"Kamu ngapain ke sini lagi? Bukannya kemarin sudah di kasih uang? Kamu itu udah mahasiswi tingkat akhir, beasiswa pula. Jadi simpanan CEO kan bisa, kenapa harus morotin orangtuamu lagi? Gak cukup apa jadi beban selama 22 tahun ini?!"
Alana menunduk sebentar mendengar bentakan kasar tersebut. Siapa lagi yang akan murka kalau ia datang ke sini selain ibu tirinya? Padahal niat gadis itu meminta uang untuk pengobatan neneknya, tidak lebih. Tapi apa yang dia dapat? Perlakuan kasar seorang ibu tiri yang hanya mengincar satu hal, harta warisan mendiang ibu kandung Alana! Sakit? Tentu saja! Tapi kalau terus meratapi nasib yang kejam ini, dia tidak akan maju. "Nenek lagi sakit. Aku ke sini mau minta uang ke ayah, uang yang kemarin udah habis." Mendengar kata meminta uang, Dewi tambah menajamkan pandangannya ke arah Alana. Gadis itu tidak bisa berbuat banyak selain merendahkan harga dirinya demi pengobatan sang nenek. "Gak ada. Ayahmu gak ada uang lagi, kami habis bayar uang semester Bella kemarin." "Aku juga anaknya, kenapa kamu yang ngatur-ngatur? Bela bukan anak kandung ayah, jadi harusnya sadar diri!" "Ngomong apa kamu?!" Dewi melotot. Kata-kata itu menurutnya menyakitkan, padahal kata-katanya sendiri jauh lebih busuk! Dewi menjambak kasar rambut Alana, geram karena gadis itu sudah menghina Bella. "Walaupun Bella bukan anak kandung Suryo, tapi dia sayang banget sama Bella, melebihi sayangnya ke kamu. Harusnya yang sadar diri itu kamu karena masih aja ngemis datang ke sini! Ibumu sudah meninggal, kamu gak berhak minta uang sama suamiku!" Tanpa melepaskan tarikan pada rambut Alana, Dewi menyeret gadis itu keluar dari gerbang. Dengan kasar, dia jatuhkan tubuh ringkih tersebut ke atas tanah. Tak lama setelah Dewi mengusir anak angkatnya itu, hujan deras turun menambah kesan tragis hidup Alana, dia bahkan belum sempat bertemu ayahnya. "Aku harus ke mana lagi... uang beasiswaku gak cukup untuk membiayai Nenek. Aku nggak bisa ambil uang itu, apalagi masa kuliahku tinggal satu semester. Nenek pasti marah. Ibu juga sama, pasti benci kalau aku nyia-nyiain beasiswa." Alana duduk di dekat jembatan layang. Dia berteduh sebentar di warung kecil meski akhirnya terus berjalan menuju rumah neneknya. Perutnya keroncongan, dia belum sarapan sedari pagi. Alana rasanya putus asa sekali saat ini. Langkah kecilnya itu terlihat gontai. Saat tengah memikirkan kondisinya yang sangat menyedihkan, tiba-tiba muncul sorot lampu dari arah berlawanan. "Nak, awas di depanmu!" Ibu penjaga warung berteriak sangat keras dan membuyarkan lamunan Alana. Baru saja dia mendongakkan kepala, mobil itu berada tepat dua meter di hadapannya. "AKHHHH-" Alana tidak sempat menghindar. Meski sudah banting setir, bamper depan mobil masih menyerempet tubuh Alana. Gadis kecil itu meringkuk, kemudian tidak sadarkan diri karena syok. "Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" Seseorang keluar dari dalam mobil, berjalan dengan tergesa menuju Alana. Dia adalah Arash Biantara, pria tampan dengan tinggi seratus delapan puluh tujuh centimeter, kulit putih bersih, hidung bangir dan bibir tebalnya itu membuat banyak wanita ingin merasakan manisnya bibir tersebut. Tidak hanya sempurna di fisik, dia juga pewaris tunggal perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang industri makanan dan minuman. Dalam beberapa hari ke depan Arash akan duduk di kursi CEO yang selama ini sengaja di biarkan kosong. Usianya yang sudah matang dan kemampuan yang dimilikinya membuatnya pantas mendapatkan jabatan tersebut. Perebutan kekuasaan tentu saja ada, tapi karena orangtua Arash adalah pemilik perusahaan dan pemegang saham tertinggi, otomatis hanya Arash lah layak mendapatkannya. Saat ini mereka sedang menuju perusahaan, sialnya musibah tidak ada yang tahu, seperti saat ini contohnya. "Ta-tapi, Tuan, itu rapat penting yang menentukan posisi anda sebagai CEO di perusahaan." "Persetan dengan rapat itu, dia harus selamat dulu!" Arash dan ajudannya membawa Alana ke rumah sakit. “Cepat, Pak, nggak ada waktu lagi!” Sesampainya di rumah sakit, Arash membopong tubuh Alana. Dia sendiri yang membawa Alana ke depan IGD. Saat ajudannya ingin menemani, Arasah memintanya berangkat ke perusahaan, sedangkan dirinya akan menunggu Alana siuman terlebih dahulu. Entah kenapa hatinya berkata dia harus tetap tinggal di sana, padahal bisa saja Arash menyuruh anak buahnya yang menunggu sampai gadis itu sadar. Melihat laki-laki tampan setinggi 187 centi, jas mahal, sepatu hitam mengkilap, semua petugas sigap menyiapkan ranjang agar Alana cepat ditangani. Mereka kenal pria itu, Arash, CEO perusahaan yang jadi salah satu pendana tetap rumah sakit ini. "Dia korban, aku yang menabraknya. Tolong urus dia, beri dia pelayanan terbaik dan termahal di sini!" Arash sudah tidak pikir panjang lagi. Beberapa saat kemudian, gadis yang dia tabrak tadi sudah di pindahkan ke ruangan lain. Arash masih setia menunggu di samping ranjang sesekali dia tatap wajah mungil itu, kemudian pindah ke ponsel, mengecek email yang masuk. Lagi, dia kembali menatap Alana tapi kali ini lebih dalam, mulai dari atas ke bawah. Matanya tiba-tiba terhenti di tangan kanan Alana. Seperti ada bekas lebam. Arash kemudian mendekat, mengamati bekas itu. Dia simpati dengan Alana. Dia yakin gadis cantik dengan lesung kiri-kanan itu pasti habis disiksa. Setengah jam kemudian Alana sadar, tapi kepalanya masih pusing. Saat melihat sekeliling, dia berujar pelan, "Rumah sakit? Apa yang terjadi?" “Aw, sakit!” “Jangan duduk dulu, kamu masih belum pulih!” Arash sigap menyilangkan tangan kanannya di kepala Alana, berjaga kalau gadis itu tiba-tiba menjatuhkan kepala karena masih pusing. “Jangan banyak bergerak, dokter bilang kamu butuh istirahat total.” “Si-siapa kamu?” Alana mengernyitkan dahi. Untuk pertama kalinya, dia melihat laki-laki tampan dengan senyum tulus seperti pria di depannya. Dia sempat berpikir, apa ini surga? Malaikat seperti apa yang menggunakan jas mewah dan potongan comma hair seperti ini? Persis seperti CEO yang sering Alana lihat dalam drama Korea. Ingatannya kembali pada saat dia berjalan di tengah hujan tadi. Dia ingat, laki-laki itu adalah orang yang hampir menabraknya. "Arash Biantara,” Pria itu menyunggingkan senyum kembali. “Kenapa kamu nekat jalan kaki di tengah hujan?” "Di usir sama ibu tiri." Alana menjawab pelan. Arash semakin yakin kalau luka lebam tadi bekas perlakuan ibu tirinya. “Aku hanya ingin meminta uang untuk pengobatan nenekku. Tapi ibu tiriku, ah sialan!” Arash mendengar curhatan Alana meski dia tidak bereaksi berlebihan selain senyum kecil. “Rumahmu di mana?" Tanya Arash penasaran, Alana kemudian cerita tentang lokasi rumahnya beserta rute yang harus dilalui. Dia menceritakan bagaimana jahatnya ibu tirinya itu, semakin Alana cerita detailnya, semakin terbelalak mata Arash ketika Alana tidak sengaja menyebut nama ayahnya. "Pramana Suryo?" "Iya. Kamu kenal ayahku?" Setelah menenangkan diri, Arash kembali menatap wajah polos tanpa polesan make up itu. "Emm, tapi tidak tahu pasti Suryo yang kamu sebut tadi orang yang ku kenal atau bukan. Ada tiga orang bernama Suryo di sana." Yang tidak diketahui Alana, Suryo adalah orang yang selama ini dicari-cari Arash. Pramana Suryo, laki-laki yang menghancurkan keluarganya 20 tahun lalu. Yang menyebabkan ibu kandung Arash meninggal karena persaingan bisnis yang tidak sehat. Ciri-ciri, bentuk fisik, lokasi rumah, hingga tempat tinggal Suryo menetap, sama dengan yang diinformasikan ajudannya di perusahaan. Seisi ruangan perlahan hening, sampai Alana teringat kondisi neneknya. Sembari memegangi kepalanya, dia teringat neneknya di rumah yang sedang sakit parah. Alana tahu ini gila, tapi ia tak tahu harus minta tolong pada siapa lagi. Dengan menghilangkan rasa malu, Alana memegang tangan besar pria yang bernama Arash itu. "B-boleh aku minta tolong?" Arash menaikkan satu alisnya seolah bertanya, 'kenapa?' "Tolong berikan aku uang tiga juta, a-aku butuh banget buat pengobatan nenekku." Alana sudah menceritakan kronologi kenapa dia hujan-hujanan di jalan tadi, ia harap Arash memiliki hati nurani dan mau menolongnya.Alana duduk di sofa sendirian, bingung harus melakukan apa karena Arash tidak memberitahu letak kamarnya ada di mana. "Masa tidur di sofa?" Bibirnya cemberut, Arash tidak ada pengertiannya sama sekali padahal kepalanya mulai terasa sakit. Mungkin efek tidak tidur semalaman. Meski mengantuk, Alana tetap memaksakan matanya terbuka sambil sesekali melirik ke arah kamar Arash berharap pria itu keluar lagi. Tapi beberapa menit menunggu tidak ada tanda-tanda Arash akan keluar. Ah, persetan! Matanya sudah mengantuk, alamat tidak tidur lagi kalau menunggu Arash! Alana pindah ke sofa yang lebih panjang, kakinya ia naikkan, untungnya ada bantal sofa yang lembut untuk menyangga kepalanya. Memang dasar orang kaya, tidur di sofa pun terasa nyaman, tidak seperti sofa di rumah neneknya yang keras. Lima belas menit kemudian Arash keluar dari dalam kamar, ia pikir Alana sudah masuk ke dalam kamarnya, tidak tahunya gadis itu malah tidur di sofa. "Bodoh." Ucapannya berbanding t
Arash membawa Alana pulang ke hunian mewahnya, kawasan apartment elit di pusat kota. "Aku tinggal di sini?" Kalau Alana tinggal di sini, lalu Arash tinggal di mana? Seakan bisa membaca pikiran Alana, Arash dengan tegas menjawab, "Aku juga tinggal di sini." "Jangan macam-macam, kak!" Alana menyilangkan kedua tangannya di depan dada, apa Arash sedang memberitahu motifnya sekarang? "Kotor sekali pikiranmu. Aku mengajakmu tinggal di sini agar kita mudah berkomunikasi dan menyusun strategi balas dendam. Apa kamu masih mau tinggal di rumah peyot nenekmu? Sebentar lagi aku yakin rumah itu akan roboh." Jahatnya mulut Arash... "Rumah nenekku gak serapuh itu!" Arash hanya mengangkat bahunya tak acuh, ia mengambil minuman dingin di kulkas lalu meneguknya hingga tersisa setengah. "Kalau haus ambil sendiri." Arash duduk tidak jauh dari Alana, wajahnya terlihat serius. "Kapan ayahmu menikah lagi?" Arash harus tahu ibu kandung Alana terlibat atau tidak atas k
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Arash sudah menyambangi rumah Alana. Dia mengetuk pintu cukup keras, berharap Alana cepat membukanya. "Alana?!" Apa gadis itu melakukan tindakan bodoh semalam? Arash semalaman berpikiran ke sana, khawatir Alana nekat bunuh diri. "Alan-" Kalimatnya terpotong lantaran suara kunci yang terbuka dari dalam, dengan pakaian lusuh dan kantong mata yang terlihat jelas di bagian bawah mata, menandakan kalau Alana tidak tidur semalaman. Wajahnya pun masih sembab. "Aku bawain sarapan, makan dulu habis itu mandi. Kita siap-siap menemui ayahmu." "Sekarang? Aku belum siap ketemu mereka. Kalau tiba-tiba aku nangis gimana? Jujur aja air mataku belum kering, aku masih pingin nangis." Arash masuk ke dalam rumah, melihat ke sekeliling mencari apakah ada hal yang mencurigakan. "Makan." Lagi, Arash memberi titahnya. "Aku gak laper." "Kamu mau nyusul nenekmu? Kalau kamu gak punya tujuan hidup kayak gini gimana aku bisa ba
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, karena jarak mall dan rumah Alana tidak terlalu jauh jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai. "Boleh aku minta kartu identitas nenekmu?" "Boleh. Aku ambil dulu di tas, masuk aja kak." Alana mencari keberadaan neneknya, tumben sekali pintu tertutup. Biasanya neneknya itu selalu menunggunya pulang di teras depan. "Nek? Lana pulang!" Masih tidak ada sahutan, Alana langsung bergegas menuju kamar Ningsih, matanya langsung melebar mendapati wanita tua itu sudah terbujur kaku di atas lantai. "Nenek!" Tubuh ringkih itu Alana bawa ke pangkuannya, telunjuknya ia taruh di depan hidung neneknya, "Nek..." Arash yang mendengar teriakkan itu langsung menyusul Alana ke dalam kamar, "Apa yang terjadi?" "Ne-nenek... nafasnya udah gak ada, kak! Gi-gimana ini?" Tidak-tidak! Alana tidak mungkin kehilangan untuk yang kedua kalinya, kan? "Kita ke rumah sakit sekarang!" Tangan besar Arash membopong tub
Di sinilah Alana sekarang, berdiri di depan etalase yang di dalamnya terdapat berbagai macam ponsel keluaran terbaru. Arash yang mengajaknya ke sini karena tadi mereka tidak sengaja bertemu di jalan. "Pilih mau yang mana, nanti aku yang bayar." Seperti biasa Arash terlihat santai dengan setelan rapinya, rambut dengan gaya potongan comma hair menambah kesan karismatik dalam dirinya. "Beneran gak apa-apa? Kalau engga, kita pindah toko aja? Di sini terlalu mahal harganya." "Siapa yang bayar? Aku kan? Jadi gak usah banyak protes, kamu tinggal pilih. Kalau aku ngajak ke sini artinya aku mampu." Aura dominan Arash keluar membuat siapa saja segan menatap matanya. Begitu juga dengan Alana, dia sebenarnya malu menerima hadiah mahal, tapi menolak pun dia tidak di bolehkan. "Makasih, kak. Aku gak tahu gimana balas budi ke kakak nanti karena aku gak punya apapun." "Apa aku minta balasan? Santai saja tidak usah sungkan padaku. Kebetulan aku mengenal orangtuamu jadi anggap
"Cuma tiga juta?" Setelah beberapa detik terdiam, Arash membuka suaranya kembali. Sepertinya tidak perlu di beri umpan, ikannya sudah terpancing sendiri. "Iya. Sekarang aku cuma perlu segitu, gak tahu kalau kedepannya." Mata Alana memancarkan sinar penuh harap, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Tapi kamu tahu kan, gak ada yang gratis di dunia ini?" Kesempatan ini tidak akan Arash sia-siakan, tapi bukan sekarang waktunya, karena assistennya sudah mengabarinya untuk segera datang ke kantor. "Kamu mau balasan apa? Aku gak punya harta buat gantinya." Arash menatap lekat wajah yang terlihat lusuh itu, sepertinya memang Alana mendapatkan perlakuan tidak baik oleh keluarganya sendiri. "Nanti aku kabari lagi." Arash keluar dari ruangan dan meminta supirnya menarik uang cash. "Nanti berikan uang itu padanya." Titahnya pada supir tersebut, sementara dia menaiki mobil lain menuju kantor. Satu jam kemudian setelah infus habis Alana di perbolehkan keluar dari ru