“Apaan sih, Mas? Jangan ngaco deh!”Astuti melepaskan tangan Tama dari bahunya dengan kasar. Astuti sudah terbiasa dengan ancaman Tama dan jika dia semakin takut menghadapi pria ini, maka Tama akan semakin memaksanya melakukan hal yang tidak ia inginkan. Astuti menghela napas teringat foto tadi. Ia berkata dengan enggan, “Lagian ngapain sih kamu pake buntutin saya ke kampus segala? Untung Mas Tama nggak dicurigai sama staf fakultas. Kalau ketahuan gimana, coba?”Tama mendecak pelan. Setelah berkali-kali diancam, tampaknya Astuti sudah kebal dengan perkataannya. Tama menyugar surainya ke belakang dengan kesal, “Seandainya kamu nggak jadi pelakor, ngapain juga saya buntutin kamu, hah?”“Tadi itu Mas Dipta cuma bantuin aku biar nggak jatuh,” ujar Astuti, melempar pandangan ke luar jendela. “Selain itu, Mas Tama nggak tahu apa-apa. Karena sebenarnya Mas Dipta itu—“Menyadari dirinya akan mengungkapkan sesuatu yang ia janji akan rahasiakan, Astuti segera mengatupkan mulutnya rapat-rapat. D
“Dia ngapain ke sini sih? Apa dia nguntit aku?” batin Astuti gelisah.Astuti berniat kabur saja daripada berurusan dengan Tama lagi, tetapi jendela mobil Tama terbuka dan pria itu tampak melambaikan tangan padanya. Jantung Astuti seolah berhenti berdetak. Bisa-bisanya pria itu datang ke kampusnya dan menjemputnya secara terang-terangan? Di depan teman-temannya pula!“Tuti, itu tuh udah ditunggu!” ujar Farah sambil mengguncang lengan Astuti.Astuti tetap membeku di tempatnya, membuat teman-temannya kebingungan. “Kenapa kayak kaget gitu sih? Kayak nggak kenal aja,” timpal Risa. “Udah jelas-jelas loh dia nyariin kamu tuh.”“Hooh, tadi aja aku udah mau keluar gerbang, tapi Mas-Mas itu manggil aku. Tanya, ‘Kenal Astuti nggak?’. Pas aku bilang kenal, dia minta tolong aku buat panggilin kamu,” Farah menjelaskan dengan alis bergerak-gerak heran. “Siapanya kamu sih? Gaya bener dijemput sama mobil.”Sejenak Astuti mengalihkan pandangannya dari Tama. Pertanyaan Farah membuatnya tidak bisa menja
Tama merasa geram dengan sikap Dipta. Sekeras apapun Astuti menyangkal hubungannya dengan Dipta, nyatanya mereka memang lebih spesial dari sekadar dosen dan mahasiswa. Sekarang karena Tama sudah melihatnya dengan mata kepalanya sendiri, Tama sudah sangat yakin untuk memberi Astuti pelajaran lebih.“Kamu boleh mengelak soal hubungan kalian, Dipta, Astuti, tapi dengan bukti ini kalian nggak bisa lari lagi,” gumam Tama jengkel. Ia segera merogoh ponsel dari saku celananya, memilih ikon kamera, dan segera memotret kejadian tersebut. Tama mengambil beberapa foto sekaligus untuk dijadikan bukti. Sekarang, Tama tinggal melihat bagaimana kelanjutan mereka sambil tetap bersembunyi di sini.Sementara itu, Astuti secara otomatis berpegangan pada dada Dipta. Wajah mereka sudah tinggal sejengkal dan Astuti bahkan bisa merasakan hangat napas Dipta menerpanya. Namun, Astuti sadar dengan posisi yang sangat mudah disalahpahami itu. Ia pun mendorong Dipta menjauh dengan kasar dan mundur beberapa langka
Sayangnya, Tama sudah melihat itu. Dia membaca dengan jelas nama yang tertera di layar ponsel Dipta yang berkedip, menandakan Dipta memang sedang menghubungi Astuti. Namun, Dipta langsung menyahut ponselnya dari karpet dan kembali mengantonginya. Wajah pria itu terlihat gugup.“Astuti? Siapa cewek bernama Astuti ini, Bang?” tanya Tama, menjaga suaranya tetap netral.Dipta menghela napas pendek. Benar-benar tidak menyangka dengan kunjungan dadakan adik- iparnya. “Bukan siapa-siapa, Pangeran.”Tama mengulas senyum miring. Apa Dipta pikir Tama tidak tahu apa-apa soal Astuti? Namun, Tama memutuskan untuk ikut dalam alur permainan Dipta. Bagi Tama, Dipta terlihat seperti penjahat yang sedang menyembunyikan bangkainya. Dan Tama bisa mencium aroma mencurigakan itu.“Masa sih bukan siapa-siapa, Bang? Kayaknya penting banget? Bang Dipta kelihatan bingung waktu si Astuti ini nggak ngangkat telponnya,” ujar Tama, berusaha memojokkan Dipta.Akan tetapi, Dipta malah bereaksi dengan tenang. Kegugup
PANGERAN 8Tama terdiam di kursi kemudi, memperhatikan Prita yang menempel dengan manja pada pacar barunya. Sejenak Tama teringat pada kisah mereka yang sudah lalu. Dulu masih ada cinta di antara mereka sebelum Prita menjadi pramugari. Prita adalah wanita lugu yang selalu tersenyum bahkan pada lelucon garing Tama.Namun, manusia memang memiliki seribu topeng di balik wajah mereka. Tama merasa menghabiskan seluruh masa mudanya untuk membahagiakan Prita. Lalu setelah kegunaannya habis, Prita mencampakkannya dengan lari ke pelukan pria lain.Tama menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan sesak di hatinya. Sisa-sisa cinta itu masih ada, tetapi tidak sekuat dulu. Luka yang diberi Prita terlalu dalam sehingga Tama merasakan pahit-manis yang membingungkan.“Ternyata kamu cuma manfaatin aku sebagai mesin uang kamu,” ujar Tama lirih. Ia memutuskan untuk mengikuti Prita, mencari tahu pria macam mana yang kali ini berkencan dengan wanita itu.Tama turun dari mobil. Ia menjaga jarak seaman
Astuti membeku merasakan bibir Tama menimpanya. Sejenak dia tidak bisa bergerak maupun berpikir. Tama juga tampak tidak berniat melepas tautan bibirnya dan malah mendorong kepalanya semakin mendekat. Astuti mengerjap cepat ketika tubuh Tama menekannya di kursi mobil. Begitu mendapatkan kekuatannya, Astuti segera mendorong Tama menjauh dan mendaratkan sebuah tamparan keras ke pipinya.Plak!“Apa-apaan kamu, Mas!? Bisa-bisanya kamu ngelakuin hal serendah ini sama saya!?” seru Astuti dengan napas memburu. Telapak tangannya terasa panas dan nyeri setelah menampar Tama. Ia melihat Tama membelalak dengan kepala tertoleh ke samping. Pria itu tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja didapatkannya.Tama meraih kerah blus yang Astuti kenakan dan menariknya mendekat. “Kamu berani menampar saya!? Nyali kamu besar juga, hm!?”“Itu karena Mas Tama cium saya tanpa izin!” bentak Astuti sembari menendang-nendang paha Tama agar menjauhinya. “Lepaskan saya! Saya bisa pergi ke rumah sakit sendiri!