"Hueeeeeek! Huueeeek!" Mbak Lastri terus saja muntah. Mukanya memerah. Hidungnya pun berair. Wajah dan rambut sama-sama kusut.
Puas!"Kurang ajar sekali kamu! Hueeeeeeek!" teriaknya sambil terus muntah-muntah. "Keluar dari rumahku! Sekarang!" ia histeris dengan telunjuk jari mengarah pada daun pintu. Mengusirku.Dih! Enak aja! Urusan masih belum selesai."Apa? Mbak bilang aku kurang ajar? Ngaca, dong!" sengitku. "Kalau kamu nggak keterlaluan, aku juga nggak bakalan begini!"Kutarik napas pelan. Tak tega sebenarnya memperlakukan Mbak Lastri seperti itu. Sudut hati menjerit bahwa ini salah. Tapi, aku sudah terlanjur kalap. Emosi melihat sikap dan ucapannya.Ia sama sekali tak mau mengakui kesalahan. Bahkan, tak juga mau bertanggung jawab atas hutang-hutangnya.Aku tersulut.Gemuruh dalam dadaku membuncah."Salah apa aku sama kamu, Mbak! Hah?! Tega benarKuklik cepat foto-foto tersebut. Kupicingkan mata melihat detail pesan chat di dalamnya. Huft! Syukurlah. Kuembus napas lega saat melihat bahwa nomor dan fotoku di blur oleh Mbak Lastri.Jika ia ingin mencemarkan namaku. Kenapa tanggung sekali? Kenapa harus diblur segala? Sebenarnya apa motif ia melakukan ini semua? [Gimana jadinya kalau ada tetangga yang genitin suami kita?]Tulisnya. Dih! Amit-amit. Iseng, kucoba menulis komen di statusnya. Belum juga kutulis. Tapi, begitu melihat komentar yang berjibun. Ku urungkan niatku. [Wah, gila banget. Jangan di blur dong. Ayo viralkan!][Harus digaruk ulat bulu seperti itu][Buang ke tempat sampah! Bumi hanguskan orang seperti itu!]Skip!Banyak sekali komentar netizen. Begitu pedas, serta sangat mudah menghakimi tanpa tahu kebenarannya yang pasti.Belum juga tombol kem
Kita Flashback dulu ya ❤Menembus ruang dan waktu. Tujuh tahun silam. Di sebuah kota yang terkenal dengan pesisir pantainya. Tuban. Seorang perempuan berambut hitam lurus sepunggung. Ia tengah berdiri menghadap ke arah matahari terbenam. Senja sudah merangkak naik, namun ia memilih tetap diam. Menunggu seseorang. Lastri Atmadja. Gadis berusia dua puluh satu tahun. Berparas ayu dengan kulit sawo matang ciri khas gadis pribumi. Badannya ramping. Ia memakai setelan rok berwarna hitam dan atasan baju motif bunga-bunga lily. Sesekali ia melihat ke sekeliling. Sejauh mata melempar pandang. Tak juga ditemuinya batang hidung Bram. Lelaki yang telah membuatnya jatuh hati. Gelisah menunggu. Ia lalu mengecek gawai miliknya. Gawai butut dengan karet gelang yang mengikat. Satu pesan masuk membuat gawai tersebut bergetar. Lastri tersenyum. Rupanya sang kekasih hati membalas pesannya. [Tunggu aku, Sayang. Sebentar lagi tiba.]Lastri mendesah. Rupanya ia harus kembali bersabar untuk menunggu.Bu
"Masih lama, Mas?" tanya Lastri pada Bram ketika di perjalanan."Masih, Dek." Bram menggenggam lembut jemari tangan Lastri. Mereka sedang berada di dalam transportasi umum. Bus. Perjalanan dari Kota Tuban ke Kota Surabaya tak sampai memakan waktu setengah hari. Namun terasa begitu lama bagi Lastri yang tak pernah bepergian jauh. "Tidurlah dulu, nanti kalau sudah tiba aku bangunkan."Disandarkannya kepala Lastri di pundak kanan Bram. Seketika saja gadis itu terpejam. Menyelami dunia mimpi selama di perjalanan. *** Tepat pukul tiga sore. Bus yang ditumpangi Bram dan Lastri tiba di terminal Purabaya Bungurasih. Bram mengusap pelan kepala Lastri, membangunkan. Lastri mengerjap. Diamatinya para penumpang yang menurunkan aneka barang dari bagasi. Bersiap untuk turun. "Sudah sampai, Mas?" tanyanya terkejut. Saking lelapnya ia sampai tak menyadari pergerakan bus yang berhenti. "Iya."Gegas Lastri dan Bram menyiapkan diri. Mereka lantas ber
"Ada apa ribut-ribut?"Semua menoleh ke arah satu suara. Ani, ibu Bram. Perempuan berusia empat puluh tiga tahun itu datang menengahi. Suara ribut dari teras rumah membuatnya terusik. "Lho, udah pulang? Kok nggak masuk ke dalam?" tanya Ani. "Bapak ngapain di sini? Ayo masuk," tambahnya. "Bapak mau ke luar ada urusan! Jaga itu anak kamu! Bisa-bisanya ia bawa anak orang ke rumah. Dasar perempuan gampangan. Mana kampungan lagi!" Handoko mendesis. "Bapak!" Bram setengah membentak. Sampai hati Bapaknya menghina Lastri sedemikian buruk. "Apa? Faktanya begitu? Mau --""Sudah! Jangan mendebat! Ayo masuk, Bram! Ajak gadis itu ke dalam," Ani memotong kalimat Handoko. Ia lalu berjalan ke arah Lastri. Meraih jemari gadis itu. Dirasakannya telapak tangan Lastri yang dingin. Gadis itu sudah pasti gugup. "Sudah, jangan didengarkan," ucap Ani lembut, menenangkan. "Terserah kalian saja!" Handoko berlalu. Ia menuju garasi mobil rumah. Mengeluarkan mobil
Masih tersengal dengan deru napas yang memburu. Bram dan Lastri bermandikan peluh keringat. Keduanya sedang bermain-main dengan takdir. Nafsu sesaat mampu menghilangkan akal mereka. Hingga puncaknya, deburan kenikmatan itu menyentuh dinding rahim. Benih tertanam sempurna bukan dengan jalan yang halal. Juga tak pernah diridhoi. *** "Jahat kamu, Mas!" Lastri terisak. Batinnya tergoncang. Ia telah menyadari satu kesalahan besar. Dan itu sudah sangat fatal. "Maaf, Dek. Mas lakuin ini biar kita bisa bersama." "Bersama apanya? Aku ... aku sudah tidak lagi perawan. Huhuhu." Lastri tersedu. Bayangan kelam tergambar di kedua matanya. Usia dua puluh satu tahun belum menikah saja, sudah menjadi aib bagi orang tuanya. Apalagi jika ia sampai hamil. "Tenang, Sayang. Aku akan segera melamar. Aku akan berterus terang pada Bapak. Beliau pasti setuju. Aku harus bertanggung jawab." Bram mendekap Lastri erat. Ia pun menyadari bahwa apa yang ia perbuat telah sanga
Menyalakan shower. Membiarkan air membasuh sekujur tubuhnya. Bram memejam. Teringat sentuhan yang ia nikmati semalam bersama Lastri. Ingin sekali ia melakukannya lagi.Ditepuknya kepala sendiri. Ini tidak benar. Halalkan dulu, baru nikmati. Sayangnya, hasrat pria kadang tak bisa dibendung. Sekalinya merasakan kenikmatan. Ia jadi ketagihan.Jangan memulai apa pun dengan jalan yang salah. Sebab, kita tak pernah tahu. Sampai mana batasan umur berada. ***"Sudah Bapak siapkan semuanya. Kamu tinggal berangkat saja." Handoko menekan. Ditunjukkannya paspor dan aneka dokumen yang akan Bram bawa. Ia sudah mengatur startegi. Agar putranya bisa lupa pada Lastri. "Bram tidak akan ke mana-mana! Bram akan menikah dengan Lastri!"Ditolaknya mentah-mentah. Bram tak mau pergi ke luar negeri. Sekalipun mengejar gelar S2 di negara yang terkenal gurun pasirnya. "Oh, begitu? Jadi ... kamu mau menentang Bapakmu?" "Bukan begitu, Pak. Bram harus bertanggung jawab."
Dengan keadaan dua tangan yang terikat. Lastri diarak keliling kampung. Sebagian warga yang melihatnya memandang iba. Namun, tak sedikit pula yang mencibir. Terseok-seok Lastri berjalan. Rambut hitamnya bertabur debu pasir. Luka lebam di kaki juga ikatan kencang membelit tangan. Masih saja tak membuat gadis itu angkat suara. Ia bergeming, mengatupkan rapat kedua bibirnya. Hatinya membeku. Noktah hitam setitik demi setitik menyelimutinya. Membungkus penuh murka. Bukan hanya kecewa yang ia rasa, tapi dendam perlahan singgah. Lalu mengendap. Mematikan hati yang sudah sekarat. Lastri tak lagi berpikir jernih. Ia sudah berharap untuk mati. Tekanan demi tekanan yang ia dapatkan bertumpuk menjadi beban.Hingga tiba di sebuah lapangan luas. Tepatnya di dekat arela persawahan. Warga membentuk lingkaran kerumunan manusia dengan Lastri di tengahnya. "Katakan! Siapa pemuda yang menghamilimu, Lastri!" Ketua RT mendesis. Ia sangat menjaga kehormatan kampungnya.
Sementara itu. Di dalam kamar. Amin sedang sekarat. Sejak diketahuinya Lastri hamil tanpa suami. Ia jatuh sakit-sakitan. Napasnya selalu sesak. Ia tak selera makan. Kepikiran. Tubuhnya yang semula segar berubah menjadi ringkih. Nyaris tinggal tulang. Berbulan-bulan menyimpan sesak sendiri. Hingga pada puncaknya. Malam di mana Rudi mengakui bahwa ia berdusta demi menyelamatkan Lastri. Kondisi Amin semakin tak keruan. Bukannya tenang. Justru beban berat menghimpit dadanya. "Bapak ndak kuat, Bu. Bapak sudah gagal menjaga anak kita," ujar Amin sambil memegangi dada sebelah kiri. Angin malam berembus pelan. Menerobos masuk lewat celah jendela yang terbuka. Nyeri yang Amin rasa tak kunjung hilang. Ia hanya bisa terdiam di pembaringan. Menikmati kesakitan."Jangan bilang gitu, Pak. Bapak harus kuat demi keluarga kita.""Bapak gagal, Bu. Bapak gagal," ujar Amin putus asa."Ibu juga sudah gagal menjaga Lastri. Yang penting sudah ada yang mau mengakuinya. Rudi sudah membantu kita." "Dia p