Mag-log in“Kalau boleh tahu, sudah berapa lama Arka dan istrinya menikah?” tanya Veronika, nada suaranya ringan, disertai senyum sopan.
“Setahun, Bu Vero,” jawab Rina, terdengar bangga tapi tetap menjaga nada agar terdengar santai. “Wah, masih bau-bau bulan madu, ya,” ujar Veronika terkekeh kecil. Tatapannya beralih pada Dina. “Apalagi Dina ini cantik sekali. Beruntung sekali Arka bisa mendapatkan istri secantik ini.” Rina tertawa lembut, matanya menyipit menahan senang. “Aduh, Ibu Vero bisa saja. Terima kasih, ya, sudah memuji. Tapi anak saya juga beruntung bisa mendapatkan suami seperti Arka.” Dina mencoba tampak tenang meski pipinya memanas. Ia tahu betul, kalimat pujian yang sederhana bisa berubah menjadi bahan pembicaraan panjang di meja seperti ini. Arka yang duduk di sebelah Dina, tersenyum lebar. Ia lalu meraih tangan istrinya dan menyentuh punggungnya dengan lembut, gerakan yang tampak penuh kasih. “Tentu saja, Bu Vero. Saya sangat beruntung memiliki Dina sebagai istri saya,” ujarnya sambil menatap Dina, seolah ingin meyakinkan semua orang di meja itu betapa beruntungnya ia sebagai seorang pria. Dina menoleh, memberi anggukan dan senyum kecil. “Terima kasih, Mas,” ucapnya pelan. “Wah, rumah tangga kalian harmonis sekali,” puji Veronika sambil tertawa kecil. “Senang rasanya melihat pasangan muda seperti kalian begitu serasi.” Dina hanya tersenyum, namun kali ini sedikit lebih kaku. Ia bisa merasakan jari Arka yang masih menekan halus punggung tangannya—bukan lagi sentuhan sayang, tapi isyarat agar tidak bertingkah aneh. Davin melirik ke arah Arka dan Dina yang tampak begitu harmonis di hadapannya. Tanpa sadar tangannya terkepal di bawah meja. Wajahnya tetap tenang, tapi hangat di matanya perlahan memudar. Ia menegakkan punggung, menatap gelas di depannya sambil memutar sendok kecil di dalam air putih. Gerakan sederhana, tapi cukup untuk menutupi pandangan yang sempat melirik ke arah Dina beberapa detik lebih lama dari seharusnya. “Aku juga berharap anakku memiliki rumah tangga seharmonis kalian berdua,” ujar Veronika sambil menatap lembut ke arah Arka dan Dina. “Tapi calon istri anakmu juga tak kalah cantik dan berkelas, Bu Vero,” sahut Ester dengan nada riang. “Pasti kehidupan mereka akan sangat harmonis.” Ucapan itu disambut tawa kecil di meja. Hanya saja, senyum di wajah Rina perlahan memudar. Ada jeda hening yang singkat membuat udara di sekitarnya berubah dingin. “Berarti kita ini mertua yang beruntung bisa punya menantu yang cantik-cantik,” ujar Veronika sambil tertawa kecil, elegan dan hangat di waktu yang sama. Ia menoleh lagi pada Dina, senyumnya masih belum luruh. “Berarti sudah punya momongan, ya?” Pertanyaan itu meluncur ringan terdengar biasa di telinga siapa pun. Namun bagi Dina, kata-kata itu seperti hentakan halus yang langsung menyesak di dada. “Belum, Bu,” jawab Dina akhirnya, suaranya lembut tapi serak di ujungnya. Veronika masih tersenyum, tidak menyadari bahwa setiap kata lanjutannya seperti menambah berat udara di ruangan itu. “Lalu kapan mau punya anak? Jangan ditunda-tunda, apalagi kamu masih muda.” Dina memaksa sudut bibirnya tetap terangkat seolah semua baik-baik saja. Namun ia tak punya kata untuk menjawab ucapan wanita itu. “Aku sudah sering bertanya,” sahut Rina dengan tawa kecil yang terdengar terlalu riang untuk suasana sesempit itu, “tapi jawaban mereka selalu saja sama, katanya masih mau menikmati masa pacaran.” Veronika terkekeh, sementara Ester hanya mengulas senyum tipis seperti biasanya. Arka lalu menanggapinya dengan tenang. “Kami masih menunggu waktu yang tepat. Apalagi usia pernikahan kami juga baru setahun, kami masih menikmati waktu berdua,” ujarnya sopan. Tak ada yang menyadari bagaimana rahangnya menegang, atau bagaimana jari-jarinya mengerat di pangkuan Dina, cukup kuat untuk membuat wanita itu nyaris meringis. Dina menunduk, ia tak berani menatap siapa pun, takut bila tatapan itu membuka sesuatu yang selama ini berusaha ia sembunyikan. Davin yang sedari tadi memperhatikan perubahan kecil di wajahnya, segera menyela begitu ibunya bersiap membuka percakapan lagi. “Ma, coba perhatikan aquarium di sana,” ujarnya sambil menunjuk ke arah pojok ruangan. “Bagus, ya? Siapa tahu cocok jadi tambahan koleksi di rumah.” Veronika spontan menoleh. Matanya berbinar seperti anak kecil menemukan mainan baru. “Indah sekali… warnanya lembut, ya.” Percakapan di meja mulai bergeser. Para ibu sibuk membahas tren terbaru dari resort mahal sampai perawatan kulit yang katanya sedang populer. Dan topik tentang anak pun lenyap begitu saja. Sementara para lelaki larut dalam percakapan tentang bisnis. Suara Arka terdengar paling nyaring, seperti tadi penuh keyakinan dan keharusan untuk didengar. Davin menggeser piring kecil berisi potongan wafer ke arah Dina. Gerakannya menarik perhatian wanita itu. “Jangan terlalu dipikirkan,” katanya pelan. Dina menatap potongan wafer di piring, lalu menoleh pada Davin. “Masih suka, kan?” tanya Davin pelan. Suaranya lembut dan tatapannya hangat, membuat Dina lupa sejenak akan statusnya. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Kelembutan itu, nada suara, cara bicara, hingga perhatian kecil seperti ini adalah hal-hal sederhana yang dulu membuatnya jatuh cinta. Ironisnya, alasan yang sama pula yang dulu membuatnya yakin menikah dengan Arka. “Masih, Mas. Terima kasih,” jawabnya pelan lalu mengambil satu potongan dan menikmatinya, rasa manisnya sedikit meredam rasa gugup yang mendera. Davin mengangguk kecil, tatapannya tak berpaling. “Aku pikir banyak hal akan berubah darimu,” ucapnya pelan, “ternyata masih sama, ya.” Dina menatapnya ragu. “Maksudmu, Mas?” Davin mengisyaratkan tangan ke arah rambut Dina. Refleks tangan Dina terangkat menyentuh kunciran rambutnya. “Setiap lima belas menit pasti sibuk benerin rambut,” ucap Davin, senyumnya merekah lebar hingga sudut matanya ikut mengerut. Ada tawa kecil di ujung suaranya—hangat dan ringan. Dina juga ikut tertawa kecil. Ia teringat beberapa kali sejak tadi tangannya sibuk memperbaiki kunciran rambutnya. Sekilas, tawa itu terdengar seperti dirinya yang dulu sebelum semua hal berubah. Arka sempat melirik sekilas, tapi tak berkata apapun. Perhatiannya kembali ke layar ponsel, namun cukup untuk membuat Dina gugup. Percakapan itu terdengar biasa, tapi ia tahu kalau Arka tak pernah suka melihatnya berbicara terlalu lama dengan pria lain. “Dan masih ada satu lagi.” Dina menaikan kedua alisnya, menunggu dengan sabar. “Tidak bisa lepas dari yang namanya air putih,” ujar Davin lembut, matanya menatap gelas bening di depan Dina yang sejak tadi tak berubah warna. “Tidak banyak yang berubah,” balas Davin pelan. “Hanya... bertambah cantik saja.” Untuk sesaat Dina lupa bahwa dirinya sudah bersuami, dan penyesalan itu baru terasa saat ia mulai tersenyum. **Saat Davin masih berada di dalam kamar, bersiap-siap untuk menghadapi hari yang panjang, ponsel Dina bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Arka.Dina segera membukanya, dan napasnya tercekat membaca barisan kalimat itu.[Dina, aku tahu kamu bersama Davin. Pulang sekarang dan jangan bertingkah. Davin pasti sudah menceritakan masalah yang dia hadapi, kan? Itu peringatan kedua dariku.][Dan jangan membuatku menyebarkan foto mesra kalian di depan publik. Kamu tahu, pembukaan resort baru kekasihmu itu tinggal beberapa minggu lagi. Jangan sampai impiannya batal dan hancur total hanya karenamu.]Dina membeku di tempatnya. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya mulai bergetar tanpa sadar. Teror Arka terasa begitu nyata, menusuk hingga ke jantung. Arka tidak hanya mengancam dirinya, tetapi menggunakan Davin sebagai senjata.Dina menyadari dengan rasa putus asa yang menyakitkan, ia tidak punya pilihan lain selain kembali pada Arka. Pria itu tidak akan pernah melepaskannya. Arka akan mengh
Davin duduk di samping Dina di sofa Apartemen, jari-jarinya menggenggam erat tangan Dina. “Arka tidak mungkin melakukannya sendiri. Dia terlalu pengecut,” ujar Davin. “Pasti ada orang suruhan, dan orang itu pasti meninggalkan jejak.”“Tapi bagaimana, Mas? Polisi tidak menemukan apapun yang mencurigakan saat memeriksa tadi. Bahkan kamera pengawas pun rusak jadi tidak ada bukti di sana,” balas Dina, kepalanya masih terasa berat. “Polisi pasti menganggapnya kecelakaan biasa karena instalasi listrik atau kerusakan gas.”Davin menarik napas panjang. "Kita tidak bisa mengandalkan polisi sekarang. Kita harus mencarinya diam-diam. Bukti pertama yang harus kita cari adalah di lokasi kebakaran."Dina menatapnya bingung. “Maksudmu, kembali ke sana?”“Aku punya kenalan. Seorang penyelidik swasta yang sangat andal dan dapat dipercaya,” jelas Davin. “Kita butuh bukti yang bisa membuktikan adanya bahan pemicu api yang disengaja. Api tidak menjalar secepat itu, Arka pasti menggunakan sesuatu.”Da
Dina kini benar-benar terisolasi dan hancur, menyadari motif Arka bukanlah cinta, melainkan dendam, kepemilikan, dan kontrol.Dina tidak tahu berapa lama ia berdiri terpaku, menatap punggung Arka hingga pria itu menghilang ke lantai atas. Ketika keheningan yang dingin kembali menguasai rumah itu, Dina sadar ia harus bertindak. Ia tidak bisa lagi tenggelam dalam keputusasaan.Dengan tangan gemetar, ia meraih kembali ponselnya dan mencari nama Davin. Hanya Davin satu-satunya orang yang bisa ia mintai tolong. Mengadu semua rasa sakitnya. [Halo, Dina? Ada apa?]Dina tidak bisa menahan suaranya agar tidak pecah. “Mas jemput aku sekarang juga. Aku butuh kamu.”[Apa terjadi sesuatu?] Suara Davin terdengar cemas. “Tolong datang saja, Mas. Nanti aku jelaskan.”[Baiklah. Mau ku jemput dimana? Restotan?]“Jangan ke sana, Mas! Jangan! Jemput aku di persimpangan jalan depan komplek perumahanku.” [Baiklah. Tunggu aku, Sayang. Lima belas menit.]Begitu mengucapkan kalimat tersebut, Davin se
“Pernikahan ini hanyalah alat, Dina,” jawab Arka enteng, senyum meremehkan itu kini terasa sangat menjijikkan. “Karena dengan menikahimu, aku bisa lebih leluasa menyakitimu sesuka hatiku tanpa dicampuri siapa pun.”“Kenapa, Mas? Apa salahku padamu sampai kamu harus sejahat ini?” Air mata Dina mengalir, bukan lagi karena putus asa, tapi karena rasa sakit pengkhianatan mendalam.Ekspresi Arka berubah dingin. “Salahmu? Kakek menginginkanku menikahi wanita miskin sepertimu dan memaksaku memodali usaha restoranmu. Aku harus menghabiskan waktuku dengan wanita rendahan yang sama sekali tidak kuinginkan. Apa kamu pikir aku bisa menerimanya dengan senang hati? Egoku tertampar, Dina.”Arka menekan setiap kata. “Kakek tidak melihat betapa kompetennya aku dalam memimpin perusahaan. Tapi dia memberi syarat kalau aku ingin kursi direktur dan menjadi pewaris kekayaannya, aku harus menikahimu. Kamu adalah syarat, bukan pasangan.”Dina menahan napas, hatinya sakit tak tertahankan. Setiap kata yan
Dina menatap puing-puing bangunan dengan hati yang hancur. Aroma gosong dan asap tebal menyesakkan paru-paru. Ia bergerak perlahan di antara sisa-sisa bangunan yang hangus, mencoba mengamankan apa pun yang mungkin terselamatkan dari dapur atau area kasir.Ia segera menyadari, kerugian yang ditelan bencana ini sangat besar. Kepalanya sibuk menghitung, mencoba mencocokkan total kerusakan dengan sisa tabungan yang ia miliki. Pertanyaan pahit itu terus berputar: Apakah uang ini cukup untuk merenovasi ulang, bahkan membangunnya kembali dari awal?Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Dina mengusap wajahnya yang berantakan, merasakan debu dan air mata yang mengering.“Aku butuh dana tambahan. Tapi dari mana mendapatkannya?” gumamnya, suara putus asa yang tertelan oleh sisa-sisa suasana kacau.Ia melirik sekeliling. Meskipun sebagian besar telah dievakuasi, masih banyak petugas pemadam kebakaran, polisi, dan beberapa warga lokal yang penasaran. Mereka berbisik-bisik. Bisik-bisik liar mu
Hari itu berjalan normal, di tengah rutinitas sore yang sibuk, hingga kabar buruk itu meledak tanpa peringatan.Dina baru saja keluar dari gudang bahan baku, mengelap tangan di apron saat seorang staf muda berlari mendekat. Wajahnya pucat pasi, matanya membesar seperti hendak copot.“Bu, di dapur … Kebakaran!” Staf itu terengah-engah, suaranya putus-putus, seolah udara pun terhambat oleh kengerian yang baru saja ia saksikan.Dina membeku di tempat, seolah pendengarannya gagal memproses dua kata mengerikan itu. “Apa yang kamu bilang?” tanyanya, suaranya serak dan menipis. Tubuhnya mendadak kaku seperti disetrum.“Kebakaran, Bu! Di dapur! Apinya cepat sekali menjalar!” ulangnya terburu-buru.Tanpa menunggu lagi, Dina membuang lap dan berlari ke arah dapur. Matanya langsung menangkap pemandangan yang menghancurkan. Kepulan asap hitam pekat sudah memenuhi koridor belakang. Lalu, ia melihat kobaran api merah-oranye yang melompat buas, melahap dinding, menjilat langit-langit dengan kec







