Home / Romansa / Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya / Bab 8. Batas yang mulai kabur

Share

Bab 8. Batas yang mulai kabur

Author: Ralonya
last update Last Updated: 2025-10-21 22:33:26

Dina merasakan napasnya tersangkut di tenggorokan. Satu sentuhan ringan di pinggangnya sudah cukup membuatnya kehilangan kendali sepersekian detik.

Davin mendorong pintu di belakang mereka dan membiarkannya terbuka. Ia tidak berkata apa pun, hanya menatap Dina dengan mata yang seolah meminta izin.

“Mas Davin, bagaimana kalau ada yang melihat kita?” tanyanya gugup.

“Tidak akan ada yang tahu,” sahut Davin tenang.

Ruang di belakang mereka terasa sunyi. Dina tahu satu langkah yang ia ambil bisa mengubah segalanya. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Davin dengan hati yang berperang antara logika dan kerinduan.

Dina melirik sekitarnya, memastikan tak ada yang memperhatikan sebelum akhirnya melangkah masuk. Pintu tertutup pelan di belakang mereka, meninggalkan keheningan yang terlalu dekat.

Dina tahu ini salah, tapi pikirannya terasa bising. Setiap kali menatap mata Davin, semua alasan yang seharusnya membuatnya pergi justru memudar.

“Aku sangat merindukanmu, Dinarayu.”

Dina menatapnya, senyum getir muncul di bibir. “Kalau kamu merindukanku, kenapa tidak kembali menemuiku?”

Davin menarik napas pelan, menunduk sejenak sebelum menjawab. “Aku pikir kamu sudah tidak nyaman berada di sekitarku lagi.”

“Kenapa kamu bisa berpikir begitu?” tanyanya pelan, ada getar halus antara kecewa dan ingin marah.

Davin mengedikkan bahu, pandanganya tak lepas dari wajah teduh Dina. “Entahlah. Waktu itu aku merasa kalau kamu mulai menjauh.”

Dina mengerutkan kening. Ia mengingat kembali setiap pertemuan dan percakapan. Tidak ada yang aneh.

“Mas—” Suara Dina nyaris hanya berupa bisikan. Ia tak sempat menyingkir saat Davin mencondongkan tubuh mendekat, jarak di antara mereka hanya sejengkal. Napas hangatnya menyentuh kulit wajah Dina, membuat pikirannya bergetar antara sadar dan tidak.

“Enam tahun berlalu…” suara Davin terdengar rendah, “…dan kamu semakin cantik.”

“Mas Davin, kita terlalu dekat,” kata Dina pelan, tapi nada suaranya tidak lagi setegas yang ia harapkan.

Davin seolah tak peduli pada kegelisahan Dina, ia semakin mengikis jarak. “Aku sangat merindukanmu,” lirihnya. “Sampai rasanya aku tidak sanggup menahan diri lebih lama lagi.”

Davin menatapnya dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di matanya. “Bisakah, Dinarayu?” katanya pelan. Tidak jelas apakah itu permintaan, penyesalan, atau sekadar kerinduan.

Dina kaget sekaligus bimbang. “Mas, jangan begini,” ujarnya pelan, mencoba menata napas. “Aku sudah menikah dan kamu juga punya tunangan.”

Davin menghela napas panjang, mata penuh sesal. “Aku tahu. Tapi sejak bertemu denganmu lagi, rasa yang seharusnya sudah hilang itu muncul kembali.”

Dina menggigit bibir, menunduk. Jantungnya bergetar hebat. Kata-kata itu begitu lembut, tapi juga berbahaya.

“Kalau begitu, tolong hentikan. Ini salah,” bisiknya.

Davin seolah tuli. Ia menarik Dina lebih dekat, hingga jarak dinatara mereka lenyap begitu saja.

“Mas Davin… “ Dina berusaha menghindar. Ia menarik napas mencoba menenangkan diri.

Penolakan itu tidak membuat Davin berhenti. Tatapan matanya tajam, dalam, seolah menelusuri setiap inci wajah Dina.

“Mas, kita tidak boleh seperti ini,” mohon Dina lirih, tapi tubuhnya tak bergerak. Ia tak sanggup berpaling, tatapan tajam lelaki itu seakan mengunci seluruh dirinya

Davin tak menjawab, ia menunduk perlahan, jarak di antara mereka kian menipis sampai bibir mereka bersentuhan ringan—singkat, tapi cukup untuk membuat Dina terpaku.

“Davin, hentikan!” suaranya bergetar, di antara marah, takut, dan bingung.

Melihat reaksi itu, Davin tersenyum tipis. “Aku tidak bisa,” bisiknya, lalu kembali mencuri satu kecupan lagi, kali ini lebih lama dan dalam.

Dina sempat mendorong dada Davin, tapi tangan lelaki itu sudah lebih dulu menahan tengkuknya.

“Berhenti… tolong,” bisiknya diantara napas yang tersengal.

“Sudah terlalu lama aku menahan ini,” balas Davin pelan, suaranya serak, nyaris seperti pengakuan.

Ia kembali menciumnya, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Dunia seolah berhenti di antara mereka. Dina tak tahu kapan ia mulai membalas, kapan jemarinya terangkat menyentuh dada Davin yang hangat.

Saat tangan Davin menyusuri punggungnya, Dina nyaris kehilangan pijakan.

“Mas Davin, jangan…” katanya terbata, menoleh ke samping, memutus ciuman yang masih membekas di bibirnya.

Lelaki itu menatap tajam, rahangnya mengeras. Ada ketidaksukaan yang jelas di matanya, tak rela jika jarak di antara mereka kembali terbuka.

“Kamu juga merasakan hal yang sama, kan?” bisik Davin, tangannya menahan Dina agar tidak berpaling darinya.

“Mas… ini salah,” lirih Dina, mencoba mendorong Davin menjauh.

Davin menggeleng pelan, suaranya berat. “Tidak, Dina. Tidak ada yang salah.” Dan sebelum Dina sempat menjauh, jarak diantara mereka kembali lenyap.

Sentuhan itu semakin dalam, sampai tangan kekarnya yang mulai menelusuri lebih jauh terhenti saat suara ponsel berdering keras. Dina tersentak, mendorong kuat tubuh Davin dengan panik.

“Sial!” umpat Davin. Tatapannya tajam menahan kecewa dan marah.

Dina meraih clutchnya yang terjatuh, lalu mengambil ponsel di dalamnya. Begitu melihat nama yang muncul di layar, wajahnya memucat. Matanya kembali menatap Davin penuh cemas.

“Aku harus kembali, suamiku sudah mencari,” ucap Dina terburu-buru. Tanpa peduli pada penampilannya yang berantakan, ia tergesa keluar sambil menyeka peluh di dahinya.

Davin menatap punggung kecil itu sambil menyentuh sudut bibirnya yang masih menyisakan jejak lipstik, dan mengusapnya pelan.

Sementara itu, Dina menarik napas panjang sebelum melangkah masuk kembali ke aula. Ia mencoba menenangkan diri, seolah ciuman di ruang sepi itu tak pernah terjadi. Pandangannya menyapu kerumunan, mencari sosok Arka di antara tamu yang sibuk bercakap, sementara dadanya masih berdebar tak karuan.

“Kemana saja kau?”

Suara Arka terdengar datar membuat Dina menoleh cepat. Lelaki itu berdiri tak jauh darinya, satu alis terangkat menatap wajah istrinya yang tampak gugup dan sedikit berantakan.

“Dari toilet, Mas,” jawab Dina, berusaha menahan getar disuaranya.

Arka menghela napas pendek, lalu menatap jam di pergelangan tangannya. “Kemarilah. Beberapa kenalanku ingin bertemu denganmu.” Ia menautkan jemari Dina di lengannya, lalu menuntunnya kembali ke tengah pesta.

Langkah Dina hampir goyah ketika melihat Davin berdiri tegak di tengah aula, menatapnya tajam tanpa ekspresi.

Tatapan itu membuat Dina sadar, yang terjadi tadi hanya awal dari sesuatu yang lebih berbahaya.

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 27. Selain kamu

    Davin menggenggam tangan Dina dan menariknya keluar dari hotel dengan langkah cepat.“Mas, kita mau ke mana?” tanya Dina setengah berbisik.Davin tak menjawab. Ia terus menariknya menuju area parkir. Sebuah mobil hitam menunggu di sana, seolah sudah disiapkan sebelumnya. Dina menunduk, berharap tak ada yang mengenali mereka. Bisa jadi bencana kalau ada rekan kerja Arka yang melihat.“Mas, serius, kita mau ke mana?” tanyanya lagi saat mobil mulai melaju meninggalkan hotel.“Ke tempat di mana kamu tidak perlu takut pada tatapan orang lain,” jawab Davin akhirnya, matanya lurus ke depan. “Tempat di mana tidak ada yang mengenal kita. Jadi kita bisa bebas berduaan.”Dina berdecak pelan. Wajahnya tampak kesal, tapi rona merah di pipinya dan senyum kecil yang terselip di sudut bibir justru mengkhianati perasaannya.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di sebuah bukit kecil di belakang hotel. Udara malam terasa dingin, tapi hamparan ladang dan cahaya kota yang berkelip di kejauhan di depan

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 26. Ingin dia seutuhnya

    Cengkeraman Arka di pergelangan tangannya begitu kuat hingga membuat Dina meringis menahan sakit.“Mas tanganku sakit,” lirihnya, berusaha menarik diri.Arka tidak menggubris. “Dari mana tanda itu kamu dapatkan?” “Sudah kubilang, Mas. Aku tadi kena gigit serangga, mungkin kugaruk tanpa sadar sampai memerah begitu,” jawab Dina cepat, matanya bergerak gelisah. Arka memicingkan mata, lalu mendekat lebih dekat. Ia mengusap leher Dina dengan kasar, perlakuannya itu membuat Dina meringis dan mencoba menahan, tapi genggaman Arka lebih cepat menahan gerakannya. Concealer di lehernya perlahan memudar, menampakkan bekas kemerahan di bawahnya.“Dina, aku bukan orang bodoh,” tekan Arka. Cengkramannya di pergelangan tangan Dina semakin kuat.“Mas, sakit!” jerit Dina, matanya berkaca-kaca. “Lepaskan tanganku!”“Kamu tidak mendapatkannya dari pria lain, kan?”Mata Dina melebar. “Mas! Tega kamu!” Jantungnya berdentum kencang, ia menelan ludah dengan susah payah, belum pernah ia merasa setakut ini.

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 25. Curiga

    Jantung Dina berdegup kencang, wajahnya memanas. Ia buru-buru memalingkan muka, tapi ekspresi paniknya tak luput dari mata Davin. Lelaki itu terkekeh pelan, matanya penuh geli dan rasa gemas. Melihat Dina yang cemberut, malu, dan serba salah, Davin justru semakin ingin menariknya kembali ke pelukannya dan memeluknya seharian penuh.Dina menatap bayangan dirinya di cermin dengan panik. Bekas-bekas kemerahan itu tampak jelas di kulitnya. Ia berbalik menatap Davin dengan wajah kesal.“Mas Davin, ini sangat kelihatan! Apa yang harus kujawab kalau Mas Arka melihat dan bertanya tentang bekas ini?”Davin hanya terkekeh santai dari atas tempat tidur. “Bilang saja kalau itu ulahku.”“Mas! Jangan bercanda!” seru Dina frustasi“Aku tidak bercanda, Dina.”Dina mendesah kesal lalu menatap lehernya lagi. “Aku harus menutupinya. Tapi semua barangku ada di kamar. Bagaimana kalau aku ke sana dan Mas Arka melihatnya?”Davin mengangkat bahu, masih dengan senyum nakalnya. “Ya sudah, aku antar. Biar sekal

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 24. Tanda cinta

    “Aku tidak akan menyakitimu.” Dina mempercayai ucapannya. Ia mengangguk pelan, memberi isyarat setuju. Davin kembali mendaratkan kecupan ringan di kening sebelum meluncurkan miliknya dan kemudian perlahan, dengan amat pelan, masuk seinci demi seinci hingga sepenuhnya dan miliknya terkubur di dalam. Kedua tangan Dina spontan meremas sisi bantal. Sedang tubuhnya gemetar karena sensasi perih sekaligus nyeri yang tak bisa ia jelaskan. Rasa sakit dan nikmat perlahan menjadi satu. Wanita itu menggigit bibir menahan rintihannya. Ia hanya bisa memejam mata menahan milik Davin yang bergerak sedikit cepat di bawah sana. Davin tertegun dan menghentikan gerakannya. “Kamu … belum pernah sama sekali?” tanyanya pelan.Dina tidak menyangkal, hanya menatapnya dan mengangguk pelan. “Kamu yang pertama, Mas,” ucapnya lirih.Mata Davin melembut. Di balik rasa bahagia itu, ada getir yang sulit ia jelaskan. Ia bertanya dalam hati—seperti apa sebenarnya pernikahan yang dijalani Dina selama ini?“Karena in

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 23. Aku akan pelan

    “Kenapa tidak menahanku malam ini?” Malam kian larut, tapi ucapan Davin masih terngiang di kepala Dina. Seusai membersihkan diri, ia duduk di kursi dekat jendela menatap gemerlap kota di luar. Ia sadar, meski sudah menikah, ia nyaris tak pernah merasakan sentuhan suaminya. Terakhir kali ia disentuh dengan cara yang kotor, membuatnya semakin jijik mengingatnya. Ponselnya bergetar di meja. Dina segera mengambilnya, melihat layar, dan wajahnya langsung memanas. [Bisakah kita bertemu malam ini? Aku ingin melanjutkan apa yang tertunda tadi.]Hatinya berdebar. Pesan dari Davin membuat dadanya hangat sekaligus cemas. Ia melirik Arka yang sudah terlelap, lalu membalas pesan itu.[Baik, Mas. Aku akan datang.]Ia segera bangkit dan berganti pakaian, bergerak hati-hati agar Arka tidak terbangun dan memergokinya. Setelah itu, ia keluar kamar dan berjalan di lorong menuju kamar Davin.Matanya berhenti pada nomor kamar Davin yang diingatnya sejak sore. Ia menarik napas, mencoba menenangkan diri,

  • Dibenci Suami, Dicintai Sahabatnya   Bab 22. Cemburu

    Davin bersandar di pintu, menghembuskan napas panjang. “Nyaris saja,” gumamnya pelan, tapi matanya tak lepas dari wajah Dina. Tatapan itu membuat jantung Dina berdetak tak karuan. Apalagi melihat bibir Davin yang baru saja mengecup Natania, ada dorongan aneh dalam dirinya untuk menghapus jejak itu. Ia menggeleng pelan, menepis pikirannya sendiri. “Mas Davin …,” panggil Dina. “Aku harus pergi. Aku harus kembali ke kamar. Mas Arka mungkin sudah mencariku.”Davin melangkah mendekat. “Pergi?” ujarnya rendah. “Kita baru saja memulainya, Dina.” Namun Dina cepat menggeleng. “Tidak, Mas. Ini sudah terlalu jauh,” potongnya tegas. Ia menatap lantai, tak berani menatap mata Davin. “Kalau saja Natania tidak datang …,” katanya tak sanggup melanjutkan, suaranya tenggelam di antara napas berat dan penyesalan.“Tapi kamu tidak menyesal, kan?” potong Davin cepat. “Jujurlah, Dina. Apa kamu menyesal dengan semua yang sudah terjadi antara kita?” Dina terdiam, sementara Davin melanjutkan, “Aku senang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status