Wajah Nyonya Mona memerah, campuran antara rasa marah dan malu yang dirasakannya karena perbuatan Nilam. Sementara itu, Nilam masih berdiri mematung seraya menatap Indra yang membuang wajah dan bersikap seolah tidak mengenalnya.
Nyonya Mona berdiri dan menghampiri Nilam. "Apa-apaan ini, Nilam?" serunya membentak Nilam. Nilam terkesiap. Ia tersadar dan langsung kaget menyadari nampan yang tadi dipegangnya sudah tidak lagi di tangan. Matanya terbelalak melihat kepingan gelas dan air menggenangi lantai. "Kamu ini bisa kerja atau nggak sebenarnya, hah! Bikin malu saja!" maki Nyonya Mona lagi dengan emosi yang tertahan. Tampak ia berusaha tidak terlalu melampiaskan kekesalannya karena perlu menjaga muka di hadapan calon besan dan calon menantu. "M-maaf, Nya," balas Nilam yang masih shock dengan kehadiran Indra di sana. "Cepat bersihkan!" perintah Nyonya Mona. Nilam langsung berjongkok dan membersihkan kekacauan yang tidak sengaja diciptakannya itu. Tangannya tanpa sadar bergetar hebat. Ia sesekali melirik ke arah Indra. Pria itu benar-benar bersikap seolah tidak kenal dengannya. Indra malah tampak mesra saling bertatapan dengan Selina. Perasaan Nilam berkecamuk tidak karuan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah pria yang dimaksud Nyonya Mona sebagai calon suami putrinya adalah Indra? Bagaimana mungkin itu terjadi? Sementara itu, ibu Indra ternyata menyadari kalau gadis yang tengah membersihkan lantai itu adalah tetangga mereka. "Loh, kamu Nilam, kan?" tanya wanita paruh baya itu. Nilam mengangguk dengan bibir bungkam. Ia berusaha keras fokus memasukkan kepingan gelas pecah ke dalam teko yang untungnya tidak ikut pecah. "Kamu kerja di sini, Lam?" tanya ibu Indra lagi. Sebelum Nilam menjawab, Nyonya Mona sudah menyahut terlebih dahulu. "Ibu kenal sama anak ini?" tanyanya penasaran. Ibunya Indra mengangguk yakin. Meskipun beberapa tahun belakangan jarang berinteraksi dengan Nilam, tetapi ia yakin gadis itu adalah tetangganya yang waktu kecil sering menjadi teman bermain sang putra. "Dia ini kan tetangga kami, Bu," jawab ibunya Indra. Nyonya Mona manggut-manggut. "Anak ini baru gantiin ibunya kerja. Yang biasa kerja di sini itu ibunya, tapi karena katanya lagi sakit jadi dia yang gantiin." "Oalah," balas ibu Indra singkat. "Tapi baru pertama kerja malah nggak becus," sindir Nyonya Mona, membuat Nilam tersentak dan bergerak lebih cepat menyelesaikan apa yang tengah dilakukannya. "Mungkin masih grogi, Bu," sahut ibu Indra. "Saya minta maaf, ya. Jadi terganggu acara lamaran anak kita," kata Nyonya Mona lagi. "Iya, nggak apa-apa, Bu." Apa Nilam tidak salah dengar? Lamaran? Jadi... Indra benar-benar calon suami dari putri Nyonya Mona dan sekarang mereka malah sedang lamaran? Untungnya, Mbok Dasimah datang membawa cemilan dan menyadari apa yang terjadi di ruang tamu tersebut. Ia membantu Nilam yang masih tremor membersihkan minuman yang menggenangi lantai. Untung saja Nilam tidak menumpahkan minuman tersebut ke karpet, hanya ke lantai marmer. Kalau tidak, Nyonya Mona pasti akan lebih marah kepadanya. "Ayo ke dapur," bisik Mbok Dasimah karena Nilam masih belum beranjak padahal lantai sudah bersih. Mbok Dasimah membantu membawa nampan dan teko berisi pecahan gelas itu ke belakang. Nilam melirik ke arah Indra sekali lagi. Pria itu masih saja bersikap seolah tidak kenal dengannya dan justru bergandengan mesra dengan Selina. Sakit. Sakit sekali. Tak hanya hati Nilam, tetapi juga jarinya yang ternyata berdarah terkena pecahan beling. Batin Nilam bergejolak. Di satu sisi, ia ingin menghampiri Indra dan menanyakan apa maksud pria tersebut. Mengapa Indra tiba-tiba malah menjalin hubungan dengan gadis lain? Bukankah ia sudah berjanji akan menikahi Nilam? Nilam bahkan sudah berusaha keras memantaskan diri agar Indra memenuhi janjinya. Tak bisa dipungkiri, pria itu adalah salah satu alasan yang membuat Nilam bersemangat menjalani kuliahnya hingga akhirnya menyandang gelar sarjana. Namun, apa yang Nilam lihat sekarang? Setibanya di dapur, Nilam tak sanggup lagi menahan air mata yang menggenangi pelupuk matanya. Gadis itu menangis seraya membersihkan darah di jarinya dengan air wastafel. Rasanya pedih. Namun, tak bisa mengalahkan pedih di hati Nilam. Nilam masih tak menyangka hari ini akan menyaksikan pria yang didambakannya melamar wanita lain. Dan wanita itu adalah putri dari majikan ibunya sendiri. Mbok Dasimah menatap Nilam prihatin. Ia mengira Nilam menangis karena kesalahan yang baru dilakukannya dan kaget dengan kemarahan Nyonya Mona. "Gapapa, Nilam. Namanya pengalaman pertama kerja. Bu Mona emang agak pedas kalau ngomong," kata Mbok Dasimah. Nilam mengusap air matanya sambil mengangguk lemah. Berusaha keras mengendalikan kesedihan yang merongrongnya. Melihat Nilam menangis, Bi Pika, pembantu yang lain menghampiri mereka dan bertanya dengan penasaran. Mbok Dasimah menjelaskan sekaligus meminta tolong Bi Pika membuat minuman baru. Untungnya, Bi Pika tidak keberatan dan langsung membuat minuman yang diminta dan bahkan mengantarkannya ke ruang tamu. Mbok Dasimah melihat Nilam berusaha menekan jarinya yang luka dengan jari lain. "Tangan kamu luka begitu dan kayaknya kamu kecapekan, makanya nggak fokus." Bukannya Mbok Dasimah tidak tahu kalau seharian ini Nilam sudah bekerja keras membersihkan rumah tersebut. Gadis itu juga membantu memasak untuk tamu. Nilam pasti kelelahan. Apalagi ini adalah hari pertama gadis itu bekerja. "Kamu nggak pernah jadi pembantu sebelum ini, kan?" tanya Mbok Dasimah lagi. Nilam menggelengkan kepala. "Belum, Mbok." "Makanya badan kamu kaget itu. Nggak apa-apa. Nanti lama-lama juga terbiasa. Yang penting mulai sekarang lebih fokus kerjanya. Jangan sering-sering bikin Bu Mona marah, takutnya dia nggak suka dan malah nyari pembantu lain." Tidak, Nilam tidak bisa membiarkan itu terjadi. Ia membutuhkan pekerjaan ini untuk membantu ibunya. Sekarang, ayahnya sudah tidak ada. Siap tidak siap, Nilam harus menggantikan tugas sang Ayah mencari nafkah. Ia tidak akan membiarkan ibunya menanggung beban itu sendirian. "Saya akan lebih fokus mulai sekarang, Mbok," janji Nilam tanpa semangat. Mbok Dasimah mengangguk kecil. "Udah, sekarang lebih baik kamu pulang aja," balasnya. "Tapi, Mbok. Nyonya Mona--" "Tenang, nanti biar saya yang gantiin kamu dan bilang sama Nyonya. Lagian tugas kamu kan sebenarnya udah selesai." Nilam masih berdiri dengan ragu. Ia ingat wajah marah Nyonya Mona tadi. "Tapi kalau Nyonya makin marah gimana, Mbok? Tadi Nyonya marah sama saya. Kalau saya pulang, Nonya pasti--" "Udah, nggak apa-apa, Nilam. Mbok yang izinin nanti," kata Mbok Dasimah lagi-lagi memotong ucapan Nilam. Nilam menarik napas panjang. Sejujurnya, ia memang membutuhkan waktu sendiri untuk meredam rasa sakit di hatinya. Ia ingin menangis sepuasnya tanpa dilihat orang lain. Dadanya benar-benar sesak sekarang seperti ditimpa gunung. Gadis itu akhirnya mengangguk patuh. "Serius nggak apa-apa, kan, Mbok?" "Iya, nggak apa-apa." "Makasih, ya, Mbok." Nilam akhirnya pulang tanpa izin terlebih dahulu kepada Nyonya Mona. Ia hanya bisa berharap wanita itu tidak semakin marah kepadanya. Di sepanjang jalan pulang, Nilam menangis sesegukan. Semuanya terasa seperti mimpi buruk. Sayangnya, semuanya memang nyata. Rasa perih di jarinya adalah buktinya. Ia tak perlu mencubit pipi untuk memastikan semua yang terjadi hari ini hanyalah mimpi. "Kenapa, Bang Indra?" bisik Nilam dalam hati. Saat melewati sebuah pondok yang dulu menjadi tempat bermainnya saat kecil sampai remaja, tangis Nilam semakin pilu. Dulu, di tempat itu, Indra lagi-lagi berjanji akan menikahinya suatu saat nanti. Pria itu bahkan memberikan sebuah cincin dari snack murah seolah ia benar-benar serius dengan perkataannya. "Abang janji suatu saat bakal ganti cincin ini dengan cincin emas beneran. Kamu do'ain Abang sukses, ya. Biar bisa lamar kamu," kata Indra saat itu. Nilam selalu percaya kalau suatu saat Indra akan datang melamarnya. Ia tak pernah memandang pria lain, padahal sebenarnya tak sedikit pemuda kampung atau bahkan teman kuliahnya yang tertarik kepadanya. Baginya, Indralah yang kelak akan menjadi suaminya. Namun sekarang, akankah hal itu terjadi di saat Nilam menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Indra melamar gadis lain? Kacau. Hati Nilam benar-benar tak karuan. Ia patah hati. "Padahal aku udah berusaha keras memantaskan diri biar kamu memenuhi janji itu, Bang. Kenapa kamu tega?" batin Nilam lirih. Nilam menghapus air mata saat hampir tiba di rumah. Ia tak ingin tampak sedih di hadapan ibunya karena hanya akan membuat sang Ibu khawatir. "Assalamu'alaikum," seru Nilam di depan pintu. "Waalaikumsalam." Nilam kaget begitu menyadari tak hanya sang Ibu yang menjawab salamnya. Ia menginjakkan kaki memasuki rumah. Ternyata ibunya sedang kedatangan tamu. "Nilam sudah pulang," sambut ibu Nilam. Nilam mengangguk sambil memaksakan senyum. Ia menghampiri sang Ibu dan menyalami tangan wanita tersayangnya itu. Nilam kemudian menatap wanita sepuh yang duduk di kursi tamu dengan seorang anak kecil dalam gendongannya. Mungkin, anak itu adalah cucunya. Nilam lagi-lagi memaksakan senyumnya kepada wanita tua itu. Ia menyalami wanita tua tersebut sambil berusaha mengingat-ingat karena wajah sang tamu rasanya tak asing. "Ingat sama Bu Salma nggak, Lam? Dulu Bapak kerja sama beliau," kata ibu Nilam. Oh, ya. Nilam baru ingat. Wanita itu dulu adalah majikan ayahnya sewaktu masih menjadi supir. Rumahnya berada di luar kota. Nilam ingat ayahnya jarang pulang karena bekerja di rumah wanita tua itu. Sang Ayah pernah memperkenalkan Nilam dan ibunya dengan sang majikan. Namun, Nilam hanya pernah bertemu wanita itu satu kali, itu pun saat masih SMA. Nilam menatap anak kecil yang berusia sekitar tiga atau empat tahunan dalam gendongan wanita tua itu. Ia tersenyum kepada anak lucu itu. "Hai cantik, nama kamu siapa?" tanya Nilam. Sebenarnya, Nilam tak memiliki tenaga untuk beramah tamah dan menyapa tamu ibunya. Ia ingin mengunci diri di kamar dan menangis sepuasnya. Meskipun sudah sempat menangis, tetapi Dadanya masih sesak. Ia butuh waktu untuk mencerna semua yang terjadi hari ini. Hanya saja, Nilam tak ingin bersikap tidak sopan dan main pergi ke kamar begitu saja. Bocah itu mengerjap menatap Nilam. Ia tak memalingkan wajah sedikit pun dan malah menatap Nilam dengan intens. Ada binar kebahagiaan yang terpancar di matanya. "Mama...?” ucap anak itu sambil mengusap pipi Nilam. Nilam dan semua yang berada di ruangan tersebut tentu saja terkejut atas ucapan spontan anak itu.Selina dan Hanif saling bungkam di mobil. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing setelah pertemuan dengan Nilam tadi. Nilam dan Galih terpaksa berpamitan pulang karena Bu Salma menelepon dan memberitahu bahwa Pangeran rewel. Hanif pun kepikiran dengan ibunya jika ia dan Selina pergi terlalu lama. Sebelum pulang, Nilam meminta kontak Selina untuk berhubungan. Bagi Nilam, masa lalu sudah tidak penting lagi. Karena biang masalahnya tidak ada di kota ini.“Mas.” Selina tiba-tiba memanggil, memecah keheningan.Hanif menoleh sekilas. “Hm?”“Apa yang kamu pikiran, Mas, soal kata-katanya Bu Danyon?” tanyanya.Sejenak Hanif menimang-nimang jawabannya. Dia tidak ingin berprasangka buruk kepada ‘dia’, tetapi perkataan Nilam jelas merujuk kepada mantan kekasihnya itu. Hanif meremas kemudinya dengan erat. “Kamu pasti tahu apa yang saya pikirkan, Sel. Tapi, untuk saat ini, kita pantau dulu situasinya. Saya nggak ingin menuduh orang sembarangan.”“Aku juga begitu, Mas.” Selina menatap ja
Hanif dan Selina setuju bahwa mereka akan bertemu Nilam dan Galih. Menurut penuturan Hanif, Galih menghubunginya setelah meminta kontak dari salah satu kenalan di kesatuan. Sangat mudah bagi Galih untuk menjangkau Hanif meski telah dipindahtugaskan beberapa tahun silam. Itu sebabnya Galih bisa menemukan kontak Hanif dengan cepat.Hari ini Hanif dan Selina pergi ke tempat perjanjian. Mereka akan bertemu dengan Galih dan Nilam di restoran yang tak jauh dari kediaman Bu Ira. Sebelum pergi, Hanif meminta tolong kepada Bu Silvi untuk menjaga sang ibu selama setengah hari. Rencananya Hanif akan kembali sebelum siang agar tidak terlalu merepotkan Bu Silvi. Semoga saja perbincangan mereka nanti bisa cepat diselesaikan.Sementara Hanif berkendara dengan tenang di balik kemudi, Selina terus-terusan menoleh ke belakang dengan gelisah. Tangan wanita itu berkeringat dingin memegangi sabuk pengaman, ekspresinya terlihat tidak tenang. Hanif melirik Selina melalui spion tengah dan mendesah pelan.“Se
“Awas aja kalau kalian gagal. Bayaran yang kujanjikan akan langsung kucancel! Titik!” geram Mia kemudian mengakhiri teleponnya secara sepihak.Saat Nilam melihat wanita itu pergi, Nilam memang tidak salah lihat. Wanita tadi memakai seragam perawat. Nilam benar-benar tidak menyangka orang mana yang masih saja mendendam kepada Selina. Nilam pikir, sudah cukup Indra yang menghancurkan hidup wanita itu, ternyata ada orang lain yang menginginkannya menderita.“Aku harus cepet-cepet nebus obat dan pulang. Entah kenapa, perasaanku nggak enak semakin lama di rumah sakit ini,” gumam Nilam. Dia mendekap Pangeran lebih erat kemudian mengantre untuk mengambil obat di apotek.Setelah mendapatkan obatnya, barulah Nilam kembali ke mobil dan langsung pulang ke rumah. Bu Salma yang saat itu tengah menyuapi Ara terlihat kebingungan dengan ekspresi Nilam. Menantunya terlihat pucat pasi dan buru-buru sekali keluar mobil.“Nak Nilam? Ada apa? Kok kayak habis dikejar hantu. Masih siang loh ini,” tanya Bu S
Selina benar-benar panik. Hanif membocorkan pernikahan mereka tanpa pikir panjang. Satrio terbatuk-batuk sambil mengibas-ibaskan pakaiannya yang basah terkena teh. Riyani juga hanya mematung dengan wajah cengo. Semua orang terdiam di ruang tamu. Hingga akhirnya Hanif merasakan keberadaan orang lain di ruangan itu dan memutar kepalanya ke belakang.“Selina?” panggil Hanif kaget. Ia pikir ini akan menjadi percakapan antar lelaki. Namun, nyatanya tidak. Siapa sangka jika Selina telah mendengar semuanya.Riyani yang telah tersadar segera menoleh kepada Selina, mengguncang bahu wanita itu dengan kuat. “Apa-apaan ini, Sel? Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa ke aku kalau udah nikah!?”“Bentar, bentar, Ri. Aku butuh waktu buat bicarain ini,” ungkap Selina. Dia melepaskan tangan Riyani kemudian berjalan cepat ke arah Hanif.“Mas, ikut aku. Kita bahas ini dulu berdua,” desak Selina, membuat Hanif sama sekali tidak bisa menolak.Mereka meninggalkan ruang tamu menuju kamar Selina. Pintu tertutup r
Pada akhir minggu, Riyani menyeret Satrio, teman satu pekerjaannya, untuk pergi bersamanya. Riyani sudah memegang informasi alamat tempat Selina bekerja. Dan pastilah wanita itu sedang senggang pada hari libur. Riyani membawa banyak sekali buah tangan dan berboncengan dengan Satrio menaiki sepeda motor antiknya. Motor itu sempat mogok dan baru menyala ketika Satrio menendang knalpotnya. Meski Satrio harus mengaduh kesakitan di sepanjang jalan. “Buset dah, Ri. Jauh amat tempat kerja Selina,” kata Satrio setelah sampai di halaman rumah Bu Ira. Riyani menjitak helm Satrio dengan kesal lalu melompat turun. “Ya gimana. Selina juga kerja karena kepepet keadaan. Kalau nggak, dia pasti bakal tetep bareng kita sampai sekarang.” “Emangnya, nggak papa kita ke sini? Ini ‘kan rumah majikannya.” “Asal nggak berisik sih, kurasa nggak papa, ya. Lagian aku kangen banget sama Selina. Tapi inget, Sat, jangan ngomong sembarangan atau kurobek mulut kamu!” ancam Riyani Galak. “Galak bener cewe
"Maksud Ibu, minta cucu dari Selina?" tanya Selina, sambil menunjuk dirinya sendiri dengan tak percaya. Selina tidak menyangka kenapa Bu Ira tiba-tiba meminta sesuatu yang jelas tidak bisa Selina berikan padanya. Bukankah wanita itu tahu bagaimana situasi pernikahannya dengan Hanif? Mereka hanya menikah tanpa perasaan. Jangankan memiliki anak, saling mencintai pun rasanya mustahil. Mata Selina bergetar menatap Bu Ira. Apa yang harus ia lakukan? Bu Ira mengangguk lemah. Ada harapan yang terlintas di mata tua wanita itu. Selina merasa ada beban baru yang menimpa bahunya. Tak pernah sekali pun terlintas di benaknya jika bekerja merawat seorang lansia yang sakit akan membawanya menuju titik ini. "Iya, Nak..." balas Bu Ira lirih. "Ibu... ingin melihat cucu... kamu dan Hanif..." Selina mengembuskan napas panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Kenapa Ibu tiba-tiba membicarakan soal cucu? Ada yang mau Ibu sampaikan ke Selina?" "Sebelum Ibu tiada... Sekali saja..." Ucapan Bu