"Bagaimana, suamimu sudah pulang?" cetus lelaki yang duduk pada bangku di depan layar televisi itu dengan nada ketus.
Gerakan tangan Asma yang sedang memotong wortel pun terhenti. Dadanya bergemuruh menahan kesal.
Jarak antara dapur dan ruang televisi yang hanya dibatasi oleh dinding tembok membuat Asma dapat mendengar jelas ucapan lelaki bertubuh kurus tinggi yang sedari tadi mengawasinya.
"Balum, Abah!" sahut Asma lirih tanpa berani menoleh pada lelaki yang sudah
membesarkannya.
"Ceraikan saja Wisnu! Lelaki yang tidak dapat bertanggung jawab itu tidak perlu kamu pertahankan, Asma!" Suara Abah semakin meninggi. Wajahnya merah menyala menatap kepada Asma.
Sejak dulu Abah memang tidak pernah menyukai Wisnu. Hanya saja, lelaki Asing itu bersikeras untuk meminang Asma dan berjanji akan membahagiakan gadis cantik, anak sulung Abah.
"Bang Wisnu bukan tidak bertanggung jawab, Abah! Rejeki itu sudah ada yang mengatur," sahut Asma.
"Kalau hanya bekerja jadi buruh pemetik teh, kapan kamu bisa hidup cukup Asma. Untuk makan saja kamu tidak kenyang!" hardik Abah sinis.
Wanita dengan kerudung besar yang berada di samping Asma hanya terdiam. Menyentuh lembut pada punggung tangan Asma yang masih memegang pisau untuk meredam amarahnya.
Asma menghela nafas panjang menatap pada wanita itu. Wajah Asma terlihat begitu kesal. Namun tatapan nanar Umi membuat wanita itu mengurungkan niatnya untuk membalas ucapan Abah.
"Kalau sampai besok Wisnu tidak pulang. Maka Abah sendiri yang akan mengajukan surat perceraian kamu di pengadilan, Asma!" Lelaki dengan wajah kesal itu beranjak dari bangku yang berada di depan televisi masuk ke dalam kamar.
Beberapa saat suasana menjadi hening. Asma terdiam dan kembali' memotong wortel yang ada di atas telenan. Dadanya terasa sesak menahan air mata yang sejak tadi menggenang.
"Sudah Asma, kamu tidak perlu mendengarkan kata-kata Abahmu. Asalkan kamu bahagia, Umi juga bahagia!" tutur lembut wanita yang telah melahirkan Asma.
"Dukung saja terus, Umi! Biar Kak Asma semakin berani. Punya suami buruh saja bangga!" seloroh seorang gadis muda yang tiba-tiba muncul dari ambang pintu dapur.
"Rani!" Umi menaikkan nada suaranya menatap tajam pada Rani. Gadis cantik berkulit putih yang melipat kedua tangannya melihat sinis pada Asma.
"Mbak Asma, kalau aku jadi Mbak Asma, aku pasti sudah meninggalkan Bang Wisnu. Lelaki miskin yang tidak memiliki apa-apa. Masak iya, Mbak Asma setiap hari akan meminta makanan kepada kami?" hina Ratih seketika membuat Asma menatap tajam ke arah adik bungsunya.
"Jaga mulutmu, Rani!" balas Asma.
"Makanya cari jodoh itu seperti aku dong mandor proyek. Banyak uang dan tidak miskin seperti suami Mbak Asma. Lelaki nggak jelas kok di nikahi!" hina Rani berlalu masuk ke dalam kamar mandi yang berada di samping dapur.
"Sudah Asma, sudah! Sabar, tidak usah kamu mendengarkan ucapan Rani. Dia memang seperti itu!" Umi berusah menenangkan Asma yang mulai terbakar amarah.
Butiran bening kian memenuhi pelupuk mata wanita itu. "Umi, Asma pulang dulu ya!" sergah Asma bergegas mempercepat langkah kakinya. Butiran bening luruh membasahi pipinya.
"Asma tunggu! Sayur buat Akbar belum matang, Asma. Tunggulah sebentar lagi!" seru Umi yang tidak diindahkan oleh Asma.
Wanita yang tengah menangis itu berlari cepat menuju rumahnya yang terletak tidak jauh dan kediaman kedua orang tuanya.
Asma memelankan langkah kakinya saat mendengar suara seseorang yang sedang mengaji dengan tartil dari dalam rumah sederhana miliknya. Rumah yang sudah Wisnu bangunkan untuknya di atas tanah kecil di sudut kampung.
"Abang!"
Segera Asma menyeka air mata yang membasahi pipi dengan ujung kerudung yang ia kenakan. Beberapa kali Asma menghela nafas panjang untuk melonggarkan rasa sesak yang menghujam dada.
Seorang lelaki sedang membaca kitab suci Alquran dengan sangat khusuk dari balik pintu yang terbuka. Semantara balita berusia dua tahun itu masih terlelap di atas rajang, sama seperti saat Asma meninggalkannya beberapa waktu lalu. Saat Umi datang meminta tolong pada Asma untuk memasaknya sayur sop. Karena Umi sedang tidak enak badan.
"Assalamualaikum!" lirih Asma.
"Wa'alaikum salam!" sahut Wisnu. "Shadaqallahul adzim!" Wisnu mencium sesaat kitab suci yang berada di tangannya, kemudian melirik kepada Asma yang mematung di ambang pintu.
"Abang!" Asma berhambur menjatuhkan tubuhnya memeluk Wisnu. Dengan sesegukan Asma menumpahkan tangisannya pada dada bidang lelaki bertubuh tinggi besar dengan bulu halus di sekitar rahangnya itu.
"Ada apa, Asma?" Wisnu terlihat panik. Ia berusaha melepaskan pelukan Asma. Namun, wanita yang mengenakan kerudung berwarna salem itu justru semakin mengeratkan pelukannya.
Wisnu menghela nafas panjang. Mengusap lembut punggung Asma seraya meletakan dagu lancipnya di atas pucuk kepala Asma yang berada di dalam pelukannya.
"Sudah jangan nangis!" ucap Wisnu dengan nada lembut.
"Bagaimana aku nggak sakit hati, Bang. Abah dan Rani selalu saja menghina Abang," adu Asma dengan suara bergetar. Wanita itu masih enggan beranjak dari pelukan Wisnu.
"Memangnya apa yang Abah dan Rani katakan, Neng?" tutur Wisnu lembut.
"Abah bilang, kalau Abang adalah lelaki yang tidak bertanggung jawab dan kalau Abang tidak pulang-pulang Abah akan memisahkan Neng dan Abang!" tangis Asma.
Perlahan Asma melepaskan pelukannya dari tubuh Wisnu. Lelaki biasa saja itu melemparkan senyuman lebar pada kedua sudut bibirnya pada Asma. Satu tangannya menyeka air mata yang membanjiri pipi Asma.
"Lalu apa yang Rani katakan sama, Neng?" tanya Wisnu.
"Katanya Neng tidak bisa memilih suami. Suami Neng orang miskin beda sama calon suami Rani yang seorang mandor proyek," lirih Asma dengan isakan yang mulai jarang terdengar.
Wisnu tersenyum hangat, ia menarik tubuh Asma kembali dalam pelukannya. Tapi sayangnya Asma justru menolak dengan bibir mengerucut.
"Kenapa lagi, Neng? Neng nggak kangen sama Abang?" ucap Wisnu menaikan kedua alisnya, menatap heran.
"Abang!" Asma melonjak kesal. Mencubit kecil pinggang Wisnu yang seketika memasang wajah meringis kesakitan.
"Apalagi yang salah Neng?" Wisnu memegangi pinggangnya yang terasa sakit.
"Nggak tau lah!"
Asma beranjak bangkit meninggalkan Wisnu menuju keluar kamar dengan wajah kesal.
****
Asma duduk pada bangku yang berada di depan rumahnya. Sorot matanya menerawang jauh pada pemandangan perkebunan teh yang terhampar luas sejauh mata memandang.
Wisnu perlahan mendudukkan tubuhnya di samping Asma. Lalu melingkarkan satu tangannya pada bahu Asma.
"Maafkan Abang ya!" ucap Wisnu menatap dalam pada Asma.
Asma masih terdiam. Beberapa saat berlalu wanita dengan kerudung berwarna salem itu menoleh ke arah Wisnu.
"Abang minta maaf untuk apa?" tanya Asma menatap lekat pada suaminya.
Wisnu meringis kemudian menggeleng lembut.
"Abang!" Lagi-lagi Asma menghujani Wisnu dengan cubitan.
"Sakit Neng, sakit!" rintih Wisnu.
Asma mengehentikan gerakan tangannya mencubit Wisnu. Namun wanita itu kembali terisak.
"Kok menangis lagi?" Wisnu segera menghapus air mata yang berlinang membasahi pipi Asma.
"Kenapa Abang tidak marah, harusnya Abang kan marah sama Abah. Sudah sering Abah menghina Abang dan sekarang Abah justru ingin memisahkan kita!" Tangis Asma sesenggukan.
Wisnu kembali mengukir sebuah senyuman. "Tidak, Abang tidak akan marah dengan Abah. Bagaimana bisa Abang marah pada seorang yang sudah memberikan Abang istri sebaik Neng Asma!" tutur Wisnu semakin membuat Asma terharu dan juga merasa sangat beruntung.
*****
Bersambung ....
"Asma, besok pertunangan Rani dan Bagas akan dilaksanakan. Umi harap kamu datang ke rumah, ya!" tutur wanita yang mengenakan hijab syar'i itu pada Asma.Wanita yang sedang memangku bayi berusia dua tahun itu hanya terdiam. Sorot matanya menatap kosong dengan wajah murung pada Umi."Lupakanlah apa yang Abah ucapkan padamu. Kamu kan tahu sendiri Abah itu seperti apa," imbuh Umi dengan wajah memelas pada Asma."Iya Umi, nanti Wisnu dan Asma pasti akan datang ke acara pertunangan Rani!" seloroh Wisnu yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.Umi terkesiap membenarkan posisi duduknya. Sementara Asma menoleh ke arah lelaki yang berjalan ke arahnya dengan tatapan datar."Umi tenang saja, aku dan Asma pasti datang ke rumah!" tegas Wisnu disambut anggukan dan senyuman haru oleh Umi.Asma dan Wisnu melihat pada kepergian Umi. Wanita bertubuh tambun itu perlahan menuruni jalan setapak yang berada di bawah kaki bukit untuk menuju ke rumah Asma. Kebetulan rumah Asma terletak di atas perbukitan
Lelaki yang mengenakan baju berwarna putih itu menepis kasar tangan Wisnu. Perlahan Wisnu pun menarik kembali uluran tangannya."Abah!" sentak Asma menaikkan nada suaranya seraya menatap nanar kepada Abah."Siapa yang mengundang kalian datang ke sini?" cetus Abah dengan wajah kesal."Bukankah Abah sudah bilang sama kamu, Asma. Selama kamu masih menjadi istri dari lelaki miskin ini jangan pernah injakan kakimu di rumah Abah!" ucap Abah penuh penekanan.Tubuh Asma seketika bergetar hebat. Seluruh pasang mata yang berada di pesta itu menatap pada Wisnu dan juga Asma dengan tatapan aneh. Suara menggelegar apa cukup menarik perhatian para tamu undangan."Abah!" Asma menaikkan nada suaranya menatap nyalang pada lelaki bertubuh kurus tinggi yang berdiri di hadapannya."Umi yang mengundang mereka datang ke sini, Abah!" cetus Umi dengan suara bergetar. Butiran bening sudah memenuhi pelupuk mata tua itu."Untuk apa Umi mengundang mereka, bikin malu saja!" cetus Rani dengan nada sinis, membuang
Asma berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Wanita bertubuh tambun yang sedari tadi menjaga Akbar segera bangkit menyambut kedatangan Asma."Bagaimana Asma, apakah kamu sudah menemukan Wisnu!" beo Umi terlihat panik sama seperti halnya Asma.Wanita yang mengenakan kerudung coklat itu menggeleng lembut dengan wajah sembab. "Aku tidak menemukan Bang Wisnu, Umi!" lirih Asma.Umi terduduk lesu di samping Asma. Wanita paruh baya itu mengusap lembut bahu Asma yang terlihat sangat sedih sekali."Apakah Wisnu tidak ada di tempat kerjanya?" tanya Umi yang dibalas gelengan oleh Asma. Kesedihan nampak jelas pada wajah gadis itu."Tidak ada, Umi!" lirih Asma.Umi menghela nafas panjang. Jemarinya masih setia mengusap lembut bahu Asma. "Sepertinya Wisnu benar-benar marah dengan sikap Abah semalam, Asma!" tutur Umi dengan nada lesu. Sorot matanya menatap lurus dengan wajah berfikir."Asma tidak tau Umi. Baru kali ini Bang Wisnu pergi tanpa pamit kepadaku seperti ini. Biasanya dia tidak pernah sepert
Abah menerobos masuk ke dalam rumah Asma. Saat wanita itu menolak memberikan buku nikah miliknya kepada Abah."Jangan Abah! Jangan!" seru Asma terisak menarik pergelangan tangan Abah.Abah membuka lemari Asma dan mencari buku pernikahan itu sendiri. Lelaki itu melempar baju-baju Asma yang berdiri di dalam lemari ke sembarang tempat."Di mana kamu menyembunyikan buku itu, Asma!" erang Abah menggeledah seluruh rumah Asma, lelaki itu semakin kesal karena tidak dapat menentukan apapun."Jangan Abah, aku tidak ingin berpisah dengan Bang Wisnu, Bah!" Tangis Asma pecah.Bruak!"Kamu harus berpisah dengan Wisnu. Lelaki tidak bertanggungjawab itu tidak akan pernah bisa membuatmu bahagia, Asma!" Dengan wajah merah menyala Abah mengacungkan jari telunjuknya ke arah Asma yang tersungkur di sudut ruangan."Jangan Abah! Asma mohon!" Asma menelangkupkan kedua tangannya memohon kepada Abah. Namun lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan Asma. Ia terus mencari keberadaan buku nikah yang akan ia guna
Tubuh Asma semakin kurus, memikirkan keberadaan Wisnu yang tidak kunjung kembali. Ia tidak tau kemana lagi harus mencari keberadaan lelaki itu dan pada siapa harus menanyakan keberadaannya.Asma melirik sedih' pada Akbar yang sedang menonton tayangan pada layar televisi. Tidak terasa butiran bening jatuh membahasi pipi wanita itu."Akbar, sini sayang!" seru Asma memangil Akbar yang menoleh ke arahnya karena mendengar isakan Asma yang duduk pada bangku di depan layar televisi yang menyala.Balita yang baru belajar berjalan itu melangkahkan kakinya pelan menghampiri Asma. Sorot mata polos itu memperhatikan wajah Asma dengan seksama. Membuat hati Asma semakin trenyuh, mengingat keberadaan Ayah dari bocah berusia hampir 2 tahun itu yang tidak kunjung kembali. "Kemana perginya Ayahmu, Nak!" lirih Asma memeluk tubuh Akbar."Apakah Ayahmu tidak merindukan kamu!" ucap Asma dengan terisak."Aslamualaikum!" Suara salam yang berasal dari luar rumah membuat Asma segera menghapus air mata yang me
Mobil berwarna hitam milik petugas kelurahan yang membawa Asma dan Abah telah tiba di depan gedung pengadilan negeri yang berada di pusat kota. Lelaki bertubuh kurus itu bergegas turun dari dalam mobil. Diikuti pria berseragam coklat yang duduk di bangku kemudi, sementara Asma turun paling akhir. Sepanjang perjalanan wanita bergamis tosca itu diam seribu bahasa. Rasa sakit berkecamuk di dalam dadanya."Apakah bisa hari ini kita daftar, tapi langsung melakukan persidangan?" tanya Abah dengan nada memburui pada lelaki yang berjalan sejajarinya. Lelaki bertubuh kurus itu sudah tidak sabar untuk memisahkan Asma dengan Wisnu.Lelaki berseragam coklat itu sekilas menatap pada Abah. "Tentu saja tidak bisa, Bah. Kita harus menunggu beberapa hari lagi. Baru kita bisa melakukan persidangan," balas lelaki itu. Abah mengangguk lembut tanda mengerti.Saat mereka tiba di dalam gedung, rupanya sudah banyak sekali orang yang ingin mendaftarkan perceraian atau sedang menunggu persidangan. Lelaki berse
Lelaki yang duduk pada bangku paling depan menjatuhkan tatapannya sekilas kepada Asma sebelum suara ketukan palu itu terdengar. Tanda jika persidangan akan segera dimulai."Saudara Asma ...!" Belum sempat Hakim melanjutkan kalimatnya seseorang datang menghampiri lelaki itu. Mendekatkan tubuhnya lalu berbisik. Yang mulia hakim mengangguk tanda mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan. "Baiklah!" ucap Yang mulia hakim yang terlihat dari gerakan bibirnya pada lelaki yang berjalan meninggalkan ruang pesien."Ibu Asma shafiyyatul qolbu, sidang gugat cerai yang anda ajukan tidak bisa dilanjutkan," tegas suara lantang dari yang mulia Hakim. Wajah Asma seketika berbinar. Senyuman haru tersungging dari kedua sudut bibirnya. Ia tidak peduli mengapa Hakim menggagalkan persidangannya. Yang terpenting ia tidak jadi bercerai dengan Wisnu.Abah bangkit dari bangku dengan wajah memerah. "Kenapa tidak bisa dilanjutkan yang mulia?" seru lelaki bertubuh kurus itu dengan wajah kesal. Suaranya mengge
Wisnu mengerjap bangun, dengan wajah bingung. Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah kamar, tempat sumber suara ponsel itu terdengar. Asma yang penasaran ikut bangkit dan mengekori Wisnu. Ia sudah mendapati Wisnu berdiri di samping tumpukan pakaian kotor yang belum sempat tiap ia pindahkan ke kamar mandi. Lelaki tampan itu terlihat sibuk dengan benda pintar yang berada di tangannya."Itu ponsel siapa, Bang?" tanya Asma.Wisnu mengalihkan tatapannya kepada Asma. "Ini, emh ... Ini ponsel milik atasan Abang Neng. Kebetulan kemarin pas kami perjalanan pulang beliau menitipkannya sama Abang. Eh tapi Abang lupa memberikannya," jawab Wisnu mengukir ulasan senyuman kepada Asma. Wajah wanita dengan pakaian tertutup itu menghela nafas lega."Oh, aku kira ini ponsel milik Abang!" Asma meraih benda pipih berlogo buah apel dari tangan Wisnu. Membolak-balikkannya untuk sesaat."Bukan Neng mana mungkin Abang bisa beli ponsel samahal ini. Bisa membahagiakan Neng Asma saja Abang sudah senang," balas