Dinda duduk terpengkur di meja perpus. Kepalanya benar-benar pusing. Jadwal sidang skripsi diundur tiga bulan. Itu artinya, ia harus menambah satu semester lagi. Gadis itu mengacak-acak poninya, lalu meniupnya ke atas. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan.
Apa yang akan ia lakukan selama satu semester itu? Masa iya dirinya melewatkan satu semester hanya untuk menunggu sidang skripsi? Sekian juta dikeluarkan hanya untuk sidang skripsi? Benar-benar sebuah pemborosan.
Teringat kenyataan satu bulan yang lalu, bahwa dirinya tidak lulus sidang untuk yang kedua kali, dan semua itu karena dosen pembimbingnya sendiri yang memberi nilai D, membuat Dinda kembali kesal. Ingin rasanya ia menarik konde sang dosen lepas dari tempatnya, lalu mencaci maki, mengirim sumpah serapah semua hewan yang ada di kebun binatang Ragunan.
“Sabar.” Sebuah tepukan kecil di pundaknya, membuat Dinda segera mendongakkan kepalanya. Perasaan Dinda tidak enak.
“Ape lu?!!!” tanya Dinda sengit. Ia melihat rivalnya sudah berdiri di samping mejanya. Sebenarnya, Dinda tidak pernah menganggap gadis cantik di depannya sebagai rival, hanya saja karena gadis itu selalu saja mencari gara-gara dengannya, setiap kali mereka berpapasan dan setiap kali mereka bertemu saat berkonsultasi dengan dosen yang sama. Mega Sandrina.
“Ntar juga lu lulus. Meski bisa jadi, lu baru lulus setelah gua nikah ma direktur kaya raya,” ejek Mona sambil tertawa puas. Ia bersama dengan geng centilnya, beramai-ramai mengolok-olok Dinda.
Dinda menatap mereka dengan tatapan malas. Ia sedang malas meladeni gitar-gitar spanyol tanpa senar di depannya, yang sama sekali tidak seksi menurutnya.
“Eh, lu. Udah nggak jamannya kali mahasiswa bergaya kek anak kecil begini. Emang siapa yang mau nikahin elu? Badan lu aja full oplas semua. Dinda dong masih orisinil.” Tiba-tiba Mita sudah berdiri di belakang Dinda.
"Luuu...!" Mona mengepalkan kedua tangannya.
Disindir sedemikian rupa oleh Mita, membuat Mona tidak dapat membalas panjang lebar, karena itu memang kenyataannya. Ia meninggalkan Dinda dan Mita, diikuti geng-nya, sambil menahan malu teramat sangat.
“Noh! Rasain lu! Mentang-mentang udah lulus sidang. Gua yakin, Din. Seribu seratus sebelas persen yakin. Dia lulus bukan karena bisa menjawab semua pertanyaan penguji, tapi pasti udah nyuap ketua tim dengan bodi palsunya itu.” Mita menjatuhkan tubuhnya di kursi seberang Dinda.
“Hussh! Ngomong yang bener. Jangan asal tuduh begitu.” Dinda kembali meletakkan kepalanya di atas meja.
“Dibilangin kagak percaya lu sama gua.”
“Beneran??” Dinda membulatkan kedua netranya.
“Kalau lu berani, tanya ma Pak Arya noh. Doi pasti sudah pernah disamperin sama Si Mon-Mon itu.”
“Pak Arya? Pak Arya yang mana?”
“Tsk. Lu sekarang kenapa lemah ingatan banget sih, Din? Pak Arya. Pak Arya. Pak Arya yang tempo hari lu ajakin nikah, pas kita papasan di depan kampus!”
“Whats!!! Dia???! Masa iya?! Mengapa seleranya nggak berkelas begitu? Nggak jadi deh kalau gitu. Ternyata dia sudah nggak perjaka lagi.” Dinda langsung mengangkat kepalanya.
Percakapan kedua makhluk Tuhan ini makin ke sini makin kacau. Untungnya, perpus masih sangat sepi. Hanya ada mereka berdua.
Setelah berdiskusi dengan Mita, Dinda akhirnya memutuskan untuk mengulang mata kuliah yang membuatnya tidak lulus dalam sidang skripsi. Mungkin ia harus memperdalam manajemen komunikasi, yang semester ini diampu oleh Pak Hasan, ketua tim pengujinya, yang sebelumnya diampu oleh Mega Sandrina, dosen pembimbingnya.
-0-
Siang itu, Mita dan Dinda mengentri mata kuliah yang akan mereka ambil, semester sembilan ini. Mita sendiri memang masih harus mengulang beberapa mata kuliah karena nilai yang begitu mepet. Salah satunya, mata kuliah yang diambil Dinda.
“Semoga beneran ganti dosennya. Pak Hasan seratus kali lebih baik dari sebelumnya. Ah, dia yang namanya malas aku sebutkan,” ujar Dinda penuh harap.
Mita sontak terpingkal-pingkal mendengar ujung kalimat Dinda. “Emang Voldemort?”
“Sebelas dua belas. Bedanya, dia woman aja.”
Tawa Mita semakin keras. Mereka tidak tahu jika ada perubahan lagi untuk kedua kalinya.
Di sisi lain, di sayap kanan gedung utama fakultas ekonomi, tepatnya di bagian administrasi, bunyi mesin printer sedang memenuhi ruangan, mencetak jadwal perkuliahan yang baru, lengkap dengan nama dosen pengampu.
-0-
“Ma.” Arya mendatangi wanita berkacamata yang tengah membaca sebuah surat undangan pernikahan yang baru saja diterima dari satpam perumahan.
“Ada apa?”
“Soal yang kemarin ….”
“Mmm.”
“Itu beneran?”
“Memang terlihat seperti gurauan?”
“Bukan begitu, Ma. Sekarang kan bukan jamannya Siti Nurbaya lagi. Jumlah populasi cewek cantik juga sudah melesat tajam. Berbagai pilihan ada di depan mata. Mengapa harus lewat jalur ini, gitu loh?”
“Nah. Mengapa kamu belum juga membawa calon istri ke hadapan mama sama papa?” Wanita berwajah putih bersih itu menatap tajam Arya.
“Belum ketemu, Ma.”
“Makanya. daripada kelamaan, mending mama dan papa aja yang mencarikan buat kamu sama kakak kamu.”
“Kakak aja.” Arya berusaha menyelamatkan dirinya.
“Ya, kamu juga.”
“Arya entar cari sendiri, Ma.”
Kali ini, wanita bernama Anggun itu meletakkan undangan di tangannya ke atas meja makan. “Dari dulu juga ngomong begitu, tapi sampai sekarang mana orangnya?”
Arya berdecak kesal. “Yah, Mama. Nyari istri itu kan nggak boleh sembarangan. Harus hati-hati.”
“Oleh karena itu, lebih baik Mama yang carikan. Udah. Percaya aja sama Mama. Kamu pasti nggak akan nolak. Kalau kamu keberatan, ya biar nanti buat kakak kamu aja.”
Arya tidak lagi bersuara. Pikirannya justru berlabuh pada sosok gadis di kampusnya. Seandainya gadis itu adalah dia. Angan Arya berharap banyak.
“Besok kamu tetap harus datang menemui Om Broto. Papa sudah menghubunginya minggu lalu.”
-0-
“Pa,” panggil Sari ketika menyambut kedatangan Broto dari kantor.
“Ada apa, Ma?” Broto melepas kedua sepatunya lalu duduk sejenak di kursi teras.
“Papa beneran dengan rencana itu? Dinda masih kecil, loh?” Sari membawa tas kerja Broto ke pangkuannya.
“Mama ini gimana. Kemarin katanya setuju, sekarang malah bingung sendiri. Usia Dinda tahun ini sudah 23 tahun. Kecil itu, kalau dia baru lulus SMP. Sebentar lagi kan, anak mama itu jadi sarjana. Sudah pantas untuk menikah.”
“Kalau tunangan dulu bagaimana?”
Broto langsung menggelengkan kepalanya. “Dalam ajaran agama kita, tidak mengenal istilah tunangan. Jika cocok dan sama-sama setuju, lebih baik disegerakan atau justru tidak sama sekali.”
Sari tidak lagi melanjutkan pembicaraan itu. Suaminya itu, jika sudah mengambil keputusan tidak bisa dirubah lagi. Rayuan macam apa pun tidak akan mempan.
Ah. Dinda-ku sayang, Dinda-ku malang.
"Mama!" Suara teriakan itu membuat Dinda menjadi sangat khawatir. Mengapa begitu keras teriakannya? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi? Jantung Dinda berdegup sangat kencang. Ia menggelengkan kepalanya.'Jangan-Jangan Tuhan! Jangan biarkan apa yang kami takutkan menjadi nyata. Kami belum siap. Apalagi Mita. Tolong kabulkan ya Tuhan..." Dinda memejamkan kedua netranya. Perasaan takut menyergapnya. Takut jika semua menjadi lebih buruk.Dinda merasa tubuhnya digoyang sedemikian rupa. Goncangannya begitu hebat. Kepalanya terasa sangat pusing."Mama!" Dahi Dinda berkerut. 'Mengapa suaranya terdengar dekat sekali?' "Mama! Bangun, Ma! Biyan lapel. Ayo, kita beli sate, Ma! Ayo, Ma!"Dinda terkejut. Ia langsung terbangun. Yang pertama kali ia lihat adalah wajah tampan putra semata wayangnya. "Brilian?" tanyanya bingung. Dinda menyapu pandangannya dan menemukan wajah Arya yang menatapnya begitu dalam. Pria itu tampak penasaran."Mimpi apa kamu, sampai berlinang air mata segala?" "Eh?" D
"Pa ..." Mita menatap kepergian Chandra yang berjalan menuju ruang dokter yang merawat Susan. Ada rasa sesak membuncah di dalam hatinya. Rasa penyesalan yang tiada habisnya. Selama ia hidup dan bernapas, hanya sekitar lima tahun dirinya menghabiskan waktu bersama Susan.Kenangan demi kenangan hadir memenuhi benak Mita. Lima tahun berlalu dengan kenangan manis tapi hanya lima tahun. Sejak ia masuk taman kanak-kanak, hidupnya diserahkan kepada pengasuhnya. Susan dan Chandra sibuk dengan perusahaan masing-masing. Alasannya adalah alasan klasik, demi masa depannya mereka harus bekerja keras.Mita menghela napas. Bulir-bulir air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya, kembali diseka oleh Fahri. Pria itu seakan paham jika sang istri butuh waktu sendiri. Ia sengaja membiarkan Mita meluapkan perasaannya. Tangan kanannya tidak jauh dari punggung Mita. Menyalurkan perasaan hangat agar Mita tidak merasa sendiri."M-Mas ha-haus nggak?" Tiba-tiba Mita mengangkat kepalanya, menatap Fahri dengan
"Mama masuk rumah sakit?" Mita nyaris membiarkan Fahriza jatuh dari pelukannya.Fahri langsung menghampiri Mita yang mendadak jadi linglung. "Buruan ganti baju. Kita ke rumah sakit sekarang. Papa Chandra sendirian." Fahriza berusaha memahami apa yang terjadi. Mamanya yang tba-tiba menjadi linglung dan papanya yang bergerak ke sana kemari menyiapkan pakaian untuk sang mama. "Papa ...' Fahriza akhirnya memberanikan diri untuk bertanya."Hmm. Papa belum bisa ajak Iza. Biar papa dan mama lihat keadaaan nenek dulu. Besok mungkin Iza baru bisa ikut ke rumah sakit."Nenek sakit?"Fahri mengangguk lalu mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Doain nenek cepat sehat kembali, biar kita bisa berlibur bersama-sama.""Iya, Pa. Iza akan doain nenek bial cepet sembuh.""Anak pintar." Fahri mengajak putrinya untuk ke lantai bawah, menitipkannya pada Dinda dan Arya."Saya titip bocah ini dulu. Om Chandra di rumah sakit.""Eh?! Om Chandra? Sakit apa? Kok mendadak sekali? Bukannya kemarin baik-baik aj
Wanita yang keluar dari mobil Dani terlihat sangat cantik. Mita dibuat kagum hingga ia melupakan es teler pesanannya yang sudah selesai disiapkan. Gestur tubuh wanita itu sangat dikenalnya. Tapi, tunggu dulu. Mengapa pakaian wanita itu agak aneh? Kedua alis Mita terangkat.Ia melangkah meninggalkan tenda milik Ahmad. Menyeberang sambil terus mengamati gerak-gerik wanita cantk yang kini jaraknya tinggal beberapa langkah darinya. Dani yang mengenali sosok Mita yang mendekat, menatap tajam ke arah Mita. "Ngapain ke sini? Bukannya jalan-jalan ke mall?" tegur Dani setengah emosi."Eh? Elu. Ngapain ke sini? Gua kira siapa? Beli apaan? Kenapa nggak telpon gua aja?" Mita menghiraukan teguran Dani yang tampaknya tidak ikhlas mengorbankan waktunya hanya untuk jajan di warung tenda seperti ini.Dinda mendelik kesal. "Lu bilang kenapa nggak telpon elu? Gimana gua mau telpon, kalau hape lu aja lu tinggal! Tuh, Fahriza nangis di rumah. Dia minta emaknya. Untung bujukan Dani mempan, bikin dia ngga
"Lu liat suami gua nggak, Din?""Nggak. Emang suami lu hilang? Dari tadi gua di kamar sama bapaknya Brilian." Dinda berjalan mendekat ke arah Mita yang sudah rapi. "Lu mau kemana? Rapi amat?" Dinda menatap Mita dari atas ke bawah. "Kek anak ABG aja, lu?"Mita hanya menyengir kuda. "Gua kan mau jalan-jalan.""Sama siapa?""Ya sama suami gua lah. Sama siapa lagi?""Naik apaan? Becak?"Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang begitu panjang. Sepertinya klakson itu ditekan oleh orang yang menahan kekesalan luar biasa. Dinda menahan tawa."Tuh suami lu udah mulai ngamuk. Lu kelamaan yang dandan.""Ya ampun! Kenapa gua bisa lupa?!" Mita bergegas meninggalkan kamar Arya, dan menuruni anak tangga dengan tergesa, sampai-sampai membuat Anggun berteriak kaget."Mengapa harus pake lari-lari segala? Nanti kalau kamu jatuh gimana?" Suara Anggun yang tidak biasa membuat Mita terkejut. Sisi sensitifnya sebagai ibu hamil muncul. Wajahnya pucat, dan air mata mulai menggenangi kedua netranya. "M-M
Kehamilan Mita yang kedua ini cukup membuat Fahri pusing tujuh keliling. Tidak seperti saat hamil Fahriza. Mita menjadi begitu rewel, suka uring-uringan sendiri, menjadi sangat perfeksionis dan sangat sensitif. Apapun yang dilakukan Fahri selalu salah. Kerja salah, diam pun salah. Pulang awal salah, tak pulang lebih salah lagi. Fahri dibuat frustasi karenanya."Ma!" panggil Fahri suatu hari ketika Anggun sedang sibuk mengiris bolu yang baru saja keluar dari oven."Ada apa? Kamu mau kopi? Mama belum bikin.""Bukan.""Lalu apa? Teh? Cappucino? Wedang jahe? Wedan uwuh?" Anggun menatap Fahri bingung. "Fahri mau pergi keluar provinsi untuk satu bulan." Wajah Fahri begitu suntuk. Ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Mita yang semakin menjadi."Ada urusan bisnis? Kenapa mendadak sekali?" Anggun melirik curiga."Kepala Fahri pusing kalau lama-lama ada di rumah ini." Pria itu mengambil satu potong bolu yang sudah dipotong Anggun, dan langsung mengunyahnya sampai tidak bersisa.Anggun tertaw