Share

4. Diabaikan

last update Last Updated: 2024-01-10 12:51:33

Broto Handjoyo sudah tiba di tempat pertemuan, bersama Sari. Mereka masih menanti kedatangan seseorang. Tidak lama kemudian, sosok yang mereka nantikan tiba. Broto yang belum pernah bertemu sebelumnya, tidak mengenali ketika seorang  pria muda melangkah mendekati tempat dia berada.

“Selamat Siang. Maaf saya datang terlambat.” Arya menghampiri Broto, dan mengajak pria paruh baya itu untuk berjabat tangan. 

Wajah Broto begitu terkejut melihat kedatangan Arya. “Kamu …?” Ia sampai tidak dapat melanjutkan kalimatnya.

“Iya, Om. Saya Arya. Putra Pak Dermawan.” Senyum manis merekah di wajah Arya, tanpa ia sadari.

“Oh. Ya-ya-ya.” Broto  tertawa lebar, menepuk punggung tangan Arya berulang kali. “Kapan kembali ke Indonesia?”

“Sudah lama, Om. Tiga tahun yang lalu. Saya ambil kuliah di Indonesia, tapi mengambil kursus sebentar di Inggris.”

“Oh. Bagus-bagus. Tau begini, mengapa tidak makan malam di rumah kita aja ya, Ma?”

“Lain kali juga nggak pa-pa, Pa. Toh juga ke depannya akan sering ke rumah. Kalau anak papa itu setuju dengan usulan ini.’

Arya diam menyimak. Memang sebenarnya apa maksud pertemuan mereka malam ini? Papanya sendiri tidak mengatakan apa-apa. Dirinya hanya disuruh bertemu dengan teman lamanya, dan mendengar saja apa yang dikatakan pria paruh baya itu, kepadanya jika bertemu nanti.

-0-

Sari menyiapkan kotak makan, lalu menata roti panggang yang sudah ia beri irisan keju dan beberapa lembar daging asap. Ia juga meletakkan kroket, tahu isi, dan sosis solo di dalamnya.

“Ya elah. Kok Dinda merasa balik jadi anak TK, sih?” Dinda melihat isi kotak makan yang begitu besar. “Ntar kalau pada minta gimana?” selorohnya sambil mencomot roti isi daging asap.

“Ya kasih aja. Kan nanti di rumah bisa bikin lagi.”

“Padahal seharian Dinda bakalan ada di kampus, Ma. Kapan bikinnya?”

“Ngapain ngendon di sana? Jangan terlalu keras! Beri sedikit waktu untuk diri kamu sendiri beristirahat.” Sari mulai memberi petuah.

“Iya, Ma. Dinda bawa motor ya, Ma. Biar gak ribet pas kena macet.”

Sari mengangguk. “Ingat aja pesan Mama.  Yang jelas kamu harus hati-hati. Jangan terlalu diforsir.”

“Siap, Bos.”

-0-

Sudah hampir dua jam lebih, Dinda berkutat di depan tumpukan diktat-diktat besar. Yang terlihat hanya pucuk kepalanya saja, sedangkan wajahnya hilang di balik tumpukan diktat-diktat itu. Bibirnya komat kamit sedangkan jarinya menari lincah di atas keyboard laptop hitamnya.

Sesekali Dinda berhenti, meneguk air putih lalu mencomot camilan keripik bawang yang ia letakkan di dalam toples mini.

“Permisi.”

Terdengar suara menyeruak di antara tumpukan diktat di depan Dinda.

“Ya?” Dinda mendongakkan kepalanya ke atas. Gadis itu tampak berpikir sejenak tatkala netranya bertemu dengan netra pria di depannya. Ia seperti pernah melihat wajah di depannya. 

“Buku ini, apakah masih dipakai?”

Netra Dinda mengikuti jari telunjuk pria di depannya, yang berakhir pada sebuah buku tebal bersampul coklat keemasan.

“Kalau mau dipakai dulu nggak pa-pa.” Dinda menarik buku itu kemudian menyerahkan kepada pria di depannya. Dinda tidak sadar dengan siapa ia sedang berbicara.

“Thanks.” Arya menerima buku itu dari Dinda. Gadis ini benar-benar tidak ingat dengan wajahnya. Ada rasa kecewa menggelayut di wajah Arya, baru kali ini ia  diabaikan oleh seorang gadis.

Dinda kembali tenggelam dengan diktat di depannya, mengetik tuts keyboard laptopnya. Bibirnya terus membaca ulang kalimat di dalam diktat itu. Ia sedang berusaha mengingat semua hal yang dibacanya.

Empat jam berlalu, dan Dinda mulai membereskan mejanya. Ia mengembalikan buku-buku besar itu ke  rak semula. Ada kuliah yang harus ia hadiri setelah ini, dan hari ini adalah jadwal presentasi mata kuliah yang diampu dosen manajemen, yang baru minggu lalu mengajar di kelasnya.

Di karenakan jumlah mahasiswa 21 maka hanya ada empat kelompok, yang masing-masing anggotanya berjumlah 5 orang, dan Dinda didaulat menjadi moderator. Presentasi terbagi dalam dua sesi.

Arya menyimak jalannya presentasi. Kedua netranya tidak lepas dari Dinda. Pikirannya justru melayang pada pertemuannya dengan kawan lama papanya, dua hari sebelumnya.  Pembicaraan yang setengahnya masih tidak dimengerti olehnya. Apakah ia mewakili sang kakak atau pertemuan itu untuk dirinya sendiri?

Bagaimana jika menolak? Bagaimana jika hatinya sudah tertaut pada gadis lain?

Arya mengikuti jalannya presentasi dan mulai menilai masing-masing mahasiswanya, termasuk Dinda. Ia mengakui, jika Dinda adalah seorang mahasiswi yang cukup cerdas dan pandai menghidupkan suasana.

Arya berdiri memberikan applause-nya. Ia sangat menikmati presentasi hari ini, dan menurutnya apa yang disajikan masing-masing kelompok sudah bisa mewakili materi bab tiga. Mereka  ternyata sudah memahami isi bab tersebut tanpa perlu ia jelaskan lagi.

Akan tetapi, Arya tetap memberi kesempatan jika masih ada yang memerlukan penjelasan lebih detil lagi. Lagi-lagi, kedua netra jatuh pada wajah cantik Dinda yang menatap ke arahnya  dengan tatapan kosong. Apa gerangan yang sedang dipikirkan gadis itu sekarang?

“Untuk minggu depan, kelas saya liburkan dulu. Saya ada urusan ke luar kota. Saya akan mengirimkan tugas di grup. Kalian kerjakan dan kirim lewat link yang akan saya kirimkan sesuai jadwal mata kuliah saya.”

“Baik,Pak.”

Arya membereskan bukunya, dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Ada rapat di gedung rektorat  dan ia sudah terlambat sekitar sepuluh menit. Dengan setengah berlari, Arya berjalan menuju parkiran. 

Dilihatnya parkiran begitu padat, sedangkan mobilnya terparkir di tempat paling depan. Ia sudah cukup terlambat. Tanpa pikir panjang, Arya mendatangi sekelompok mahasiswa yang sedang duduk di depan taman kecil di samping parkiran mobil.

“Ini motor siapa?” tanyanya sambil melihat sebuah motor matic yang terparkir tepat di sebelahnya.

“Dinda, Pak.” Seno berdiri dari duduknya. Pemuda itu seperti tidak percaya jika dirinya sedang berbicara dengan dosen yang begitu fenomenal di mata  cewek-cewek kampusnya.

“Saya pinjam dulu untuk ke rektorat. Saya sudah cukup telat untuk hadir rapat di sana.”

“Boleh, Pak. Silakan.” Seno memberi ijin tanpa sepengetahuan Dinda. 

“Kamu miskol saya. Biar nanti saya bisa menghubungi kamu saat rapatnya sudah selesai.”

Sepeda motor matic itu meluncur cukup kencang membuat Seno menahan napas hingga bayangan sang dosen tak lagi terlihat olehnya.

“Gawat, Pak Arya. Doi jago balap juga ternyata.” Mereka berempat menatap kepergian Arya tanpa berkedip.

Keempat orang itu terkesima melihat gaya berkendara Arya, hingga akhirnya sebuah teriakan menyadarkan semua.

“Habis lu, No!” Yuda memukul lengan kanan Seno.

“Hah?”

“Ntar kalau Dinda nanyain motornya, gimana?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 45

    Dinda mencoba membuka kedua netranya. Hari masih begitu gelap, dan suasana masih begitu sunyi. Samar, terdengar rintik ujan mulai turun mengenai genteng, menyebarkan bau khas tanah. Tangan Arya masih memeluk erat tubuh Dinda, seakan enggan berada jauh dari wanita muda itu. Bukannya menyingkirkan tangan pria yang menikahinya empat tahun lalu, Dinda justru memeluk erat tubuh Arya.Arya yang semula masih terlelap, terbangun oleh gerakan kecil di sampingnya. Pucuk kepala Dinda menyapu lembut dagunya, membuatnya merasa geli sesaat. Secara reflek, Arya mengecup puncak kepala Dinda. "Kenapa bangun?" Suara serak Arya terdengar di telinga Dinda."Hmmm. Hujan. Dingin."Arya tersenyum. "Hmm. Begini pasti nggak akan dingin lagi." Arya juga mengeratkan pelukannya pada Dinda. Dinda terkekeh. Keduanya tidur saling berpelukan di balik selimut tebal yang sejak awal sudah menemani tidur keduanya. Sayangnya, usaha Dinda untuk dapat kembali memejamkan netranya tidak berhasil. Ia menggeliat, lalu mele

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 44

    "Om Dani! Bian mau yang itu." Brilian menarik-narik tangan Dani agar mendekat ke etalase yang penuh dengan macam-macam puding di rak paling atas. Warna-warni dan hiasan di atas puding, membuat Brilian tidak mengalihkan pandangannya dari etalase itu.Dani menepati janjinya pada dua keponakannya. Ia membawa Fahriza dan Brilian ke gerai kue Maya, membiarkan Fahriza dan Brilian memasuki gerai itu lebih dulu, sedang Dani berjalan di belakang dua bocah kecil itu, sambil tersenyum.Gerai kue Maya mulai ramai dengan pembeli, sehingga agak menyulitkan kedua bocah itu untuk memilih. Dani terpaksa menggandeng tangan Fahriza, agar bisa menyusul Brilian yang sedang fokus di etalase."Fahriza juga mau?"Bocah perempuan dengan alis seperti busur panah, tebal dan hitam itu mengangguk. Ia mulai memilih sedangkan Brilian memilih stroberi dengan lapisan vanila di atasnya."Hanya itu?" tanya Dani begitu melihat hanya satu puding yang dipilih Brilian."Boleh ambil lagi?" Brilian ragu."Bolehlah. Mumpung

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 43

    Dani ternyata tidak menepati janjinya pada Brilian. Dia menepikan mobilnya tepat di depan gerai Maya, lalu memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dani keluar dari mobil lalu melangkah tegas masuk ke gerai Maya.Suasana gerai yang tidak terlalu ramai membuat Dani bebas bergerak. Ia bebas mengamati seluruh bagian gerai, dan isi apa saja yang ada di rak-rak kue. Ia menemukan kue-kue yang dibeli Dinda kemarin.Ia teringat pada percakapannya semalam dengan Dinda. Lapis legit dan lapis surabaya. Dua kue yang menjadi kesukaan Dinda, yang ingin Dinda pesan di sini, dan dirinya tadi malam telah menawarkan bantuan untuk memesankan kue-kue itu."Semoga menjadi awal yang baik untuk ke depannya," ucapnya dalam hati meneguhkan niatnya mendekati meja kasir yang sedang kosong."Selamat Pagi." Dani menyapa Maya dengan suara datar. Betapa Dani sedang berusaha keras menahan lonjakan kegirangan dalam hatinya.Maya bergegas bangkit dari duduknya. Hal biasa yang ia lakukan jika pelanggan datang ke meja kasir saa

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 42

    Dani mengunyah sus yang berhasil ia ambil dari tas belanja Dinda. Ia mengunyah sambil berpikir apa yang akan ia katakan setelah tiba di gerai kue Maya, besok. Ya. Dani berencana untuk tetap mendatangi gerai Maya, meski sempat bersitegang dengan sang adik. Bagaimanapun, Dani adalah anak tertua, yang memiliki rasa mengayomi kepada adiknya. Jiwa itu tidak dapat hilang dari dirinya, meski merasa kesal terhadap Dinda. "Permisi. Mau pesan kue lapis, bisa? Dua loyang. Diambil nanti bisa?" Dani bermonolog sendiri. Ia membayangkan jika saat ini sudah berdiri di hadapan Maya.Merasa aneh, Dani mengganti kalimatnya, dan itu terus berulang hingga ia merasa capek sendiri. Pada akhirnya, Dani menyerah. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan dan katakan besok. Yang jelas, ia tetap akan pergi ke gerai Maya esok hari.-0-Brilian dan Fahriza sudah siap dengan seragam dan tas sekolah masing-masing. Dinda sibuk menata bekal untuk dua bocah kecil itu, sedangkan Arya memanaskan mesin mobil. Kehebohan di

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 41

    Dinda terkekeh sendiri. "Nanti aja deh ceritanya. Biar Om Dani sendiri yang cerita. Sekarang, Tante mau makan ini. Fahriza mau?" Dinda menyodorkan tas belanjanya ke hadapan Fahriza.Bocah perempuan itu mengangguk. Ia asyik memilih mana yang lebih menarik untuk disantap. "Bungkusnya kayak yang dibawa Om Dani," gumam Fahriza mengamati cupcake yang ia pilih."Belinya di tempat yang sama, ya jelas sama, dong. Coba Fahriza makan. Rasanya enak nggak?""Oke."Dinda memilih mengambil kue lapis lalu memberikannya pada Arya. "Tadi mau ambil lapis surabaya, tapi malah yang diambil ini.""Ya besok beli lagi atau pesan. Minta dibuatkan yang ukuran satu loyang penuh," usul Arya. Ia menjadi salah satu penggemar kue lapis surabaya dan lapis legit, sejak mengenal Dinda. Ia suka rasa ringan dan creamy dari mentega pada kue lapis surabaya dan rasa legit pada kue lapis legit. Bisa membuatnya merem melek tidak karuan. Apalagi ditemani kopi pahit. Bisa-bisa Arya tidak konsentrasi bekerja.Keduanya asyik me

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 40

    "Tante yang mana ini?" Dinda menatap Dani penuh curiga. Ia mencium satu rahasia yang Dani sembunyikan darinya. "Kenapa nggak diajak kemari aja? Biar mama nggak cerewet terus tiap menit tiap detik saban hari?"Dani membisikkan sesuatu pada Brilian, lalu bocah kecil itu terkekeh. "Mama jadi beli lontong, nggak? Bian mau sama Om Dani aja. Makan ini." Brilian mengangkat tas kertas itu ke atas."Kamu suka? Memang sudah pernah beli itu? Mama baru tahu ini, deh." Dinda mengambil tas kertas itu dari tangan Brilian. Ia membaca lalu bergumam sendiri. "Perasaan pernah liat tulisan ini. Tapi dimana, ya?"Dani melangkah masuk membiarkan adiknya sibuk mengingat lambang yang tertera di tas kertas itu. Ia sendiri langsung melangkah ke dapur, membuat minuman segar yang sejak tadi menggodanya.Melihat Dani yang cuek, membuat Dinda merasa sangat aneh. "Kak! Something happened, ya?" tanya Dinda penuh selidik.Dani menolak untuk memberitahu. "Nggak ada. Kenapa sih repot amat?""Ya, nggak gitu lah. Dulu j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status