FAZER LOGINNatania hanya mengangkat bahu, seolah itu bukan masalah besar, dan berjalan santai menuju ranjang.“Hanya sedikit update tentang betapa mesranya kita di sini Tidurlah, Sayang. Besok kita harus kembali dan peran kita sebagai pasangan bahagia harus sempurna."Davin berdiri di sana, menyadari kalau situasinya semakin rumit. Natania tidak hanya mengancam, tapi juga secara aktif merusak hubungannya dengan Dina. Ia merasakan darahnya mendidih, Natania telah melintasi batas. Dan ia semakin muak dengan sikap lancang wanita itu. Saat Natania sudah berbaring di ranjang, memejamkan mata dengan puas, Davin mengambil keputusan. Ia harus menghubungi Dina lagi. Sekarang juga.Ia menunggu lima menit, memastikan Natania benar-benar terlelap. Lalu, ia berjalan ke kamar mandi, mengunci pintunya, dan menyalakan keran air untuk meredam suaranya.Davin meraih ponselnya lagi. Panggilan tidak akan berhasil. Ia harus mengirimkan pesan yang tidak bisa diabaikan dan menembus kesalahpahaman.Ia mengetik de
Setelah didorong Natania ke kamar mandi, Davin menyelesaikan dirinya dengan cepat, hatinya terasa sesak karena amarah dan rasa tidak berdaya. Ia tahu, setiap detik yang ia habiskan di bawah kendali Natania adalah paku yang ditancapkan pada hubungannya dengan Dina.Ia keluar, menemui Natania yang sudah menunggunya di lobi, terlihat memukau dalam gaun mahalnya. "Kita akan makan siang di club paling eksklusif," kata Natania riang sambil menarik tangannya posesif. "Lalu kita harus mencari cincin pertunangan baru. Aku melihat desain yang sangat indah."Davin hanya bisa mengikuti kemana wanita itu menariknya. Setiap kali ponselnya bergetar, ia buru-buru meraihnya, berharap itu adalah pesan dari Dina, atau setidaknya kesempatan untuk mengirim penjelasan singkat.Namun, Natania selalu selangkah lebih cepat. "Simpan ponselmu, sayang. Aku tidak suka diduakan oleh benda kecil itu," tegurnya, selalu dengan senyum manis yang membuat Davin muak.Natania memastikan Davin tidak pernah sendirian
Dina termenung, sorot matanya kosong menatap dinding marmer yang dingin. Ia tak menyangka Davin juga sama saja dengan Arka. Sama-sama akan menyakitinya, dan sama-sama memilih wanita lain.Setelah melewati malam penuh penghinaan, ia harus menyiapkan sarapan untuk Arka dan wanita bernama Yuka itu, melayani hingga keduanya pergi dengan tawa kemenangan. Setelah itu, Dina hanya duduk, merasa hancur dan bodoh.Ia mengambil ponselnya, membaca lagi pesan singkat dan menatap foto yang ia terima tadi pagi. Foto itu bagaikan palu yang menghantam dadanya. Bagaimana mungkin Davin, setelah semua yang mereka bagi, menghabiskan malam dengan Natania?"Mas Davin tidak mungkin bohong, kan?" gumamnya dengan senyum pahit.Davin pamit padanya untuk mengatasi masalah internal di anak perusahaannya, tapi kenyataannya ia bersama Natania dan terlihat begitu akrab di ranjang.Davin pasti sudah tidak peduli lagi padanya dan hanya mau bermain-main. Cinta Davin yang ia kira tulus, ternyata hanya ilusi, sama pal
[Mas, apa kamu sudah tidak peduli padaku lagi?]Natala membaca pesan singkat itu dari layar ponsel Davin. Ia melirik sekilas ke arah Davin yang masih tertidur pulas di ranjang king size. Pria itu sama sekali tidak terganggu saat Natala masuk ke kamar hotelnya. Itu semua berkat bantuan temannya, ia bisa mendapat kartu akses untuk masuk.Wanita itu mendekat ke ranjang, mengatur posisi, dan memotret dirinya sendiri dengan Davin yang menjadi latar belakang. Foto itu terlihat sempurna, seolah mereka baru bangun tidur bersama.Ia mengetik pesan balasan di ponsel Davin.[Tunanganku sedang tidur. Kamu sangat tidak sopan menghubungi tunangan orang lain pagi-pagi sekali.]Setelah terkirim, Natala segera meletakkan kembali ponsel Davin di atas meja, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, senyum kemenangan terukir di bibirnya.Sementara itu di kediaman Dina, wanita itu baru saja membaca pesan singkat dan melihat foto yang dikirim. Dunia Dina seakan berhenti. Ia tahu pasti itu ulah
Sudah berhari-hari Dina tidak mendengar kabar apa pun dari Davin. Bukan hanya kepergiannya yang mendadak ke Bali, tapi kabar tentang pencarian bukti yang seharusnya dilakukan orang suruhannya pun menguap tanpa jejak. Davin seolah diam tanpa peduli. Meskipun Dina sudah mengirim pesan berulang kali dan mencoba menghubunginya, Davin sama sekali tak merespon.Apakah ucapan Arka benar? Apakah Davin hanya mau bersenang-senang dengannya?Jika memang begitu, rasanya sungguh sangat menyesakkan. Ia tidak terima jika dirinya hanya menjadi permainan sesaat. Semua momen yang mereka bagi—dua kali berbagi kehangatan, ciuman, dan janji-janji manis yang mereka ukir—apakah itu semua hanya sandiwara belaka?"Mas Davin, kenapa tiba-tiba menjauh seperti ini?" bisik Dina pada dirinya sendiri.Dina mengusap wajahnya yang terasa tegang dan panas. Dadanya terasa sesak luar biasa, ditekan oleh rasa sakit karena diabaikan. Davin telah menghilang tanpa kabar, seolah ia memutus hubungan yang telah mereka bang
Tiga hari setelah insiden kebakaran tersebut, Ramdani dan Rina kembali menemui Arka. Mereka datang untuk meminta penjelasan terkait klaim asuransi restoran yang nasibnya masih menggantung.Ayah dan ibu Dina duduk di ruang tamu mewah itu, raut wajah mereka penuh harap dan kecemasan yang kentara. Sementara itu, Arka duduk berhadapan dengan mereka. Dengan ketenangan dan penguasaan informasi yang total, ia dengan mudah mengambil peran sebagai juru bicara tunggal."Asuransi menolak klaim penuh, Pa," ujar Arka, wajahnya tampak sedih dan penuh simpati di hadapan Ramdani dan Rina. "Katanya ada celah kecil di dokumen polis karena renovasi terakhir tidak dilaporkan dengan benar. Mereka hanya mau menanggung dua puluh persen. Sisanya, kita harus siapkan sendiri."Dina melihat betapa terpukul dan kecewanya Ayahnya saat itu, terlihat dari helaan napas berat yang keluar dari Ramdani."Tapi tenang, Pa. Aku sudah menyiapkan uang tunai untuk membantu semua biaya perbaikan," ujar Arka, suaranya terd







