Broto Handjoyo sudah tiba di tempat pertemuan, bersama Sari. Mereka masih menanti kedatangan seseorang. Tidak lama kemudian, sosok yang mereka nantikan tiba. Broto yang belum pernah bertemu sebelumnya, tidak mengenali ketika seorang pria muda melangkah mendekati tempat dia berada.
“Selamat Siang. Maaf saya datang terlambat.” Arya menghampiri Broto, dan mengajak pria paruh baya itu untuk berjabat tangan.
Wajah Broto begitu terkejut melihat kedatangan Arya. “Kamu …?” Ia sampai tidak dapat melanjutkan kalimatnya.
“Iya, Om. Saya Arya. Putra Pak Dermawan.” Senyum manis merekah di wajah Arya, tanpa ia sadari.
“Oh. Ya-ya-ya.” Broto tertawa lebar, menepuk punggung tangan Arya berulang kali. “Kapan kembali ke Indonesia?”
“Sudah lama, Om. Tiga tahun yang lalu. Saya ambil kuliah di Indonesia, tapi mengambil kursus sebentar di Inggris.”
“Oh. Bagus-bagus. Tau begini, mengapa tidak makan malam di rumah kita aja ya, Ma?”
“Lain kali juga nggak pa-pa, Pa. Toh juga ke depannya akan sering ke rumah. Kalau anak papa itu setuju dengan usulan ini.’
Arya diam menyimak. Memang sebenarnya apa maksud pertemuan mereka malam ini? Papanya sendiri tidak mengatakan apa-apa. Dirinya hanya disuruh bertemu dengan teman lamanya, dan mendengar saja apa yang dikatakan pria paruh baya itu, kepadanya jika bertemu nanti.
-0-
Sari menyiapkan kotak makan, lalu menata roti panggang yang sudah ia beri irisan keju dan beberapa lembar daging asap. Ia juga meletakkan kroket, tahu isi, dan sosis solo di dalamnya.
“Ya elah. Kok Dinda merasa balik jadi anak TK, sih?” Dinda melihat isi kotak makan yang begitu besar. “Ntar kalau pada minta gimana?” selorohnya sambil mencomot roti isi daging asap.
“Ya kasih aja. Kan nanti di rumah bisa bikin lagi.”
“Padahal seharian Dinda bakalan ada di kampus, Ma. Kapan bikinnya?”
“Ngapain ngendon di sana? Jangan terlalu keras! Beri sedikit waktu untuk diri kamu sendiri beristirahat.” Sari mulai memberi petuah.
“Iya, Ma. Dinda bawa motor ya, Ma. Biar gak ribet pas kena macet.”
Sari mengangguk. “Ingat aja pesan Mama. Yang jelas kamu harus hati-hati. Jangan terlalu diforsir.”
“Siap, Bos.”
-0-
Sudah hampir dua jam lebih, Dinda berkutat di depan tumpukan diktat-diktat besar. Yang terlihat hanya pucuk kepalanya saja, sedangkan wajahnya hilang di balik tumpukan diktat-diktat itu. Bibirnya komat kamit sedangkan jarinya menari lincah di atas keyboard laptop hitamnya.
Sesekali Dinda berhenti, meneguk air putih lalu mencomot camilan keripik bawang yang ia letakkan di dalam toples mini.
“Permisi.”
Terdengar suara menyeruak di antara tumpukan diktat di depan Dinda.
“Ya?” Dinda mendongakkan kepalanya ke atas. Gadis itu tampak berpikir sejenak tatkala netranya bertemu dengan netra pria di depannya. Ia seperti pernah melihat wajah di depannya.
“Buku ini, apakah masih dipakai?”
Netra Dinda mengikuti jari telunjuk pria di depannya, yang berakhir pada sebuah buku tebal bersampul coklat keemasan.
“Kalau mau dipakai dulu nggak pa-pa.” Dinda menarik buku itu kemudian menyerahkan kepada pria di depannya. Dinda tidak sadar dengan siapa ia sedang berbicara.
“Thanks.” Arya menerima buku itu dari Dinda. Gadis ini benar-benar tidak ingat dengan wajahnya. Ada rasa kecewa menggelayut di wajah Arya, baru kali ini ia diabaikan oleh seorang gadis.
Dinda kembali tenggelam dengan diktat di depannya, mengetik tuts keyboard laptopnya. Bibirnya terus membaca ulang kalimat di dalam diktat itu. Ia sedang berusaha mengingat semua hal yang dibacanya.
Empat jam berlalu, dan Dinda mulai membereskan mejanya. Ia mengembalikan buku-buku besar itu ke rak semula. Ada kuliah yang harus ia hadiri setelah ini, dan hari ini adalah jadwal presentasi mata kuliah yang diampu dosen manajemen, yang baru minggu lalu mengajar di kelasnya.
Di karenakan jumlah mahasiswa 21 maka hanya ada empat kelompok, yang masing-masing anggotanya berjumlah 5 orang, dan Dinda didaulat menjadi moderator. Presentasi terbagi dalam dua sesi.
Arya menyimak jalannya presentasi. Kedua netranya tidak lepas dari Dinda. Pikirannya justru melayang pada pertemuannya dengan kawan lama papanya, dua hari sebelumnya. Pembicaraan yang setengahnya masih tidak dimengerti olehnya. Apakah ia mewakili sang kakak atau pertemuan itu untuk dirinya sendiri?
Bagaimana jika menolak? Bagaimana jika hatinya sudah tertaut pada gadis lain?
Arya mengikuti jalannya presentasi dan mulai menilai masing-masing mahasiswanya, termasuk Dinda. Ia mengakui, jika Dinda adalah seorang mahasiswi yang cukup cerdas dan pandai menghidupkan suasana.
Arya berdiri memberikan applause-nya. Ia sangat menikmati presentasi hari ini, dan menurutnya apa yang disajikan masing-masing kelompok sudah bisa mewakili materi bab tiga. Mereka ternyata sudah memahami isi bab tersebut tanpa perlu ia jelaskan lagi.
Akan tetapi, Arya tetap memberi kesempatan jika masih ada yang memerlukan penjelasan lebih detil lagi. Lagi-lagi, kedua netra jatuh pada wajah cantik Dinda yang menatap ke arahnya dengan tatapan kosong. Apa gerangan yang sedang dipikirkan gadis itu sekarang?
“Untuk minggu depan, kelas saya liburkan dulu. Saya ada urusan ke luar kota. Saya akan mengirimkan tugas di grup. Kalian kerjakan dan kirim lewat link yang akan saya kirimkan sesuai jadwal mata kuliah saya.”
“Baik,Pak.”
Arya membereskan bukunya, dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Ada rapat di gedung rektorat dan ia sudah terlambat sekitar sepuluh menit. Dengan setengah berlari, Arya berjalan menuju parkiran.
Dilihatnya parkiran begitu padat, sedangkan mobilnya terparkir di tempat paling depan. Ia sudah cukup terlambat. Tanpa pikir panjang, Arya mendatangi sekelompok mahasiswa yang sedang duduk di depan taman kecil di samping parkiran mobil.
“Ini motor siapa?” tanyanya sambil melihat sebuah motor matic yang terparkir tepat di sebelahnya.
“Dinda, Pak.” Seno berdiri dari duduknya. Pemuda itu seperti tidak percaya jika dirinya sedang berbicara dengan dosen yang begitu fenomenal di mata cewek-cewek kampusnya.
“Saya pinjam dulu untuk ke rektorat. Saya sudah cukup telat untuk hadir rapat di sana.”
“Boleh, Pak. Silakan.” Seno memberi ijin tanpa sepengetahuan Dinda.
“Kamu miskol saya. Biar nanti saya bisa menghubungi kamu saat rapatnya sudah selesai.”
Sepeda motor matic itu meluncur cukup kencang membuat Seno menahan napas hingga bayangan sang dosen tak lagi terlihat olehnya.
“Gawat, Pak Arya. Doi jago balap juga ternyata.” Mereka berempat menatap kepergian Arya tanpa berkedip.
Keempat orang itu terkesima melihat gaya berkendara Arya, hingga akhirnya sebuah teriakan menyadarkan semua.
“Habis lu, No!” Yuda memukul lengan kanan Seno.
“Hah?”
“Ntar kalau Dinda nanyain motornya, gimana?”
"Mama!" Suara teriakan itu membuat Dinda menjadi sangat khawatir. Mengapa begitu keras teriakannya? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi? Jantung Dinda berdegup sangat kencang. Ia menggelengkan kepalanya.'Jangan-Jangan Tuhan! Jangan biarkan apa yang kami takutkan menjadi nyata. Kami belum siap. Apalagi Mita. Tolong kabulkan ya Tuhan..." Dinda memejamkan kedua netranya. Perasaan takut menyergapnya. Takut jika semua menjadi lebih buruk.Dinda merasa tubuhnya digoyang sedemikian rupa. Goncangannya begitu hebat. Kepalanya terasa sangat pusing."Mama!" Dahi Dinda berkerut. 'Mengapa suaranya terdengar dekat sekali?' "Mama! Bangun, Ma! Biyan lapel. Ayo, kita beli sate, Ma! Ayo, Ma!"Dinda terkejut. Ia langsung terbangun. Yang pertama kali ia lihat adalah wajah tampan putra semata wayangnya. "Brilian?" tanyanya bingung. Dinda menyapu pandangannya dan menemukan wajah Arya yang menatapnya begitu dalam. Pria itu tampak penasaran."Mimpi apa kamu, sampai berlinang air mata segala?" "Eh?" D
"Pa ..." Mita menatap kepergian Chandra yang berjalan menuju ruang dokter yang merawat Susan. Ada rasa sesak membuncah di dalam hatinya. Rasa penyesalan yang tiada habisnya. Selama ia hidup dan bernapas, hanya sekitar lima tahun dirinya menghabiskan waktu bersama Susan.Kenangan demi kenangan hadir memenuhi benak Mita. Lima tahun berlalu dengan kenangan manis tapi hanya lima tahun. Sejak ia masuk taman kanak-kanak, hidupnya diserahkan kepada pengasuhnya. Susan dan Chandra sibuk dengan perusahaan masing-masing. Alasannya adalah alasan klasik, demi masa depannya mereka harus bekerja keras.Mita menghela napas. Bulir-bulir air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya, kembali diseka oleh Fahri. Pria itu seakan paham jika sang istri butuh waktu sendiri. Ia sengaja membiarkan Mita meluapkan perasaannya. Tangan kanannya tidak jauh dari punggung Mita. Menyalurkan perasaan hangat agar Mita tidak merasa sendiri."M-Mas ha-haus nggak?" Tiba-tiba Mita mengangkat kepalanya, menatap Fahri dengan
"Mama masuk rumah sakit?" Mita nyaris membiarkan Fahriza jatuh dari pelukannya.Fahri langsung menghampiri Mita yang mendadak jadi linglung. "Buruan ganti baju. Kita ke rumah sakit sekarang. Papa Chandra sendirian." Fahriza berusaha memahami apa yang terjadi. Mamanya yang tba-tiba menjadi linglung dan papanya yang bergerak ke sana kemari menyiapkan pakaian untuk sang mama. "Papa ...' Fahriza akhirnya memberanikan diri untuk bertanya."Hmm. Papa belum bisa ajak Iza. Biar papa dan mama lihat keadaaan nenek dulu. Besok mungkin Iza baru bisa ikut ke rumah sakit."Nenek sakit?"Fahri mengangguk lalu mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Doain nenek cepat sehat kembali, biar kita bisa berlibur bersama-sama.""Iya, Pa. Iza akan doain nenek bial cepet sembuh.""Anak pintar." Fahri mengajak putrinya untuk ke lantai bawah, menitipkannya pada Dinda dan Arya."Saya titip bocah ini dulu. Om Chandra di rumah sakit.""Eh?! Om Chandra? Sakit apa? Kok mendadak sekali? Bukannya kemarin baik-baik aj
Wanita yang keluar dari mobil Dani terlihat sangat cantik. Mita dibuat kagum hingga ia melupakan es teler pesanannya yang sudah selesai disiapkan. Gestur tubuh wanita itu sangat dikenalnya. Tapi, tunggu dulu. Mengapa pakaian wanita itu agak aneh? Kedua alis Mita terangkat.Ia melangkah meninggalkan tenda milik Ahmad. Menyeberang sambil terus mengamati gerak-gerik wanita cantk yang kini jaraknya tinggal beberapa langkah darinya. Dani yang mengenali sosok Mita yang mendekat, menatap tajam ke arah Mita. "Ngapain ke sini? Bukannya jalan-jalan ke mall?" tegur Dani setengah emosi."Eh? Elu. Ngapain ke sini? Gua kira siapa? Beli apaan? Kenapa nggak telpon gua aja?" Mita menghiraukan teguran Dani yang tampaknya tidak ikhlas mengorbankan waktunya hanya untuk jajan di warung tenda seperti ini.Dinda mendelik kesal. "Lu bilang kenapa nggak telpon elu? Gimana gua mau telpon, kalau hape lu aja lu tinggal! Tuh, Fahriza nangis di rumah. Dia minta emaknya. Untung bujukan Dani mempan, bikin dia ngga
"Lu liat suami gua nggak, Din?""Nggak. Emang suami lu hilang? Dari tadi gua di kamar sama bapaknya Brilian." Dinda berjalan mendekat ke arah Mita yang sudah rapi. "Lu mau kemana? Rapi amat?" Dinda menatap Mita dari atas ke bawah. "Kek anak ABG aja, lu?"Mita hanya menyengir kuda. "Gua kan mau jalan-jalan.""Sama siapa?""Ya sama suami gua lah. Sama siapa lagi?""Naik apaan? Becak?"Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang begitu panjang. Sepertinya klakson itu ditekan oleh orang yang menahan kekesalan luar biasa. Dinda menahan tawa."Tuh suami lu udah mulai ngamuk. Lu kelamaan yang dandan.""Ya ampun! Kenapa gua bisa lupa?!" Mita bergegas meninggalkan kamar Arya, dan menuruni anak tangga dengan tergesa, sampai-sampai membuat Anggun berteriak kaget."Mengapa harus pake lari-lari segala? Nanti kalau kamu jatuh gimana?" Suara Anggun yang tidak biasa membuat Mita terkejut. Sisi sensitifnya sebagai ibu hamil muncul. Wajahnya pucat, dan air mata mulai menggenangi kedua netranya. "M-M
Kehamilan Mita yang kedua ini cukup membuat Fahri pusing tujuh keliling. Tidak seperti saat hamil Fahriza. Mita menjadi begitu rewel, suka uring-uringan sendiri, menjadi sangat perfeksionis dan sangat sensitif. Apapun yang dilakukan Fahri selalu salah. Kerja salah, diam pun salah. Pulang awal salah, tak pulang lebih salah lagi. Fahri dibuat frustasi karenanya."Ma!" panggil Fahri suatu hari ketika Anggun sedang sibuk mengiris bolu yang baru saja keluar dari oven."Ada apa? Kamu mau kopi? Mama belum bikin.""Bukan.""Lalu apa? Teh? Cappucino? Wedang jahe? Wedan uwuh?" Anggun menatap Fahri bingung. "Fahri mau pergi keluar provinsi untuk satu bulan." Wajah Fahri begitu suntuk. Ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Mita yang semakin menjadi."Ada urusan bisnis? Kenapa mendadak sekali?" Anggun melirik curiga."Kepala Fahri pusing kalau lama-lama ada di rumah ini." Pria itu mengambil satu potong bolu yang sudah dipotong Anggun, dan langsung mengunyahnya sampai tidak bersisa.Anggun tertaw