Share

2. Pindah Rumah

"Sejak kapan kamu genitin suami orang? Hah?!" bentak Mas Bram seraya mencengkeram erat kedua pundakku. Baru saja ia pulang kerja dan langsung masuk kamar marah-marah .

“Mas, ada apa?” tanyaku bingung. Kuletakkan Kia di atas kasur. 

"Halah! Dasar gatal! Pake pura-pura nggak ngerti segala!” Mas Bram melotot. Dadanya naik turun. Urat di wajahnya menonjol. Tuduhannya barusan, sama persis dengan yang ibu mertua  katakan tadi pagi. Oh, apakah ini ada hubungannya dengan Mbak Lastri?

 “Tenang dulu, Mas. Kasih aku waktu buat ngomong,” lirihku.

“Mau nyangkal apa lagi? Mas Rudi sudah cerita semuanya! Banyak sekali yang ia ceritakan. Sampai-sampai, Mas bahkan sangat jijik mendengarnya dan foto-foto itu ...." Mas Bram menggantungkan kalimatnya. Ia merahup wajah kasar.

“Foto?” tanyaku semakin tidak mengerti. 

“Iya! Kamu sangat murahan, Inamah!" hina Mas Bram tanpa ampun.  Tatapan matanya menghakimi. Memandangku seolah sampah yang menjijikkan.

‘Ya Allah!  Fitnah apa yang Mas Rudi sampaikan pada suamiku hingga ia mencelaku sekasar itu? Arggh! Muak dengan semuanya!’ batinku.  

Mendebat Mas Bram yang sedang emosi rasanya hanya akan sia-sia saja. Aku berdiri, bangkit dari posisi duduk. Kuraih gawai dari saku gamis yang kukenakan. Ada banyak bukti yang kusimpan terkait Mbak Lastri. Kulihat Mas Bram membuang muka. Tangan kanannya mengepal kuat.

"Mas," panggilku takut-takut. Sedikit ragu aku mendekat. Kusodorkan gawaiku padanya. "Ba-baca ini dulu, Mas," ujarku lagi. 

Mas Bram menoleh. Ia menarik segaris senyuman ke samping kiri. Digeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa melihat isi dalam layar yang menyala. Diraihnya cepat gawai milikku, lalu ....

Brakkk!!

Mataku membulat. Baterai dan cassing tercecer sempurna. Gawaiku hancur berkeping-keping. Dibanting dan diinjak oleh Mas Bram. Satu-satunya bukti yang aku miliki ada di situ. Ya Allah ....

"Jangan tunjukkan apa pun! Mas sudah jijik melihat foto-foto kamu di gawai Rudi tadi!" desisnya. 

Aku merunduk cepat. Memunguti kepingan ponsel yang berserak. Tanpa terasa kedua pipiku sudah basah. Aku menangis dengan bibir yang menutup rapat. 

'Fitnah besar apa yang akan kuhadapi, Ya Allah Seandainya aku jujur sejak awal. Seandainya aku tidak mudah percaya pada orang lain. Seandainya pula rasa kasihan bisa kukendalikan. Mungkin, aku tidak akan semenyedihkan ini. Mas Bram termakan fitnah hingga menyebutku murahan. Lalu, foto-foto yang ia ucapkan tadi? Maksudnya apa? Aku sama sekali tidak mengerti foto mana yang Mas Bram maksud. Apakah ini sengaja direncanakan oleh Mbak Lastri dan Mas Rudi? Tujuan mereka apa sebenarnya? Kenapa harus aku dan keluargaku? Jika mereka menghindari karena perkara hutang, harusnya cukup menjauh dan tidak perlu memfitnahku, tapi sepertinya ini menyangkut hal lain.  Ternyata, terlalu baik pada orang lain bisa menjadi boomerang bagi diri sendiri.'

Batinku bergejolak hebat. Darahku mendidih merasakan semua yang terjadi. 

*** 

Malam telah tiba. Kulihat jam yang menggantung di ruang tamu. Sudah hampir pukul sebelas malam. Kujatuhkan pandangan ke arah sofa. Di sana Mas Bram  sedang terlelap tidur.  Sama sekali tidak menemuiku sejak pertengkaran tadi.

Apa yang harus kulakukan? Gawaiku sama sekali tak berfungsi. Memang susah jika menghadapi orang yang berwatak keras. Mas Bram jika marah tak bisa diajak kompromi. Bahkan, ia tidak sampai berpikir jernih.

Sementara Mas Bram tertidur pulas. Aku berjalan mengendap meraih gawainya yang tergeletak di atas meja. Ya, aku yakin Mas Bram pasti menyimpan nomor Mas Rudi. 

Tidk ada cara lain selain menemui pasangan tanpa akhlak itu. Mas Rudi dan Mbak Lastri. Aku harus meminta penjelasan atas apa yang mereka lakukan. Kalau perlu kulabrak langsung ke rumahnya. Geram sekali hati ini. 

***  

Keesokan harinya. Aku sedang menyiapkan sarapan untuk Mas Bram. Sementara suamiku itu sedang duduk sambil menekuri gawai di genggaman tangan. Semoga ia tidak curiga apa pun. Semalam sudah kucatat nomor Mas Rudi dan Mbak Lastri. Sengaja tidak langsung kuhubungi dua orang itu. Tidak ingin saja jika Mas Bram semakin buruk sangka padaku. 

"Nanti aku mau ke rumah Ibu," celetuk Mas Bram  tiba-tiba.

"Jam berapa, Mas?" tanyaku selembut mungkin.

"Pulang kerja!" tandasnya. 

Kuputar otakku dengan cepat. Berpikir. 

"Iya, hati-hati," timpalku kemudian. Sudah kuputuskan. Akan kubereskan satu-satu. Selama Mas Bram kerja, ada peluang untukku menemui Ibu.

"Aku pergi dulu,” pamitnya. 

"Kenapa buru-buru, Mas? Sarapannya?" Aku mendekat. Mengantarkan sebuah piring berisi roti panggang. 

"Nggak usah," tepis Mas Bram.

Suamiku itu bangkit dari duduk. Ia tanpa sedikitpun menoleh padaku. Dingin. Seperti itulah jika sudah marah. Aku bahkan tidak dianggap ada. 

Usai kepergian Mas Bram dari rumah dan mumpung Kia masih tidur. Aku berjalan cepat menuju telpon rumah di ruang keluarga.

Kukeluarkan selembar kertas berisi catatan nomor Mbak Lastri dan Mas Rudi. Kupencet dengan segera. Menekan tombol-tombol angka. Tidak lama kemudian panggilan terhubung.  

"Halo, siapa ini?" tanya Mbak Lastri dari seberang panggilan.

"Inamah, Mbak. Inget?" tanyaku sedikit membentak. 

"Oh, kenapa lagi? Ada urusan apa?" sahutnya enteng. 

Ih. Geram sekali rasanya! Sebegitu entengnya ia bicara. Lupa apa sama hutang yang ia bawa. Belum lagi sudah memfitnahku pada Mas Bram dan Ibu.  

"Enak ya, udah ditulung malah mentung! Lupa kamu selama ini, Mbak! Hah?!" teriakku. Emosi sudah meledak. Ingin sekali kuberkata kasar mendengar suaranya, tapi masih berusaha kutahan-tahan.

"Ya ya ya, jadi, kamu minta aku balas budi? Gitu?" jawabnya seakan meledekku.

"Di mana kamu tinggal? Aku ada perlu! Jangan sembunyi kau!" Aku mendesis. 

"Oh, mau apa? Mau genitin suamiku? Ke sini aja. Noh, aku pindah juga masih satu daerah sama kamu. Di kontrakan Bu Yuyun. Tahu, 'kan? Gang belakang," ujarnya santai.

Sudah kukekepal tanganku. Emosi memuncak di ubun-ubun. Dia ... sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan menuduhku akan menggeniti suaminya? Wah, benar-benar tetangga gak ada akhlak!

"Datang saja ke sini kalau masih punya nyali. Toh, nama kamu sudah tercemar sampai ujung gang!” teriaknya.

Brakk!

Kubanting gagang telpon dengan kasar. 

Ada, ya, orang seperti ini? Ya Allah. Dia pikir apa? Aku bakal diam saja? Membiarkan ia menginjak harga diriku? Memfitnahku sesuka hatinya? Oh, tidak semudah itu mantan tetangga!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status