Home / Romansa / Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing / 3. Dinda-ku Sayang, Dinda-ku Malang

Share

3. Dinda-ku Sayang, Dinda-ku Malang

last update Huling Na-update: 2024-01-10 12:51:23

Dinda duduk terpengkur di meja perpus. Kepalanya benar-benar pusing. Jadwal sidang skripsi diundur tiga bulan. Itu artinya, ia harus menambah satu semester lagi. Gadis itu mengacak-acak poninya, lalu meniupnya ke atas. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan.

Apa yang akan ia lakukan selama satu semester itu? Masa iya dirinya melewatkan satu semester hanya  untuk menunggu sidang skripsi? Sekian juta dikeluarkan hanya untuk sidang skripsi? Benar-benar sebuah pemborosan.

Teringat kenyataan satu bulan yang lalu, bahwa dirinya tidak lulus sidang untuk yang kedua kali, dan semua itu karena dosen pembimbingnya sendiri yang memberi nilai D, membuat Dinda kembali kesal. Ingin rasanya ia menarik konde sang dosen lepas dari tempatnya, lalu mencaci maki, mengirim sumpah serapah semua hewan yang ada di kebun binatang Ragunan.

“Sabar.” Sebuah tepukan kecil di pundaknya, membuat Dinda segera mendongakkan kepalanya. Perasaan Dinda tidak enak.

“Ape lu?!!!” tanya Dinda sengit. Ia melihat rivalnya sudah berdiri di samping mejanya. Sebenarnya, Dinda tidak pernah menganggap gadis cantik di depannya sebagai rival, hanya saja karena gadis itu selalu saja mencari gara-gara dengannya, setiap kali mereka berpapasan dan setiap kali mereka bertemu saat berkonsultasi dengan dosen yang sama. Mega Sandrina.

“Ntar juga lu lulus. Meski bisa jadi, lu baru lulus setelah gua nikah ma direktur kaya raya,” ejek Mona sambil tertawa puas. Ia bersama dengan geng centilnya, beramai-ramai mengolok-olok Dinda.

Dinda menatap mereka dengan tatapan malas. Ia sedang malas meladeni gitar-gitar spanyol tanpa senar di depannya, yang sama sekali tidak seksi menurutnya.

“Eh, lu. Udah nggak jamannya kali mahasiswa bergaya kek anak kecil begini. Emang siapa yang mau nikahin elu? Badan lu aja full oplas semua. Dinda  dong masih orisinil.” Tiba-tiba Mita sudah berdiri di belakang Dinda.

"Luuu...!" Mona mengepalkan kedua tangannya. 

Disindir sedemikian rupa oleh Mita, membuat Mona tidak dapat membalas panjang lebar, karena itu memang kenyataannya. Ia meninggalkan Dinda dan Mita, diikuti geng-nya, sambil menahan malu teramat sangat.

“Noh! Rasain lu! Mentang-mentang udah lulus sidang. Gua yakin, Din. Seribu seratus sebelas persen yakin. Dia lulus bukan karena bisa menjawab semua pertanyaan penguji, tapi pasti udah nyuap ketua tim dengan bodi palsunya itu.” Mita menjatuhkan tubuhnya di kursi seberang Dinda.

“Hussh! Ngomong yang bener. Jangan asal tuduh begitu.” Dinda kembali meletakkan kepalanya di atas meja. 

“Dibilangin kagak percaya lu sama gua.”

“Beneran??” Dinda membulatkan kedua netranya.

“Kalau lu berani, tanya ma Pak Arya  noh. Doi pasti sudah pernah disamperin sama Si Mon-Mon itu.”

“Pak Arya? Pak Arya yang mana?”

“Tsk. Lu sekarang kenapa lemah ingatan banget sih, Din? Pak Arya. Pak Arya. Pak Arya yang tempo hari lu ajakin nikah, pas kita papasan di depan kampus!”

“Whats!!!  Dia???! Masa iya?! Mengapa seleranya nggak berkelas begitu? Nggak jadi deh kalau gitu. Ternyata dia sudah nggak perjaka lagi.” Dinda langsung mengangkat kepalanya.

Percakapan kedua makhluk Tuhan ini makin ke sini makin kacau. Untungnya, perpus masih sangat sepi. Hanya ada mereka berdua.

Setelah berdiskusi dengan Mita, Dinda akhirnya memutuskan untuk mengulang mata kuliah yang membuatnya tidak lulus dalam sidang skripsi. Mungkin ia harus memperdalam manajemen komunikasi, yang semester ini diampu oleh Pak Hasan, ketua tim pengujinya, yang sebelumnya diampu oleh Mega Sandrina, dosen pembimbingnya.

-0-

Siang itu, Mita dan  Dinda mengentri mata kuliah yang akan mereka ambil, semester sembilan ini. Mita sendiri memang masih harus mengulang beberapa mata kuliah karena nilai yang begitu mepet. Salah satunya, mata kuliah yang diambil Dinda.

“Semoga beneran ganti dosennya. Pak Hasan seratus kali lebih baik dari sebelumnya. Ah, dia yang namanya malas aku sebutkan,” ujar Dinda penuh harap.

Mita sontak terpingkal-pingkal mendengar ujung kalimat Dinda. “Emang Voldemort?”

“Sebelas dua belas. Bedanya, dia woman aja.”

Tawa Mita semakin keras. Mereka tidak tahu jika  ada perubahan lagi untuk kedua kalinya.

Di sisi lain, di  sayap kanan gedung utama fakultas ekonomi, tepatnya di bagian administrasi, bunyi mesin printer sedang memenuhi ruangan, mencetak jadwal perkuliahan yang baru, lengkap dengan nama dosen pengampu.

-0-

“Ma.” Arya mendatangi wanita berkacamata yang tengah membaca sebuah surat undangan pernikahan yang baru saja diterima dari satpam perumahan.

“Ada apa?”

“Soal yang kemarin ….”

“Mmm.”

“Itu beneran?”

“Memang terlihat seperti gurauan?”

“Bukan begitu, Ma. Sekarang kan bukan jamannya Siti Nurbaya lagi. Jumlah populasi cewek cantik juga sudah melesat tajam. Berbagai pilihan ada di depan mata. Mengapa harus lewat jalur ini, gitu loh?”

“Nah. Mengapa kamu belum juga membawa calon istri ke hadapan mama sama  papa?”  Wanita berwajah putih bersih itu menatap tajam Arya.

“Belum ketemu, Ma.”

“Makanya. daripada kelamaan, mending mama dan papa aja yang mencarikan buat kamu sama kakak kamu.”

“Kakak aja.” Arya berusaha menyelamatkan dirinya.

“Ya, kamu juga.”

“Arya entar cari sendiri, Ma.”

Kali ini, wanita bernama Anggun itu meletakkan undangan di tangannya ke atas meja makan. “Dari dulu juga ngomong begitu, tapi sampai sekarang mana orangnya?”

Arya berdecak kesal. “Yah, Mama. Nyari istri itu kan nggak boleh sembarangan. Harus hati-hati.”

“Oleh karena itu, lebih baik Mama yang carikan. Udah. Percaya aja sama Mama. Kamu pasti nggak akan nolak. Kalau kamu keberatan, ya biar nanti buat kakak kamu aja.”

Arya tidak lagi bersuara. Pikirannya justru berlabuh pada sosok gadis di kampusnya. Seandainya gadis itu adalah dia. Angan Arya berharap banyak.

“Besok kamu tetap harus datang menemui Om Broto. Papa sudah menghubunginya minggu lalu.”

-0-

“Pa,” panggil Sari ketika menyambut kedatangan Broto dari kantor.

“Ada apa, Ma?” Broto melepas kedua sepatunya lalu duduk sejenak di kursi teras.

“Papa beneran dengan rencana itu? Dinda masih kecil, loh?” Sari membawa tas kerja Broto ke pangkuannya.

“Mama ini gimana. Kemarin katanya setuju, sekarang malah bingung sendiri. Usia Dinda tahun ini sudah 23 tahun. Kecil itu, kalau dia baru lulus SMP. Sebentar lagi kan, anak mama itu jadi sarjana. Sudah pantas untuk menikah.”

“Kalau tunangan dulu bagaimana?”

Broto langsung menggelengkan kepalanya. “Dalam ajaran agama kita, tidak mengenal istilah tunangan. Jika cocok dan sama-sama setuju, lebih baik disegerakan atau justru tidak sama sekali.”

Sari tidak lagi melanjutkan pembicaraan itu. Suaminya itu, jika sudah mengambil keputusan tidak bisa dirubah lagi. Rayuan macam apa pun tidak akan mempan.

Ah. Dinda-ku sayang, Dinda-ku malang.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 38

    Dani hanya bisa tersenyum pahit. Bukannya dirinya tidak mau membina rumah tangga, tapi memilih pasangan hidup tidak semudah membeli cabai di pasar. Cabai saja harus dipilih mana yang bagus dan mana yang tidak, apalagi pasangan hidup yang akan menemani kita dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, tiga puluh hari sebulan terkadang lebih satu hari.Arya yang hendak mendekat ke tempat dimana Dinda duduk, diam sejenak tidak melanjutkan langkahnya. Pria itu sudah memperhatikan Dani sejak kakak iparnya itu datang. Wajah Dani yang terlihat suntuk menarik perhatiannya.“Mau cari kopi. Ikut?” ajak Arya. Ia sangat paham. Perbincangan antara laki-laki biasanya akan mengalir lewat secangkir kopi. Maka dari itu, agar Dani bersedia cerita tentang kesulitan yang dihadapinya tanpa harus dipaksa bercerita, Arya mengajak pria muda yang dua tahun lebih muda darinya, berjalan ke kafe sebelah.“Boleh.” Dani langsung mengikuti Arya dari belakang.“Sedikit gerah. Mungkin nanti dicampur sedikit susu

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 37

    "Cukup!" Sari tidak ingin lagi mendengar kelanjutan kalimat Dani. Dani terkejut mendengar suara Sari. Tidak pernah mamanya itu berkata dengan nada tinggi dan keras seperti barusan. Nyali Dani menciut."Kamu harus melihat bibit, bebet dan bobot. Mama tidak mau rumah tanggamu berantakan dalam hitungan waktu hanya karena salah memilih pendamping."Dani diam terpengkur."Jangan karena penilaian orang atau sindiran orang, kamu jadi mencari pendamping secara asal-asalan. Yang menikah itu kamu bukan mereka.""Tapi, Ma, bukannya akan sama saja jika Dani dijodohkan dengan pilihan mama dan papa?""Beda. Mama dan papa pasti memperhatikan latar belakang kehidupan gadis yang akan mama jodohkan sama kamu. Sama seperti adikmu dulu. Yang jelas dia harus berasal dari keluarga baik-baik. Jika dia berasal dari keluarga yang bercerai di tengah jalan, maka kami sebagai orang tua-mu akan memastikan bagaimana dia tumbuh dan berkembang. Tidak asal-asalan.""Bagaimana jika dia berasal dari keluarga korban K

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 36

    Mendengar ucapan Mita, Sandra sontak meilhat ke arah perut putri tunggalnya. Ia memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan, tapi perut Mita masih terlihat sama seperti perut Dinda. Tidak ada yang berbeda. "Kamu hamil lagi?" Suara Sandra terdengar ragu-ragu. Ada rasa senang dan bahagia tapi, keraguan datang tiba-tiba, membuatnya tidak yakin dengan berita yang disampaikan putrinya sendiri.Mita mengangguk. "Nggak direncanakan kok, Ma." Mita jadi tidak yakin mamanya itu bahagia dengan berita ini. Berbanding terbalik dengan Chandra, sang papa. Sambutan yang diberikan Sandra tidak seperti bayangannya."Berapa bulan?" Sandra bertanya sambil terus memperhatikan perut Mita."Hmm, lupa, Ma." Mita mendadak gugup dengan sikap Sandra yang demikian"Lupa? Gimana sih kamu ini? Hamil kok bisa lupa usia kandungannya?" Mita syok dengan sikap Sandra. Apakah mamanya tidak suka punya banyak cucu? Apakah mamanya tidak akan mengakui anak keduanya?"Kalau dibawah lima bulan berarti belum bisa tahu dong jeni

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 35

    Sandra mengerjapkan kedua netranya. Kabur. Itu yang pertama kali ia rasakan. Ruangan itu begitu sunyi tanpa suara yang ia kenal, kecuali suara mesin deteksi detak jantung yang terdengar begitu nyaring di telinganya.Wanita itu mencoba bangun, tapi gelombang rasa mual datang tiba-tiba. Kepalanya terasa sangat pusing. "Dimana ini?" Sandra kembali memejamkan netranya seraya meredakan rasa panik yang merayap datang. Setelah berhasil menguasai diri, Sandra berusaha membuka netranya. Namun untuk kali ini, ia melakukan dengan perlahan.Pandangannya masih kabur, tapi lebih jelas dari sebelumnya. Terdengar suara pintu didorong dari luar. Kemudian terdengar langkah kaki mendekat ke biliknya. Sandra kembali menutup netranya. Langkah kaki itu berhenti tepat di biliknya, mendekat ke berbagai mesin yang Sandra tidak tahu nama dan fungsinya, kecuali mesin deteksi detak jantung.Tangan hangat menyentuh pergelangan tangannya, menekan beberapa saat lalu beralih ke selang cairan infus. Sandra merasa ad

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 34

    "Mama!" Suara teriakan itu membuat Dinda menjadi sangat khawatir. Mengapa begitu keras teriakannya? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi? Jantung Dinda berdegup sangat kencang. Ia menggelengkan kepalanya.'Jangan-Jangan Tuhan! Jangan biarkan apa yang kami takutkan menjadi nyata. Kami belum siap. Apalagi Mita. Tolong kabulkan ya Tuhan..." Dinda memejamkan kedua netranya. Perasaan takut menyergapnya. Takut jika semua menjadi lebih buruk.Dinda merasa tubuhnya digoyang sedemikian rupa. Goncangannya begitu hebat. Kepalanya terasa sangat pusing."Mama!" Dahi Dinda berkerut. 'Mengapa suaranya terdengar dekat sekali?' "Mama! Bangun, Ma! Biyan lapel. Ayo, kita beli sate, Ma! Ayo, Ma!"Dinda terkejut. Ia langsung terbangun. Yang pertama kali ia lihat adalah wajah tampan putra semata wayangnya. "Brilian?" tanyanya bingung. Dinda menyapu pandangannya dan menemukan wajah Arya yang menatapnya begitu dalam. Pria itu tampak penasaran."Mimpi apa kamu, sampai berlinang air mata segala?" "Eh?" Di

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 33

    "Pa ..." Mita menatap kepergian Chandra yang berjalan menuju ruang dokter yang merawat Susan. Ada rasa sesak membuncah di dalam hatinya. Rasa penyesalan yang tiada habisnya. Selama ia hidup dan bernapas, hanya sekitar lima tahun dirinya menghabiskan waktu bersama Susan.Kenangan demi kenangan hadir memenuhi benak Mita. Lima tahun berlalu dengan kenangan manis tapi hanya lima tahun. Sejak ia masuk taman kanak-kanak, hidupnya diserahkan kepada pengasuhnya. Susan dan Chandra sibuk dengan perusahaan masing-masing. Alasannya adalah alasan klasik, demi masa depannya mereka harus bekerja keras.Mita menghela napas. Bulir-bulir air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya, kembali diseka oleh Fahri. Pria itu seakan paham jika sang istri butuh waktu sendiri. Ia sengaja membiarkan Mita meluapkan perasaannya. Tangan kanannya tidak jauh dari punggung Mita. Menyalurkan perasaan hangat agar Mita tidak merasa sendiri."M-Mas ha-haus nggak?" Tiba-tiba Mita mengangkat kepalanya, menatap Fahri dengan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status