Masuk“Aku tidak akan menyakitimu.” Dina mempercayai ucapannya. Ia mengangguk pelan, memberi isyarat setuju. Davin kembali mendaratkan kecupan ringan di kening sebelum meluncurkan miliknya dan kemudian perlahan, dengan amat pelan, masuk seinci demi seinci hingga sepenuhnya dan miliknya terkubur di dalam. Kedua tangan Dina spontan meremas sisi bantal. Sedang tubuhnya gemetar karena sensasi perih sekaligus nyeri yang tak bisa ia jelaskan. Rasa sakit dan nikmat perlahan menjadi satu. Wanita itu menggigit bibir menahan rintihannya. Ia hanya bisa memejam mata menahan milik Davin yang bergerak sedikit cepat di bawah sana. Davin tertegun dan menghentikan gerakannya. “Kamu … belum pernah sama sekali?” tanyanya pelan.Dina tidak menyangkal, hanya menatapnya dan mengangguk pelan. “Kamu yang pertama, Mas,” ucapnya lirih.Mata Davin melembut. Di balik rasa bahagia itu, ada getir yang sulit ia jelaskan. Ia bertanya dalam hati—seperti apa sebenarnya pernikahan yang dijalani Dina selama ini?“Karena in
“Kenapa tidak menahanku malam ini?” Malam kian larut, tapi ucapan Davin masih terngiang di kepala Dina. Seusai membersihkan diri, ia duduk di kursi dekat jendela menatap gemerlap kota di luar. Ia sadar, meski sudah menikah, ia nyaris tak pernah merasakan sentuhan suaminya. Terakhir kali ia disentuh dengan cara yang kotor, membuatnya semakin jijik mengingatnya. Ponselnya bergetar di meja. Dina segera mengambilnya, melihat layar, dan wajahnya langsung memanas. [Bisakah kita bertemu malam ini? Aku ingin melanjutkan apa yang tertunda tadi.]Hatinya berdebar. Pesan dari Davin membuat dadanya hangat sekaligus cemas. Ia melirik Arka yang sudah terlelap, lalu membalas pesan itu.[Baik, Mas. Aku akan datang.]Ia segera bangkit dan berganti pakaian, bergerak hati-hati agar Arka tidak terbangun dan memergokinya. Setelah itu, ia keluar kamar dan berjalan di lorong menuju kamar Davin.Matanya berhenti pada nomor kamar Davin yang diingatnya sejak sore. Ia menarik napas, mencoba menenangkan diri,
Davin bersandar di pintu, menghembuskan napas panjang. “Nyaris saja,” gumamnya pelan, tapi matanya tak lepas dari wajah Dina. Tatapan itu membuat jantung Dina berdetak tak karuan. Apalagi melihat bibir Davin yang baru saja mengecup Natania, ada dorongan aneh dalam dirinya untuk menghapus jejak itu. Ia menggeleng pelan, menepis pikirannya sendiri. “Mas Davin …,” panggil Dina. “Aku harus pergi. Aku harus kembali ke kamar. Mas Arka mungkin sudah mencariku.”Davin melangkah mendekat. “Pergi?” ujarnya rendah. “Kita baru saja memulainya, Dina.” Namun Dina cepat menggeleng. “Tidak, Mas. Ini sudah terlalu jauh,” potongnya tegas. Ia menatap lantai, tak berani menatap mata Davin. “Kalau saja Natania tidak datang …,” katanya tak sanggup melanjutkan, suaranya tenggelam di antara napas berat dan penyesalan.“Tapi kamu tidak menyesal, kan?” potong Davin cepat. “Jujurlah, Dina. Apa kamu menyesal dengan semua yang sudah terjadi antara kita?” Dina terdiam, sementara Davin melanjutkan, “Aku senang
“Abaikan saja, nanti juga pergi sendiri!” ucap Davin serak.Ia kembali menempelkan bibirnya di pipi Dina, lembut tapi penuh hasrat. Baru saja Dina mulai larut, suara ketukan di pintu terdengar lagi, berulang dan mengganggu. Dina spontan mendorong pelan dada Davin, membuatnya memejam mata dan mendesah pelan, jelas kesal karena momen mereka kembali terhenti.“Mas, sepertinya ada tamu atau mungkin petugas hotel,” ucap Dina berusaha menyingkir dari pelukan Davin.“Kalau petugas hotel, mereka pasti bersuara,” ujarnya dengan nada jengkel. Ia kembali ingin mencium Dina, tapi ketukan itu terus muncul.“Mas Davin, lebih baik diperiksa dulu saja. Siapa tahu penting,” pinta Dina lembut. Ia menyingkirkan tangan Davin dari pinggulnya, lalu beranjak turun dari tempat tidur. Dengan gerakan cepat, ia meraih bajunya yang sempat terlepas dan mengenakannya kembali.Davin mengusap rambutnya kasar, wajahnya menunjukkan jelas rasa frustasi. Ia mengambil napas panjang, mencoba menahan emosi yang nyaris mele
“Mas—” suara Dina tersangkut di tenggorokan. Ia ingin bicara, tapi yang keluar hanya desahan pelan. Dadanya naik-turun cepat, berusaha menenangkan diri.Davin menatapnya penuh cemas. Dengan lembut, ia mengulurkan tangan dan membelai kepala Dina, gerakannya pelan dan menenangkan. “Tenanglah ada aku di sini,” ujarnya.Dina memejamkan mata sejenak. Sentuhan itu membuat dadanya bergetar.Davin membawa Dina ke kamarnya dengan langkah cepat tapi hati-hati. Dina menunduk, bahunya bergetar halus, sementara Davin menggenggam tangannya erat agar tidak goyah.Begitu pintu kamar tertutup, Dina langsung terisak. Davin tetap tenang, menarik napas dalam, lalu meraih tisu di meja dan menyerahkan padanya.“Duduk dulu.” Dina menuruti, perlahan duduk di tepi ranjang.Davin menatapnya penuh kekhawatiran. “Kamu baik-baik saja?” Dina menggeleng pelan.“Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu,” lanjut Davin, nadanya menahan amarah.Dina menunduk, mengusap mata yang masih basah dengan tisu. Setelah itu i
Dina refleks menoleh. Dadanya berdebar keras saat melihat Arka berdiri beberapa langkah di belakang, tangan dimasukkan ke saku celana, bahunya sedikit menegang. Tatapan matanya tajam, bergantian mengarah pada Dina dan Davin.Dina segera melangkah mendekat, mencoba meredam suasana sebelum memburuk. Ia menggenggam lengan Arka pelan, lalu berujar dengan tergesa, “Mas, jangan salah paham. Aku cuma tidak sengaja bertemu Mas Davin di sini. Kami hanya ngobrol sebentar.”Arka tidak menjawab. Pandangannya terpaku pada Dina, lalu beralih ke Davin.Dina menatap Davin dengan wajah cemas, sementara Davin berdiri tenang, tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Diamnya justru membuat Dina makin gelisah.Hening menegang di antara mereka sampai akhirnya Davin membuka suara. “Dina benar. Kami memang tidak sengaja bertemu. Aku mengajaknya mengobrol sebentar karena sendirian dan butuh teman,” katanya tenang.Arka mengangkat alis. “Kalau butuh teman, kamu bisa menghubungiku.”“Dina bilang kamu sedang







