Mag-log inMakan malam berakhir dengan tawa dan ucapan perpisahan yang sopan. Dina menunduk hormat sebelum beranjak, melangkah lebih dulu menuju parkiran. Malam sudah turun sempurna, cahaya lampu restoran memantul lembut di aspal.
Belum sempat ia melangkah jauh, sebuah suara memanggil pelan dari belakang. Dina menoleh, melihat Davin berjalan tergesa ke arahnya. “Apakah kita masih bisa bertemu lagi?” tanya Davin cukup untuk mengguncang tenang yang berusaha Dina pertahankan. Dina menatapnya sesaat, napasnya terasa berat. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semua hanya berhenti di tenggorokan. Ia akhirnya tersenyum tipis. “Mungkin,” lirihnya. “Kalau waktunya mengizinkan, Mas.” Dina berbalik, melangkah pergi dengan langkah tenang, padahal di dalam dirinya segalanya terasa berantakan. Dina menatap pantulan dirinya di jendela mobil yang perlahan melaju menjauh. Ada sesuatu yang berbeda di sana, seulas senyum yang sudah lama tak berani muncul, dan getar halus di dadanya yang membuatnya merasa hidup kembali. Untuk sesaat ia lupa bagaimana rasanya hampa. Namun kesadaran segera menamparnya. Senyum itu seketika pudar. Ia tidak seharusnya merasakan apa pun untuk tunangan orang lain. Dan terlebih lagi, ia adalah istri seseorang. Begitu sampai di rumah, Arka langsung membanting kunci mobil di atas meja. Suara hentakannya membuat Dina tersentak. Ia meletakkan tas tangan di atas meja, mencoba menahan nada suaranya agar tetap tenang. “Mas, pelan sedikit, kenapa?” ujarnya hati-hati. “Bilang pada ibumu untuk berhenti bicara tentang cucu!” bentak Arka tajam, nadanya mengiris udara ruangan yang sunyi. Dina menatap, keningnya berkerut. “Tapi bukan Mama yang memulai, Mas. Ibu Davin yang bertanya duluan soal itu. Mas juga dengar sendiri, kan?” Arka mendengus kasar, matanya menyala penuh amarah. “Tetap saja! Ibumu pasti sengaja memancing pembicaraan itu. Ia ingin mempermalukanku di depan tamuku, kan?” tuduhnya, suaranya meninggi di setiap kata. “Mas, kamu ada di sana dan dengar semuanya sendiri. Bagian mana yang Mama memancing pembicaraan seperti itu? Apa kamu tadi tidak dengar kalau Mama justru memujimu di depan tamumu?” tanya Dina, suaranya bergetar tapi tegas. “Dina, berani sekali kamu membantahku!” bentak Arka. “Lalu aku harus diam di saat kamu menuduh Mamaku tanpa alasan?” balas Dina dengan nada tertahan, berusaha mengendalikan napasnya yang mulai memburu. Arka mendecih, wajahnya memerah oleh amarah. “Ibumu memang pantas dituduh! Sama seperti keluargamu yang tidak tahu diri dan selalu menumpang dari nama besar keluargaku!” “Mas!” seru Dina, suaranya pecah antara marah dan terluka. “Pasti ibumu sering membicarakan ini di luar sana,” suara Arka meninggi, matanya menatap tajam. “Aku tahu, ibumu itu sangat ingin cucu supaya bisa menguasai semua hartaku, kan?” “Mas! Tega sekali kamu bicara seperti itu!” seru Dina. Ia menggigit bibirnya, menahan gemetar di dada. “Aku dan Mama tidak pernah sedikit pun berpikir seperti itu!” Arka mendengus kasar, langkahnya menghantam lantai. “Arrggh! Terserah, Dina, terserah! Tapi dengar baik-baik sampai kapan pun, jangan harap aku akan memberimu anak!” Dina terpaku, tubuhnya menegang, tapi Arka belum selesai. “Ibumu itu pasti sengaja memancing topik itu biar kakek menyalahkanku! Aku tahu, ibumu ingin menekanku lewat kakek. Ibumu dan keluargamu memang licik! Semua dilakukan demi status dan uang!” “Mas, cukup! Hentikan semua hinaan itu!” seru Dina, suaranya pecah di ujung kalimat. Ia sudah tidak sanggup lagi menahan diri. Air matanya jatuh tanpa bisa dikendalikan. Dadanya sesak, napasnya berat seperti tertahan di tenggorokan. Namun Arka tetap berdiri di sana, tatapannya tak sedikit pun melunak. “Tolong bilang pada ibumu,” katanya tajam, setiap kata menancap seperti paku, “untuk berhenti membahas hal yang membuatku muak padamu.” Dina menatapnya tak percaya. Ia ingin bicara, ingin membela diri, tapi suaranya tercekat. Yang tersisa hanya isak tertahan dan rasa perih yang menggenang di dadanya. “Kenapa kamu berubah, Mas?” akhirnya pertanyaan itu lolos juga, nyaris seperti bisikan yang terdesak keluar dari hatinya yang sudah putus asa. Arka tak langsung menjawab. Ia mengusap wajahnya yang menegang. “Sebelum kita menikah kamu begitu mencintaiku,” lanjut Dina dengan suara pelan. “Sekarang sikapmu berubah. Aku tidak tahu salahku di mana. Kenapa kamu sampai membenciku?” “Kesalahanmu karena kamu terlahir jadi seseorang yang kakek inginkan,” jawab Arka sorot matanya dingin. Meski suaranya terdengar rendah, namun membuat Dina semakin sulit bernapas. Dina terpaku. Ia menelan ludah. “Jadi aku bukan wanita yang kamu inginkan? Lalu kenapa kamu menikahiku?” Ia menjeda, lalu bertanya lebih lirih lagi. “Apa karena wanita yang kamu temui sore itu?” Tubuhnya bergetar hebat karena mengingat bagaimana tamparan Arka saat ia membahas tentang wanita lain. Sekejap, rahang Arka menegang. “Dina,” ucapnya pelan. “Aku sedang berusaha supaya bekas tanganku tidak lagi ada di pipimu. Jadi, jangan mengundang amarahku.” Ia menarik napas panjang, lalu mendengus. “Cukup jadi istri yang patuh padaku, dan jangan mencari tahu apa pun tentang alasanku sampai seperti ini!” Dina bisa merasakan ada rahasia di balik sikap Arka, tapi ia terlalu takut untuk mencari tahu. **Saat Davin masih berada di dalam kamar, bersiap-siap untuk menghadapi hari yang panjang, ponsel Dina bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Arka.Dina segera membukanya, dan napasnya tercekat membaca barisan kalimat itu.[Dina, aku tahu kamu bersama Davin. Pulang sekarang dan jangan bertingkah. Davin pasti sudah menceritakan masalah yang dia hadapi, kan? Itu peringatan kedua dariku.][Dan jangan membuatku menyebarkan foto mesra kalian di depan publik. Kamu tahu, pembukaan resort baru kekasihmu itu tinggal beberapa minggu lagi. Jangan sampai impiannya batal dan hancur total hanya karenamu.]Dina membeku di tempatnya. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya mulai bergetar tanpa sadar. Teror Arka terasa begitu nyata, menusuk hingga ke jantung. Arka tidak hanya mengancam dirinya, tetapi menggunakan Davin sebagai senjata.Dina menyadari dengan rasa putus asa yang menyakitkan, ia tidak punya pilihan lain selain kembali pada Arka. Pria itu tidak akan pernah melepaskannya. Arka akan mengh
Davin duduk di samping Dina di sofa Apartemen, jari-jarinya menggenggam erat tangan Dina. “Arka tidak mungkin melakukannya sendiri. Dia terlalu pengecut,” ujar Davin. “Pasti ada orang suruhan, dan orang itu pasti meninggalkan jejak.”“Tapi bagaimana, Mas? Polisi tidak menemukan apapun yang mencurigakan saat memeriksa tadi. Bahkan kamera pengawas pun rusak jadi tidak ada bukti di sana,” balas Dina, kepalanya masih terasa berat. “Polisi pasti menganggapnya kecelakaan biasa karena instalasi listrik atau kerusakan gas.”Davin menarik napas panjang. "Kita tidak bisa mengandalkan polisi sekarang. Kita harus mencarinya diam-diam. Bukti pertama yang harus kita cari adalah di lokasi kebakaran."Dina menatapnya bingung. “Maksudmu, kembali ke sana?”“Aku punya kenalan. Seorang penyelidik swasta yang sangat andal dan dapat dipercaya,” jelas Davin. “Kita butuh bukti yang bisa membuktikan adanya bahan pemicu api yang disengaja. Api tidak menjalar secepat itu, Arka pasti menggunakan sesuatu.”Da
Dina kini benar-benar terisolasi dan hancur, menyadari motif Arka bukanlah cinta, melainkan dendam, kepemilikan, dan kontrol.Dina tidak tahu berapa lama ia berdiri terpaku, menatap punggung Arka hingga pria itu menghilang ke lantai atas. Ketika keheningan yang dingin kembali menguasai rumah itu, Dina sadar ia harus bertindak. Ia tidak bisa lagi tenggelam dalam keputusasaan.Dengan tangan gemetar, ia meraih kembali ponselnya dan mencari nama Davin. Hanya Davin satu-satunya orang yang bisa ia mintai tolong. Mengadu semua rasa sakitnya. [Halo, Dina? Ada apa?]Dina tidak bisa menahan suaranya agar tidak pecah. “Mas jemput aku sekarang juga. Aku butuh kamu.”[Apa terjadi sesuatu?] Suara Davin terdengar cemas. “Tolong datang saja, Mas. Nanti aku jelaskan.”[Baiklah. Mau ku jemput dimana? Restotan?]“Jangan ke sana, Mas! Jangan! Jemput aku di persimpangan jalan depan komplek perumahanku.” [Baiklah. Tunggu aku, Sayang. Lima belas menit.]Begitu mengucapkan kalimat tersebut, Davin se
“Pernikahan ini hanyalah alat, Dina,” jawab Arka enteng, senyum meremehkan itu kini terasa sangat menjijikkan. “Karena dengan menikahimu, aku bisa lebih leluasa menyakitimu sesuka hatiku tanpa dicampuri siapa pun.”“Kenapa, Mas? Apa salahku padamu sampai kamu harus sejahat ini?” Air mata Dina mengalir, bukan lagi karena putus asa, tapi karena rasa sakit pengkhianatan mendalam.Ekspresi Arka berubah dingin. “Salahmu? Kakek menginginkanku menikahi wanita miskin sepertimu dan memaksaku memodali usaha restoranmu. Aku harus menghabiskan waktuku dengan wanita rendahan yang sama sekali tidak kuinginkan. Apa kamu pikir aku bisa menerimanya dengan senang hati? Egoku tertampar, Dina.”Arka menekan setiap kata. “Kakek tidak melihat betapa kompetennya aku dalam memimpin perusahaan. Tapi dia memberi syarat kalau aku ingin kursi direktur dan menjadi pewaris kekayaannya, aku harus menikahimu. Kamu adalah syarat, bukan pasangan.”Dina menahan napas, hatinya sakit tak tertahankan. Setiap kata yan
Dina menatap puing-puing bangunan dengan hati yang hancur. Aroma gosong dan asap tebal menyesakkan paru-paru. Ia bergerak perlahan di antara sisa-sisa bangunan yang hangus, mencoba mengamankan apa pun yang mungkin terselamatkan dari dapur atau area kasir.Ia segera menyadari, kerugian yang ditelan bencana ini sangat besar. Kepalanya sibuk menghitung, mencoba mencocokkan total kerusakan dengan sisa tabungan yang ia miliki. Pertanyaan pahit itu terus berputar: Apakah uang ini cukup untuk merenovasi ulang, bahkan membangunnya kembali dari awal?Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Dina mengusap wajahnya yang berantakan, merasakan debu dan air mata yang mengering.“Aku butuh dana tambahan. Tapi dari mana mendapatkannya?” gumamnya, suara putus asa yang tertelan oleh sisa-sisa suasana kacau.Ia melirik sekeliling. Meskipun sebagian besar telah dievakuasi, masih banyak petugas pemadam kebakaran, polisi, dan beberapa warga lokal yang penasaran. Mereka berbisik-bisik. Bisik-bisik liar mu
Hari itu berjalan normal, di tengah rutinitas sore yang sibuk, hingga kabar buruk itu meledak tanpa peringatan.Dina baru saja keluar dari gudang bahan baku, mengelap tangan di apron saat seorang staf muda berlari mendekat. Wajahnya pucat pasi, matanya membesar seperti hendak copot.“Bu, di dapur … Kebakaran!” Staf itu terengah-engah, suaranya putus-putus, seolah udara pun terhambat oleh kengerian yang baru saja ia saksikan.Dina membeku di tempat, seolah pendengarannya gagal memproses dua kata mengerikan itu. “Apa yang kamu bilang?” tanyanya, suaranya serak dan menipis. Tubuhnya mendadak kaku seperti disetrum.“Kebakaran, Bu! Di dapur! Apinya cepat sekali menjalar!” ulangnya terburu-buru.Tanpa menunggu lagi, Dina membuang lap dan berlari ke arah dapur. Matanya langsung menangkap pemandangan yang menghancurkan. Kepulan asap hitam pekat sudah memenuhi koridor belakang. Lalu, ia melihat kobaran api merah-oranye yang melompat buas, melahap dinding, menjilat langit-langit dengan kec







