Share

Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan
Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan
Penulis: Brata Yudha

Berita Duka

Penulis: Brata Yudha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 02:49:26

"Minimal jadi bidan atau sarjana lah, baru Abang mau nikah sama kamu, Dek. Kalau cuma lulusan SMA kayak kamu gini, maaf-maaf aja, Dek. Kita nggak setara. Aku ini tentara, loh."

Kata-kata itulah yang selalu diingat Nilam dalam hidupnya. Kata-kata yang memotivasi dirinya hingga akhirnya lulus menjadi Sarjana muda di usianya yang baru 22 Tahun. Ia mengambil jurusan bahasa Inggris di universitas ternama dengan jalur beasiswa. Berkat kegigihannya, ia lulus dengan gelar cumlaude. Nilam bukan berasal dari keluarga mampu, ia berasal dari keluarga miskin yang ayah dan ibunya bekerja menjadi seorang pembantu dan supir di rumah keluarga kaya raya.

"Aku yakin, Bang Indra mau nerima aku sekarang," ucapnya percaya diri. Ia sudah membayangkan akan menikah dengan pria impiannya dan menjadi Cinderella di prosesi sangkur pora mereka nanti.

Pria itu bernama Indra Sanjaya, seorang tentara berpangkat Sersan satu yang saat ini bertugas menjadi Caraka/Ajudan yang membantu Pak Danyon (Komandan Batalyon) di kesatuan tempatnya berdinas.

Indra dan Nilam tinggal di satu kampung yang sama. Sejak kecil, pria itu selalu memberi harapan padanya kalau akan menikahi Nilam ketika dewasa nanti. Maka dari itu, saat Nilam lulus SMA, dia menanyakan hal tersebut kepada Indra. Sayangnya, kala itu Indra yang baru dilantik jadi tentara, malah menjawab kalau dirinya hanya akan menikahi Nilam jika wanita itu sudah memiliki gelar atau profesi. Karena katanya, dia ingin menikah dengan wanita yang setara dengannya.

Nilam tidak tersinggung, ia justru makin semangat untuk melanjutkan pendidikannya. Meskipun saat itu ia juga kebingungan dari mana biayanya karena orang tuanya bukanlah keluarga mampu. Tetapi, seakan ia diberi keberuntungan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, Nilam dikabari oleh gurunya kalau ia mendapatkan beasiswa dari universitas ternama. Meskipun harus hidup merantau dan jauh dari orang tuanya karena universitas itu berada di luar kota, Nilam tetap mengambil beasiswa itu demi menjadi seorang sarjana dan memiliki gelar seperti yang diinginkan Indra.

Perjuangannya di kota orang tidaklah mudah, Nilam harus bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak ditanggung oleh beasiswa itu. Apalagi ayahnya juga sudah berhenti menjadi supir karena sakit-sakitan. Hanya ibunya lah yang menjadi tulang punggung keluarga mereka.

Dreett Dreett

Ponsel Nilam tiba-tiba berdering nyaring. Nilam mengambilnya dari dalam tasnya. Rupanya ada panggilan dari sang Ibu. Nilam pikir, ibunya ingin mengucapkan selamat atas kelulusan wisudanya karena memang beliau tidak bisa hadir dikarenakan harus menjaga ayahnya yang sedang sakit.

"Hallo, Bu?"

"Mbak Nilam..." Terdengar suara isakan dari sebrang telfon. Itu bukanlah suara ibunya. Melainkan suara Tiana, sepupunya.

"Ti, ada apa? Kok kamu yang angkat?" Nilam mulai merasa cemas.

"Mbak..." Tiana malah menangis.

Perasaan Nilam menjadi semakin berkecamuk.

"Ada apa, Ti? Kok kamu telfon pake nomer ibuku? Ibuku baik-baik aja 'kan?"

"Bude baik Mbak, tapi Pakde...."

Nilam membelalak. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasakan firasat yang tidak bagus.

"Bapakku kenapa, Ti?" tanya Nilam dengan suara bergetar.

"Pakde meninggal, Mbak."

Deg!

Tubuh Nilam seketika lemas hingga terduduk ke lantai. Dunianya seakan runtuh saat itu juga.

Nilam memandangi ijazah wisudanya yang masih ia pegang. Hatinya berdenyut begitu nyeri. Senyum di bibirnya tersimpul, tetapi matanya terus menangis. Ia meraih mimpinya, tetapi di waktu yang sama, ia kehilangan orang yang disayanginya.

“Bapak....” panggilnya lirih.

*

Setelah kematian ayahnya. Nilam masih belum memutuskan apa yang akan ia lakukan kedepannya. Rasanya separuh hidupnya ikut dibawa pergi oleh sang Ayah. Nilam kehilangan semangat hidup. Sore itu, ketika Nilam memandangi rintik hujan gerimis dari balik jendela kamarnya, ia mendengar suara ketukan pintu dari pintu depan. Nilam buru-buru keluar dari kamarnya untuk membukakan pintu. Ternyata itu adalah ibunya yang baru pulang bekerja. Memang, belum ada empat puluh hari ayahnya meninggal, tetapi sang ibu harus kembali bekerja. Bosnya tidak mengizinkan ibunya libur lama-lama.

“Ibu, sudah pulang? Mau minum dulu?” tawar Nilam. Membantu sang Ibu duduk di atas kursi, sementara ia mengambil air minum di dapur dan memberikannya pada Ibunya.

Ia melihat wajah Ibunya lamat. Sepertinya wanita itu terlihat kelelahan, tubuhnya pun sudah mulai lemah. Tangannya yang keriput dan kasar sampai gemetar memegangi gelas di tangannya. Nilam mendekat dan duduk di depan ibunya sambil meraih tangannya.

“Bu?” panggilnya lembut.

Ibunya mendongak.

“Mulai sekarang, biar Nilam aja yang kerja, ya, buat gantiin Ibu. Jadi Ibu nggak usah kerja lagi. Ibu istirahat aja di rumah.”

Ibunya kaget. “Maksudnya?”

Nilam tersenyum. “Biar Nilam aja yang kerja di sana untuk sementara.”

“Jangan, Lam. Kamu itu sudah sarjana, mana mungkin ibu membiarkan kamu bekerja jadi pembantu. Kamu bisa cari kerjaan yang lebih baik, Nak.”

Nilam tersenyum. “Opo to hubungannya gelar sarjana sama jadi pembantu, Bu? Kerjaan apa aja yang penting kan halal.” Ia berusaha meyakinkan ibunya. Namun, sang ibu masih terlihat ragu.

“Nilam benar-benar nggak apa-apa, Bu. Lagipula, Ibu pasti masih terpukul sama kepergian Bapak. Jadi, sebaiknya Ibu istirahat aja di rumah. Nilam yang akan gantiin, untuk sementara aja kok Bu sampai Nilam dapat pekerjaan yang lain. Ya?”

"Tapi Lam, Ibu nggak mau ngerepotin kamu, Nak."

Nilam menggeleng. “Ibu enggak pernah merepotkan Nilam sama sekali.”

Ibu Nilam masih kelihatan berat mengizinkan Nilam menggantikannya bekerja.

"Boleh ya, Bu?" Nilam terus memohon. Akhirnya sang ibu luluh. Nilam tersenyum, lalu memeluk ibunya erat. Nilam sudah kehilangan ayahnya, ia tidak ingin ibunya bekerja terlalu keras di usianya yang sudah menginjak angka enam puluh tahun itu. Nilam ingin ibunya terus sehat dan bahagia di masa tuanya.

*

Keesokan harinya, Nilam mulai bekerja di rumah Nyonya Mona, majikan ibunya yang ada di desa sebelah. Nilam menjelaskan kondisi ibunya kepada Nyonya Mona. Beliau tidak masalah yang penting ada yang tetap bekerja.

“Kamu sudah biasa bersih-bersih, ‘kan?” tanya Nyonya Mona.

Nilam tersenyum. “Iya, Nyonya.”

“Ya sudah, kalau begitu kamu buruan bersihkan seluruh rumah, jangan lupa juga dirapihkan. Nanti sore, ada calon suami anak saya yang mau datang. Yang bagian masak Mbok Dasimah, tapi kamu bantuin juga ya nanti, soalnya hari ini masak banyak karena ada tamu.”

Nilam mengangguk. “Baik, Nyonya.”

Nilam pun langsung bekerja. Hari itu, pekerjaannya lumayan banyak. Dia membersihkan rumah besar itu sendirian dari mulai mengelap perabotan rumah, menyapu, mengepel, dan juga menata semua perabotan yang ada supaya lebih rapi. Untungnya, Nilam sudah biasa bersih-bersih, jadi dia pun tidak merasa terlalu kewalahan.

Menjelang sore, semua pekerjaan Nilam sudah selesai. Rumah sudah kinclong dan rapi. Ia juga tadi membantu Mbok Dasimah sedikit untuk memotong-motong bahan masakan, jadi ia menemui Nyonya Mona untuk pamit.

“Nyonya, semua sudah saya kerjakan. Saya mau pamit pulang dulu.”

Nyonya Mona mengernyit. “Kok pulang? ‘Kan sudah saya bilang kalau hari ini calon suami anak saya mau datang. Jadi, kamu di sini dulu saja sampai acaranya selesai. Nanti setelah acara ‘kan kamu harus beres-beres lagi. Setelah itu, baru kamu boleh pulang.”

Nilam mengangguk patuh. “Oh, begitu. Baik, Nya.”

Akhirnya, Nilam pun ke dapur untuk membantu menyiapkan semua suguhan yang akan disajikan untuk calon suami anak Nyonya Mona beserta keluarganya. Makanan yang disiapkan Mbok Dasimah sudah siap semua, paling-paling hanya tinggal menata saja dan mengantar ke depan nanti.

Sekitar pukul tiga sore, rombongan keluarga calon suami anak Nyonya Mona datang. Sellina—anak Nyonya Mona juga sudah berdandan amat cantik dan siap menyambut mereka. Ruang tamu terdengar ramai. Nyonya Mona kelihatan antusias sekali menyambut calon menantu dan besannya.

Lalu, Nilam yang diam di dapur menunggu komando selanjutnya dihampiri oleh Mbok Dasimah yang tergesa-gesa.

“Lam, bawakan minuman sama gelasnya. Di depan ternyata kurang. Buruan ya, sudah ditunggu sama Nyonya dan tamu-tamu yang lain.”

Nilam mengangguk dan langsung sigap membawa teko berisi minuman dan beberapa gelas bersih untuk dibawa ke depan. Perlahan, langkah kakinya semakin dekat. Namun, tiba-tiba tatapan matanya berhenti pada sosok pria yang sedang mengobrol dan saling tatap dengan Selina. Jantung Nilam seketika berdetak dengan keras, tubuhnya membeku di tempat.

Prang!!!

Nampan yang ia bawa di tangannya seketika jatuh. Membuat gelas-gelas itu pecah berserakan ke lantai. Semua mata menatap ke arahnya. Bibir Nilam bergetar menyebut nama pria itu.

“B-bang, Indra...”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nova Adzwa
bagus Novelnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Ternyata Dalangnya Adalah...

    Selina dan Hanif saling bungkam di mobil. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing setelah pertemuan dengan Nilam tadi. Nilam dan Galih terpaksa berpamitan pulang karena Bu Salma menelepon dan memberitahu bahwa Pangeran rewel. Hanif pun kepikiran dengan ibunya jika ia dan Selina pergi terlalu lama. Sebelum pulang, Nilam meminta kontak Selina untuk berhubungan. Bagi Nilam, masa lalu sudah tidak penting lagi. Karena biang masalahnya tidak ada di kota ini.“Mas.” Selina tiba-tiba memanggil, memecah keheningan.Hanif menoleh sekilas. “Hm?”“Apa yang kamu pikiran, Mas, soal kata-katanya Bu Danyon?” tanyanya.Sejenak Hanif menimang-nimang jawabannya. Dia tidak ingin berprasangka buruk kepada ‘dia’, tetapi perkataan Nilam jelas merujuk kepada mantan kekasihnya itu. Hanif meremas kemudinya dengan erat. “Kamu pasti tahu apa yang saya pikirkan, Sel. Tapi, untuk saat ini, kita pantau dulu situasinya. Saya nggak ingin menuduh orang sembarangan.”“Aku juga begitu, Mas.” Selina menatap ja

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Kamu Sudah Menikah

    Hanif dan Selina setuju bahwa mereka akan bertemu Nilam dan Galih. Menurut penuturan Hanif, Galih menghubunginya setelah meminta kontak dari salah satu kenalan di kesatuan. Sangat mudah bagi Galih untuk menjangkau Hanif meski telah dipindahtugaskan beberapa tahun silam. Itu sebabnya Galih bisa menemukan kontak Hanif dengan cepat.Hari ini Hanif dan Selina pergi ke tempat perjanjian. Mereka akan bertemu dengan Galih dan Nilam di restoran yang tak jauh dari kediaman Bu Ira. Sebelum pergi, Hanif meminta tolong kepada Bu Silvi untuk menjaga sang ibu selama setengah hari. Rencananya Hanif akan kembali sebelum siang agar tidak terlalu merepotkan Bu Silvi. Semoga saja perbincangan mereka nanti bisa cepat diselesaikan.Sementara Hanif berkendara dengan tenang di balik kemudi, Selina terus-terusan menoleh ke belakang dengan gelisah. Tangan wanita itu berkeringat dingin memegangi sabuk pengaman, ekspresinya terlihat tidak tenang. Hanif melirik Selina melalui spion tengah dan mendesah pelan.“Se

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Mulai Diteror

    “Awas aja kalau kalian gagal. Bayaran yang kujanjikan akan langsung kucancel! Titik!” geram Mia kemudian mengakhiri teleponnya secara sepihak.Saat Nilam melihat wanita itu pergi, Nilam memang tidak salah lihat. Wanita tadi memakai seragam perawat. Nilam benar-benar tidak menyangka orang mana yang masih saja mendendam kepada Selina. Nilam pikir, sudah cukup Indra yang menghancurkan hidup wanita itu, ternyata ada orang lain yang menginginkannya menderita.“Aku harus cepet-cepet nebus obat dan pulang. Entah kenapa, perasaanku nggak enak semakin lama di rumah sakit ini,” gumam Nilam. Dia mendekap Pangeran lebih erat kemudian mengantre untuk mengambil obat di apotek.Setelah mendapatkan obatnya, barulah Nilam kembali ke mobil dan langsung pulang ke rumah. Bu Salma yang saat itu tengah menyuapi Ara terlihat kebingungan dengan ekspresi Nilam. Menantunya terlihat pucat pasi dan buru-buru sekali keluar mobil.“Nak Nilam? Ada apa? Kok kayak habis dikejar hantu. Masih siang loh ini,” tanya Bu S

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Kamu Cemburu?

    Selina benar-benar panik. Hanif membocorkan pernikahan mereka tanpa pikir panjang. Satrio terbatuk-batuk sambil mengibas-ibaskan pakaiannya yang basah terkena teh. Riyani juga hanya mematung dengan wajah cengo. Semua orang terdiam di ruang tamu. Hingga akhirnya Hanif merasakan keberadaan orang lain di ruangan itu dan memutar kepalanya ke belakang.“Selina?” panggil Hanif kaget. Ia pikir ini akan menjadi percakapan antar lelaki. Namun, nyatanya tidak. Siapa sangka jika Selina telah mendengar semuanya.Riyani yang telah tersadar segera menoleh kepada Selina, mengguncang bahu wanita itu dengan kuat. “Apa-apaan ini, Sel? Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa ke aku kalau udah nikah!?”“Bentar, bentar, Ri. Aku butuh waktu buat bicarain ini,” ungkap Selina. Dia melepaskan tangan Riyani kemudian berjalan cepat ke arah Hanif.“Mas, ikut aku. Kita bahas ini dulu berdua,” desak Selina, membuat Hanif sama sekali tidak bisa menolak.Mereka meninggalkan ruang tamu menuju kamar Selina. Pintu tertutup r

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Suami Posesif

    Pada akhir minggu, Riyani menyeret Satrio, teman satu pekerjaannya, untuk pergi bersamanya. Riyani sudah memegang informasi alamat tempat Selina bekerja. Dan pastilah wanita itu sedang senggang pada hari libur. Riyani membawa banyak sekali buah tangan dan berboncengan dengan Satrio menaiki sepeda motor antiknya. Motor itu sempat mogok dan baru menyala ketika Satrio menendang knalpotnya. Meski Satrio harus mengaduh kesakitan di sepanjang jalan. “Buset dah, Ri. Jauh amat tempat kerja Selina,” kata Satrio setelah sampai di halaman rumah Bu Ira. Riyani menjitak helm Satrio dengan kesal lalu melompat turun. “Ya gimana. Selina juga kerja karena kepepet keadaan. Kalau nggak, dia pasti bakal tetep bareng kita sampai sekarang.” “Emangnya, nggak papa kita ke sini? Ini ‘kan rumah majikannya.” “Asal nggak berisik sih, kurasa nggak papa, ya. Lagian aku kangen banget sama Selina. Tapi inget, Sat, jangan ngomong sembarangan atau kurobek mulut kamu!” ancam Riyani Galak. “Galak bener cewe

  • Dibuang Ajudan Dinikahi Komandan   Tolong Izinkan Saya

    "Maksud Ibu, minta cucu dari Selina?" tanya Selina, sambil menunjuk dirinya sendiri dengan tak percaya. Selina tidak menyangka kenapa Bu Ira tiba-tiba meminta sesuatu yang jelas tidak bisa Selina berikan padanya. Bukankah wanita itu tahu bagaimana situasi pernikahannya dengan Hanif? Mereka hanya menikah tanpa perasaan. Jangankan memiliki anak, saling mencintai pun rasanya mustahil. Mata Selina bergetar menatap Bu Ira. Apa yang harus ia lakukan? Bu Ira mengangguk lemah. Ada harapan yang terlintas di mata tua wanita itu. Selina merasa ada beban baru yang menimpa bahunya. Tak pernah sekali pun terlintas di benaknya jika bekerja merawat seorang lansia yang sakit akan membawanya menuju titik ini. "Iya, Nak..." balas Bu Ira lirih. "Ibu... ingin melihat cucu... kamu dan Hanif..." Selina mengembuskan napas panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Kenapa Ibu tiba-tiba membicarakan soal cucu? Ada yang mau Ibu sampaikan ke Selina?" "Sebelum Ibu tiada... Sekali saja..." Ucapan Bu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status