Share

Bab 2. Permintaan mama

Penulis: Ralonya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-20 15:02:43

Pagi baru saja datang ketika suara ponsel di atas meja berdering. Dina menoleh malas, masih meringkuk di ranjang dengan tubuh yang terasa letih. Namun begitu melihat nama mama tertera di layar, ia tak punya pilihan selain mengangkatnya.

“Din, bisa datang ke restoran sekarang? Ramai sekali. Kami butuh tenaga tambahan, Nak.” Suara Rina terdengar cemas sekaligus mendesak dari seberang.

Dina terdiam beberapa detik. Ingin rasanya menolak, berkata kalau ia sedang tidak enak badan. Ia hanya ingin bersembunyi di balik selimut, menutup mata, dan hilang sejenak dari dunia luar. Tapi kata-kata itu mengendap di tenggorokan. Ia tak sanggup menolak permintaan sang ibu.

“Iya, Ma… sebentar lagi Dina ke sana,” jawabnya pelan.

Begitu panggilan berakhir, Dina menutup wajah dengan kedua tangan. Tubuhnya lelah, hatinya pun sama, tapi ia tak punya pilihan. Dengan langkah berat, ia akhirnya bangkit dari ranjang.

Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Dina duduk di depan meja rias. Ia memandang wajah lelahnya di pantulan di cermin, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Bertahanlah, Dina… demi Mama, Papa, adik-adikmu, dan restoran ini.”

Lalu dengan hati berat, ia melangkah keluar rumah menuju restoran keluarga yang menjadi saksi lain dari kepura-puraannya.

Menjelang siang, restoran keluarga itu semakin penuh. Aroma masakan khas yang menggoda sudah tercium sejak pintu dibuka membuat pengunjung terus berdatangan.

Dina sibuk melayani, tubuhnya lelah tapi senyumnya tetap terjaga. Ia berdiri di meja kasir, menyambut setiap tamu yang hendak membayar dengan ramah.

Hingga satu momen, suara tangis bayi terdengar dari meja sebelah. Dina spontan menoleh. Seorang ibu muda sedang berusaha menenangkan bayinya, sementara di sisi lain, seorang pria—mungkin suaminya—ikut membantu. Dengan sabar ia mengambil alih gendongan, menimang lembut sambil mengajak si kecil berbicara. Tak lama tangis itu pun reda.

Senyum hangat muncul di wajah Dina. Ia menatap keluarga kecil itu lama. Melihat sang ibu yang kini tersenyum lega, dan anak kecil lain yang tak henti berceloteh meminta perhatian. Pemandangan sederhana itu terasa begitu indah, tapi sekaligus menyakitkan.

Ia juga ingin seperti itu. Menimang anak, mendengar tawa kecil di rumah, dan berbagi peran sebagai orang tua bersama Arka. Tapi keinginan itu terasa begitu jauh. Arka bahkan tak pernah mau membahas tentang anak, seolah ia tak ingin siapa pun hadir di antara mereka.

Hingga sebuah tepukan lembut di bahu membuat Dina tersadar dari lamunannya.

“Anak itu lucu, ya, Din,” ujar Rina sambil tersenyum lembut.

Dina berusaha ikut tersenyum meski matanya tampak sayu.

“Mama tahu kamu pasti ingin punya anak,” ucap Rina lembut. “Mama juga ingin punya cucu. Rumah dan restoran ini rasanya sepi.”

Dina menunduk, tangannya mengepal di sisi tubuh. “Aku juga ingin, Ma, tapi… sepertinya belum waktunya,” jawabnya berusaha menjaga senyum di bibir.

“Din, kamu dan Arka kan sudah setahun menikah,” sambung Rina. “Cona ajak Arka periksa ke dokter. Siapa tahu ada jalan. Banyak loh yang akhirnya berhasil setelah rutin konsultasi.”

Kalimat itu menghantam ulu hatinya seperti sembilu. Dina menelan ludah, berusaha menahan getar di suaranya. Ia masih memaksa bibirnya tersenyum.

“Iya, Ma, nanti aku coba ngomong ini sama Mas Arka. Mudah-mudahan Mas Arkanya mau, dan kami segera dikasih rezeki sama Yang Maha Kuasa.”

Ia berusaha menyembunyikan getir di matanya dengan pura-pura sibuk menata nota di meja kasir. Sang ibu tersenyum hangat, tak menyadari luka yang baru saja ia buka.

“Mama doakan yang terbaik, ya. Jangan buat Mama dan Papamu menunggu terlalu lama. Apalagi kakeknya Arka juga sering menanyakan hal yang sama setiap kali berkunjung. Mama jadi tidak enak sama besan kalau kamu belum juga hamil.”

Dina mengatur napas perlahan agar suaranya tidak bergetar. “Iya, Ma,” jawabnya lirih, mencoba mengakhiri percakapan secepat mungkin.

Begitu ibunya beranjak pergi, Dina memejamkan mata sejenak. Senyum palsu yang tadi dipaksakan kini luruh begitu saja, berganti dengan tatapan kosong pada tumpukan nota di depannya.

Malam pun tiba.

Di meja makan hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring. Dina menyuap suapan terakhirnya, lalu meletakkan sendok perlahan. Ia menatap ragu ke arah Arka yang duduk di seberang.

“Mas,” panggil Dina pelan, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan.

Arka menoleh singkat, menaikkan satu alis. “Kenapa?”

“Aku tadi ke restoran... dan bertemu Mama di sana,” katanya hati-hati.

“Lalu?” nada suara Arka datar membuat tenggorokan Dina mengering.

Dina menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari cara terbaik untuk mengatakan hal itu. Tapi bayangan bagaimana reaksi Arka sebelumnya membuat nyalinya ciut.

“Ada apa, Dina?” suara Arka mulai meninggi, kedua matanya menatap tajam. “Aku tidak punya waktu untuk keterdiamanmu itu.”

“Mama ingin cucu, Mas,” ucap Dina cepat, ia menunduk, meremas kuat ujung bajunya.

Arka membuang napas kasar. Serbet di tangannya dilempar ke meja, menghantam sendok hingga menimbulkan denting keras. Dina sedikit terlonjak.

“Kita sudah membicarakan ini berulang kali, kan?” ujar Arka.

Dina menelan ludah, matanya bergetar menatap piring kosong di depannya.

“Apa kamu itu tidak punya otak untuk memahami ucapanku? Aku tidak ingin punya anak darimu!” bentak Arka.

“Tapi, Mas... ini permintaan Mama. Bahkan kedua orang tuamu juga—”

“Cukup!” potong Arka kasar. Rahangnya mengeras. “Kamu itu tidak paham-paham juga, ya? Sampai kapan pun aku tidak ingin ada darahku di tubuhmu. Aku bahkan tidak sudi memiliki anak dari rahimmu itu. Paham, kamu?”

Setelah kalimat itu, Arka mendorong kursinya dengan kasar. Suara benturannya dengan lantai bergema menusuk telinga. Lalu ia melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun.

Dina terdiam di kursinya. Dadanya sesak, matanya perih.

“Sebegitunya kamu jijik padaku, Mas…” batinnya lirih, menatap sendu punggung tegap itu.

**

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 6. Kemarahan Arka

    Makan malam berakhir dengan tawa dan ucapan perpisahan yang sopan. Dina menunduk hormat sebelum beranjak, melangkah lebih dulu menuju parkiran. Malam sudah turun sempurna, cahaya lampu restoran memantul lembut di aspal. Belum sempat ia melangkah jauh, sebuah suara memanggil pelan dari belakang. Dina menoleh, melihat Davin berjalan tergesa ke arahnya. “Apakah kita masih bisa bertemu lagi?” tanya Davin cukup untuk mengguncang tenang yang berusaha Dina pertahankan. Dina menatapnya sesaat, napasnya terasa berat. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semua hanya berhenti di tenggorokan. Ia akhirnya tersenyum tipis. “Mungkin,” lirihnya. “Kalau waktunya mengizinkan, Mas.” Dina berbalik, melangkah pergi dengan langkah tenang, padahal di dalam dirinya segalanya terasa berantakan. Dina menatap pantulan dirinya di jendela mobil yang perlahan melaju menjauh. Ada sesuatu yang berbeda di sana, seulas senyum yang sudah lama tak berani muncul, dan getar halus di dadanya yang membuatny

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 5. Kepalsuan

    “Kalau boleh tahu, sudah berapa lama Arka dan istrinya menikah?” tanya Veronika, nada suaranya ringan, disertai senyum sopan. “Setahun, Bu Vero,” jawab Rina, terdengar bangga tapi tetap menjaga nada agar terdengar santai. “Wah, masih bau-bau bulan madu, ya,” ujar Veronika terkekeh kecil. Tatapannya beralih pada Dina. “Apalagi Dina ini cantik sekali. Beruntung sekali Arka bisa mendapatkan istri secantik ini.” Rina tertawa lembut, matanya menyipit menahan senang. “Aduh, Ibu Vero bisa saja. Terima kasih, ya, sudah memuji. Tapi anak saya juga beruntung bisa mendapatkan suami seperti Arka.” Dina mencoba tampak tenang meski pipinya memanas. Ia tahu betul, kalimat pujian yang sederhana bisa berubah menjadi bahan pembicaraan panjang di meja seperti ini. Arka yang duduk di sebelah Dina, tersenyum lebar. Ia lalu meraih tangan istrinya dan menyentuh punggungnya dengan lembut, gerakan yang tampak penuh kasih. “Tentu saja, Bu Vero. Saya sangat beruntung memiliki Dina sebagai istri saya,” uja

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 4. Sudah bertunangan

    Davin tersenyum lembut, ada kehangatan samar di matanya, seolah ia masih sulit percaya bahwa wanita yang kini berdiri di hadapannya adalah sosok yang dulu pernah ia kenal begitu dekat. “Kalian saling kenal?” tanya Arka sambil melirik bergantian antara Davin dan Dina, nadanya penuh selidik. Davin menoleh pada Arka, lalu kembali menatap Dina. “Dinarayu ini adik tingkatku semasa kuliah,” ujarnya tenang. “Aku tidak menyangka bisa bertemu lagi denganmu di sini. Dan ternyata kamu istrinya sahabatku.” Dina menelan ludah. Ada getar halus yang tak mampu ia sembunyikan. Lelaki ini masih membawa sesuatu dalam dirinya. Kenangan yang lembut, tapi menyesakkan. “Mas… apa kabarmu?” tanyanya tanpa sadar. Belum sempat Davin menjawab, Arka meremas pinggang Dina sedikit kasar, seolah memberi peringatan tanpa suara. Dina tersentak kecil, berusaha menyamarkan rasa perih dengan senyum kaku di wajahnya. “Baik,” jawab Davin akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi matanya menatap tajam ke arah Arka, meny

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 3. Pertemuan yang tak terduga

    Pagi itu Dina sudah berada di restoran, ia membantu di dapur dan sesekali melayani pelanggan. Menjelang sore, saat bersiap untuk pulang, ponselnya berdering. Nama Arka tertera di layar, refleks ia langsung mengangkatnya. “Dina, kamu dimana?” Suara dingin itu langsung terdengar tanpa basa-basi. “Di restoran, Mas,” jawab Dina hati-hati. “Pulang sekarang. Bersihkan diri, lalu kembali lagi ke restoran. Malam ini mama-papaku, kakek, dan keluarga sahabatku akan makan malam di sana. Bilang pada orang tuamu untuk bersiap. Dandan yang rapi dan jangan membuatku malu. Aku ingin mengenalkanmu pada sahabatku,” ujar Arka, nadanya terdengar seperti perintah. “Baik, Mas. Tapi me—” Sambungan terputus begitu saja sebelum Dina sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menghembuskan napas berat. Ia berbalik menuju meja kasir, tempat ibunya sedang menghitung hasil penjualan hari ini. “Ma,” panggil Dina pelan sambil mendekat ke meja kasir. Rina menoleh. “I

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 2. Permintaan mama

    Pagi baru saja datang ketika suara ponsel di atas meja berdering. Dina menoleh malas, masih meringkuk di ranjang dengan tubuh yang terasa letih. Namun begitu melihat nama mama tertera di layar, ia tak punya pilihan selain mengangkatnya. “Din, bisa datang ke restoran sekarang? Ramai sekali. Kami butuh tenaga tambahan, Nak.” Suara Rina terdengar cemas sekaligus mendesak dari seberang. Dina terdiam beberapa detik. Ingin rasanya menolak, berkata kalau ia sedang tidak enak badan. Ia hanya ingin bersembunyi di balik selimut, menutup mata, dan hilang sejenak dari dunia luar. Tapi kata-kata itu mengendap di tenggorokan. Ia tak sanggup menolak permintaan sang ibu. “Iya, Ma… sebentar lagi Dina ke sana,” jawabnya pelan. Begitu panggilan berakhir, Dina menutup wajah dengan kedua tangan. Tubuhnya lelah, hatinya pun sama, tapi ia tak punya pilihan. Dengan langkah berat, ia akhirnya bangkit dari ranjang. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Dina duduk di depan meja rias. Ia meman

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 1. Rumah tangga yang retak

    Begitu suara pintu berderit pelan terdengar, Dina spontan bangkit. Langkah sepatu yang semakin mendekat membuatnya bergegas ke ruang tamu, menyambut Arka—suaminya— yang baru pulang. “Mas baru pulang?” tanyanya pelan. “Ada pekerjaan tambahan di kantor, ya?” Arka tidak langsung menjawab. Ia menaruh tas kerja di sofa, melepas jasnya dengan gerakan malas. “Bisa tidak kamu jangan banyak tanya?” ucap Arka dingin, tanpa menoleh sedikit pun. “Aku bertanya karena khawatir, Mas. Biasanya kamu tidak pulang selarut ini.” Tak ada jawaban. Arka berjalan melewatinya, meninggalkan aroma parfum yang samar. Jas yang dijatuhkannya ke lantai Dina pungut perlahan, lalu ia lipat di lengannya. “Kamu pasti lapar,” tuturnya lembut, mencoba menawarkan kehangatan yang tak pernah disambut. “Makan dulu, ya, Mas. Aku siapkan untukmu.” “Aku tidak lapar.” Dina menatap punggung Arka yang menjauh menuju tangga. “Kalau begitu, mau aku siapkan air hangat?” “Tidak perlu.” “Mas, mungkin kalau makan s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status