Share

5. Gara-gara Motor

last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-10 12:51:42

Dinda terpaksa menunggu kedatangan Seno. Seno mengaku sedang membeli rokok di warung depan kampus saat ditelpon Dinda. Setengah jam berlalu, tapi batang hidung Seno belum juga tampak. Dinda mulai uring-uringan. Ia sendirian di kampus. Mita sudah pulang lebih dulu karena harus mengantarkan mamanya berobat.

Dinda kembali mencoba menghubungi Seno, setelah tujuh kali panggilannya ditolak. Kali ini, nada sambung terdengar cukup lama.

“Halo.” Akhirnya terdengar suara di ujung sana, akan tetapi suara yang terdengar bukanlah suara Seno.

“Ha-lo?” Dinda menjadi ragu-ragu. Ia kembali melihat nomor yang ia hubungi. Namanya tidak berubah. Tetaplah Seno sahabatnya, tapi mengapa suaranya lain? Apakah telah terjadi sesuatu pada sahabatnya? Apakah Seno telah mengalami kecelakaan dan sekarang yang menjawab telponnya adalah orang yang sedang berusaha menolong Seno?

“Iya, halo.” Suara itu benar-benar terdengar asing di telinga Dinda. 'Apakah Seno baik-baik saja? Apakah ini orang lain? Atau …' Dinda tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Otaknya heng seketika.

“Sedang mencari siapa?” Arya sengaja bersikap seolah tidak tahu maksud pertanyaan Dinda. Mendengar suara Dinda yang begitu lembut di telpon, membuatnya ingin berlama-lama mendengar suara gadis itu.

“Anu- Itu- Kamu siapa?” Dinda akhirnya tidak dapat menahan kesabarannya. “Apa teman saya baik-baik saja? Tolong kirim lokasi biar saya segera meluncur ke sana.” Perasaan Dinda sangat kacau. Apa yang akan ia katakan pada orang tua Seno jika sampai bocah itu mengalami kecelakaan.

“Teman? Apakah kamu pemilik motor V***a putih?”

Dinda menganggukkan kepalanya dengan cepat, lupa jika mereka tidak saling berhadapan.

“Bukan?” suara di ujung meminta penegasan.

“I-I-Iya. Itu motor saya. Katakan ada dimana? Teman saya – Apakah dia terluka parah?”

Ingin rasanya Arya tertawa keras, tapi ia berusaha dengan keras untuk menahannya.

“Temanmu sedang bersembunyi. Dia takut denganmu, karena sudah menjadi teman yang tidak amanah.”

“Mak-Maksudnya?” Dinda menjadi semakin bingung. 

“Kamu tahu? Ia menawarkan motor ini kepada saya dengan harga yang sangat murah.” Arya semakin menjadi-jadi. Ia  enggan berhenti menggoda Dinda.

“APAAAA!!!!” Teriak Dinda begitu keras, membuat Arya segera menjatuhkan ponselnya. Telinganya menjadi pekak seketika.

‘Sialan! Gadis ini suaranya menggelegar sekali’, gumam Arya langsung cepat-cepat memungut kembali ponselnya.

Panggilan itu terhenti. Dinda menatap kesal layar ponselnya yang kini berwarna hitam. Ia kembali mencoba menghubungi Seno, tapi panggilan dari nomor asing lebih dulu masuk ke ponselnya.

“Dinda?” suara di sana menyapa telinga Dinda yang masih emosi mendengar penjelasan orang asing yang berbicara di ponsel Seno.

“IYA. ADA APA?!” Suara Dinda kini terdengar begitu galak. “Kamu siapa?”

“Saya akan mengantarkan motormu. Tetap di  tempat kamu berada sekarang. Jangan pindah sejengkal pun.”

“Tapi –“

Telpon itu telah mati. Dinda berdecak kesal. Ia menyebut nama Seno berulang kali dengan penuh amarah. “Apa yang sebenarnya  terjadi dengan motor gua?”

Dinda mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk. Sebuah cahaya berwarna terang menyoroti wajahnya, membuatnya harus sedikit menyipitkan netranya agar dapat mengenali si pengendara.

Sekian menit berikutnya, motor itu sudah berhenti tepat di hadapannya. Dinda ternganga begitu melihat sosok yang tengah turun dari motornya.

‘Bukannya itu dosen baru yang pernah gua ajak ….’ Dinda tidak meneruskan kalimatnya.

“Terima kasih atas pinjamannya.” Arya memberikan kunci motor kepada Dinda yang masih duduk tercengang menatap ke arahnya.

“Bagai-mana bisa … Mengapa bisa?” tanya Dinda tak habis pikir.

“Saya tadi terlambat datang rapat di rektorat. Begitu melihat motor ini, saya langsung meminjam tanpa bertanya dulu siapa pemiliknya. Terima kasih ya… Bensinnya sudah diisi full.”

Arya meninggalkan Dinda yang masih duduk terdiam, menatap punggungnya yang mulai menjauh dari tempat Dinda berada. Arya berjalan sambil bersiul riang. Mimpi apa dia semalam hingga bisa berbicara dengan gadis yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya.

-0-

Dinda berguling ke sana kemari di atas kasurnya. Ia masih tidak percaya jika dirinya hari ini berbicara empat mata dengan pria tampan yang tempo hari ia ajak menikah.

“Emak-Emak!!!  Semoga tuh dosen nggak  ingat kalau  gua yang kemarin teriak-teriak  ngajakin dia nikah.” Dinda menutupi wajahnya dengan bantal. “Aaaargh! Kenapa sih ini mulut sembarangan aja kalau ngomong? Kalau udah begini, siapa coba yang susah? Kan gua juga jadinya yang menanggung malu.”

Dinda menjauhkan bantal yang sebelumnya ia letakkan di wajah. Ia kini menatap langit-langit kamarnya. Wajah sang dosen tiba-tiba tergambar jelas di sana. Tiba-tiba wajahnya terasa panas. Ia mendadak merasa malu.

Bukankah Mita kemarin mengatakan jika dosen tampan itu masuk dalam tim penguji yang mengujinya tempo hari? Mengapa dirinya bisa tidak menyadarinya? Orang setampan itu luput dari penglihatannya? Apa yang sedang dia pikirkan waktu itu? Bukankah itu berarti dosen tampan itu juga mengajukan pertanyaan padanya?   

‘Oh, Tuhan. Malu  gua. Satu-satunya yang nggak lulus sidang, dan dosen tampan itu pasti menyaksikan semua prosesnya.’ gumam Dinda pada dirinya sendiri. ‘Tidak!!!’ Lagi-lagi, Dinda menenggelamkan wajahnya di bantal.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan di pintu kamar mengejutkan Dinda. Ia segera bangun dan buru-buru membuka pintu kamar.

“Ada apa, Ma?”

“Astaga, Nak! Ada apa dengan rambut kamu? Mengapa mengembang kaku begitu?” Sari terkejut melihat penampilan putrinya.

“Nggak kenapa-kenapa, Ma. Ada apa, Ma? Perlu bantuan Dinda?” Dinda segera merapikan rambut ala kadarnya.

“Mama mau pergi ke salon. Ada undangan nikahan nanti malam. Kamu bisa kan nganterin mama ke salon?”

“Nggak bisa dandan sendiri ya, Ma?”

“Mama lagi pengen pake sanggul, jadi harus ke salon. Ntar make up pake sendiri.”

“Oh, cuma nyanggulin rambut. Oke deh, tapi Dinda mandi bentar ya, Ma. Gerah banget soalnya.”

-0-

Sedan putih perlahan memasuki area parkir salon langganan keluarga Broto. Sari keluar lebih dulu sedangkan Dinda memarkir mobil. Di luar perkiraan, salon itu ternyata cukup ramai. Untungnya, Sari sudah membuat janji jadi masih ada waktu cukup untuk berdandan di rumah.

Saat Dinda menjejakkan kakinya di lantai marmer berwarna putih, ia seperti menangkap bayangan seseorang, yang membuat detak jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Kepalanya berulang kali menggeleng, menolak kenyataan.

Sayangnya, kenyataan adalah sesuatu yang tidak dapat Dinda pungkiri. Ia melihat sang mama sedang berbincang dengan seorang wanita cantik, seumuran Sari, dengan seorang pria muda di samping mereka. Pria itu tersenyum lepas, sambil menggaruk kepalanya.

Sari mencari-cari putri semata wayangnya. Ketika sosok yang ia cari sedang terpaku melihat ke arahnya, Sari langsung melambaikan tangannya.

“Dinda…”

Pria yang tadi tersenyum lepas langsung terkejut mendengar nama itu. Netranya mengikuti ke arah mana wanita cantik itu melambaikan tangannya.

‘Bukankah itu …”

Kedua orang muda itu sontak menatap satu sama lain.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 29

    Kehamilan Mita yang kedua ini cukup membuat Fahri pusing tujuh keliling. Tidak seperti saat hamil Fahriza. Mita menjadi begitu rewel, suka uring-uringan sendiri, menjadi sangat perfeksionis dan sangat sensitif. Apapun yang dilakukan Fahri selalu salah. Kerja salah, diam pun salah. Pulang awal salah, tak pulang lebih salah lagi. Fahri dibuat frustasi karenanya."Ma!" panggil Fahri suatu hari ketika Anggun sedang sibuk mengiris bolu yang baru saja keluar dari oven."Ada apa? Kamu mau kopi? Mama belum bikin.""Bukan.""Lalu apa? Teh? Cappucino? Wedang jahe? Wedan uwuh?" Anggun menatap Fahri bingung. "Fahri mau pergi keluar provinsi untuk satu bulan." Wajah Fahri begitu suntuk. Ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Mita yang semakin menjadi."Ada urusan bisnis? Kenapa mendadak sekali?" Anggun melirik curiga."Kepala Fahri pusing kalau lama-lama ada di rumah ini." Pria itu mengambil satu potong bolu yang sudah dipotong Anggun, dan langsung mengunyahnya sampai tidak bersisa.Anggun tertaw

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 28

    "Papa lagi ngapain?" Suara imut Brilian mengejutkan Arya, dan Dinda. "Sudah selesai mainnya?" Arya justru bertanya balik pada Brilian."Belum. Tadi kaget denger Nenek Angkyun teyiak sampek bangunannya yoboh cemua." Bibir mungil Brilian maju mundur memancing tawa Dinda."Memang kenapa Nenek Angkyun teyiak, Pa?""Nggak ada apa-apa. Nenek sedang bahagia karena dapat hadiah istimewa dari Tante Mita dan Om Fahri.'"Hadiah? Nenek kan beyum uyang taun?""Minggu depan. Nenek ulang tahunnya minggu depan. Brilian mau kasih kado apa?" Arya menggendong Brilian, membawanya pergi dari dapur menuju kamar tamu, untuk meneruskan permainannya.Dinda membiarkan Arya menemani Brilian. Dia justru kembali ke ruang makan tempat semua orang masih berkumpul. Wajah semua orang gembira tak terkecuali orang tuanya. Mereka, Broto dan Sari, tidak terganggu dengan berita kehamilan Mita. Setidaknya, Dinda tidak melihat perasaan iri di wajah Sari karena Mita justru lebih dulu memberi cucu kedua untuk Anggun."Ma," p

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 27

    "Kenapa lu nggak kasih tahu gua kalau Fahriza sebentar lagi punya adek?" Dinda menatap tajam Mita. Dia mengulangi pertanyaan untuk kedua kali karena Mita justru diam membisu. Tubuh Mita membeku. Tidak bergerak sama sekali."Lu ngomong apa?" Mita akhirnya memutar badannya, kembali menghadap Dinda. "Gua aja nggak tahu bakalan kasih adek ke Fahriza atau nggak?""Maksud? Lu nggak yakin kalau lu hamil lagi? Test pack-nya error? Keakuratannya dibawah 99%? Udah tahu gitu kenapa lu beli?" Dinda justru semakin menjadi uring-uringan."Itu-Nggak ada hubungannya dengan test pack.""Ya jelas, ada-lah. Kalau tanda kasat mata aja udah jelas, alat bukti berikutnya adalah test pack. Kalau dia error berarti lu kudu ganti dengan yang kualitasnya lebih bagus atau lu langsung pergi ke obgyn. Masa gitu aja lu kagak tau, Mit?" "Bu-bukan begitu." Mita jadi kikuk. Dia seperti maling yang tertangkap basah. Tidak punya alasan untuk berkelit dari kenyataan di depannya. Dinda terlalu kritis untuk hal ini. Instin

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 26

    Arya dan Dinda benar-benar memanfatkan waktu yang ada. Namun, kebersamaan mereka itu tidak berlangsung lama, tidak sejalan dengan keinginan Arya yang masih ingin terus menikmati waktu bersama Dinda. Dering ponsel yang tidak kunjung berhenti, membuatnya harus rela mengakhiri kegiatan mereka."Halo?" sapa Arya malas. Ia harus menelan kekecewaannya bulat-bulat."Papa! Kapan ke rumah Nenek Angkun?" Suara imut Brilian menyapu indera dengar Arya. Kekesalannya lenyap seketika. Arya tersenyum lebar. Alih-alih menjawab pertanyaan Brilian, Arya justru melabuhkan kecupan dalam di bibir Dinda. "Kita lanjutkan nanti malam di rumah sana, ya?" bisik Arya sangat lembut.Dinda hanya mengangguk pasrah lalu memberi kode agar dirinya juga bisa ikut mendengarkan suara putra semata wayang mereka."Halo, Sayang. Sebentar lagi papa sama mama ke sana. Papa baru pulang dari kantor." Hanya itu yang bisa Arya sampaikan sebagai alasan keterlambatannya menyusul Brilian."Oh, oke. Jangan lupa bawa kolaknya ya, Pa.

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 25

    Indra meninggalkan perpus dengan langkah ringan. Apa yang diinginkannya terjadi begitu saja. Seperti air yang mengalir tanpa ia harus bekerja keras. Mungkinkah semua akan berjalan lancar, yang artinya, semesta mendukung niatnya?Sebuah panggilan masuk ke ponsel Indra."Besok hadir'kan?" Suara seorang perempuan di ujung sana membuat Indra mengangguk mantap."Diusahakan. Kalau nggak hujan juga, sih. Hujan deras maksudnya.""Kalaupun hujan deras, pake payung atau mantol kan juga bisa. Pokoknya kamu besok wajib, harus, kudu dateng! Titik nggak ada koma!""Ya, Bu Bos.""Awas kalau telat!"Indra terkekeh pelan. Ponselnya kembali gelap, dan dia melangkah ringan menuju ruangannya. Bayangan reuni akbar seketika hadir di benaknya. Sosok gadis yang baru saja ia temui di perpus rektorat sangat ia harapkan kehadirannya. Mungkin saja, di acara itu takdir yang selama ini dinantikan Indra, berpihak padanya dan mewujudkan semua asanya menjadi nyata.Indra melupakan percakapan dengan kawan lama yang me

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 24

    "Adek bayi belinya di-mmph..." Mita dengan cepat membungkam Fahri dengan sesuap nasi lengkap dengan potongan ikan bakar."Keburu adem nanti ikannya. Dah-lah kita makan dulu," ucap Mita yang sama sekali tidak merasa bersalah dengan aksinya. Ia memang sengaja melakukan itu agar pembicaraan ini tidak melebar kemana-mana.Baik Dinda, Arya maupun dua bocah kecil di belakang Dinda terdiam melihat kejadian itu. Gerakan Mita sangat cepat hingga membuat semua orang terperangah."Kenapa pada bengong? Ayuk dimakan makanannya. Kalau dingin udah nggak nikmat lagi." Kebetulan pramusaji datang membawa pesanan Dinda. Mita membuat dirinya sibuk dengan membagikan piring, agar pembicaraan soal bayi-bayian tidak lagi berlanjut.Dinda bergeming. Ia sepertinya menangkap keresahan dan kebingungan Mita. Ada sesuatu yang disembunyikan Mita dari mereka. Ingin rasanya Dinda mendekat ke arah Mita. Akan tetapi, melihat kondisi yang seperti ini, Dinda mengurungkan niatnya. Lebih baik ia mencari waktu yang pas u

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 23

    "Kalau ini gimana?" Fahri menyerahkan sebuah amplop putih seukuran foto 4R. Amplop itu tidak dilem, hingga siapa saja bisa membuka dan membaca isi kertas di dalamnya. Mita sontak mematung. Kedua netra berkedip berulang kali. Ia terus saja menatap amplop putih itu baru kemudian menatap Fahri."Did I miss something?" Fahri menatap wajah istrinya tanpa berkedip. Ada rasa aneh yang menyelinap ke dalam hatinya sejak ia menemukan amplop itu di bawah kasur, tepatnya di bawah sisi samping kasur mereka. Nama dokter obgyn yang tertera di pojok kiri amplop membuatnya mulai memimpikan kehadiran kembali sosok mungil di tengah-tengah mereka. Sekuat tenaga ia menahan rasa penasarannya. Ia mengamati Mita secara diam-diam. Mungkinkah amplop itu milik Mita? Hingga kemarin pagi ia memberanikan diri membaca isi kertas dalam amplop itu.Jadwal konsultasi yang tertera di kertas itu semakin membuat Fahri penasaran. Melihat bagaimana Mita selama mereka menikah tidak membuat dirinya yakin seratus persen, ka

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 22

    Indra menghentikan mobilnya sesaat ketika seorang wanita cantik keluar dari mobil sedan berwarna putih. Mobil itu yang baru saja berhenti di pelataran parkir depan kampus ekonomi. Ia tertegun sejenak. Ada rasa deg-deg-an yang perlahan merambat dalam hatinya. Hatinya mulai berdesir. Raut wajah wanita sangat mirip dengan sosok yang terus terbayang dalam ingatannya."Dinda? Itu beneran Dinda?" Indra mematikan mesinnya. Ia hendak keluar dari mobil. Akan tetapi, ponselnya kembali berdering, mengirim sinyal jika kehadirannya sudah ditunggu oleh banyak orang."Iya. Sebentar lagi saya sampai. Persiapkan dulu buku tugasnya. Saya akan langsung ke kelas." Indra buru-buru kembali menyalakan mesin mobilnya, lalu menginjak gas, membiarkan mobil hitamnya meninggalkan pelataran depan kampus fakultas ekonomi. Indra berharap dapat melupakan sejenak wanita yang begitu mirip dengan gadis yang beberapa tahun ini selalu muncul dalam pikirannya. Ia berjalan dengan langkah kelas menuju ruang bahasa. Kelas s

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 21

    Pintu kamar mandi itu tertutup rapat. Sudah hampir satu jam, Mita berada di kamar itu. Bukan tanpa alasan ia berlama-lama di sana. Kecurigaan Dinda beberapa hari lalu berhasil mengganggu pikirannya. Penolakannya terhadap pertanyaan Dinda justru mendatangkan keraguan dalam dirinya.Mita pagi hari tadi menyempatkan diri pergi ke apotek. Ia mulai merasa terganggu. Namun, akal sehatnya masih sama. Tidak mungkin kecurigaan Dinda itu benar. Demi menghilangkan rasa penasaran yang mulai menghinggapi hatinya, Mita membeli testpack. Itulah mengapa ia menolak ajakan Dinda untuk menemani sahabatnya itu ke kampus.Dan kini, Mita terpaku pada benda kecil di tangan kanannya. Kecepatan jantungnya mulai bertambah seiring dengan waktu. Kedua netranya menatap serius ke lapisan being yang berada di tengah. Tangannya diam tak bergerak sedikitpun.Ia menahan napas ketika semburat warna mulai tampak di sana. Perlahan tapi pasti, warna putih di bawah lapisan bening itu mulai berubah. Satu warna perlahan mu

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status