Begitu suara pintu berderit pelan terdengar, Dina spontan bangkit. Langkah sepatu yang semakin mendekat membuatnya bergegas ke ruang tamu, menyambut Arka—suaminya— yang baru pulang.
“Mas baru pulang?” tanyanya pelan. “Ada pekerjaan tambahan di kantor, ya?” Arka tidak langsung menjawab. Ia menaruh tas kerja di sofa, melepas jasnya dengan gerakan malas. “Bisa tidak kamu jangan banyak tanya?” ucap Arka dingin, tanpa menoleh sedikit pun. “Aku bertanya karena khawatir, Mas. Biasanya kamu tidak pulang selarut ini.” Tak ada jawaban. Arka berjalan melewatinya, meninggalkan aroma parfum yang samar. Jas yang dijatuhkannya ke lantai Dina pungut perlahan, lalu ia lipat di lengannya. “Kamu pasti lapar,” tuturnya lembut, mencoba menawarkan kehangatan yang tak pernah disambut. “Makan dulu, ya, Mas. Aku siapkan untukmu.” “Aku tidak lapar.” Dina menatap punggung Arka yang menjauh menuju tangga. “Kalau begitu, mau aku siapkan air hangat?” “Tidak perlu.” “Mas, mungkin kalau makan sedikit—” “Dina!” seru Arka tiba-tiba, ia berbalik cepat menatap jengkel. “Aku capek! Bisa tidak berhenti bicara? Kamu itu cerewet sekali!” Dina terdiam, matanya menunduk. Nada suara Arka yang dingin seolah menegaskan kalau keberadaannya tak lebih dari gangguan kecil di penghujung hari. Sudah setahun seperti ini, tapi entah kenapa, masih ada bagian kecil dalam dirinya yang berharap Arka bisa berubah seperti dulu. Setelah berhasil menenangkan diri, Dina melangkah ke lantai dua. Baru beberapa langkah dari pintu kamar, Arka muncul dengan wajah masam. “Dimana kemeja yang ku suruh setrika tadi pagi?” Dina terbelalak kecil, buru-buru menepuk keningnya. “Mas… aku lupa,” katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh napasnya sendiri. “Dari pagi aku langsung ke restoran. Baru sempat pulang sore tadi.” Ia menunduk sedikit, berusaha menenangkan diri sebelum melanjutkan, “Maagku sempat kambuh, jadi aku baru bisa bergerak setelah istirahat sebentar.” Ia berharap kejujuran kecil itu bisa sedikit meluluhkan Arka, atau sekadar membuatnya bertanya apakah dirinya baik-baik saja. Tapi yang datang bukan perhatian, melainkan dingin yang menampar tanpa suara. “Kamu itu banyak alasan! Hal sepele begini saja harus selalu aku ingatkan? Istri macam apa kamu ini?” “Maaf, Mas. Aku tidak sengaja—” “Selalu saja tidak sengaja!” potongnya tajam. “Setahun menikah, tapi kamu bahkan belum tahu bagaimana menjadi istri yang berguna!” Kata-kata itu menusuknya. Dina menunduk, matanya bergetar menahan perih. ‘Istri yang tidak berguna?’ Bibirnya bergetar. ‘Jadi, semua yang kulakukan selama ini tidak berarti? Menyiapkan makanan, melayaninya saat sakit, mencoba mengerti setiap kali ia marah tanpa alasan… semua itu tidak berarti?’ Dina berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh, mengangkat wajahnya sedikit agar suaminya tak melihat getar di matanya. “Aku akan lebih perhatian lagi, Mas,” ucapnya pelan, menahan getir di tenggorokan. Kalimat itu terdengar seperti penyesalan, padahal yang ia rasakan hanyalah lelah karena terus meminta maaf atas sesuatu yang bukan sepenuhnya salah. Arka mendengus. “Sudahlah. Bicara denganmu hanya membuatku sakit kepala!” ujarnya lalu kembali masuk ke kamar. Dina tetap berdiri di sana, menatap nanar pintu kamar yang tertutup . Ada perih di dadanya karena lelah yang terus menumpuk. Ia sudah lama berhenti berharap diperlakukan dengan hormat. Kini, yang tersisa hanya rutinitas: bangun, melayani, diam, lalu tidur dengan hati yang semakin kosong. Sebelum menikah, Arka adalah pria lembut. Tutur katanya hangat, sikapnya penuh perhatian. Semua orang menganggap Dina beruntung dipinangnya. Tapi setelah cincin itu melingkar di jarinya, segalanya berubah. Kelembutan berganti dengan amarah yang mudah tersulut, ucapan manis berganti dengan kata-kata kasar, dan kehangatan berganti menjadi jarak yang dingin. Selain berharap untuk dicintai lagi, Dina bertahan demi restoran keluarga yang berdiri dari modal keluarga Arka. Perceraian bukan hanya memutus ikatan, tapi juga menghancurkan harapan orang tuanya. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka lagi. Arka keluar dengan pakaian kasual, aroma parfum segar menggantikan bau lelah dari kantor. Dina mengernyit. “Mas mau kemana?” Arka tak peduli, ia melangkah menuruni anak tangga tanpa menjawab pertanyaan Dina. Bahkan memandang pun serasa tak sudi. Dina meletakkan tas kerja dan jas Arka di atas meja kecil di samping pintu kamar, lalu menyusul ka bawah. “Mas, sudah beberapa malam ini kamu tidak tidur di rumah. Aku hanya ingin tahu kamu—” “Dina!” Ia berbalik, wajahnya menegang. “Berhenti ikut campur urusanku!” “Tapi, Mas—” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Arka sudah melangkah keluar rumah. Dina terdiam di ambang pintu. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meski sulit. Satu pertanyaan terlintas di benaknya, “Inikah rumah tangga yang ku pertahankan setahun ini?’ **Makan malam berakhir dengan tawa dan ucapan perpisahan yang sopan. Dina menunduk hormat sebelum beranjak, melangkah lebih dulu menuju parkiran. Malam sudah turun sempurna, cahaya lampu restoran memantul lembut di aspal. Belum sempat ia melangkah jauh, sebuah suara memanggil pelan dari belakang. Dina menoleh, melihat Davin berjalan tergesa ke arahnya. “Apakah kita masih bisa bertemu lagi?” tanya Davin cukup untuk mengguncang tenang yang berusaha Dina pertahankan. Dina menatapnya sesaat, napasnya terasa berat. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semua hanya berhenti di tenggorokan. Ia akhirnya tersenyum tipis. “Mungkin,” lirihnya. “Kalau waktunya mengizinkan, Mas.” Dina berbalik, melangkah pergi dengan langkah tenang, padahal di dalam dirinya segalanya terasa berantakan. Dina menatap pantulan dirinya di jendela mobil yang perlahan melaju menjauh. Ada sesuatu yang berbeda di sana, seulas senyum yang sudah lama tak berani muncul, dan getar halus di dadanya yang membuatny
“Kalau boleh tahu, sudah berapa lama Arka dan istrinya menikah?” tanya Veronika, nada suaranya ringan, disertai senyum sopan. “Setahun, Bu Vero,” jawab Rina, terdengar bangga tapi tetap menjaga nada agar terdengar santai. “Wah, masih bau-bau bulan madu, ya,” ujar Veronika terkekeh kecil. Tatapannya beralih pada Dina. “Apalagi Dina ini cantik sekali. Beruntung sekali Arka bisa mendapatkan istri secantik ini.” Rina tertawa lembut, matanya menyipit menahan senang. “Aduh, Ibu Vero bisa saja. Terima kasih, ya, sudah memuji. Tapi anak saya juga beruntung bisa mendapatkan suami seperti Arka.” Dina mencoba tampak tenang meski pipinya memanas. Ia tahu betul, kalimat pujian yang sederhana bisa berubah menjadi bahan pembicaraan panjang di meja seperti ini. Arka yang duduk di sebelah Dina, tersenyum lebar. Ia lalu meraih tangan istrinya dan menyentuh punggungnya dengan lembut, gerakan yang tampak penuh kasih. “Tentu saja, Bu Vero. Saya sangat beruntung memiliki Dina sebagai istri saya,” uja
Davin tersenyum lembut, ada kehangatan samar di matanya, seolah ia masih sulit percaya bahwa wanita yang kini berdiri di hadapannya adalah sosok yang dulu pernah ia kenal begitu dekat. “Kalian saling kenal?” tanya Arka sambil melirik bergantian antara Davin dan Dina, nadanya penuh selidik. Davin menoleh pada Arka, lalu kembali menatap Dina. “Dinarayu ini adik tingkatku semasa kuliah,” ujarnya tenang. “Aku tidak menyangka bisa bertemu lagi denganmu di sini. Dan ternyata kamu istrinya sahabatku.” Dina menelan ludah. Ada getar halus yang tak mampu ia sembunyikan. Lelaki ini masih membawa sesuatu dalam dirinya. Kenangan yang lembut, tapi menyesakkan. “Mas… apa kabarmu?” tanyanya tanpa sadar. Belum sempat Davin menjawab, Arka meremas pinggang Dina sedikit kasar, seolah memberi peringatan tanpa suara. Dina tersentak kecil, berusaha menyamarkan rasa perih dengan senyum kaku di wajahnya. “Baik,” jawab Davin akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi matanya menatap tajam ke arah Arka, meny
Pagi itu Dina sudah berada di restoran, ia membantu di dapur dan sesekali melayani pelanggan. Menjelang sore, saat bersiap untuk pulang, ponselnya berdering. Nama Arka tertera di layar, refleks ia langsung mengangkatnya. “Dina, kamu dimana?” Suara dingin itu langsung terdengar tanpa basa-basi. “Di restoran, Mas,” jawab Dina hati-hati. “Pulang sekarang. Bersihkan diri, lalu kembali lagi ke restoran. Malam ini mama-papaku, kakek, dan keluarga sahabatku akan makan malam di sana. Bilang pada orang tuamu untuk bersiap. Dandan yang rapi dan jangan membuatku malu. Aku ingin mengenalkanmu pada sahabatku,” ujar Arka, nadanya terdengar seperti perintah. “Baik, Mas. Tapi me—” Sambungan terputus begitu saja sebelum Dina sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menghembuskan napas berat. Ia berbalik menuju meja kasir, tempat ibunya sedang menghitung hasil penjualan hari ini. “Ma,” panggil Dina pelan sambil mendekat ke meja kasir. Rina menoleh. “I
Pagi baru saja datang ketika suara ponsel di atas meja berdering. Dina menoleh malas, masih meringkuk di ranjang dengan tubuh yang terasa letih. Namun begitu melihat nama mama tertera di layar, ia tak punya pilihan selain mengangkatnya. “Din, bisa datang ke restoran sekarang? Ramai sekali. Kami butuh tenaga tambahan, Nak.” Suara Rina terdengar cemas sekaligus mendesak dari seberang. Dina terdiam beberapa detik. Ingin rasanya menolak, berkata kalau ia sedang tidak enak badan. Ia hanya ingin bersembunyi di balik selimut, menutup mata, dan hilang sejenak dari dunia luar. Tapi kata-kata itu mengendap di tenggorokan. Ia tak sanggup menolak permintaan sang ibu. “Iya, Ma… sebentar lagi Dina ke sana,” jawabnya pelan. Begitu panggilan berakhir, Dina menutup wajah dengan kedua tangan. Tubuhnya lelah, hatinya pun sama, tapi ia tak punya pilihan. Dengan langkah berat, ia akhirnya bangkit dari ranjang. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Dina duduk di depan meja rias. Ia meman
Begitu suara pintu berderit pelan terdengar, Dina spontan bangkit. Langkah sepatu yang semakin mendekat membuatnya bergegas ke ruang tamu, menyambut Arka—suaminya— yang baru pulang. “Mas baru pulang?” tanyanya pelan. “Ada pekerjaan tambahan di kantor, ya?” Arka tidak langsung menjawab. Ia menaruh tas kerja di sofa, melepas jasnya dengan gerakan malas. “Bisa tidak kamu jangan banyak tanya?” ucap Arka dingin, tanpa menoleh sedikit pun. “Aku bertanya karena khawatir, Mas. Biasanya kamu tidak pulang selarut ini.” Tak ada jawaban. Arka berjalan melewatinya, meninggalkan aroma parfum yang samar. Jas yang dijatuhkannya ke lantai Dina pungut perlahan, lalu ia lipat di lengannya. “Kamu pasti lapar,” tuturnya lembut, mencoba menawarkan kehangatan yang tak pernah disambut. “Makan dulu, ya, Mas. Aku siapkan untukmu.” “Aku tidak lapar.” Dina menatap punggung Arka yang menjauh menuju tangga. “Kalau begitu, mau aku siapkan air hangat?” “Tidak perlu.” “Mas, mungkin kalau makan s