Share

Dibohongi Suami yang Ternyata Kaya
Dibohongi Suami yang Ternyata Kaya
Penulis: Ayu Kristin

Bab 1

"Bagaimana, suamimu sudah pulang?" cetus lelaki yang duduk pada bangku di depan layar televisi itu dengan nada ketus.

Gerakan tangan Asma yang sedang memotong wortel pun terhenti. Dadanya bergemuruh menahan kesal.

Jarak antara dapur dan ruang televisi yang hanya dibatasi oleh dinding tembok membuat Asma dapat mendengar jelas ucapan lelaki bertubuh kurus tinggi yang sedari tadi mengawasinya.

"Balum, Abah!" sahut Asma lirih tanpa berani menoleh pada lelaki yang sudah 

membesarkannya.

"Ceraikan saja Wisnu! Lelaki yang tidak dapat bertanggung jawab itu tidak perlu kamu pertahankan, Asma!" Suara Abah semakin meninggi. Wajahnya merah menyala menatap kepada Asma.

Sejak dulu Abah memang tidak pernah menyukai Wisnu. Hanya saja, lelaki Asing itu bersikeras untuk meminang Asma dan berjanji akan membahagiakan gadis cantik, anak sulung Abah.

"Bang Wisnu bukan tidak bertanggung jawab, Abah! Rejeki itu sudah ada yang mengatur," sahut Asma.

"Kalau hanya bekerja jadi buruh pemetik teh, kapan kamu bisa hidup cukup Asma. Untuk makan saja kamu tidak kenyang!" hardik Abah sinis.

Wanita dengan kerudung besar yang berada di samping Asma hanya terdiam. Menyentuh lembut pada punggung tangan Asma yang masih memegang pisau untuk meredam amarahnya.

Asma menghela nafas panjang menatap pada wanita itu. Wajah Asma terlihat begitu kesal. Namun tatapan nanar Umi membuat wanita itu mengurungkan niatnya untuk membalas ucapan Abah.

"Kalau sampai besok Wisnu tidak pulang. Maka Abah sendiri yang akan mengajukan surat perceraian kamu di pengadilan, Asma!" Lelaki dengan wajah kesal itu beranjak dari bangku yang berada di depan televisi masuk ke dalam kamar.

Beberapa saat suasana menjadi hening. Asma terdiam dan kembali' memotong wortel yang ada di atas telenan. Dadanya terasa sesak menahan air mata yang sejak tadi menggenang.

"Sudah Asma, kamu tidak perlu mendengarkan kata-kata Abahmu. Asalkan kamu bahagia, Umi juga bahagia!" tutur lembut wanita yang telah melahirkan Asma.

"Dukung saja terus, Umi! Biar Kak Asma semakin berani. Punya suami buruh saja bangga!" seloroh seorang gadis muda yang tiba-tiba muncul dari ambang pintu dapur.

"Rani!" Umi menaikkan nada suaranya menatap tajam pada Rani. Gadis cantik berkulit putih yang melipat kedua tangannya melihat sinis pada Asma.

"Mbak Asma, kalau aku jadi Mbak Asma, aku pasti sudah meninggalkan Bang Wisnu. Lelaki miskin yang tidak memiliki apa-apa. Masak iya, Mbak Asma setiap hari akan meminta makanan kepada kami?" hina Ratih seketika membuat Asma menatap tajam ke arah adik bungsunya.

"Jaga mulutmu, Rani!" balas Asma.

"Makanya cari jodoh itu seperti aku dong mandor proyek. Banyak uang dan tidak miskin seperti suami Mbak Asma. Lelaki nggak jelas kok di nikahi!" hina Rani berlalu masuk ke dalam kamar mandi yang berada di samping dapur.

"Sudah Asma, sudah! Sabar, tidak usah kamu mendengarkan ucapan Rani. Dia memang seperti itu!" Umi berusah menenangkan Asma yang mulai terbakar amarah.

Butiran bening kian memenuhi pelupuk mata wanita itu. "Umi, Asma pulang dulu ya!" sergah Asma bergegas mempercepat langkah kakinya. Butiran bening luruh membasahi pipinya.

"Asma tunggu! Sayur buat Akbar belum matang, Asma. Tunggulah sebentar lagi!" seru Umi yang tidak diindahkan oleh Asma.

Wanita yang tengah menangis itu berlari cepat menuju rumahnya yang terletak tidak jauh dan kediaman kedua orang tuanya. 

Asma memelankan langkah kakinya saat mendengar suara seseorang yang sedang mengaji dengan tartil dari dalam rumah sederhana miliknya. Rumah yang sudah Wisnu bangunkan untuknya di atas tanah kecil di sudut kampung.

"Abang!" 

Segera Asma menyeka air mata yang membasahi pipi dengan ujung kerudung yang ia kenakan. Beberapa kali Asma menghela nafas panjang untuk melonggarkan rasa sesak yang menghujam dada.

Seorang lelaki sedang membaca kitab suci Alquran dengan sangat khusuk dari balik pintu yang terbuka. Semantara balita berusia dua tahun itu masih terlelap di atas rajang, sama seperti saat Asma meninggalkannya beberapa waktu lalu. Saat Umi datang meminta tolong pada Asma untuk memasaknya sayur sop. Karena Umi sedang tidak enak badan.

"Assalamualaikum!" lirih Asma.

"Wa'alaikum salam!" sahut Wisnu. "Shadaqallahul adzim!" Wisnu mencium sesaat kitab suci yang berada di tangannya, kemudian melirik kepada Asma yang mematung di ambang pintu.

"Abang!" Asma berhambur menjatuhkan tubuhnya memeluk Wisnu. Dengan sesegukan Asma menumpahkan tangisannya pada dada bidang lelaki bertubuh tinggi besar dengan bulu halus di sekitar rahangnya itu.

"Ada apa, Asma?" Wisnu terlihat panik. Ia berusaha melepaskan pelukan Asma. Namun, wanita yang mengenakan kerudung berwarna salem itu justru semakin mengeratkan pelukannya.

Wisnu menghela nafas panjang. Mengusap lembut punggung Asma seraya meletakan dagu lancipnya di atas pucuk kepala Asma yang berada di dalam pelukannya.

"Sudah jangan nangis!" ucap Wisnu dengan nada lembut.

"Bagaimana aku nggak sakit hati, Bang. Abah dan Rani selalu saja menghina Abang," adu Asma dengan suara bergetar. Wanita itu masih enggan beranjak dari pelukan Wisnu.

"Memangnya apa yang Abah dan Rani katakan, Neng?" tutur Wisnu lembut.

"Abah bilang, kalau Abang adalah lelaki yang tidak bertanggung jawab dan kalau Abang tidak pulang-pulang Abah akan memisahkan Neng dan Abang!" tangis Asma.

Perlahan Asma melepaskan pelukannya dari tubuh Wisnu. Lelaki biasa saja itu melemparkan senyuman lebar pada kedua sudut bibirnya pada Asma. Satu tangannya menyeka air mata yang membanjiri pipi Asma.

"Lalu apa yang Rani katakan sama, Neng?" tanya Wisnu.

"Katanya Neng tidak bisa memilih suami. Suami Neng orang miskin beda sama calon suami Rani yang seorang mandor proyek," lirih Asma dengan isakan yang mulai jarang terdengar.

Wisnu tersenyum hangat, ia menarik tubuh Asma kembali dalam pelukannya. Tapi sayangnya Asma justru menolak dengan bibir mengerucut.

"Kenapa lagi, Neng? Neng nggak kangen sama Abang?" ucap Wisnu menaikan kedua alisnya, menatap heran.

"Abang!" Asma melonjak kesal. Mencubit kecil pinggang Wisnu yang seketika memasang wajah meringis kesakitan.

"Apalagi yang salah Neng?" Wisnu memegangi pinggangnya yang terasa sakit.

"Nggak tau lah!" 

Asma beranjak bangkit meninggalkan Wisnu menuju keluar kamar dengan wajah kesal.

****

Asma duduk pada bangku yang berada di depan rumahnya. Sorot matanya menerawang jauh pada pemandangan perkebunan teh yang terhampar luas sejauh mata memandang. 

Wisnu perlahan mendudukkan tubuhnya di samping Asma. Lalu melingkarkan satu tangannya pada bahu Asma.

"Maafkan Abang ya!" ucap Wisnu menatap dalam pada Asma.

Asma masih terdiam. Beberapa saat berlalu wanita dengan kerudung berwarna salem itu menoleh ke arah Wisnu.

"Abang minta maaf untuk apa?" tanya Asma menatap lekat pada suaminya.

Wisnu meringis kemudian menggeleng lembut.

"Abang!" Lagi-lagi Asma menghujani Wisnu dengan cubitan. 

"Sakit Neng, sakit!" rintih Wisnu.

Asma mengehentikan gerakan tangannya mencubit Wisnu. Namun wanita itu kembali terisak.

"Kok menangis lagi?" Wisnu segera menghapus air mata yang berlinang membasahi pipi Asma.

"Kenapa Abang tidak marah, harusnya Abang kan marah sama Abah. Sudah sering Abah menghina Abang dan sekarang Abah justru ingin memisahkan kita!" Tangis Asma sesenggukan.

Wisnu kembali mengukir sebuah senyuman. "Tidak, Abang tidak akan marah dengan Abah. Bagaimana bisa Abang marah pada seorang yang sudah memberikan Abang istri sebaik Neng Asma!" tutur Wisnu semakin membuat Asma terharu dan juga merasa sangat beruntung.

*****

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar Ni
saya pikir suami yg taat agama e ternyata endingnya lelaki pengkhianat hemmmmz
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status