Mag-log inPagi baru saja datang ketika suara ponsel di atas meja berdering. Dina menoleh malas, masih meringkuk di ranjang dengan tubuh yang terasa letih. Namun begitu melihat nama mama tertera di layar, ia tak punya pilihan selain mengangkatnya.
“Din, bisa datang ke restoran sekarang? Ramai sekali. Kami butuh tenaga tambahan, Nak.” Suara Rina terdengar cemas sekaligus mendesak dari seberang. Dina terdiam beberapa detik. Ingin rasanya menolak, berkata kalau ia sedang tidak enak badan. Ia hanya ingin bersembunyi di balik selimut, menutup mata, dan hilang sejenak dari dunia luar. Tapi kata-kata itu mengendap di tenggorokan. Ia tak sanggup menolak permintaan sang ibu. “Iya, Ma… sebentar lagi Dina ke sana,” jawabnya pelan. Begitu panggilan berakhir, Dina menutup wajah dengan kedua tangan. Tubuhnya lelah, hatinya pun sama, tapi ia tak punya pilihan. Dengan langkah berat, ia akhirnya bangkit dari ranjang. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Dina duduk di depan meja rias. Ia memandang wajah lelahnya di pantulan di cermin, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Bertahanlah, Dina… demi Mama, Papa, adik-adikmu, dan restoran ini.” Lalu dengan hati berat, ia melangkah keluar rumah menuju restoran keluarga yang menjadi saksi lain dari kepura-puraannya. Menjelang siang, restoran keluarga itu semakin penuh. Aroma masakan khas yang menggoda sudah tercium sejak pintu dibuka membuat pengunjung terus berdatangan. Dina sibuk melayani, tubuhnya lelah tapi senyumnya tetap terjaga. Ia berdiri di meja kasir, menyambut setiap tamu yang hendak membayar dengan ramah. Hingga satu momen, suara tangis bayi terdengar dari meja sebelah. Dina spontan menoleh. Seorang ibu muda sedang berusaha menenangkan bayinya, sementara di sisi lain, seorang pria—mungkin suaminya—ikut membantu. Dengan sabar ia mengambil alih gendongan, menimang lembut sambil mengajak si kecil berbicara. Tak lama tangis itu pun reda. Senyum hangat muncul di wajah Dina. Ia menatap keluarga kecil itu lama. Melihat sang ibu yang kini tersenyum lega, dan anak kecil lain yang tak henti berceloteh meminta perhatian. Pemandangan sederhana itu terasa begitu indah, tapi sekaligus menyakitkan. Ia juga ingin seperti itu. Menimang anak, mendengar tawa kecil di rumah, dan berbagi peran sebagai orang tua bersama Arka. Tapi keinginan itu terasa begitu jauh. Arka bahkan tak pernah mau membahas tentang anak, seolah ia tak ingin siapa pun hadir di antara mereka. Hingga sebuah tepukan lembut di bahu membuat Dina tersadar dari lamunannya. “Anak itu lucu, ya, Din,” ujar Rina sambil tersenyum lembut. Dina berusaha ikut tersenyum meski matanya tampak sayu. “Mama tahu kamu pasti ingin punya anak,” ucap Rina lembut. “Mama juga ingin punya cucu. Rumah dan restoran ini rasanya sepi.” Dina menunduk, tangannya mengepal di sisi tubuh. “Aku juga ingin, Ma, tapi… sepertinya belum waktunya,” jawabnya berusaha menjaga senyum di bibir. “Din, kamu dan Arka kan sudah setahun menikah,” sambung Rina. “Cona ajak Arka periksa ke dokter. Siapa tahu ada jalan. Banyak loh yang akhirnya berhasil setelah rutin konsultasi.” Kalimat itu menghantam ulu hatinya seperti sembilu. Dina menelan ludah, berusaha menahan getar di suaranya. Ia masih memaksa bibirnya tersenyum. “Iya, Ma, nanti aku coba ngomong ini sama Mas Arka. Mudah-mudahan Mas Arkanya mau, dan kami segera dikasih rezeki sama Yang Maha Kuasa.” Ia berusaha menyembunyikan getir di matanya dengan pura-pura sibuk menata nota di meja kasir. Sang ibu tersenyum hangat, tak menyadari luka yang baru saja ia buka. “Mama doakan yang terbaik, ya. Jangan buat Mama dan Papamu menunggu terlalu lama. Apalagi kakeknya Arka juga sering menanyakan hal yang sama setiap kali berkunjung. Mama jadi tidak enak sama besan kalau kamu belum juga hamil.” Dina mengatur napas perlahan agar suaranya tidak bergetar. “Iya, Ma,” jawabnya lirih, mencoba mengakhiri percakapan secepat mungkin. Begitu ibunya beranjak pergi, Dina memejamkan mata sejenak. Senyum palsu yang tadi dipaksakan kini luruh begitu saja, berganti dengan tatapan kosong pada tumpukan nota di depannya. – Malam pun tiba. Di meja makan hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring. Dina menyuap suapan terakhirnya, lalu meletakkan sendok perlahan. Ia menatap ragu ke arah Arka yang duduk di seberang. “Mas,” panggil Dina pelan, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan. Arka menoleh singkat, menaikkan satu alis. “Kenapa?” “Aku tadi ke restoran... dan bertemu Mama di sana,” katanya hati-hati. “Lalu?” nada suara Arka datar membuat tenggorokan Dina mengering. Dina menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari cara terbaik untuk mengatakan hal itu. Tapi bayangan bagaimana reaksi Arka sebelumnya membuat nyalinya ciut. “Ada apa, Dina?” suara Arka mulai meninggi, kedua matanya menatap tajam. “Aku tidak punya waktu untuk keterdiamanmu itu.” “Mama ingin cucu, Mas,” ucap Dina cepat, ia menunduk, meremas kuat ujung bajunya. Arka membuang napas kasar. Serbet di tangannya dilempar ke meja, menghantam sendok hingga menimbulkan denting keras. Dina sedikit terlonjak. “Kita sudah membicarakan ini berulang kali, kan?” ujar Arka. Dina menelan ludah, matanya bergetar menatap piring kosong di depannya. “Apa kamu itu tidak punya otak untuk memahami ucapanku? Aku tidak ingin punya anak darimu!” bentak Arka. “Tapi, Mas... ini permintaan Mama. Bahkan kedua orang tuamu juga—” “Cukup!” potong Arka kasar. Rahangnya mengeras. “Kamu itu tidak paham-paham juga, ya? Sampai kapan pun aku tidak ingin ada darahku di tubuhmu. Aku bahkan tidak sudi memiliki anak dari rahimmu itu. Paham, kamu?” Setelah kalimat itu, Arka mendorong kursinya dengan kasar. Suara benturannya dengan lantai bergema menusuk telinga. Lalu ia melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun. Dina terdiam di kursinya. Dadanya sesak, matanya perih. “Sebegitunya kamu jijik padaku, Mas…” batinnya lirih, menatap sendu punggung tegap itu. **Saat Davin masih berada di dalam kamar, bersiap-siap untuk menghadapi hari yang panjang, ponsel Dina bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Arka.Dina segera membukanya, dan napasnya tercekat membaca barisan kalimat itu.[Dina, aku tahu kamu bersama Davin. Pulang sekarang dan jangan bertingkah. Davin pasti sudah menceritakan masalah yang dia hadapi, kan? Itu peringatan kedua dariku.][Dan jangan membuatku menyebarkan foto mesra kalian di depan publik. Kamu tahu, pembukaan resort baru kekasihmu itu tinggal beberapa minggu lagi. Jangan sampai impiannya batal dan hancur total hanya karenamu.]Dina membeku di tempatnya. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya mulai bergetar tanpa sadar. Teror Arka terasa begitu nyata, menusuk hingga ke jantung. Arka tidak hanya mengancam dirinya, tetapi menggunakan Davin sebagai senjata.Dina menyadari dengan rasa putus asa yang menyakitkan, ia tidak punya pilihan lain selain kembali pada Arka. Pria itu tidak akan pernah melepaskannya. Arka akan mengh
Davin duduk di samping Dina di sofa Apartemen, jari-jarinya menggenggam erat tangan Dina. “Arka tidak mungkin melakukannya sendiri. Dia terlalu pengecut,” ujar Davin. “Pasti ada orang suruhan, dan orang itu pasti meninggalkan jejak.”“Tapi bagaimana, Mas? Polisi tidak menemukan apapun yang mencurigakan saat memeriksa tadi. Bahkan kamera pengawas pun rusak jadi tidak ada bukti di sana,” balas Dina, kepalanya masih terasa berat. “Polisi pasti menganggapnya kecelakaan biasa karena instalasi listrik atau kerusakan gas.”Davin menarik napas panjang. "Kita tidak bisa mengandalkan polisi sekarang. Kita harus mencarinya diam-diam. Bukti pertama yang harus kita cari adalah di lokasi kebakaran."Dina menatapnya bingung. “Maksudmu, kembali ke sana?”“Aku punya kenalan. Seorang penyelidik swasta yang sangat andal dan dapat dipercaya,” jelas Davin. “Kita butuh bukti yang bisa membuktikan adanya bahan pemicu api yang disengaja. Api tidak menjalar secepat itu, Arka pasti menggunakan sesuatu.”Da
Dina kini benar-benar terisolasi dan hancur, menyadari motif Arka bukanlah cinta, melainkan dendam, kepemilikan, dan kontrol.Dina tidak tahu berapa lama ia berdiri terpaku, menatap punggung Arka hingga pria itu menghilang ke lantai atas. Ketika keheningan yang dingin kembali menguasai rumah itu, Dina sadar ia harus bertindak. Ia tidak bisa lagi tenggelam dalam keputusasaan.Dengan tangan gemetar, ia meraih kembali ponselnya dan mencari nama Davin. Hanya Davin satu-satunya orang yang bisa ia mintai tolong. Mengadu semua rasa sakitnya. [Halo, Dina? Ada apa?]Dina tidak bisa menahan suaranya agar tidak pecah. “Mas jemput aku sekarang juga. Aku butuh kamu.”[Apa terjadi sesuatu?] Suara Davin terdengar cemas. “Tolong datang saja, Mas. Nanti aku jelaskan.”[Baiklah. Mau ku jemput dimana? Restotan?]“Jangan ke sana, Mas! Jangan! Jemput aku di persimpangan jalan depan komplek perumahanku.” [Baiklah. Tunggu aku, Sayang. Lima belas menit.]Begitu mengucapkan kalimat tersebut, Davin se
“Pernikahan ini hanyalah alat, Dina,” jawab Arka enteng, senyum meremehkan itu kini terasa sangat menjijikkan. “Karena dengan menikahimu, aku bisa lebih leluasa menyakitimu sesuka hatiku tanpa dicampuri siapa pun.”“Kenapa, Mas? Apa salahku padamu sampai kamu harus sejahat ini?” Air mata Dina mengalir, bukan lagi karena putus asa, tapi karena rasa sakit pengkhianatan mendalam.Ekspresi Arka berubah dingin. “Salahmu? Kakek menginginkanku menikahi wanita miskin sepertimu dan memaksaku memodali usaha restoranmu. Aku harus menghabiskan waktuku dengan wanita rendahan yang sama sekali tidak kuinginkan. Apa kamu pikir aku bisa menerimanya dengan senang hati? Egoku tertampar, Dina.”Arka menekan setiap kata. “Kakek tidak melihat betapa kompetennya aku dalam memimpin perusahaan. Tapi dia memberi syarat kalau aku ingin kursi direktur dan menjadi pewaris kekayaannya, aku harus menikahimu. Kamu adalah syarat, bukan pasangan.”Dina menahan napas, hatinya sakit tak tertahankan. Setiap kata yan
Dina menatap puing-puing bangunan dengan hati yang hancur. Aroma gosong dan asap tebal menyesakkan paru-paru. Ia bergerak perlahan di antara sisa-sisa bangunan yang hangus, mencoba mengamankan apa pun yang mungkin terselamatkan dari dapur atau area kasir.Ia segera menyadari, kerugian yang ditelan bencana ini sangat besar. Kepalanya sibuk menghitung, mencoba mencocokkan total kerusakan dengan sisa tabungan yang ia miliki. Pertanyaan pahit itu terus berputar: Apakah uang ini cukup untuk merenovasi ulang, bahkan membangunnya kembali dari awal?Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Dina mengusap wajahnya yang berantakan, merasakan debu dan air mata yang mengering.“Aku butuh dana tambahan. Tapi dari mana mendapatkannya?” gumamnya, suara putus asa yang tertelan oleh sisa-sisa suasana kacau.Ia melirik sekeliling. Meskipun sebagian besar telah dievakuasi, masih banyak petugas pemadam kebakaran, polisi, dan beberapa warga lokal yang penasaran. Mereka berbisik-bisik. Bisik-bisik liar mu
Hari itu berjalan normal, di tengah rutinitas sore yang sibuk, hingga kabar buruk itu meledak tanpa peringatan.Dina baru saja keluar dari gudang bahan baku, mengelap tangan di apron saat seorang staf muda berlari mendekat. Wajahnya pucat pasi, matanya membesar seperti hendak copot.“Bu, di dapur … Kebakaran!” Staf itu terengah-engah, suaranya putus-putus, seolah udara pun terhambat oleh kengerian yang baru saja ia saksikan.Dina membeku di tempat, seolah pendengarannya gagal memproses dua kata mengerikan itu. “Apa yang kamu bilang?” tanyanya, suaranya serak dan menipis. Tubuhnya mendadak kaku seperti disetrum.“Kebakaran, Bu! Di dapur! Apinya cepat sekali menjalar!” ulangnya terburu-buru.Tanpa menunggu lagi, Dina membuang lap dan berlari ke arah dapur. Matanya langsung menangkap pemandangan yang menghancurkan. Kepulan asap hitam pekat sudah memenuhi koridor belakang. Lalu, ia melihat kobaran api merah-oranye yang melompat buas, melahap dinding, menjilat langit-langit dengan kec







