Share

Diblokir Tetangga
Diblokir Tetangga
Penulis: Amaliyah Aly

1. Pinjam Uang

“Mbak, saya mau minta tolong pinjam uang. Lagi butuh banget buat beli beras. Saya janji, begitu ada uang pasti langsung saya kembalikan,” ujar Mbak Lastri.

Dia adalah tetangga samping rumah. Sudah setahun lebih mengontrak di sana, kontrakan  milik mertuaku.

“Mas Rudi lagi nggak kerja, sudah seminggu kena PHK. Keuangan kami lagi krisis banget Mbak Inamah, tolong bantu kami kali ini,” papar Mbak Lastri lagi. Ia merapatkan duduknya. Tampak raut penuh harap yang terlihat di wajah perempuan itu. 

“Berapa, Mbak?” tanyaku.

“Seratus ribu saja, Mbak. Buat beli beras sama susunya Hasan,” jawabnya seraya menggaruk punggung tangan. 

Aku menghela napas pelan. Kulihat Hasan yang sedang bermain mobil-mobilan  tidak jauh dari tempatku duduk. Tidak tega rasanya membayangkan anak usia empat tahun itu menangis kelaparan. Pandanganku lantas beralih pada Kia, putri kecilku yang ada dalam gendongan. Ah, semakin tidak tega rasanya.

“Iya Mbak aku ada. Tunggu sebentar ya,” ucapku menyanggupi. Kutinggalkan Mbak Lastri untuk mengambil uang di rumah. Ia pasti benar-benar butuh hingga berani meminjam uang padaku. 

Kubuka laci di ruang tamu. Aku selalu mempunyai uang simpanan sendiri dari hasil menjual gamis secara offline maupun online. Tidak banyak untung yang kudapat, tapi meski begitu aku tetap menjalaninya karena senang bisa menghasilkan uang sendiri. Ya, meskipun gaji suami selalu mencukupi. 

“Ini, Mbak.” Kuserahkan dua lembar uang kertas senilai dua ratus ribu begitu kembali menemui Mbak Lastri.

“Banyak banget, Mbak," ucapnya sungkan. 

“Udah nggak papa. Pakai aja dulu. Ini uang Inamah sendiri kok. Jadi nggak usah dipikirkan kapan harus dibalikin.” Kuyakinkan Mbak Lastri. Kedua matanya berembun. Sebagai seorang istri dan ibu, aku turut sedih melihat keadaannya. Setidaknya dengan uang yang ada ini, ia bisa bertahan selama beberapa hari. Sampai Mas Rudi, suaminya itu mendapat pekerjaan. 

*** 

Beberapa bulan kemudian ….

Hari menjelang magrib saat aku mendapat panggilan dari Mbak Lastri. Hati ini ragu ingin mengangkat telepon darinya. Sebab, setelah memberinya pinjaman pada hari itu, entah perasaanku saja atau tidak, Mbak Lastri seolah memanfaatkanku.  Hutang yang awalnya hanya ratusan ribu, kini semakin membesar. Ada sekitar empat juta lebih. Berulang kali Mbak Lastri meminta bantuanku dengan alasan yang sama. 

Sampai akhirnya sudah lebih dari setengah tahun aku berhenti memberinya pinjaman uang, kupikir sekarang keadaannya sudah membaik karena Mas Rudi kini telah bekerja. Itu pun dibantu oleh Mas Bram, suamiku.

Empat juta rupiah bukan nominal yang sedikit. Berulang kali kucoba mengingatkan, tapi selalu saja tidak bisa menemui Mbak Lastri. Terlebih akhir-akhir ini ia jarang ada di rumah. Kucoba untuk memberanikan diri menghubungi nomer Watsapnya saja. Bagaimana pun erkara hutang harus diselesaikan. Lagi pula itu adalah uangku dan aku berhak untuk menagihnya bukan? Terlebih ini sudah lewat dari bulan yang ia janjikan. 

[Assalamualaikum, Mbak. Gimana kabarnya? Lama nggak ketemu. Saya mau ada perlu, nih.]

Kukirim satu pesan untuknya. Tidak lama, balasan dari Mbak Lastri kuterima.

[Iya, ada apa?] tulisnya. 

[Saya mau nagih hutang, Mbak. Karena sedang butuh hehe.] Balasku lagi. 

Lama.Kulihat hanya ada centang dua berwarna biru. Artinya Mbak Lastri sudah membaca pesanku, tapi sampai beberapa menit berselang tidak juga ada jawaban. 

[Mbak, saya beneran butuh.] Kukirim satu pesan lagi. Kulihat ada keterangan mengetik di bawah foto profilnya. Sebentar lagi ia pasti membalas.

[Oh, jadi kamu udah miskin sampai nagih begini? Nggak bisa apa lihat orang bahagia sebentar? Bakal aku bayar kok. Kalem. Tenang aja. Lagian, baru juga tadi pagi dapet uang arisan. Sekarang udah ditagih-tagih. Nggak seneng ya lihat tetangga seneng?!] 

Degh!

Astagfirullah. 

Dadaku berdenyut nyeri. Sakit sekali. Tidak menyangka dengan balasan dari Mbak Lastri. Meski dalam tulisan, tetap saja rasanya sakit membaca kata-kata itu. Kuketik beberapa baris pesan untuknya.

[Bukan begitu, Mbak. Maaf, tapi memang saya lagi butuh. Uang yang mbak pinjam itu modal untuk jualan saya.]

Send. Semoga Mbak Lastri tidak salah paham lagi. Aku bahkan baru tahu kalau ia dapat uang arisan.

Selama ini aku tidak pernah bercerita kepada Mas Bram terkait  uang-uang yang dipinjam Mbak Lastri. Karena kupikir uang yang kupinjamkan berasal dari hasil jualanku. Jadi, akan aman-aman saja tanpa  perlu meminta izin lebih dulu. Biarlah hal itu menjadi urusan pribadiku. 

***

Malam beranjak semakin larut. Aku terbangun saat mendengar suara gaduh dari arah depan. Kuturuni ranjang dan bergerak cepat menuju daun pintu. Sempat kulihat jam yang terpasang di dinding kamar tadi. Hampir tengah malam. 

Kusibak tirai jendela. Mataku terbelalak melihat apa yang terjadi di halaman depan. Sebuah mobil pick up berhenti tepat di depan rumah Mbak Lastri. 

"Ada apa, ya, Dek?" suara dari belakang mengejutkanku. Mas Bram. Rupanya ia juga terbangun sama sepertiku.

"Ngagetin aja!" seruku. Mas Bram mendekat. Ia ikut mengintip di jendela.

"Mbak Lastri sama Mas Rudi mau pindah rumah? Kok malem-malem begini? Kenapa?" tanya Mas Bram. 

Kuangkat kedua bahu, "Entahlah, Mas," jawabku. 

Kami hanya mengintip lewat jendela. Ingin melihat ke luar rasanya tidak enak karena sudah benar-benar larut malam. Melihat barang-barang yang diangkut ke atas mobil, jelas sekali bahwa mereka sedang pindah rumah.

"Kok, pindahan malam-malam begini? Mereka kenapa, sih? Apa ada masalah sama kita?" tanya Mas Bram lagi. Membuatku jadi berpikir. 

‘Apakah karena hutang yang kutagih? Tapi, apa sampai segitunya harus pindah rumah? Itu 'kan uangku. Wajar dong jika aku menagih. Aku juga tidak berkata kasar. Bahkan menghubunginya dengan cara baik-baik. Justru Mbak Lastri yang tidak menggubris. Pesanku saja belum dibalas sampai sekarang,’ batinku bergejolak. 

"Sudahlah, Dek. Kita lihat saja besok. Toh, pasti Mas Rudi nganterin kunci ke rumah Ibu. Nanti di kantor coba aku tanyain,” usul Mas Bram. Membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk. menurut saja dengan ucapan Mas Bram. Kami kembali masuk ke kamar. Melanjutkan tidur dan menyelami dunia mimpi. Aku mendadak ketakutan sendiri. Kalau Mbak Lastri pindah. Lantas, apa kabar dengan hutang-hutangnya selama ini?

*** 

Pagi hari saat Mas Bram sudah berangkat kerja dan aku sedang sibuk merapikan  rumah. Kudengar suara pintu diketuk dengan keras. Aku bergegas cepat membukanya  karena khawatir Kia terbangun mendengar suara gaduh.

"Ibu?" tanyaku saat pintu sudah terbuka. 

 

Plak!

Satu tamparan mendarat sempurna di pipi sebelah kananku. Tidak menyangka aku ditampar ibu mertua. 

"Kamu pakai baju tertutup begini ternyata genit juga sama suami orang!" bentak Ibu mertua sambil menunjuk-nunjuk mukaku. Wajah Ibu memerah padam. 

"Maksud, Ibu apa?" tanyaku tak mengerti.

"Halah! Itu si Lastri bilang kalau kamu genitin suaminya. Makanya dia pindah rumah juga. Kamu tahu nggak, sih? Karena mereka pindah. Otomatis pendapatan Ibu nggak ada! Kamu sengaja? Hah?!" Ibu mertua melotot. Wajahnya memerah tampak sedang emosi. 

"Ini fitnah, Bu," kataku membela diri. Dadaku sesak menerima tuduhan dari Ibu. Apalah ini, menuduhku genit pada suami Mbak Lastri? Ya Allah, ataukah ini sengaja Mbak Lastri yang mengomporinya?

"Fitnah apanya? Wong, Rudi juga mengakuinya!" sanggah Ibu. 

‘Hah? Mas Rudi? Ya Allah ...!’

Belum sempat aku mengelak atas tuduhan Ibu. Terdengar suara Kia menangis dari dalam kamar. 

"Dengar, ya! Ibu nggak mau tahu! Mulai bulan depan kamu harus gantikan penghasilan Ibu yang hilang!" 

Brakk!

Suara pintu dibanting seiring langkah kaki Ibu meninggalkan rumahku. Beliau bahkan tidak menengok Kia, cucunya sendiri. Kuusap pipi yang memanas bekas tamparan Ibu. Jantungku berdegup kencang. Terbayang wajah Mbak Lastri dan Mas Rudi.  Jika ini hanya menyangkut hutang piutang mungkin aku tidak akan terlalu geram menghadapi Mbak Lastri. Akan tetapi, ini menyangkut nama baikku yang semakin buruk di mata Ibu mertua. Apalagi Mas Rudi juga ikut-ikutan memfitnahku.

Begitu sampai di kamar, kutenangkan Kia lalu bergegas cepat mengambil gawai dari atas nakas. Tidak sabar ingin menghubungi nomor Mbak Lastri dan meminta penjelasannya. Aku tidak tahu mana yang benar dan yang salah. Ibu mertua ataukah Mbak Lastri dan Mas Rudi.

Sambil menyusui Kia, kuhubungi nomor Mbak Lastri.  Berkali-kali kupanggil, tapi tidak ada keterangan berdering saat panggilan. Hanya tulisan memanggil saja terus menerus. Sampai gawai panas pun tidak kunjung berubah. 

[MBAK SAYA ADA PERLU!]

Sengaja kuketik dengan capslock jebol. Biarkan saja. Geram sekali rasanya. 

Kuamati Watsapp Mbak Lastri. Hanya centang satu dan baru kusadari bahwa tidak ada foto profil yang terpasang seperti biasanya. Oh, apakah nomorku diblokir olehnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status