Home / Romansa / Diblokir Tetangga / 2. Pindah Rumah

Share

2. Pindah Rumah

Author: Amaliyah Aly
last update Last Updated: 2022-06-28 21:22:49

"Sejak kapan kamu genitin suami orang? Hah?!" bentak Mas Bram seraya mencengkeram erat kedua pundakku. Baru saja ia pulang kerja dan langsung masuk kamar marah-marah .

“Mas, ada apa?” tanyaku bingung. Kuletakkan Kia di atas kasur. 

"Halah! Dasar gatal! Pake pura-pura nggak ngerti segala!” Mas Bram melotot. Dadanya naik turun. Urat di wajahnya menonjol. Tuduhannya barusan, sama persis dengan yang ibu mertua  katakan tadi pagi. Oh, apakah ini ada hubungannya dengan Mbak Lastri?

 “Tenang dulu, Mas. Kasih aku waktu buat ngomong,” lirihku.

“Mau nyangkal apa lagi? Mas Rudi sudah cerita semuanya! Banyak sekali yang ia ceritakan. Sampai-sampai, Mas bahkan sangat jijik mendengarnya dan foto-foto itu ...." Mas Bram menggantungkan kalimatnya. Ia merahup wajah kasar.

“Foto?” tanyaku semakin tidak mengerti. 

“Iya! Kamu sangat murahan, Inamah!" hina Mas Bram tanpa ampun.  Tatapan matanya menghakimi. Memandangku seolah sampah yang menjijikkan.

‘Ya Allah!  Fitnah apa yang Mas Rudi sampaikan pada suamiku hingga ia mencelaku sekasar itu? Arggh! Muak dengan semuanya!’ batinku.  

Mendebat Mas Bram yang sedang emosi rasanya hanya akan sia-sia saja. Aku berdiri, bangkit dari posisi duduk. Kuraih gawai dari saku gamis yang kukenakan. Ada banyak bukti yang kusimpan terkait Mbak Lastri. Kulihat Mas Bram membuang muka. Tangan kanannya mengepal kuat.

"Mas," panggilku takut-takut. Sedikit ragu aku mendekat. Kusodorkan gawaiku padanya. "Ba-baca ini dulu, Mas," ujarku lagi. 

Mas Bram menoleh. Ia menarik segaris senyuman ke samping kiri. Digeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa melihat isi dalam layar yang menyala. Diraihnya cepat gawai milikku, lalu ....

Brakkk!!

Mataku membulat. Baterai dan cassing tercecer sempurna. Gawaiku hancur berkeping-keping. Dibanting dan diinjak oleh Mas Bram. Satu-satunya bukti yang aku miliki ada di situ. Ya Allah ....

"Jangan tunjukkan apa pun! Mas sudah jijik melihat foto-foto kamu di gawai Rudi tadi!" desisnya. 

Aku merunduk cepat. Memunguti kepingan ponsel yang berserak. Tanpa terasa kedua pipiku sudah basah. Aku menangis dengan bibir yang menutup rapat. 

'Fitnah besar apa yang akan kuhadapi, Ya Allah Seandainya aku jujur sejak awal. Seandainya aku tidak mudah percaya pada orang lain. Seandainya pula rasa kasihan bisa kukendalikan. Mungkin, aku tidak akan semenyedihkan ini. Mas Bram termakan fitnah hingga menyebutku murahan. Lalu, foto-foto yang ia ucapkan tadi? Maksudnya apa? Aku sama sekali tidak mengerti foto mana yang Mas Bram maksud. Apakah ini sengaja direncanakan oleh Mbak Lastri dan Mas Rudi? Tujuan mereka apa sebenarnya? Kenapa harus aku dan keluargaku? Jika mereka menghindari karena perkara hutang, harusnya cukup menjauh dan tidak perlu memfitnahku, tapi sepertinya ini menyangkut hal lain.  Ternyata, terlalu baik pada orang lain bisa menjadi boomerang bagi diri sendiri.'

Batinku bergejolak hebat. Darahku mendidih merasakan semua yang terjadi. 

*** 

Malam telah tiba. Kulihat jam yang menggantung di ruang tamu. Sudah hampir pukul sebelas malam. Kujatuhkan pandangan ke arah sofa. Di sana Mas Bram  sedang terlelap tidur.  Sama sekali tidak menemuiku sejak pertengkaran tadi.

Apa yang harus kulakukan? Gawaiku sama sekali tak berfungsi. Memang susah jika menghadapi orang yang berwatak keras. Mas Bram jika marah tak bisa diajak kompromi. Bahkan, ia tidak sampai berpikir jernih.

Sementara Mas Bram tertidur pulas. Aku berjalan mengendap meraih gawainya yang tergeletak di atas meja. Ya, aku yakin Mas Bram pasti menyimpan nomor Mas Rudi. 

Tidk ada cara lain selain menemui pasangan tanpa akhlak itu. Mas Rudi dan Mbak Lastri. Aku harus meminta penjelasan atas apa yang mereka lakukan. Kalau perlu kulabrak langsung ke rumahnya. Geram sekali hati ini. 

***  

Keesokan harinya. Aku sedang menyiapkan sarapan untuk Mas Bram. Sementara suamiku itu sedang duduk sambil menekuri gawai di genggaman tangan. Semoga ia tidak curiga apa pun. Semalam sudah kucatat nomor Mas Rudi dan Mbak Lastri. Sengaja tidak langsung kuhubungi dua orang itu. Tidak ingin saja jika Mas Bram semakin buruk sangka padaku. 

"Nanti aku mau ke rumah Ibu," celetuk Mas Bram  tiba-tiba.

"Jam berapa, Mas?" tanyaku selembut mungkin.

"Pulang kerja!" tandasnya. 

Kuputar otakku dengan cepat. Berpikir. 

"Iya, hati-hati," timpalku kemudian. Sudah kuputuskan. Akan kubereskan satu-satu. Selama Mas Bram kerja, ada peluang untukku menemui Ibu.

"Aku pergi dulu,” pamitnya. 

"Kenapa buru-buru, Mas? Sarapannya?" Aku mendekat. Mengantarkan sebuah piring berisi roti panggang. 

"Nggak usah," tepis Mas Bram.

Suamiku itu bangkit dari duduk. Ia tanpa sedikitpun menoleh padaku. Dingin. Seperti itulah jika sudah marah. Aku bahkan tidak dianggap ada. 

Usai kepergian Mas Bram dari rumah dan mumpung Kia masih tidur. Aku berjalan cepat menuju telpon rumah di ruang keluarga.

Kukeluarkan selembar kertas berisi catatan nomor Mbak Lastri dan Mas Rudi. Kupencet dengan segera. Menekan tombol-tombol angka. Tidak lama kemudian panggilan terhubung.  

"Halo, siapa ini?" tanya Mbak Lastri dari seberang panggilan.

"Inamah, Mbak. Inget?" tanyaku sedikit membentak. 

"Oh, kenapa lagi? Ada urusan apa?" sahutnya enteng. 

Ih. Geram sekali rasanya! Sebegitu entengnya ia bicara. Lupa apa sama hutang yang ia bawa. Belum lagi sudah memfitnahku pada Mas Bram dan Ibu.  

"Enak ya, udah ditulung malah mentung! Lupa kamu selama ini, Mbak! Hah?!" teriakku. Emosi sudah meledak. Ingin sekali kuberkata kasar mendengar suaranya, tapi masih berusaha kutahan-tahan.

"Ya ya ya, jadi, kamu minta aku balas budi? Gitu?" jawabnya seakan meledekku.

"Di mana kamu tinggal? Aku ada perlu! Jangan sembunyi kau!" Aku mendesis. 

"Oh, mau apa? Mau genitin suamiku? Ke sini aja. Noh, aku pindah juga masih satu daerah sama kamu. Di kontrakan Bu Yuyun. Tahu, 'kan? Gang belakang," ujarnya santai.

Sudah kukekepal tanganku. Emosi memuncak di ubun-ubun. Dia ... sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan menuduhku akan menggeniti suaminya? Wah, benar-benar tetangga gak ada akhlak!

"Datang saja ke sini kalau masih punya nyali. Toh, nama kamu sudah tercemar sampai ujung gang!” teriaknya.

Brakk!

Kubanting gagang telpon dengan kasar. 

Ada, ya, orang seperti ini? Ya Allah. Dia pikir apa? Aku bakal diam saja? Membiarkan ia menginjak harga diriku? Memfitnahku sesuka hatinya? Oh, tidak semudah itu mantan tetangga!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diblokir Tetangga   129. ENDING

    Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu.  Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada

  • Diblokir Tetangga   128. Hasil USG

    Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil.  "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,

  • Diblokir Tetangga   127. Pamit

    "Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni

  • Diblokir Tetangga   126. Melebur Bersama Duka

    Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan  ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh

  • Diblokir Tetangga   125. Hancur dan Berserakan

    Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja

  • Diblokir Tetangga   124. Wejangan Ibu Mertua

    Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status