"Kenapa lu nggak kasih tahu gua kalau Fahriza sebentar lagi punya adek?" Dinda menatap tajam Mita. Dia mengulangi pertanyaan untuk kedua kali karena Mita justru diam membisu. Tubuh Mita membeku. Tidak bergerak sama sekali."Lu ngomong apa?" Mita akhirnya memutar badannya, kembali menghadap Dinda. "Gua aja nggak tahu bakalan kasih adek ke Fahriza atau nggak?""Maksud? Lu nggak yakin kalau lu hamil lagi? Test pack-nya error? Keakuratannya dibawah 99%? Udah tahu gitu kenapa lu beli?" Dinda justru semakin menjadi uring-uringan."Itu-Nggak ada hubungannya dengan test pack.""Ya jelas, ada-lah. Kalau tanda kasat mata aja udah jelas, alat bukti berikutnya adalah test pack. Kalau dia error berarti lu kudu ganti dengan yang kualitasnya lebih bagus atau lu langsung pergi ke obgyn. Masa gitu aja lu kagak tau, Mit?" "Bu-bukan begitu." Mita jadi kikuk. Dia seperti maling yang tertangkap basah. Tidak punya alasan untuk berkelit dari kenyataan di depannya. Dinda terlalu kritis untuk hal ini. Instin
Arya dan Dinda benar-benar memanfatkan waktu yang ada. Namun, kebersamaan mereka itu tidak berlangsung lama, tidak sejalan dengan keinginan Arya yang masih ingin terus menikmati waktu bersama Dinda. Dering ponsel yang tidak kunjung berhenti, membuatnya harus rela mengakhiri kegiatan mereka."Halo?" sapa Arya malas. Ia harus menelan kekecewaannya bulat-bulat."Papa! Kapan ke rumah Nenek Angkun?" Suara imut Brilian menyapu indera dengar Arya. Kekesalannya lenyap seketika. Arya tersenyum lebar. Alih-alih menjawab pertanyaan Brilian, Arya justru melabuhkan kecupan dalam di bibir Dinda. "Kita lanjutkan nanti malam di rumah sana, ya?" bisik Arya sangat lembut.Dinda hanya mengangguk pasrah lalu memberi kode agar dirinya juga bisa ikut mendengarkan suara putra semata wayang mereka."Halo, Sayang. Sebentar lagi papa sama mama ke sana. Papa baru pulang dari kantor." Hanya itu yang bisa Arya sampaikan sebagai alasan keterlambatannya menyusul Brilian."Oh, oke. Jangan lupa bawa kolaknya ya, Pa.
Indra meninggalkan perpus dengan langkah ringan. Apa yang diinginkannya terjadi begitu saja. Seperti air yang mengalir tanpa ia harus bekerja keras. Mungkinkah semua akan berjalan lancar, yang artinya, semesta mendukung niatnya?Sebuah panggilan masuk ke ponsel Indra."Besok hadir'kan?" Suara seorang perempuan di ujung sana membuat Indra mengangguk mantap."Diusahakan. Kalau nggak hujan juga, sih. Hujan deras maksudnya.""Kalaupun hujan deras, pake payung atau mantol kan juga bisa. Pokoknya kamu besok wajib, harus, kudu dateng! Titik nggak ada koma!""Ya, Bu Bos.""Awas kalau telat!"Indra terkekeh pelan. Ponselnya kembali gelap, dan dia melangkah ringan menuju ruangannya. Bayangan reuni akbar seketika hadir di benaknya. Sosok gadis yang baru saja ia temui di perpus rektorat sangat ia harapkan kehadirannya. Mungkin saja, di acara itu takdir yang selama ini dinantikan Indra, berpihak padanya dan mewujudkan semua asanya menjadi nyata.Indra melupakan percakapan dengan kawan lama yang me
"Adek bayi belinya di-mmph..." Mita dengan cepat membungkam Fahri dengan sesuap nasi lengkap dengan potongan ikan bakar."Keburu adem nanti ikannya. Dah-lah kita makan dulu," ucap Mita yang sama sekali tidak merasa bersalah dengan aksinya. Ia memang sengaja melakukan itu agar pembicaraan ini tidak melebar kemana-mana.Baik Dinda, Arya maupun dua bocah kecil di belakang Dinda terdiam melihat kejadian itu. Gerakan Mita sangat cepat hingga membuat semua orang terperangah."Kenapa pada bengong? Ayuk dimakan makanannya. Kalau dingin udah nggak nikmat lagi." Kebetulan pramusaji datang membawa pesanan Dinda. Mita membuat dirinya sibuk dengan membagikan piring, agar pembicaraan soal bayi-bayian tidak lagi berlanjut.Dinda bergeming. Ia sepertinya menangkap keresahan dan kebingungan Mita. Ada sesuatu yang disembunyikan Mita dari mereka. Ingin rasanya Dinda mendekat ke arah Mita. Akan tetapi, melihat kondisi yang seperti ini, Dinda mengurungkan niatnya. Lebih baik ia mencari waktu yang pas u
"Kalau ini gimana?" Fahri menyerahkan sebuah amplop putih seukuran foto 4R. Amplop itu tidak dilem, hingga siapa saja bisa membuka dan membaca isi kertas di dalamnya. Mita sontak mematung. Kedua netra berkedip berulang kali. Ia terus saja menatap amplop putih itu baru kemudian menatap Fahri."Did I miss something?" Fahri menatap wajah istrinya tanpa berkedip. Ada rasa aneh yang menyelinap ke dalam hatinya sejak ia menemukan amplop itu di bawah kasur, tepatnya di bawah sisi samping kasur mereka. Nama dokter obgyn yang tertera di pojok kiri amplop membuatnya mulai memimpikan kehadiran kembali sosok mungil di tengah-tengah mereka. Sekuat tenaga ia menahan rasa penasarannya. Ia mengamati Mita secara diam-diam. Mungkinkah amplop itu milik Mita? Hingga kemarin pagi ia memberanikan diri membaca isi kertas dalam amplop itu.Jadwal konsultasi yang tertera di kertas itu semakin membuat Fahri penasaran. Melihat bagaimana Mita selama mereka menikah tidak membuat dirinya yakin seratus persen, ka
Indra menghentikan mobilnya sesaat ketika seorang wanita cantik keluar dari mobil sedan berwarna putih. Mobil itu yang baru saja berhenti di pelataran parkir depan kampus ekonomi. Ia tertegun sejenak. Ada rasa deg-deg-an yang perlahan merambat dalam hatinya. Hatinya mulai berdesir. Raut wajah wanita sangat mirip dengan sosok yang terus terbayang dalam ingatannya."Dinda? Itu beneran Dinda?" Indra mematikan mesinnya. Ia hendak keluar dari mobil. Akan tetapi, ponselnya kembali berdering, mengirim sinyal jika kehadirannya sudah ditunggu oleh banyak orang."Iya. Sebentar lagi saya sampai. Persiapkan dulu buku tugasnya. Saya akan langsung ke kelas." Indra buru-buru kembali menyalakan mesin mobilnya, lalu menginjak gas, membiarkan mobil hitamnya meninggalkan pelataran depan kampus fakultas ekonomi. Indra berharap dapat melupakan sejenak wanita yang begitu mirip dengan gadis yang beberapa tahun ini selalu muncul dalam pikirannya. Ia berjalan dengan langkah kelas menuju ruang bahasa. Kelas s
Pintu kamar mandi itu tertutup rapat. Sudah hampir satu jam, Mita berada di kamar itu. Bukan tanpa alasan ia berlama-lama di sana. Kecurigaan Dinda beberapa hari lalu berhasil mengganggu pikirannya. Penolakannya terhadap pertanyaan Dinda justru mendatangkan keraguan dalam dirinya.Mita pagi hari tadi menyempatkan diri pergi ke apotek. Ia mulai merasa terganggu. Namun, akal sehatnya masih sama. Tidak mungkin kecurigaan Dinda itu benar. Demi menghilangkan rasa penasaran yang mulai menghinggapi hatinya, Mita membeli testpack. Itulah mengapa ia menolak ajakan Dinda untuk menemani sahabatnya itu ke kampus.Dan kini, Mita terpaku pada benda kecil di tangan kanannya. Kecepatan jantungnya mulai bertambah seiring dengan waktu. Kedua netranya menatap serius ke lapisan being yang berada di tengah. Tangannya diam tak bergerak sedikitpun.Ia menahan napas ketika semburat warna mulai tampak di sana. Perlahan tapi pasti, warna putih di bawah lapisan bening itu mulai berubah. Satu warna perlahan mu
"Apakah kamu memiliki rencana lain untuk mendekati istriku?" tanya Arya penuh selidiki. Wajahnya begitu mengerikan, membuat Denny kehilangan selera makannya."Mas!" tegur Dinda kesal. "Apa-apan, sih? Jangan lupa kalau dia sudah menyelamatkan saya, dari niat buruk Bu Mega waktu itu."Arya merasa tertampar dengan peringatan Dinda. Benar. Seharusnya dia tidak harus bersikap cemburu seperti sekarang ini. Seharusnya dia tidak lagi mempermasalahkan rasa Denny yang jelas-jelas bertepuk sebelah tangan."Maaf."Dinda menggelengkan kepalanya. Ia yakin, ada kejadian yang membuat mood Arya seburuk ini. Akan tetapi, dirinya tidak mungkin menanyakan hal itu karena masih ada Denny bersama mereka."Tidak apa-apa, Pak Arya. Wajar, kok. Sikap waspada seorang pria yang sangat mencintai wanitanya. Saya bisa memaklumi. Jika saya berada di posisi itu, pasti saya akan melakukan hal yang sama." "Thanks."Mereka mulai menyantap menu yang mereka pesan. Kali ini, Arya dan Dinda tidak seperti biasa. Mereka men
"Ada Bu Arya?" ulang Susi dengan ekspresi bingung yang tidak dapat ia tutupi. Ia tidak memahami bisikan Rini barusan. "Bukannya dia jadi IRT ya?" Rini tidak menjawab melainkan sibuk menata ekspresi wajahnya. Susi mengikuti kemana arah Rini menghadap sekarang, lalu menjadi salah tingkah sendiri.Susi lantas menginjak kaki salah satu rekannya yang masih sibuk mengoceh, hingga obrolan seru itu berhenti tiba-tiba. "Se-Selamat Pagi, Bu Arya," sapa Rini dengan sangat ramah. Siapa yang tidak mengenal sosok Dinda? Mahasiswi pintar yang tertunda kelulusannya karena sikap tidak profesional sang pembimbing, yang tidak lain dan tidak bukan wanita yang baru saja meninggalkan gedung itu."Selamat Pagi." Wajah Dinda yang cantik menjadi semakin cantik karena senyum manisnya. Dinda sengaja datang ke kampus untuk mencari informasi program magister untuk Dani."Ada yang bisa kami bantu, Bu?""Saya sedang mencari informasi program magister manajemen."Keempat pasang telinga yang ada di balik meja infor