdiri mengulurkan tangan, mengajak salaman. Namun lelaki yang kutahu songong dan sombong itu malah diam hanya dengan melirikku sekilas, lalu abai. Ia menarik kursi, dan duduk dengan santainya di sebelah Alisa.

Tangan kutarik kembali, malu. Ingin sekali mengumpat saat Alisa mengulum bibirnya menahan senyum melihatku diabaikan suaminya.

Aku duduk kembali. Seharusnya aku diam saja, dan abai dengan lelaki tersebut. Hanya ingin menunjukkan rasa hormat, kutekan ego mengajaknya berjabat tangan. Namun malah malu yang kudapat.

Namanya Atalarik Bara Wijaya. Aku lebih mengingatnya dengan panggilan Pak Arik. Dia adalah donatur tetap sekolah menengahku dulu di SMA swasta yang cukup bergengsi. Aku bisa masuk di sana karena dapat beasiswa. Lulus pun dengan nilai cukup memuaskan karena persaingannya lumayan ketat. Bisa sekolah gratis saja tanpa dikenakan biaya sudah bagus dan patut kusyukuri. Setidaknya dapat mengurangi beban ibuku yang merupakan single parents.

Di sanalah awal aku bertemu dengannya. Aku menjulukinya Om songong. Sedang sahabatku--Yasmin menyebutnya Om ganteng. Julukan itu hanya dikalangan kami berdua saja ketika sedang membicarakannya. Kenapa Om songong? Karena sikapnya yang cuek, dingin, serta angkuh yang membuatku tidak menyukainya. Hampir dua kali kejadian, kami saling bertubrukan saat jalan, dan reaksinya cuma menatapku tajam tanpa sebaris kata maaf pun keluar dari mulutnya. Ia seperti memandang remeh ke arahku. Padahal dengan jelas dia juga bersalah. Aku hanya dianggap patung yang nggak sengaja ketabrak olehnya, lalu ditinggal pergi. Mungkin juga karena aku masih anak sekolahan yang dianggapnya masih kecil, hingga yang mudalah yang harusnya minta maaf pada yang tua. Waktu itu umurnya sekitar 34 tahun, wajar kalau kami panggil Om, mengingat perbedaan jauh umur kami.

***

"Sudahlah Lun, cuma lecet dikit, ntar juga ilang bekasnya." Yasmin mencoba menghiburku yang masih cemberut meratapi sikutku yang sedikit lecet, karena bertubrukan dengan Pak Arik.

"Ini sudah kedua kalinya, Yas, aku tabrakan dengan Om songong ituh. Yang pertama okelah, mungkin dia buru-buru apalagi sambil teleponan. Aku memaklumi. Lah, yang ini aku sampai terjengkal jatuh dan dia nggak ada niat bantuin aku berdiri. Bilang maaf pun juga tidak. Aku bukan mempermasalahkan luka ini. Cuma kan dia bisa bilang maaf. Cuma maaf, Yas. Sekedar basa-basi juga, apa susahnya sih," sewotku masih tidak terima.

"Atau setidaknya bilang, 'kamu baik-baik saja? Atau iya, nggak pa-pa' saat aku yang lebih dulu meminta maaf. Ini nggak ada Yas. Dia cuma natap aku sekilas doang, terus pergi. Dua kali Yas, aku digituin. Apa begitu ya sikap orang kaya? Nyebelin."

Yasmin terkekeh mendengar omelanku tentang lelaki tersebut.

"Aku nggak tuh," bantah Yasmin.

"Tapi kamu bukan lagi narik perhatiannya kan? Makanya marah, dicuekin." Yasmin menatapku menyelidik. 

"Apa!? Ya,nggak lah. Ih … nggak banget segitunya buat narik perhatian om-om, sambil berdarah begini?" cebikku tak terima.

"Biarpun om-om tapi ganteng loh."

"Bukan tipeku ,Yas. Rupa tanpa attitude yang baik itu nol besar," cecarku mematahkan sanjungan Yasmin pada lelaki tersebut.

Yasmin terkekeh kembali.

"Tapi aku nggak mau ya, bilang kalian jodoh karena sudah dua kali tabrakan. Jangan juga sampai tiga. Katanya kalau sampai tiga kali itu namanya jodoh, dan aku nggak rela," timpalnya sembari menatap serius ke layar ponsel.

"Jodoh sama orang itu? Nggak mungkin. Aku nggak bakalan mau. Nggak pernah juga dengar tuh istilah. Jangan ngadi-ngadi. Lagipula katamu dia udah nikah. Siapa nama keluarganya? Memang sekaya apa sampai kamu merasa minder gituh dan bilang nggak ada apa-apanya."

"Om ganteng itu dari keluarga Bara Wijaya dan istrinya dari keluarga Subagyo. Dua orang dari latar belakang keluarga terpandang dan konglomerat, terus disatukan ya boom-lah, Lun. Tajir melintir. Kekayaan keluargaku saja cuma seujung kukunya. Bahkan tuh, si Angela tidak ada apa-apanya sama mereka." Lirikan mata Yasmin ke arah Angela--teman satu kelas kami yang dikenal paling kaya dibandingkan yang lainnya.

Yasmin sangat menyukai Pak Arik sejak lelaki tersebut datang berkunjung ke sekolah kami. Tidak hanya Yasmin saja yang menggemarinya. Hampir 70 persen siswi di sekolahku waktu itu mengidolakan dan mendambakan beliau. Mereka sangat bersemangat kala sekolah mengadakan event dan Pak Arik datang sebagai tamu agungnya. Selain wajah tampannya, ia juga diketahui merupakan direktur utama di sebuah perusahaan besar, dan seorang pebisnis ulung. Bahkan saat dikenalkan ketua yayasan, banyak prestasi dan usaha bisnis yang disebutkan beliau mengenai Pak Arik. Sedang aku tidak tertarik sama sekali seperti mereka saat tahu attitude-nya yang jelek. Tidak bisa menghargai seseorang hanya karena levelnya berbeda dengannya.

Dari Yasmin juga kutahu dia sudah beristri. Temanku itu getol sekali mencari tahu tentang sosok idolanya. Bahkan sampai masalah kehidupan rumah tangganya Pak Arik dikuliknya habis. Cuma tidak disebutkan apakah dari pernikahannya, ia memiliki anak atau tidak, dan waktu itu aku sama sekali tidak tertarik dengan biodata lelaki tersebut. 

***

"Rik, disapa dong Lunanya, masa dicuekin." Alisa mencoba mengakrabkan aku dan suaminya.

"Sudah kenal, namanya Luna kan?" Liriknya menghentikan aktivitas menyuap roti ke mulut. 

"Maaf ya Lun, Arik memang orangnya cuek, tapi dia baik kok."

Aku hanya menanggapi ucapan Alisa dengan tersenyum tipis. Memaksakan lengkungan bulan sabit di wajah, meski hati menjerit kesal. Kalau tahu laki-laki ini yang bakal jadi calon suamiku, sudah sedari awal kutolak tawaran Alisa. Mimpi apa sampai bertemu kembali dengan lelaki tersebut setelah dua tahun silam berlalu.

"Jadi rencananya besok kalian nikah, setuju kan Rik? Lebih cepat lebih baik. Aku udah urus semuanya. Kamu tinggal ijab kabul aja." Alisa kembali bersuara. Kali ini membuatku terkaget. Walaupun seharusnya aku sudah siap karena memang itulah alasan kenapa aku bisa di rumah ini.

"Kamu yakin mau nikahin aku sama dia?" Ekor mata Arik mengarah ke diriku. Kubalas menatapnya balik.

Maksudnya? Aku mendelik tajam. 

Alisa mengangguk pasti. "Dia kandidat yang kupilih dan aku suka, Rik. Semua sudah di tes dan dia sehat untuk mengandung anakmu, anak kita."

Tes? Aku? Kapan? Aku merasa tidak pernah melakukan tes apapun. Aku bergumam sendiri dalam hati membantah ucapan Alisa pada suaminya.

Keningku mengkerut melihat Alisa membisikkan sesuatu ke suaminya. Entah apa yang dirahasiakan mereka.

"Terserah kamu sajalah. Atur aja sesukamu." 

Lipatan di keningku makin bertambah melihat reaksi Pak Arik yang tetiba setuju saja setelah dibisiki istrinya. Semudah itu meluluhkan hati Pak Arik. Pantas Alisa bilang kalau suaminya sangat mencintainya.

"Bapaknya masih hidup?" tanyanya ke Alisa. Aku refleks menatap ke arahnya. Roti yang tinggal satu gigitan tak jadi kumasukan ke mulut. 

Padahal pertanyaan itu bisa ditanyakan langsung kepadaku yang duduk di hadapannya. Namun dia lebih memilih bertanya ke Alisa.

Alisa menatapku, aku diam saja pembiarkan Alisa yang menjawab. Aku yakin dia tahu betul tentang diriku.

 "Sudah meninggal sejak umur 13 tahun. Kenapa?" 

"Kamu sudah urus walinya? Pastikan walinya tanda tangani surat perjanjian. Aku nggak mau jadi masalah dikemudian hari," jawabnya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.

"Wali? Maksudnya wali hakim? Tenang, itu gampang diatur." 

"Bukan sayang, tapi wali nikah, seperti ayah atau saudara kandung. Seperti kita nikah dulu." Pak Arik menggenggam tangan Alisa dengan tersenyum hangat. Aku melengos, tidak ingin melihat kemesraan mereka.

"Memang harus ya? Kan bisa diwakilkan ke wali hakim?" 

"Iya, bisa Sayang. Aku lupa bagaimana persyaratannya. Yang jelas kalau masih ada walinya harus dari keluarga itu bukan wali hakim. Pokoknya begitulah, baru sah. Bukankah pernikahan ini terjadi untuk menghindari zina? Kalau nikahnya tidak sah sama saja bohong," balasnya lagi.

"Aku hanya punya adik kandung dan jujur aku nggak mau dia tahu tentang masalah ini, ataupun keluargaku yang lainnya, apa tidak bisa diwakilkan ke wali hakim?" ucapku menyela. Terserah dia mau menganggapku tidak sopan. Aku hanya ingin memperjelas saja. Lagipula dari tadi aku seperti patung dihadapannya, membiarkan mereka bicara berdua seolah aku tidak ada.

Pak Arik tersenyum kecut. "Kalau begitu lebih baik batalkan rencana pernikahan. Tidak ada gunanya."

Aku dan Alisa saling pandang. 

Dibatalkan? Aku paling senang mendengar kalimat ini, tapi bagaimana dengan nasib kesepakatan kami? Apakah aku harus mengembalikan semua uang yang sudah digunakan, sedangkan uang untuk mengembalikan saja tidak kumiliki.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tri Joko Widodo
wah tanggung nich. mana terusan nya ? hehe
goodnovel comment avatar
Mom L_Dza
awal baca penasaran.. eeeehhhh malah keterusan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dibayar Satu Miliar   94

    Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah

  • Dibayar Satu Miliar   93

    POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d

  • Dibayar Satu Miliar   91

    POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint

  • Dibayar Satu Miliar   90

    "Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,

  • Dibayar Satu Miliar   89

    POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka

  • Dibayar Satu Miliar   88

    Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status