Share

Tamu

Author: Brata Yudha
last update Last Updated: 2025-05-19 02:51:06

“Mama!” Anak kecil itu terus memanggil Nilam dengan sebutan Mama, sambil berusaha turun dari gendongan neneknya. Tangannya menggapai baju Nilam namun segera dihentikan oleh sang nenek.

“Ara, itu bukan Mama kamu, Sayang,” ucap Bu Salma menenangkan anak kecil bernama Ara itu.

Nilam sempat shock ketika ia dipanggil Mama. Tetapi kemudian menjadi haru saat Bu Salma—Mantan majikan ayahnya menjelaskan kenapa tingkah cucunya seperti ini.

“Maaf, ya, Nak Nilam. Ara memang merindukan figur seorang ibu. Sejak bayi, dia memang tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Ibu. Ibunya meninggal sewaktu melahirkan Ara. Jadi ya kadang-kadang suka begini, manggil-manggil Mama ke sembarang orang. Maaf ya, jadi nggak enak saya. Tapi sebenarnya saya juga kasihan sama Cucu saya ini. Ara butuh sosok seorang ibu, tapi... papanya malah belum mau menikah lagi hingga sekarang.” Bu Salma terlihat sedih saat menceritakan kehidupan cucunya.

Nilam terenyuh. Hatinya menjadi ikut sedih. Ia menatap bola mata gadis kecil itu yang terus menatap ke arahnya.

“Nggak apa-apa, Bu Salma. Nilam juga suka anak kecil, kok. Ya, ‘kan, Lam?” sahut ibunya Nilam.

Nilam hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan ibunya. Ia malah fokus menatap Ara. Lalu meraih tangan mungil gadis kecil itu. Kulitnya putih sedikit kemerah-merahan, wajahnya begitu imut dan lucu seperti boneka. Orang tuanya pasti sangat tampan dan cantik hingga menghasilkan keturunan seperti Ara.

“Namanya siapa? Kamu tadi belum jawab pertanyaan Tante,” tanya Nilam dengan nada lembut.

Ara terlihat antusias. Ia bukan tipe anak yang penakut dan malu-malu. Kepribadiannya cukup ceria saat diajak mengobrol oleh siapa saja.

“Ara...” Anak itu tertawa kecil.

“Cantik namanya. Kayak yang punya.” Nilam menyentuh pipi Ara pelan. Membuat anak itu tertawa kecil.

Ia ingin sekali mengajaknya bermain lebih lama. Sayangnya, untuk saat ini tubuhnya dalam keadaan lengket dan bau. Ia tidak mau menyentuh anak secantik ini dengan tubuh kotornya.

“Ibu, Bu Salma, Nilam izin ke kamar mandi sebentar, ya. Mau bersih-bersih dulu.” Ia menyalimi ibunya dan Bu Salma sebelum kemudian masuk ke dalam kamarnya. Nilam juga melambaikan tangannya kepada Ara. “Nanti kita main lagi, yaaa,” katanya, yang dijawab dengan anggukan oleh gadis kecil itu.

-

Nilam tidak membutuhkan waktu lama di dalam kamar mandi. Setelah selesai bersih-bersih, ia sholat magrib dan kemudian ke luar untuk menemui Bu Salma dan Ara. Namun sayangnya, dua orang itu sudah tidak ada di ruang tamu.

“Eh, Bu Salma ke mana, Bu?” tanya Nilam. Padahal mereka belum mengobrol banyak. Ditambah tadi ia sudah berjanji akan bermain dengan Ara.

“Baru saja pulang,” jawab Ibunya sambil membawa gelas bekas teh ke dapur.

Nilam mengangguk sedih. Lalu memutuskan untuk duduk di atas kursi. Menikmati sisa pisang goreng yang tadi dihidangkan ibunya untuk Bu Salma dan Ara.

“Bu, tumben Bu Salma ke rumah kita. Nilam juga lupa kapan terakhir kali melihat beliau. Ada urusan apa, Bu?” tanya Nilam saat ibunya ikut duduk di kursi. 

“Mau belasungkawa atas kepergian Bapak. Ibu soalnya lupa kasih tau Bu Salma soal kematian Bapak kemarin. Ya jadinya beliau baru mampir ke sini.”

“Ooh. Tapi Nilam baru tahu lho Bu Salma punya Cucu yang masih kecil.” Karena, dulu saat Bapaknya masih ada, ketika ia diajak ke rumah Bu Salma, Nilam tidak pernah melihat anak-anak atau cucunya Bu Salma. Ya, meski sebenarnya Nilam juga hanya menunggu di luar. 

“Memang belum lama punya cucunya. Itu anaknya kan sudah menikah lama baru punya anak. Sepuluh tahun kalau nggak salah menantunya Bu Salma nggak hamil-hamil. Begitu dikasih rezeki dan melahirkan anak pertamanya, malah menantunya wafat. Kasihan sekali,” jawab ibunya dengan mimik wajah prihatin.

“Anaknya Bu Salma cuma satu?”

Ibunya Nilam mengangguk. “Itupun nggak tinggal serumah.”

“Lho, kenapa?” tanya Nilam penasaran. 

Namun, bukannya menjawab, ibunya malah menatap Nilam dengan serius. Hingga membuat Nilam kesusahan menelan pisang goreng di mulutnya.

“Ada apa, Bu. Kok ngeliatin Nilam kayak gitu?” tanyanya.

Sang Ibu menggeleng. “Sebenarnya, ada sesuatu yang mau ibu bicarakan sama kamu, Lam.”

Nilam mengangguk menunggu apa yang akan dikatakan ibunya. Sang Ibu terlihat menarik napas dalam. Membuat Nilam semakin penasaran.

“Iya, Bu? Kenapa?” tanyanya. 

“Begini, Nak. Kamu tadi lihat anak kecil tadi 'kan? Ara.”

Nilam mengangguk lagi. Masih mengunyah pisang goreng di tangannya pelan.

“Seperti yang kamu lihat. Dia sangat butuh sosok Ibu.”

Kunyahan Nilam makin pelan. Ia tidak tau ke mana arah percakapan itu. Tetapi Nilam terus menyimak ucapan Ibunya.

“Sebenarnya, Bu Salma ke sini tadi, selain mau berbelasungkawa atas kepergian Bapak juga karena....”

“Karena?”

Ibu Nilam tampak ragu mengatakannya. Tetapi kemudian ia melanjutkan, “karena pengen ngenalin kamu sama anaknya yang duda itu.”

Uhuk!

Seketika gorengan di tenggorokan Nilam masuk spontan hingga membuatnya terbatuk-batuk. Ia meraih gelas minum dan menegaknya cepat. Nilam hampir tidak bisa bernapas tadi saking kagetnya. Apa itu tadi? Apa itu artinya Nilam akan dijodohkan dengan duda anak satu? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
Nilam mau di jodohkan dengan mas duda nih
goodnovel comment avatar
cemploek
bagus ceritanya, lanjut baca aaaah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Pangeran 25 (Tamat)

    Tama langsung berdiri tegak. Matanya mengerjap berkali-kali, khawatir jika Astuti yang berdiri di depannya adalah halusinasi karena kurang tidur. Namun, setelah beberapa saat, sosok Astuti tidak kunjung menghilang dari hadapannya. Wanita itu nyata dan saat ini sedang tersenyum manis melihat reaksi Tama.Tama meraih bahu Astuti dan mencengkeramnya dengan erat. “Bentar, bentar. K-kamu Astuti?”Astuti tersenyum. “Terus siapa lagi? Masa Astono.”“T-tapi gimana bisa? Kamu... bukannya kamu pergi?”“Emangnya, aku pergi kemana, Mas?” tanya Astuti sambil memiringkan kepalanya bingung. Terheran-heran dengan ekspresi kaget Tama. “Aku nggak pergi ke mana-mana kok. Kenapa kamu liatin aku kayak gitu sih?”Tama menghela napas panjang. Ia merasa seseorang telah mempermainkannya. “Kata Bang Dipta dan Mbak Ara kamu pamitan ke Kalimantan. Ke kampung halaman bapak kamu.”“Hah!?” Astuti refleks terkesiap mendengar ucapan Tama. “Kalimantan apanya, Mas? Enggak tuh. Bapak aku aja orang asli sini. Aku nggak

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Pangeran 24

    Beberapa hari kemudian, suasana sudah menjadi lebih tenang. Kehidupan kembali seperti semula meski belum sepenuhnya baik-baik saja. Pagi itu, Ara memutuskan untuk mengunjungi rumah Astuti. Kebetulan Astuti tidak ada kelas pagi sehingga bisa menyambut kedatangan Ara. Rumah Astuti sudah ditata rapi seperti semula, tetapi suasana duka masih menyelimuti ekspresi wanita itu.Ara menggeleng pelan ketika Astuti hendak menjamunya dengan secangkir teh. Ia sudah banyak merepotkan Astuti selama ini.“Enggak usah, Dek. Kamu nggak perlu repot-repot nyiapin sesuatu. Kita bicara santai aja di sini,” kata Ara sambil menahan tangan Astuti.Astuti yang masih canggung mengangguk pelan. Ara tersenyum tipis, memperbaiki posisi duduknya, lantas melanjutkan, “Apa Pangeran udah menemui Dek Astuti lagi sejak tempo hari?”“Udah, Mbak,” jawab Astuti lembut. “Mas Tama sehari sekali selalu ke sini kok. Sekadar lihat saya sama adek atau belikan makanan. Biasanya, mampir setiap pulang kerja.”“Begitu, ya.” Ara be

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Pangeran 23

    Saat itu juga, Ara langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Mulanya, mereka mengira jika Ara pingsan karena beratnya tekanan emosional yang dia alami. Namun, ketika dokter memeriksanya, justru ada penyebab lain.Ara sudah sadar ketika dokter menjelaskan kondisinya kepada keluarga yang menunggu di luar. Samar-samar Ara bisa mendengar percakapan mereka. Jantungnya berdebar kencang begitu mendengar kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut sang dokter.“Selamat, Pak Dipta. Dari hasil pemeriksaan, Bu Ara positif hamil. Tubuh beliau masih beradaptasi dengan kehadiran janin dan sementara ini saya perkirakan kandungan Bu Ara berusia enam minggu. Sekali lagi, selamat ya,” papar Dokter dengan senyum lebar.Dipta berdiri mematung di tempat. Ara... hamil? Enam minggu? Itu artinya, sudah sebulan lebih Ara mengandung anaknya, tetapi tiada satupun di antara mereka yang tahu. Keluarga yang lain juga sama terkejutnya dengan Dipta. Setelah bertahun-tahun menikah, akhirnya Ara dan Dipta akan dikarunia

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Pangeran 22

    “Mbak Ara...?”“Pangeran? Kamu... kok di sini?” tanya Ara sambil melihat ke sekitar. Kursi-kursi dikeluarkan dan karpet digelar dengan beberapa toples camilan dan air mineral disuguhkan. Kenapa... suasananya seperti sedang berduka?“Ada apa ini?” tanya Ara. Tama mengikuti arah pandang Ara dan menjawab lesu, “Ibunya Astuti meninggal, Mbak. Mbak Ara ngapain ke sini?”“Ada sesuatu yang pengen Mbak omongin sama Astuti,” jawab Ara akhirnya, menatap Astuti tepat di kedua matanya. “Mbak minta maaf karena nggak tahu kamu sedang berduka, Dek, tapi boleh ‘kan Mbak masuk?”Astuti mengangguk kaku. Ia mempersilakan Ara masuk ke rumahnya meski dalam hati, ia bertanya-tanya darimana wanita itu mengetahui alamat rumahnya.Astuti meminta adiknya supaya menyingkir sebentar. Ia tidak ingin percakapan mereka didengar oleh adiknya karena khawatir anak itu akan berpikir yang tidak-tidak tentang mereka. “Mbak turut berduka cita atas meninggalnya ibu kamu, Dek,” kata Ara setelah diam beberapa saat. Ia mena

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Pangeran 21

    Tama pikir permintaan talak Astuti semacam gertakan belaka. Astuti hanya ingin Tama pulang ke asrama untuk malam ini. Namun, saat melihat ekspresi Astuti, pemikiran tadi sirna seketika. Tama mendesah berat dan menggeleng keras.“Jangan gila, Astuti. Kita baru menikah beberapa jam yang lalu, mana bisa saya langsung menceraikan kamu.”“Kenapa nggak bisa, Mas?” Astuti bertanya geram. “Lagian selama ini kamu deketin aku karena ngejar-ngejar duit kamu, ‘kan? Sekarang setelah lunas, kamu masih aja ganggu hidup aku! Sebenarnya, apa yang kamu inginkan dariku sih? Apa nggak puas lihat hidupku hancur?! Masih kurang penderitaanku?”Tama tertawa sarkatis. “Lucu sekali kamu bilang saya pengganggu. Apa kamu lupa kalau saya punya alasan untuk tetap di sini? Saya punya janji pada ibu kamu untuk menjaga kamu dan adik kamu, Astuti!”“Jangan bikin ibu aku sebagai alasan, Mas! Kalau bukan karena ibu, aku juga nggak mau menikah sama kamu!” bentak Astuti tanpa sadar. Karena kelelahan secara fisik dan ment

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Pangeran 20

    Dokter dan para perawat sudah pasrah setelah melakukan berbagai tindakan medis untuk Bu Siti. Namun, tidak ada yang bisa melawan takdir karena hidup dan mati manusia hanya ada di tangan Tuhan.Hari itu juga, Astuti dan Tama langsung mengurus pemakaman untuk almarhumah Bu Siti. Astuti menandatangani beberapa dokumen rumah sakit sebelum jenazah Bu Siti bisa diserahkan kepada pihak keluarga. Setelah itu, barulah ambulans mengantar Bu Siti ke rumah duka.Berita tersebar cepat dan kediaman Astuti dipenuhi oleh para pelayat yang datang untuk berbela sungkawa. Tama membantu Astuti untuk mempersiapkan segala tetek-bengek untuk pemakaman. Awalnya, Astuti menolak karena dia bisa sendiri. Ada juga warga yang akan membantunya. Namun, karena tidak ingin berdebat di hari duka, Astuti memutuskan untuk membiarkan Tama bertindak semaunya.Sementara itu, adik Astuti yang masih terpukul dengan kematian Bu Siti menyendiri di kamar. Ia berpikiran untuk memberitahu Dipta tentang ini. Karena Dipta selalu be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status